DISUSUN OLEH:
HANIK ATUL ROSYIDAH (14360010)
KURNIA ALFIANA MAGHFIROH (14360011)
ASYHARI MARZUQI (14360012)
MELISSA USWATUN CHASANAH (14360013)
FARHAN AULIA MUHAMMAD (14360014)
IIS ISTIQOMAH (14360015)
HANIK ATUL ROSYIDAH (14360010)
KURNIA ALFIANA MAGHFIROH (14360011)
ASYHARI MARZUQI (14360012)
MELISSA USWATUN CHASANAH (14360013)
FARHAN AULIA MUHAMMAD (14360014)
IIS ISTIQOMAH (14360015)
A.Pendahuluan
Membelajariilmumadzhabadalahsalahsatukewajibanbagiseorangmuslim
dikarenakanbisamemilihpengikutdenganbaik .Diantara pembahasan-pembahasan ilmiyah yang
harus kita pelajari dengan seksama, dan bahas dengan tekun ialah pokok pokok
pegangan para imam madzhab dan manhaj (metode) istimbath yang digunakan para
mujtahid dalam mengungkapkan hukum syara'. Dengan mendalami manhaj istimbat
yang telah dilakukan para imam madzhab baik dalam kalangan ahlus sunnah maupun
dalam kalangan syi'ah, nyatalah bahwa semua mujtahid pada dasarnya menggali
hukum syara' dari sumber utama, yaitu kitabullah dan sunnah Rosul. Mereka hanya
berbeda pandangan dalam cara menggali dan dalam mempergunakan alat penggalian
serta dalam menentukan dasar- dasar yang boleh dan tidak boleh dipakai setelah
al Qur'an dan as Sunnah. Dengan kita mendalami analisa analisa terhadap sebab
sebab terjadi perbedaan pendapat diantara para imam, dapatlah kita mendekatkan
pokok pokok pegangan itu hingga dengan demikian terbentanglah jalan mendekatkan
satu madzhab dengan madzhab lain dan dapatlah kita menutup lubang-lubang yang
merenggangkan satu sama lain.
.
B.BiografiImam Mazhab
1.Riwayat
Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Ustman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin’Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Abu ‘Abdilla al-Qurasyi asy-Syafi’I al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putra pamannya.
1.Riwayat
Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Ustman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin’Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Abu ‘Abdilla al-Qurasyi asy-Syafi’I al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putra pamannya.
Al-Muthathalib adalah saudara Hasyim, ayah
dari ‘Abdul Muththalib. Kakek Rasulullah SAW dan kakek Imam asy-Syafi’I
berkumpul ( bertemu nasabnya) pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah SAW
yang ketiga.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata; “ Imam
Syafi’I rahimahulllah adalah Qurasyi ( berasal dari suku Quraisy ) dan
Muththalibi (keturunan Muththalib) berdasarkan ijma’ ahli riwayat dari semua
golongan, sementara ibunya berasal dari suku Azdiyah.”1
Para sejarawan sepakat bahwa Imam asy-Syafi’I
lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah
rahimahullah.2 Imam al-Hakim rahimahullah berkata; “ Saya tidak
menemukan adanya perselisihan pendapat bahwa Imam asy-Syafi’I rahimahullah
lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa Imam asy Syafi’i rahimahullah menggantikan Imam Abu
Hanifah rahimahullah dalam bidang yang digelutinya.”
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam
asy-Syafi’I rahimahullah lahir pada hari meninggalnya Imam Abu Hanifah.
Pendapat ini disinyalir tidak benar, tetapi pendapat ini bukan pendapat yang
sangat lemah karena Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim rahimahullah
dalam Manaaqibusy Syafi’i meriwayatkan
dengan sanad jayyid bahwa Imam
ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah berkata; “ Imam asy-Syafi’i rahimahullah
lahir pada hari [1]kematian
Abu Hanifah rahimahullah. “Namun, kata yaum
pada kalimat ini dapat diartikan lain[2]
karena secara umum, kata itu bisa diartikan masa
atau zaman. Menurut pendapat yang
shahih, Imam Abu Hanifah rahimahullah wafat pada tahun 150 H. Akan tetapi, ada
yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 151 H. Pendapat lainnya lagi
menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 153 H. Hanya saja, saya tidak
menemukan dalam buku-buku tarikh (sejarah)
yang menyebutkan bulannya secara pasti. Dengan demikian, para sejarawan tidak
ada yang berselisih-sebagaimana yang telah dikemukakan-bahwa Imam asy-Syafi’i
rahimahullah lahir pada tahun 150 H, namun tidak ada yang memastikan bulannya.
Inilah yang menjadikan penuturan Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman tersebut lebih
mungkin dapat dipahami jika dilihat tidak secara lahiriyahnya, melainkan dengan
cara ditakwil, yaitu kata yaum yang
dimaksutkan adalah masa atau zaman. Wallahu a’lam.3
Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang tempat kelahiran
Imam asy- Syafi’i rahimahullah. Yang paling populer adalah beliau dilahirkan di
kota Ghazzah. Pendapat lain mengatakan di kota ‘Asqalan, sedangkan pendapat
yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Disebutkan dalam riwayat
Ibnu Abi Hatim rahimahullah dari ‘Amr bin Sawad, ia berkata:” Imam asy-Syafi’i
rahimahullah berkata kepadaku :’ Aku dulahirkan di negeri ‘Asqalan. Ketika aku
berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Mekkah.’”4
Sementara
Imam al-Baihaqi menyebutkan dengan sanadnya, dari Muhammad bin ‘Abdillah bin
“Abdul Hakim, ia berkata: “Aku mendengar Imam Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata ;” Aku dilahirkan di negeri Ghazzah. Kemudian, aku dibawa oleh ibuku ke
‘Asqalan.’”5
Dalam riwayat lain, Ibnu Abi Abi Hatim
rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada putra saudaranya,
‘Abdullah bin Wahab rahimahullah, ia berkata: “Aku mendengar Muhammad bin Idris
asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ‘ Aku dilahirkan di Yaman. Karena ibuku
khwatir aku terlantar, ia pun berkata:” Temuilah keluargamu agar engkau menjadi
seperti mereka sebab aku khawatir nasabmu terkalahkan. Maka ibuku membawaku ke
Mekkah ketika aku berusia sepuluh tahun.’”6
Imam al-Baihaqi rahimahullah memadukan
riwayat-riwayat ini. Setelah menyebutkan riwayat putra saudaranya, ‘Abdullah
bin Wahab, ia berkata: “Begitulah yang terdapat dalam riwayat, yaitu bahwa Imam
asy-Syafi’i rahimahullah dilahirkan di Yaman. Akan tetapi, menurut pendapat
yang shahih, ia dilahirkan di kota Ghazzah.” Selanjutkan al-Baihaqi berkata:
“Ada kemungkinan yang ia maksudkan adalah tempat yang dihuni oleh sebagian
keturunan Yaman di kota Ghazzah.” Lebih lanjut, al-Baihaqi rahimahullah
berkata: “ Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di
kota Ghazzah kemudian ia dibawa ke ‘Asqalan lalu ke Mekkah. Wallahu a’lam.”7
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “
Tidak ada pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. ‘Asqalan
adalah kota yang sejak dahulu telah dikenal, sementara Ghazzah berdekatan
dengannya. Jadi, bila Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa ia dilahirkan di
‘Asqalan, berarti maksudnya adalah kotanya, sedangkan Ghazzah adalah
kampungnya.”
Imam asy-Syafi’i tumbuh di negeri Ghazzah
sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal. Oleh karena itu, berkumpullah
pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarga. Namun,
kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam menghadapi kehidupan setelah Allah
SWT memberinya taufik untuk menempuh jalan yang benar. Setelah sang ibu
membawanya ke tanah Hijaz, yakni kota Makkah, menurut riwayat terbanyak atau
tempat dekat Makkah, mulailah Imam asy-Syafi’i menghafal al-Qur’an sehingga ia
berhasil merampungkan hafalannya pada usia 7 tahun. Imam asy-Syafi’I begitu
tekun belajar sehingga ia dapat menghafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan
hafal kitab al- Muwaththa’ (karya
Imam Malik rahimahullah, pen) dalam usia 10 tahun. Pada saat ia
berusia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun), Imam asy-Syafi’i berfatwa
setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji
rahimahullah. Imam asy- syafi’i menaruh perhatian yang besar terhadap sya’ir
dan bahasa sehingga ia hafal sya’ir dari suku Hudzail. Bahkan, ia hidup bergaul
bersama mereka selama sepuluh atau dua puluh tahun menurut satu riwayat. Kepada
merekalah Imam asy-Syafi’i belajar bahasa arab dan balaghah. Imam asy-Syafi’i
belajar banyak hadits kepada para syaikh dan imam. Dia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dihadapan Imam Malik bin
Annas rahimahullah dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum terhadap bacaan
dan kemauannya. Imam asy-Syafi’i juga menimba dari Imam Malik ilmu para ulama
Hijaz setelah ia mengambil banyak ilmu dari syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji.
Selain itu, Imam asy-Syafi’i [3]juga
mengambil banyak riwayat dari banyak ulama, juga belajar al-Qur’an kepada
Ismail bin Quthanthin ( yang diriwayatkan,ed ) dari Syibl, dari Ibnu
Katsir al-Makki, dari Mujahid rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas, dari Ubay bin
Ka’ab, dari Rasulullah Saw.8
Setelah Imam asy-Syafi’i hafal al-Qur’anul
al- Karim di Makkah, belia pun senang akan sya’ir dan bahasa sehingga ia selalu
bolak-balik ke suku Hudzail untuk menghafal sya’ir-sya’ir mereka. Yang tampak
adalah bahwa ia telah hafal banyak dari sya’ir-sya’ir mereka sejak kecil, sebagaimana
diriwayatkan oleh aal-Abarrirahimahullah melalui jalur ar-Rabi’ bin Sulaiman
rahimahullah, ia berkata: “Aku mendengar Imam asy-Syafi’i berkata: ‘ Ketika aku
berada di sebuah tempat belajar aku mendengar seorang guru mengajarkan suatu
kalimat lalu aku menghafalnya.’ Katanya lagi: ‘Aku keluar dari Makkah sesudah
menginjak usia baligh. Setelah itu, aku menetap di tengah-tengah suku Hudzail
di pedusunan. Aku mempelajari bahasa dan mengambil ucapan-ucapan mereka.
Sungguh, mereka adalah kabilah Arab yang paling fasih bahasanya.”9
Imam al-Hakim rahimahullah meriwayatkan
melalui jalur Mush’ab az-Zubairi, ia berkata: “ Imam asy-Syafi’i membaca
sya’ir-sya’ir Hudzail dengan cara dihafal. Kemudian, ia berkata kepadaku: ‘
Jangan kamu ceritakan ini kepada siapapun.’ Dipermulaan malam, ia
mengulang-ulang pelajarannya bersama ayahku hingga subuh.” Pada awalnya, Imam
asy-Syafi’i belajar sya’ir, sejarah, dan peperangan bangsa Arab, juga sastra,
dan setelah itu baru belajar fiqih. Yang mendorongnya mendalami ilmu fiqih
adalah karena ketika Imam asy-Syafi’i pergi menaiki seekor binatang, iapun
membaca bait-bait sya’ir. Mendengar bacaan itu, berkata kepadanya sekretaris
orang tuanya, Mush’ab bin ‘Abdullah az-Zubairi: “Orang seperti kamu jika
menjadi penyair akan hilang perangainya sebagai manusia, kecuali engkau belajar
fiqih.” Dari kejadian tersebut tergugahlah hati Imam asy-Syafi’i rahimahullah
untuk mendalami fiqih. Sesudah itu, ia pun mendatangi Muslim bin Khalid
az-Zanji, seorang mufti Makkah, dan berguru kepadanya. Selanjutnya, Imam
asy-Syafi’i pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik rahimahullah.10
Sebelum pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik, Imam asy-Syafi’i
rahimahullah terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-muwathta’. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa ia hafal kitab tersebut dalam usia sepuluh tahun. Riwayat lain
menyebutkan ia hafal pada usia tiga belas tahun.11 Tentang
perjalannya untuk bertemu dengan Imam Malik, Imam asy-Syafi’i becerita sebagai
berikut: “ Aku keluar dari Makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku Hudzail
di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya. Mereka
adalah suku Arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama
mereka, aku pun kembali ke Makkah. Yang jelas, tinggalnya Imam asy- syafi’i di
Madinah tidak terus- menerus, melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah
untuk menengok ibunya. Dalam kepulangannya itu, ia menyempatkan diri untuk
mendengarkan sya’ir-sya’ir suku Hudzail dan belajar kepada ulama’ Makkah.
Sejumlah riwayat dan keterangan menyebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i pergi ke
Madinah dalam usia tiga belas tahun, yakni sekitar tahun 163 H. kemudian, ia
pulang pergi antara Madinah, Makkah, dan perkampungan Hudzail meskipun
kebanyakannya ia menetap di Madinah mendampingi Imam Malik bin Anashingga
beliau wafat pada tahun 179 H. setelah itu, barulah Imam asy-Syafi’i pulang ke
Makkah sesudah memperoleh banyak ilmu dari Imam Malik. Maka mulailah nama dan
keilmuannya terkenal, padahal umurnya pada saat itu baru 29 tahun. Pada fase
ini Imam asy-Syafi’i telah berguru kepada Sufyan bin ‘Uyainah, Muslim bin
Khalid az-Zanji, Ibrahim bin Abu Yahya, dan Malik bin Anas rahimahullah di
Madinah. Selain itu, ia pun belajar kepada ulama lainnya, sebagaimana dituturkan
oleh Mush’ab az-Zubairi: “Imam asy-Syafi’i telah mengambil hampir semua ilmu
yang dimiliki oleh Imam Malik bin Anas dan menghimpun ilmu para syaikh yang ada
di Madinah.”12
Sekembalinya dari Madinah ke Mekkah, Imam
asy-Syafi’i sibuk dengan ilmunya. Sementara itu, jiwanya sangat gandrung
terhadap ilmu sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin.
Begitulah sifat para ulama yang di anugerahi oleh Allah SWT kelezatan meraih
ilmu. Mereka tidak akan pernah merasa puas dengan ilmu yang di milikinya.
Rasulullah SAW pun telah menyatakan hal itu dalam haditsnya yang berarti :
“
Dua orang yang rakus yang tidak pernah merasa kenyang: pencari ilmu dan pencari
dunia.”13
Jiwa Imam asy-Syafi’i sangat haus akan ilmu
ulama Yaman, sementara yang tersisa dari para ulama Yaman yang merupakan pemuka
ulama adalah sahabat Ibnu Juraij,14 yaitu Hisyam bin Yusuf dan
Mutharrif bin Mazin.15 Ibnu Juraij sendiri memgambil ilmu dari Imam
‘Atha.16 Namun, karena tidak memiliki biyaya cukup, Imam asy-Syafi’i
tidak dapat pergi ke Yaman. Ia [4]sendiri
telah mendengar dari teman-teman dekatnya bahwa Yaman adalah gudang ilmu, baik
ilmu firasat maupun ilmu lainnya sehingga ia berminat untuk berangkat ke negeri
tersebut. Hal ini di ketahui oleh para sahabat dekatnya dan orang-orang yang
bergaul dengannya.
Diakhir hayatnya, Imam asy-Syafi’i sibuk
berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan
mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan
keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam asy-Syafi’i
tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak memerdulikan sakitnya, sampai
akhirnya beliau wafat pada akhir bulan rajab tahun 204 H –semoga Allah SWT
memberikan rahmat yang luas kepadanya.17 Al-Muzani rahimahullah berkata:” Tatkala aku
menjenguk Imam asy-Syafi’i pada sakit yang membawa kepada kematiannya, aku
bertanya kepadanya: ‘ Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?’ Imam asy-Syafi’I
menjawab: ‘Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku akan
meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan amal
jelekku. Demi Allah, aku tidak tau ruhku akan kembali: ke Surga yang dengannya
aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka.’ Kemudian, Imam
asy-Syafi’i mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang bercucuran,
seraya mengucapkan bait-bait sya’ir:
Wahai, Ilah, Rabb makhluk semesta
Kepada Engkau aku ajukan pengharapan
Sekalipun aku orang yang banyak melakukan
dosa
Wahai, Dzat pemilik karunia dan kemurahan
Tatkala kalbuku keras dan jalan-jalanku
sempit
Aku jadikan pengharapan dari-Mu sebagai
tangga
Dosa-dosaku menguasai diriku,
Tetapi ketika aku bandingkan dengan
pengampunan-Mu
Wahai, Rabbku,jauh lebih besar pengampunan-Mu
Engkau senantiasa pengampun segala dosa dan
kesalahan
Engkau tetap Pemurah dan Pemberi karunia dan
kemuliaan
Maka andai tidak karena kemurahan-Mu
Tidaklah bertahan si penyembah iblis
Betapa tidak?
Ia telah memperdaya kekasih-Mu Adam
Bila Engkau memaafkan aku ,
Berarti Engkau memgampuni si pelaku
kedzaliman
Yang penuh gelimang dosa dan kesalahan
Dan andai Engkau murka kepadaku,
Aku tidak akan putus harapan
Sekalipun diriku dimasukkan ke Jahannam
Karena dosa-dosa yang aku lakukan
Sungguh besar dosaku,
Baik yang sekarang maupun yang dahulu
Namun, ampunan-Mu lebih besar dan lebih
banyak
Wahai, dzat Pemberi maaf18
2.Karya
Mungkin banyak kitab yang telah dikarang oleh Imam Syafi`i ketika berada di Makkah, tetapi tidak risalah pertama yang dibuat oleh Imam Syafi`i atas permintaan Abdur Rahman ibn Mahdi, ini merupakan sebuah karya di bidang ushul fiqh yang kemudian terkenal dengan nama Ar-Risalah. Baru setelah perjalanannya yang kedua yakni ke Irak mulai tersohor banyak karangannya. Kitab-kitab yang disusun di Baghdad dinamakan al-Hujah, atau al-Mabsut.[5]Kitab ini sesudah Imam Syafi`i bermukim di Mesir diperbaiki, disempurnakan lalu dinamakan al-Umm.[6]Diantara kitab-kitabnya yang ditulis di Mesir ialah al-Amali dan al-Imlak. Namun sebernarnya kitab-kitab yang ditulis di Mesir tersebut bukanlah kitab yang baru, tetapi hasil penyempurnaan dari kitab-kitabnya yang disusun ketika di Baghdad berdasarkan kepada pengalaman- pengalaman baru. Ada juga muridnya, Al-Buwaithi, yang menikhtisarkan kitab-kitab dari Sang Imam dan dinamakan al-Muhktasar. Begitupun al-Muzani.
Mungkin banyak kitab yang telah dikarang oleh Imam Syafi`i ketika berada di Makkah, tetapi tidak risalah pertama yang dibuat oleh Imam Syafi`i atas permintaan Abdur Rahman ibn Mahdi, ini merupakan sebuah karya di bidang ushul fiqh yang kemudian terkenal dengan nama Ar-Risalah. Baru setelah perjalanannya yang kedua yakni ke Irak mulai tersohor banyak karangannya. Kitab-kitab yang disusun di Baghdad dinamakan al-Hujah, atau al-Mabsut.[5]Kitab ini sesudah Imam Syafi`i bermukim di Mesir diperbaiki, disempurnakan lalu dinamakan al-Umm.[6]Diantara kitab-kitabnya yang ditulis di Mesir ialah al-Amali dan al-Imlak. Namun sebernarnya kitab-kitab yang ditulis di Mesir tersebut bukanlah kitab yang baru, tetapi hasil penyempurnaan dari kitab-kitabnya yang disusun ketika di Baghdad berdasarkan kepada pengalaman- pengalaman baru. Ada juga muridnya, Al-Buwaithi, yang menikhtisarkan kitab-kitab dari Sang Imam dan dinamakan al-Muhktasar. Begitupun al-Muzani.
3.Murid
Karena pengembaraannya yang luas sehingga muncullah murid-murid dari berbagai wilayah terutama yang dulu pernah disinggahi oleh Imam Syafi`i dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmunya diantaranya dari Mekkah yaitu Abu Bakar al-Humaidi yang ikut dalam perjalanan Imam Syafi`i ke Mesir, Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad, Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul Walid, Musa ibn Abi Jarud. Adapun murid-muridnya di Baghdad ialah Abu Ali al-Hasan Az-Za`farani, Abu Ali al-Husin ibn Ali al-Karabisi, AbuTsaur al-Kalbi, Abu Abdur Rahman, Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya al-Asy`ari. Diantara yang mengembangkan mazhab sendiri yaitu Ahmad ibn Hanbal serta Ishak. Selain itu adajuga beberapa muridnya di Mesir yaitu: Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah, ia telah meriwayatkan kitab Imam Syafi`i yang tidak diriwayatkan oleh Ar-Rabi`, Abu Ya`kub Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, ia dijadikan pengganti oleh Imam Syafi`i karena penghargaannya, ia wafat dalam penjara karena tak mau mengakui bahwa Al-Qur`an itu makhluk, Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzani, yang menulis al-Mabsut dan al-Mukhtasar, Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam, Ar-Rabi` ibn Sulaiman ibn Daud al-Izzi, Ar-Rabi` ibn Abdul Jabbar ibn Kamil al-Muradi, yang merupakan periwayat kitab-kitab Imam Syafi`i.
Karena pengembaraannya yang luas sehingga muncullah murid-murid dari berbagai wilayah terutama yang dulu pernah disinggahi oleh Imam Syafi`i dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmunya diantaranya dari Mekkah yaitu Abu Bakar al-Humaidi yang ikut dalam perjalanan Imam Syafi`i ke Mesir, Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad, Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul Walid, Musa ibn Abi Jarud. Adapun murid-muridnya di Baghdad ialah Abu Ali al-Hasan Az-Za`farani, Abu Ali al-Husin ibn Ali al-Karabisi, AbuTsaur al-Kalbi, Abu Abdur Rahman, Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya al-Asy`ari. Diantara yang mengembangkan mazhab sendiri yaitu Ahmad ibn Hanbal serta Ishak. Selain itu adajuga beberapa muridnya di Mesir yaitu: Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah, ia telah meriwayatkan kitab Imam Syafi`i yang tidak diriwayatkan oleh Ar-Rabi`, Abu Ya`kub Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, ia dijadikan pengganti oleh Imam Syafi`i karena penghargaannya, ia wafat dalam penjara karena tak mau mengakui bahwa Al-Qur`an itu makhluk, Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzani, yang menulis al-Mabsut dan al-Mukhtasar, Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam, Ar-Rabi` ibn Sulaiman ibn Daud al-Izzi, Ar-Rabi` ibn Abdul Jabbar ibn Kamil al-Muradi, yang merupakan periwayat kitab-kitab Imam Syafi`i.
C.
CIRI KHAS ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI’I
1.
Komitmen Terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah dan Mendahulukan keduanya daripada
Akal
Mengambil lahiriyah al-Qur’an dan sunnah
merupakan dasar pertama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka menjadikan keduanya
ini sebagai dasar pertama mereka karena al-Qur’an dan as-sunnah adalah
satu-satunya sumber untuk mengambil/ mempelajari ‘aqidah islam. Seorang Muslim
tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang
telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah wajib diterima dan di tetapkan (
tidak ditolak ) oleh seorang Muslim. Demikian pula apa yang di nafikan (
ditolak) oleh keduanya,maka wajib bagi seorang Muslim untuk menafikan dan
menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan, melainkan dengan cara berpegang
teguh kepada al-Qur’an dan as-sunnnah.
2.
Mengakui Hadist Ahad
a.)Pandangan
Imam asy-Syafi’i tentang Hadist Ahad
Para
ulama hadist dan ushul fiqih membagi hadits Rasulullah Saw menjadi dua bagian: mutawatir dan ahad.
1.
Hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika, mereka tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta. Hadits ini diriwayatkan dari orang banyak
seperti mereka menyandarkan hadits ini kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh
indera.
2. Hadits
ahadialah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir atau
tidak memenuhi sebagian dari syarat-syaratnya.
Dari
segi diterima dan ditolaknya, hadits ahad
terbagi menjadi bebeapa bagian, diantaranya ada yang maqbul ( diterima) dan ada yang mardud
(ditolak) sesuai dengan keadaan perawinya baik berkenaan dengan keadilannya,
hafalannya dan hal-hal lain yang menjadi syarat diterimanya hadits.
b.) Syarat-syarat sah dan diterimanya hadits menurut
imam asy-Syafi’i
1.
Sanadnya muttashil (tersambung),
tidak putus
2.
Para Perawinya adil
3.
Selamat dari syudzudz. Yang dimaksud
dengan syudzudz adalah
riwayatnya bertentangan dengan
riwayat orang lain yang lebih tsiqah
darinya.
4.
selamat dari ‘illat atau cacat yang
membuatnya cela.
c.) Apa yang ditunjukkan oleh hadist
ahad
Terjadi ikhtilafantar ulama tentang apakah hadits ahad itu menunjukkan kepada ilmu ( suatu keyakinan) atau hanya
menunjukkan kepada zhann (dugaan)?
Ada tiga pendapat tentang masalah ini:
1. Hadits
ahad menunjukkan ilmu (yang yakin)
secara mutlak. Baik didukung oleh beberapa qarinah
(indikasi) maupun tidak.
2. Hadist
ahad menunjukkan dzann secara mutlak, baik ditopang oleh beberapa indikasi maupun
tidak. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul fiqih secara umum yang
diikuti oleh sebagian ahli hadits mutaakhhkirin
, seperti an-Nawawi rahimahullah.21
3. Hadits
ahad menunjukkan ilmu (yang yakin)
apabila ditunjang oleh beberapa syahid (penguat).
Pendapat ketiga ini adalah, pendapat sekelompok penganut
berbagai madzhab dan ahli ushul fiqih. Inilah pendapat yang didukung oleh Imam
al-Amidi.
d.)
Mengambil dan Mengamalkan hadits ahad
Para sahabat ra. Dan orang-orang sesudahnya
yang terdiri dari para Tabi’in dan generasi salaf ummat ini, baik yang
mengatakan bahwa hadits ahad itu
menunjukkan ilmu yang yakin maupun yang berpendapat hadits ahad menunjukkan dzann ,
berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih diantara mereka, kecuali kelompok
yang tidak masuk hitungan, seperti sebagian Mu’tazilah dan Rafidhah23.
Al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah
berkata dalam kaitan ini: “ Keharusan mengamalkan hadits ahad itu adalah pendapat seluruh Tabi’in dan fuqaha sesudahnya diseluruh negeri hingga kini. Tidak ada
keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang dari mereka
yang menentang atau menyalahinya.”
e.)
Hukum Menolak Hadits Ahad
Imam Syafi’i berkata: “ Menurut hemat
saya, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad lalu ia menghalalkan dan
mengharamkan sesuai dengan akalnya.
3.Masa
Studi dan Pelawatannya
Meskipun Imam Syafi`i merupakan murid dari Imam Malik namun beliau tidak serta merta menerima sepenuhnya menjadi pengikutnya, ia melepaskan diri dari Imam Malik dan mendirikan mazhabnya sendiri setelh meninggalkan Baghdad. Sebelum itu ia terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Malik dan mempertahankan Mazhab Madinah hingga ia dinamai Nashirus Sunnah[7]. Setelah bermukim di Irak dan mempelajari fiqh disana ia merasa perlunya fiqh baru yang menggabungkan antara fiqh Irak dan Madinah. Iapun menemukan kelemahan-kelemahan dari mazhab malik dan juga dari mazhab Irak. Sehingga lahirlah qoul qadimnya yang dibentuk ketika di Irak. Pada saat melawat ke Mesir ia banyak menemukan kebudayaan baru dan iapun memperbaiki risalah-risalahnya dan terbentuklah qoul jadid dan melepaskan qoul qadim. Sebagai contoh tentang perihal berurutan (muwaalah) dalam wudhu, qoul qadim mewajibkan hal tersebutdengan alasan huruf wawu yang gerdapat dalam surat al-Maidah ayat 6 menunjukkan arti berurutan, sedangkan dalam qoul jadiddihukumi sunnat dengan dasar Rasulullah SAW. Pernah berwudhu dan menunda dalam membasuh kaki beliau SAW.[8]
Meskipun Imam Syafi`i merupakan murid dari Imam Malik namun beliau tidak serta merta menerima sepenuhnya menjadi pengikutnya, ia melepaskan diri dari Imam Malik dan mendirikan mazhabnya sendiri setelh meninggalkan Baghdad. Sebelum itu ia terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Malik dan mempertahankan Mazhab Madinah hingga ia dinamai Nashirus Sunnah[7]. Setelah bermukim di Irak dan mempelajari fiqh disana ia merasa perlunya fiqh baru yang menggabungkan antara fiqh Irak dan Madinah. Iapun menemukan kelemahan-kelemahan dari mazhab malik dan juga dari mazhab Irak. Sehingga lahirlah qoul qadimnya yang dibentuk ketika di Irak. Pada saat melawat ke Mesir ia banyak menemukan kebudayaan baru dan iapun memperbaiki risalah-risalahnya dan terbentuklah qoul jadid dan melepaskan qoul qadim. Sebagai contoh tentang perihal berurutan (muwaalah) dalam wudhu, qoul qadim mewajibkan hal tersebutdengan alasan huruf wawu yang gerdapat dalam surat al-Maidah ayat 6 menunjukkan arti berurutan, sedangkan dalam qoul jadiddihukumi sunnat dengan dasar Rasulullah SAW. Pernah berwudhu dan menunda dalam membasuh kaki beliau SAW.[8]
4.Dalil-dalil
hukum
Diantara dalil-dalil hukumnya Imam Syafi`i membagi menjadi 5 martabat yaitu:
Martabat pertama, Kitab dan Sunnah dalam hal ini ia menempatkan as-Sunnah semartabat al-Kitab ketika mengistimbath tentang hukum khususnya hukum furu`, sebab as-Sunnah adalah penjelasan dari al-Kitab. Ia berpendapat bahwa keduanya bersumber dari Allah dan dijadikan sebagai sumber syari`at islam.
Martabat kedua, ijma`. Menurutnya ijma` adalah hujjah, ia menempatkannya dibawah al-Kitab dan as-Sunnah dan diatas qiyas.
Martabat ketiga, pendapat sebagian sahabat.
Martabat keempat, pendapat-pandapat sahabat yang ditolak oleh sahabat-sahabat juga. Dalam pengertian Imam Syafi`i mengambil salah satunya yang dipandang dekat dengan qiyas.
Martabat kelima, qiyas.
Diantara dalil-dalil hukumnya Imam Syafi`i membagi menjadi 5 martabat yaitu:
Martabat pertama, Kitab dan Sunnah dalam hal ini ia menempatkan as-Sunnah semartabat al-Kitab ketika mengistimbath tentang hukum khususnya hukum furu`, sebab as-Sunnah adalah penjelasan dari al-Kitab. Ia berpendapat bahwa keduanya bersumber dari Allah dan dijadikan sebagai sumber syari`at islam.
Martabat kedua, ijma`. Menurutnya ijma` adalah hujjah, ia menempatkannya dibawah al-Kitab dan as-Sunnah dan diatas qiyas.
Martabat ketiga, pendapat sebagian sahabat.
Martabat keempat, pendapat-pandapat sahabat yang ditolak oleh sahabat-sahabat juga. Dalam pengertian Imam Syafi`i mengambil salah satunya yang dipandang dekat dengan qiyas.
Martabat kelima, qiyas.
5.
Istihsan dan Maslahah Mursalah
Istihsan yaitu meninggalkan qiyas dengan memenuhi syarat dan berpegang pada dalil yang lebih kuat. Menurut Imam Syafi`i ijtihad yang menggunakan istihsan ialah batal dan berarti menciptakan hukumnya sendiri. Sedangkan mengenai bab Maslahat Mursalat Imam Syafi`i mempergunakannya dengan mengategorikannnya ke dalam bab qiyas.
Istihsan yaitu meninggalkan qiyas dengan memenuhi syarat dan berpegang pada dalil yang lebih kuat. Menurut Imam Syafi`i ijtihad yang menggunakan istihsan ialah batal dan berarti menciptakan hukumnya sendiri. Sedangkan mengenai bab Maslahat Mursalat Imam Syafi`i mempergunakannya dengan mengategorikannnya ke dalam bab qiyas.
6. Istishab
Istishab ialah menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain yaitu adat kebiasaan dan undang-undang sebelum islam. Imam syafi`i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Quran.[9]merupakan akhir dalil syar`i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.[10]
Istishab ialah menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain yaitu adat kebiasaan dan undang-undang sebelum islam. Imam syafi`i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Quran.[9]merupakan akhir dalil syar`i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.[10]
D.Simpulan/Penutup
Wilayah pelawatan yang luas menjadikan pengalaman, ilmu dan hasil pemikiran Imam Syafi`i tidak hanya sekedar mengikuti Sang guru, sehingga beliaupun membangun jalan tengah antara ahlul hadits dan ahlul ra`yi. Beliau merupakan seorang Imam yang mempunyai toleransi tinggi, meskipun tidak sepenuhnya sefaham dengan Sang guru tetapi beliau tetap menghormatinya.
Wilayah pelawatan yang luas menjadikan pengalaman, ilmu dan hasil pemikiran Imam Syafi`i tidak hanya sekedar mengikuti Sang guru, sehingga beliaupun membangun jalan tengah antara ahlul hadits dan ahlul ra`yi. Beliau merupakan seorang Imam yang mempunyai toleransi tinggi, meskipun tidak sepenuhnya sefaham dengan Sang guru tetapi beliau tetap menghormatinya.
E.Daftar Pustaka
TM.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok imam mazhab.
Dr. Muhammad bin A.W. al-`Aqil, Manhaj `aqidah imam asy-Syafi`i.
K.H.E. Abdurrahman, Perbandingan Madzhab.
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran dan perjuangan 5 imam mazhabterkemuka.
Dr. Ahmad Arifi, Pergulatan pemikiran fiqih tradisi pola mazhab.
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fiqh.
Dr. Muhammad bin A.W. al-`Aqil, Manhaj `aqidah imam asy-Syafi`i.
K.H.E. Abdurrahman, Perbandingan Madzhab.
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Kehidupan, Pemikiran dan perjuangan 5 imam mazhabterkemuka.
Dr. Ahmad Arifi, Pergulatan pemikiran fiqih tradisi pola mazhab.
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul fiqh.
[1] Lihat : tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat oleh
an-Nawawi (1/44), bagian pertama.
3 Lihat : Tawaalit Ta-siis (hal.52).
4 Adaabusy
Syafi’i (hlm. 22-23).
5 Manaaqibusy
Syafi’I oleh al-Baihaqi (II/71).
6 Adaabusy
Syafi’I (hlm.21-22).
8 Al-Bidaayah
wan Nihayaah ( X/263).
9 Tawaalit
Ta-siis (hlm.55).
10 Manaaqibusy
Syafi’I oleh al-Baihaqi (I/96), Hilyatul
Auliyaa’ (I/70), dan Tawaalit Ta-siis
(hlm.54).
12. Mu’jamul
Udabaa’ (XVII/283).
13 Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Darimi
(I/96), al-Hakim dalam kitab al-
Mustadrak (I/92). Ia berkata: “ Hadits shahih
sesuai criteria al-Bukhori dan Muslim. Saya tidak mendapatkan illat (cacat) padanya. “ Penilaian ini
disepakati oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam al-IIm (no.141), dan sanadnya shahih. Lihat kitab al-Misykaab (I/96).
14 Dia adalah ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz
bin Juraij al-Umawi al-Makki al-‘Allamah al-Hafidz Syaikh al-Haram Abu Khalid,
wafat tahun 150 H. atau sesudahnya. Lihat kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ ( VI/325).
15 Lihat Bab “ Para Syaikh asy-Syafi’i “
pada halaman sebelumnya.
16 Dia adalah Imam ‘Atha bin Abi Rabah
al-Qurasyi al-Makki. Ia tsiqah lagi faqih dan orang yang memiliki keutamaan,
wafat tahun 114 H. Lihat kitab at-Taqriib (4591).
17 Ibid.
(II/291).
[5]Pokok-pokok
pegangan imam mazhab karya TM. Hasbi Ash Shiddieqy
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8]Perbandingan
mazhab, M.Ali Hasan h.214.
[9] Ibid. H
212.
[10]Ilmu
ushul fiqh. Prof. Abdul Wahhab Khalaf
h. 128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar