Kamis, 19 Maret 2015

TUGAS MAKALAH PENGANTAR PERBANDINGAN MAZHAB “MAZHAB SYAFI`I”





DISUSUN OLEH:
HANIK ATUL ROSYIDAH (14360010)
KURNIA ALFIANA MAGHFIROH (14360011)
ASYHARI MARZUQI (14360012)
MELISSA USWATUN CHASANAH (14360013)
FARHAN AULIA MUHAMMAD (14360014)
IIS ISTIQOMAH (14360015)





A.Pendahuluan
Membelajariilmumadzhabadalahsalahsatukewajibanbagiseorangmuslim dikarenakanbisamemilihpengikutdenganbaik .Diantara pembahasan-pembahasan ilmiyah yang harus kita pelajari dengan seksama, dan bahas dengan tekun ialah pokok pokok pegangan para imam madzhab dan manhaj (metode) istimbath yang digunakan para mujtahid dalam mengungkapkan hukum syara'. Dengan mendalami manhaj istimbat yang telah dilakukan para imam madzhab baik dalam kalangan ahlus sunnah maupun dalam kalangan syi'ah, nyatalah bahwa semua mujtahid pada dasarnya menggali hukum syara' dari sumber utama, yaitu kitabullah dan sunnah Rosul. Mereka hanya berbeda pandangan dalam cara menggali dan dalam mempergunakan alat penggalian serta dalam menentukan dasar- dasar yang boleh dan tidak boleh dipakai setelah al Qur'an dan as Sunnah. Dengan kita mendalami analisa analisa terhadap sebab sebab terjadi perbedaan pendapat diantara para imam, dapatlah kita mendekatkan pokok pokok pegangan itu hingga dengan demikian terbentanglah jalan mendekatkan satu madzhab dengan madzhab lain dan dapatlah kita menutup lubang-lubang yang merenggangkan satu sama lain.







.



B.BiografiImam Mazhab
1.Riwayat
 
         Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Ustman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin’Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Abu ‘Abdilla al-Qurasyi asy-Syafi’I al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putra pamannya.
   Al-Muthathalib adalah saudara Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muththalib. Kakek Rasulullah SAW dan kakek Imam asy-Syafi’I berkumpul ( bertemu nasabnya) pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah SAW yang ketiga.
   Imam an-Nawawi rahimahullah berkata; “ Imam Syafi’I rahimahulllah adalah Qurasyi ( berasal dari suku Quraisy ) dan Muththalibi (keturunan Muththalib) berdasarkan ijma’ ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku Azdiyah.”1
   Para sejarawan sepakat bahwa Imam asy-Syafi’I lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah rahimahullah.2 Imam al-Hakim rahimahullah berkata; “ Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat bahwa Imam asy-Syafi’I rahimahullah lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Hal ini mengisyaratkan bahwa Imam asy Syafi’i rahimahullah menggantikan Imam Abu Hanifah rahimahullah dalam bidang yang digelutinya.”
   Ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’I rahimahullah lahir pada hari meninggalnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini disinyalir tidak benar, tetapi pendapat ini bukan pendapat yang sangat lemah karena Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim rahimahullah dalam Manaaqibusy Syafi’i meriwayatkan dengan sanad jayyid bahwa Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah berkata; “ Imam asy-Syafi’i rahimahullah lahir pada hari [1]kematian Abu Hanifah rahimahullah. “Namun, kata yaum pada kalimat ini dapat diartikan lain[2] karena secara umum, kata itu bisa diartikan masa atau zaman. Menurut pendapat yang shahih, Imam Abu Hanifah rahimahullah wafat pada tahun 150 H. Akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 151 H. Pendapat lainnya lagi menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 153 H. Hanya saja, saya tidak menemukan dalam buku-buku tarikh (sejarah) yang menyebutkan bulannya secara pasti. Dengan demikian, para sejarawan tidak ada yang berselisih-sebagaimana yang telah dikemukakan-bahwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah lahir pada tahun 150 H, namun tidak ada yang memastikan bulannya. Inilah yang menjadikan penuturan Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman tersebut lebih mungkin dapat dipahami jika dilihat tidak secara lahiriyahnya, melainkan dengan cara ditakwil, yaitu kata yaum yang dimaksutkan adalah masa atau zaman. Wallahu a’lam.3
   Ada banyak riwayat  yang menyebutkan tentang tempat kelahiran Imam asy- Syafi’i rahimahullah. Yang paling populer adalah beliau dilahirkan di kota Ghazzah. Pendapat lain mengatakan di kota ‘Asqalan, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim rahimahullah dari ‘Amr bin Sawad, ia berkata:” Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepadaku :’ Aku dulahirkan di negeri ‘Asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Mekkah.’”4
Sementara Imam al-Baihaqi menyebutkan dengan sanadnya, dari Muhammad bin ‘Abdillah bin “Abdul Hakim, ia berkata: “Aku mendengar Imam Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata ;” Aku dilahirkan di negeri Ghazzah. Kemudian, aku dibawa oleh ibuku ke ‘Asqalan.’”5
   Dalam riwayat lain, Ibnu Abi Abi Hatim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada putra saudaranya, ‘Abdullah bin Wahab rahimahullah, ia berkata: “Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ‘ Aku dilahirkan di Yaman. Karena ibuku khwatir aku terlantar, ia pun berkata:” Temuilah keluargamu agar engkau menjadi seperti mereka sebab aku khawatir nasabmu terkalahkan. Maka ibuku membawaku ke Mekkah ketika aku berusia sepuluh tahun.’”6
   Imam al-Baihaqi rahimahullah memadukan riwayat-riwayat ini. Setelah menyebutkan riwayat putra saudaranya, ‘Abdullah bin Wahab, ia berkata: “Begitulah yang terdapat dalam riwayat, yaitu bahwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah dilahirkan di Yaman. Akan tetapi, menurut pendapat yang shahih, ia dilahirkan di kota Ghazzah.” Selanjutkan al-Baihaqi berkata: “Ada kemungkinan yang ia maksudkan adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghazzah.” Lebih lanjut, al-Baihaqi rahimahullah berkata: “ Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah kemudian ia dibawa ke ‘Asqalan lalu ke Mekkah. Wallahu a’lam.”7
   Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “ Tidak ada pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. ‘Asqalan adalah kota yang sejak dahulu telah dikenal, sementara Ghazzah berdekatan dengannya. Jadi, bila Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa ia dilahirkan di ‘Asqalan, berarti maksudnya adalah kotanya, sedangkan Ghazzah adalah kampungnya.”
   Imam asy-Syafi’i tumbuh di negeri Ghazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal. Oleh karena itu, berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarga. Namun, kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam menghadapi kehidupan setelah Allah SWT memberinya taufik untuk menempuh jalan yang benar. Setelah sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yakni kota Makkah, menurut riwayat terbanyak atau tempat dekat Makkah, mulailah Imam asy-Syafi’i menghafal al-Qur’an sehingga ia berhasil merampungkan hafalannya pada usia 7 tahun. Imam asy-Syafi’I begitu tekun belajar sehingga ia dapat menghafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan hafal kitab al- Muwaththa’ (karya Imam Malik rahimahullah, pen) dalam usia 10 tahun. Pada saat ia berusia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun), Imam asy-Syafi’i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji rahimahullah. Imam asy- syafi’i menaruh perhatian yang besar terhadap sya’ir dan bahasa sehingga ia hafal sya’ir dari suku Hudzail. Bahkan, ia hidup bergaul bersama mereka selama sepuluh atau dua puluh tahun menurut satu riwayat. Kepada merekalah Imam asy-Syafi’i belajar bahasa arab dan balaghah. Imam asy-Syafi’i belajar banyak hadits kepada para syaikh dan imam. Dia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dihadapan Imam Malik bin Annas rahimahullah dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum terhadap bacaan dan kemauannya. Imam asy-Syafi’i juga menimba dari Imam Malik ilmu para ulama Hijaz setelah ia mengambil banyak ilmu dari syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji. Selain itu, Imam asy-Syafi’i [3]juga mengambil banyak riwayat dari banyak ulama, juga belajar al-Qur’an kepada Ismail bin Quthanthin ( yang diriwayatkan,ed ) dari Syibl, dari Ibnu Katsir al-Makki, dari Mujahid rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas, dari Ubay bin Ka’ab, dari Rasulullah Saw.8
   Setelah Imam asy-Syafi’i hafal al-Qur’anul al- Karim di Makkah, belia pun senang akan sya’ir dan bahasa sehingga ia selalu bolak-balik ke suku Hudzail untuk menghafal sya’ir-sya’ir mereka. Yang tampak adalah bahwa ia telah hafal banyak dari sya’ir-sya’ir mereka sejak kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh aal-Abarrirahimahullah melalui jalur ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah, ia berkata: “Aku mendengar Imam asy-Syafi’i berkata: ‘ Ketika aku berada di sebuah tempat belajar aku mendengar seorang guru mengajarkan suatu kalimat lalu aku menghafalnya.’ Katanya lagi: ‘Aku keluar dari Makkah sesudah menginjak usia baligh. Setelah itu, aku menetap di tengah-tengah suku Hudzail di pedusunan. Aku mempelajari bahasa dan mengambil ucapan-ucapan mereka. Sungguh, mereka adalah kabilah Arab yang paling fasih bahasanya.”
   Imam al-Hakim rahimahullah meriwayatkan melalui jalur Mush’ab az-Zubairi, ia berkata: “ Imam asy-Syafi’i membaca sya’ir-sya’ir Hudzail dengan cara dihafal. Kemudian, ia berkata kepadaku: ‘ Jangan kamu ceritakan ini kepada siapapun.’ Dipermulaan malam, ia mengulang-ulang pelajarannya bersama ayahku hingga subuh.” Pada awalnya, Imam asy-Syafi’i belajar sya’ir, sejarah, dan peperangan bangsa Arab, juga sastra, dan setelah itu baru belajar fiqih. Yang mendorongnya mendalami ilmu fiqih adalah karena ketika Imam asy-Syafi’i pergi menaiki seekor binatang, iapun membaca bait-bait sya’ir. Mendengar bacaan itu, berkata kepadanya sekretaris orang tuanya, Mush’ab bin ‘Abdullah az-Zubairi: “Orang seperti kamu jika menjadi penyair akan hilang perangainya sebagai manusia, kecuali engkau belajar fiqih.” Dari kejadian tersebut tergugahlah hati Imam asy-Syafi’i rahimahullah untuk mendalami fiqih. Sesudah itu, ia pun mendatangi Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Makkah, dan berguru kepadanya. Selanjutnya, Imam asy-Syafi’i pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik rahimahullah.10 Sebelum pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik, Imam asy-Syafi’i rahimahullah terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-muwathta’. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia hafal kitab tersebut dalam usia sepuluh tahun. Riwayat lain menyebutkan ia hafal pada usia tiga belas tahun.11 Tentang perjalannya untuk bertemu dengan Imam Malik, Imam asy-Syafi’i becerita sebagai berikut: “ Aku keluar dari Makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku Hudzail di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya. Mereka adalah suku Arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama mereka, aku pun kembali ke Makkah. Yang jelas, tinggalnya Imam asy- syafi’i di Madinah tidak terus- menerus, melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk menengok ibunya. Dalam kepulangannya itu, ia menyempatkan diri untuk mendengarkan sya’ir-sya’ir suku Hudzail dan belajar kepada ulama’ Makkah. Sejumlah riwayat dan keterangan menyebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i pergi ke Madinah dalam usia tiga belas tahun, yakni sekitar tahun 163 H. kemudian, ia pulang pergi antara Madinah, Makkah, dan perkampungan Hudzail meskipun kebanyakannya ia menetap di Madinah mendampingi Imam Malik bin Anashingga beliau wafat pada tahun 179 H. setelah itu, barulah Imam asy-Syafi’i pulang ke Makkah sesudah memperoleh banyak ilmu dari Imam Malik. Maka mulailah nama dan keilmuannya terkenal, padahal umurnya pada saat itu baru 29 tahun. Pada fase ini Imam asy-Syafi’i telah berguru kepada Sufyan bin ‘Uyainah, Muslim bin Khalid az-Zanji, Ibrahim bin Abu Yahya, dan Malik bin Anas rahimahullah di Madinah. Selain itu, ia pun belajar kepada ulama lainnya, sebagaimana dituturkan oleh Mush’ab az-Zubairi: “Imam asy-Syafi’i telah mengambil hampir semua ilmu yang dimiliki oleh Imam Malik bin Anas dan menghimpun ilmu para syaikh yang ada di Madinah.”12
   Sekembalinya dari Madinah ke Mekkah, Imam asy-Syafi’i sibuk dengan ilmunya. Sementara itu, jiwanya sangat gandrung terhadap ilmu sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin. Begitulah sifat para ulama yang di anugerahi oleh Allah SWT kelezatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah merasa puas dengan ilmu yang di milikinya. Rasulullah SAW pun telah menyatakan hal itu dalam haditsnya yang berarti :
“ Dua orang yang rakus yang tidak pernah merasa kenyang: pencari ilmu dan pencari dunia.”13
   Jiwa Imam asy-Syafi’i sangat haus akan ilmu ulama Yaman, sementara yang tersisa dari para ulama Yaman yang merupakan pemuka ulama adalah sahabat Ibnu Juraij,14 yaitu Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif bin Mazin.15 Ibnu Juraij sendiri memgambil ilmu dari Imam ‘Atha.16 Namun, karena tidak memiliki biyaya cukup, Imam asy-Syafi’i tidak dapat pergi ke Yaman. Ia [4]sendiri telah mendengar dari teman-teman dekatnya bahwa Yaman adalah gudang ilmu, baik ilmu firasat maupun ilmu lainnya sehingga ia berminat untuk berangkat ke negeri tersebut. Hal ini di ketahui oleh para sahabat dekatnya dan orang-orang yang bergaul dengannya.
   Diakhir hayatnya, Imam asy-Syafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam asy-Syafi’i tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak memerdulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan rajab tahun 204 H –semoga Allah SWT memberikan rahmat yang luas kepadanya.17  Al-Muzani rahimahullah berkata:” Tatkala aku menjenguk Imam asy-Syafi’i pada sakit yang membawa kepada kematiannya, aku bertanya kepadanya: ‘ Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?’ Imam asy-Syafi’I menjawab: ‘Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku akan meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan amal jelekku. Demi Allah, aku tidak tau ruhku akan kembali: ke Surga yang dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka.’ Kemudian, Imam asy-Syafi’i mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang bercucuran, seraya mengucapkan bait-bait sya’ir:
   Wahai, Ilah, Rabb makhluk semesta
   Kepada Engkau aku ajukan pengharapan
   Sekalipun aku orang yang banyak melakukan dosa
   Wahai, Dzat pemilik karunia dan kemurahan
   Tatkala kalbuku keras dan jalan-jalanku sempit
   Aku jadikan pengharapan dari-Mu sebagai tangga
   Dosa-dosaku menguasai diriku,
   Tetapi ketika aku bandingkan dengan pengampunan-Mu
   Wahai, Rabbku,jauh lebih besar pengampunan-Mu
   Engkau senantiasa pengampun segala dosa dan kesalahan
   Engkau tetap Pemurah dan Pemberi karunia dan kemuliaan
   Maka andai tidak karena kemurahan-Mu
   Tidaklah bertahan si penyembah iblis
   Betapa tidak?
   Ia telah memperdaya kekasih-Mu Adam
   Bila Engkau memaafkan aku ,
   Berarti Engkau memgampuni si pelaku kedzaliman
   Yang penuh gelimang dosa dan kesalahan
   Dan andai Engkau murka kepadaku,
   Aku tidak akan putus harapan
   Sekalipun diriku dimasukkan ke Jahannam
   Karena dosa-dosa yang aku lakukan
   Sungguh besar dosaku,
   Baik yang sekarang maupun yang dahulu
   Namun, ampunan-Mu lebih besar dan lebih banyak
   Wahai, dzat Pemberi maaf18
2.Karya
   Mungkin  banyak kitab yang telah dikarang oleh Imam Syafi`i ketika berada di Makkah, tetapi tidak risalah pertama yang dibuat oleh Imam Syafi`i atas permintaan Abdur Rahman ibn Mahdi, ini merupakan sebuah karya di bidang ushul fiqh yang kemudian terkenal dengan nama Ar-Risalah. Baru setelah perjalanannya yang kedua yakni ke Irak mulai tersohor banyak karangannya. Kitab-kitab yang disusun di Baghdad dinamakan al-Hujah, atau al-Mabsut.[5]Kitab ini sesudah Imam Syafi`i bermukim di Mesir diperbaiki, disempurnakan lalu dinamakan al-Umm.[6]Diantara kitab-kitabnya yang ditulis di Mesir ialah al-Amali dan al-Imlak. Namun sebernarnya kitab-kitab yang ditulis di Mesir tersebut bukanlah kitab yang baru, tetapi hasil penyempurnaan dari kitab-kitabnya yang disusun ketika di Baghdad berdasarkan kepada pengalaman- pengalaman baru. Ada juga muridnya, Al-Buwaithi, yang menikhtisarkan kitab-kitab dari Sang Imam dan dinamakan al-Muhktasar. Begitupun al-Muzani.
3.Murid
      Karena pengembaraannya yang luas sehingga muncullah murid-murid dari berbagai wilayah terutama yang dulu pernah disinggahi oleh Imam Syafi`i dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmunya diantaranya dari Mekkah yaitu Abu Bakar al-Humaidi yang ikut dalam perjalanan Imam Syafi`i ke Mesir, Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad, Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul Walid, Musa ibn Abi Jarud. Adapun murid-muridnya di Baghdad ialah Abu Ali al-Hasan Az-Za`farani, Abu Ali al-Husin ibn Ali al-Karabisi, AbuTsaur al-Kalbi, Abu Abdur Rahman, Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya al-Asy`ari. Diantara yang mengembangkan mazhab sendiri yaitu Ahmad ibn Hanbal serta Ishak. Selain itu adajuga beberapa muridnya di Mesir yaitu: Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah, ia telah meriwayatkan kitab Imam Syafi`i yang tidak diriwayatkan oleh Ar-Rabi`, Abu Ya`kub Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, ia dijadikan pengganti oleh Imam Syafi`i karena penghargaannya, ia wafat dalam penjara karena tak mau mengakui bahwa Al-Qur`an itu makhluk, Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzani, yang menulis al-Mabsut dan al-Mukhtasar, Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam, Ar-Rabi` ibn Sulaiman ibn Daud al-Izzi, Ar-Rabi` ibn Abdul Jabbar ibn Kamil al-Muradi, yang merupakan periwayat kitab-kitab Imam Syafi`i.

C. CIRI KHAS ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI’I
1. Komitmen Terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah dan Mendahulukan keduanya daripada Akal
   Mengambil lahiriyah al-Qur’an dan sunnah merupakan dasar pertama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka menjadikan keduanya ini sebagai dasar pertama mereka karena al-Qur’an dan as-sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil/ mempelajari ‘aqidah islam. Seorang Muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah wajib diterima dan di tetapkan ( tidak ditolak ) oleh seorang Muslim. Demikian pula apa yang di nafikan ( ditolak) oleh keduanya,maka wajib bagi seorang Muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan, melainkan dengan cara berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-sunnnah.
2. Mengakui Hadist Ahad
a.)Pandangan Imam asy-Syafi’i tentang Hadist Ahad
Para ulama hadist dan ushul fiqih membagi hadits Rasulullah Saw menjadi dua bagian: mutawatir dan ahad.
1.      Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika, mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Hadits ini diriwayatkan dari orang banyak seperti mereka menyandarkan hadits ini kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.
2.      Hadits ahadialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syaratnya.
Dari segi diterima dan ditolaknya, hadits ahad terbagi menjadi bebeapa bagian, diantaranya ada yang maqbul ( diterima) dan ada yang mardud (ditolak) sesuai dengan keadaan perawinya baik berkenaan dengan keadilannya, hafalannya dan hal-hal lain yang menjadi syarat diterimanya hadits.
b.) Syarat-syarat sah dan diterimanya hadits menurut imam asy-Syafi’i
            1. Sanadnya muttashil (tersambung), tidak putus
            2. Para Perawinya adil
3. Selamat dari syudzudz. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah riwayatnya          bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah darinya.
4. selamat dari ‘illat atau cacat yang membuatnya cela.
            c.) Apa yang ditunjukkan oleh hadist ahad
                                   Terjadi ikhtilafantar ulama tentang apakah hadits ahad itu menunjukkan kepada ilmu ( suatu keyakinan) atau hanya menunjukkan kepada zhann (dugaan)? Ada tiga pendapat tentang masalah ini:
1.      Hadits ahad menunjukkan ilmu (yang yakin) secara mutlak. Baik didukung oleh beberapa qarinah (indikasi) maupun tidak.
2.      Hadist ahad menunjukkan dzann secara mutlak, baik ditopang oleh beberapa indikasi maupun tidak. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul fiqih secara umum yang diikuti oleh sebagian ahli hadits mutaakhhkirin , seperti an-Nawawi rahimahullah.21
3.      Hadits ahad menunjukkan ilmu (yang yakin) apabila ditunjang oleh beberapa syahid (penguat). Pendapat ketiga ini adalah, pendapat sekelompok penganut berbagai madzhab dan ahli ushul fiqih. Inilah pendapat yang didukung oleh Imam al-Amidi.
d.) Mengambil dan Mengamalkan hadits ahad
  Para sahabat ra. Dan orang-orang sesudahnya yang terdiri dari para Tabi’in dan generasi salaf ummat ini, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad itu menunjukkan ilmu yang yakin maupun yang berpendapat hadits ahad menunjukkan dzann , berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih diantara mereka, kecuali kelompok yang tidak masuk hitungan, seperti sebagian Mu’tazilah dan Rafidhah23.
        Al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata dalam kaitan ini: “ Keharusan mengamalkan hadits ahad itu adalah pendapat seluruh Tabi’in dan fuqaha sesudahnya diseluruh negeri hingga kini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang dari mereka yang menentang atau menyalahinya.”
e.) Hukum Menolak Hadits Ahad
        Imam Syafi’i berkata: “ Menurut hemat saya, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad lalu ia menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengan akalnya.
3.Masa Studi dan Pelawatannya
      Meskipun Imam Syafi`i merupakan murid dari Imam Malik namun beliau tidak serta merta menerima sepenuhnya menjadi pengikutnya, ia melepaskan diri dari Imam Malik dan mendirikan mazhabnya sendiri setelh meninggalkan Baghdad. Sebelum itu ia terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Malik dan mempertahankan Mazhab Madinah hingga ia dinamai Nashirus Sunnah[7]. Setelah bermukim di Irak dan mempelajari fiqh disana ia merasa perlunya fiqh baru yang menggabungkan antara fiqh Irak dan Madinah. Iapun menemukan kelemahan-kelemahan dari mazhab malik dan juga dari mazhab Irak. Sehingga lahirlah qoul qadimnya yang dibentuk ketika di Irak. Pada saat melawat ke Mesir ia banyak menemukan kebudayaan baru dan iapun memperbaiki risalah-risalahnya dan terbentuklah qoul jadid dan melepaskan qoul qadim. Sebagai contoh tentang perihal berurutan (muwaalah) dalam wudhu, qoul qadim mewajibkan hal tersebutdengan alasan huruf wawu yang gerdapat dalam surat al-Maidah ayat 6 menunjukkan arti berurutan, sedangkan dalam qoul jadiddihukumi sunnat dengan dasar Rasulullah SAW. Pernah berwudhu dan menunda dalam membasuh kaki beliau SAW.[8]
4.Dalil-dalil hukum
Diantara dalil-dalil hukumnya Imam Syafi`i membagi menjadi 5 martabat yaitu:
 Martabat pertama, Kitab dan Sunnah dalam hal ini ia menempatkan as-Sunnah semartabat al-Kitab ketika mengistimbath tentang hukum khususnya hukum furu`, sebab as-Sunnah adalah penjelasan dari al-Kitab. Ia berpendapat bahwa keduanya bersumber dari Allah dan dijadikan sebagai sumber syari`at islam.
Martabat kedua, ijma`. Menurutnya ijma` adalah hujjah, ia menempatkannya dibawah al-Kitab dan as-Sunnah dan diatas qiyas.
Martabat ketiga, pendapat sebagian sahabat.
Martabat keempat, pendapat-pandapat sahabat yang ditolak oleh sahabat-sahabat juga. Dalam pengertian Imam Syafi`i mengambil salah satunya yang dipandang dekat dengan qiyas.
Martabat kelima, qiyas.

5. Istihsan dan Maslahah Mursalah
Istihsan yaitu meninggalkan qiyas dengan memenuhi syarat dan berpegang pada dalil yang lebih kuat. Menurut Imam Syafi`i ijtihad yang menggunakan istihsan ialah batal dan berarti menciptakan hukumnya sendiri. Sedangkan mengenai bab Maslahat Mursalat Imam Syafi`i mempergunakannya dengan mengategorikannnya ke dalam bab qiyas.

6. Istishab
Istishab ialah menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain yaitu adat kebiasaan dan undang-undang sebelum islam. Imam syafi`i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Quran.[9]merupakan akhir dalil syar`i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.[10]

D.Simpulan/Penutup
            Wilayah pelawatan yang luas menjadikan pengalaman, ilmu dan hasil pemikiran Imam Syafi`i tidak hanya sekedar mengikuti Sang guru, sehingga beliaupun membangun jalan tengah antara ahlul hadits dan ahlul ra`yi. Beliau merupakan seorang Imam yang mempunyai toleransi tinggi, meskipun tidak sepenuhnya sefaham dengan Sang guru tetapi beliau tetap menghormatinya.














E.Daftar Pustaka
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok imam mazhab.
Dr. Muhammad bin A.W. al-`Aqil,  Manhaj `aqidah  imam asy-Syafi`i.
K.H.E. Abdurrahman,  Perbandingan Madzhab.
Abdurrahman Asy-Syarqawi,  Kehidupan, Pemikiran dan perjuangan 5 imam mazhabterkemuka.
Dr. Ahmad Arifi, Pergulatan pemikiran fiqih tradisi pola mazhab.
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fiqh.




[1] Lihat : tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat oleh an-Nawawi (1/44), bagian pertama.
2 LIhat buku-buku yang dijadikan referensi mengenai biografinya.
3 Lihat : Tawaalit Ta-siis (hal.52).
4 Adaabusy Syafi’i (hlm. 22-23).
5 Manaaqibusy Syafi’I oleh al-Baihaqi (II/71).
6 Adaabusy Syafi’I (hlm.21-22).
7 Manaaqibusy Syafi’I oleh al-Baihaqai (1/75).
8 Al-Bidaayah wan Nihayaah ( X/263).
9 Tawaalit Ta-siis (hlm.55).
10 Manaaqibusy Syafi’I oleh al-Baihaqi (I/96), Hilyatul Auliyaa’ (I/70), dan Tawaalit Ta-siis (hlm.54).
11Tawaalit Ta-siis (hlm.54).
12. Mu’jamul Udabaa’ (XVII/283).
13 Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/96), al-Hakim dalam kitab al- Mustadrak (I/92). Ia berkata: “ Hadits shahih sesuai criteria al-Bukhori dan Muslim. Saya tidak mendapatkan illat (cacat) padanya. “ Penilaian ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam al-IIm (no.141), dan sanadnya shahih. Lihat kitab al-Misykaab (I/96).
14 Dia adalah ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij al-Umawi al-Makki al-‘Allamah al-Hafidz Syaikh al-Haram Abu Khalid, wafat tahun 150 H. atau sesudahnya. Lihat kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ ( VI/325).
15 Lihat Bab “ Para Syaikh asy-Syafi’i “ pada halaman sebelumnya.
16 Dia adalah Imam ‘Atha bin Abi Rabah al-Qurasyi al-Makki. Ia tsiqah lagi faqih dan orang yang memiliki keutamaan, wafat tahun 114 H. Lihat kitab  at-Taqriib (4591).
17 Ibid. (II/291).
[5]Pokok-pokok pegangan imam mazhab karya TM. Hasbi Ash Shiddieqy
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8]Perbandingan mazhab, M.Ali Hasan h.214.
[9] Ibid. H 212.
[10]Ilmu ushul fiqh. Prof. Abdul Wahhab Khalaf  h. 128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar