Kamis, 19 Maret 2015

KEDUDUKAN PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT


A.    Pembahasan
Pandangan Para Ulama Mengenai Orang yang Paling Patut menjadi Imam Shalat
            Madzab Hanafi berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih berilmu dalam hokum agama kemudian orang yang lebih baik bacaan Al-Qur’anya, orang yang lebih wara’, kemudian orang yang lebih dulu masuk islam, orang yang lebih tua usianya, orang yang lebih baik akhlaknya, orang yang lebih bagus wajahnya, orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih bersih pakaianya. Dan apabila semua sama dalam sifat-sifat yang disebutkan diatas, maka hendaklah diundi diantara mereka.
            Madzab Maliki berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah sultan atau wakilnya, imam masjid, tuan rumah, orang yang lebih tahu hokum shalat, orang yang lebih mengetahui hokum hadits, orang yang paling adil, orang yang lebih baik bacaanya, orang yang lebih taat beribadah, orang yang telah lebih dulu masuk islam, orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih baik akhlaknya, orang yang lebih baik pakaianya. Dan jika mereka semua sama dalam sifat yang disebutkan diatas, maka harus diundi.
            Madzab Hambali berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih mengerti hokum agama dan lebih baik bacaanya, kemudian orang yang lebih baik bacaanya saja, orang yang lebih tahu hukum shalat, kemudian orang yang lebih baik bacaanya tetapi tidak tahu hukum shalat, orang yang lebih dulu hijrah, orang yang lebih aqwa, orang yang lebih wara’. Dan jika semua sifat yang disebutkan sama, maka harus diundi.
Madzab Syafi’I berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah penguasa, imam masjid, orang yang paling faqih, orang yang paling bagus bacaanya, orang yang paling wara’, orang yang lebih dulu hijrah, orang yang lebih dulu memeluk agama islam, orang yang lebih baik nasabnya, orang yang lebih bersih pakaianya, orang yang lebih bersih badanya, orang yang lebih bagus suaranya, kemudian orang yang lebih bagus siknya yaitu wajah.[1]

            Imamiah berpendapat bahwasanya jika masing-masing orang ingin menjadi imam karena menginginkan pahala imamah bukan dengan tujuan keduniaan, maka orang yang dipilih makmum itulah yang berhak menjadi imam, karena kelebihan pengetahuan agamanya. Jika mereka berselisih maka yang lebih utama adalah mendahulukan faqih, kemudian orang yang lebih baik bacaanya, kemudian orang yang lebih tua usianya, kemudian orang yang lebih baik kedudukanya menurut syara’.[2]
            Dari beberapa pendapat ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa mereka lebih banyak mendahulukan aspek-aspek pengetahuan dan bacaan yang terbaik. Disamping itu dapat disimpulkan dari ketentuan tersebut bahwasanya imam shalat  haruslah orang yang terbaik diantara jamaahnya, yaitu terbaik keagamaanya, keilmuanya, fisik atau kesehatan, dan terbaik pergaulan sosialnya.

Pandangan Para Ulama Mengenai  Keabsahan Perempuan Menjadi Imam Shalat
            Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan perempuan menjadi imam shalat. Hal ini dikarenakan dalil-dalil yang menjadi pijakan masing-masing pihak berbeda, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda.
A.    Imam Syafi’I dalam kitabnya Al-Umm secara tegas menegasikan perempuan  menjadi imam shalat atas laki-laki. Larangan perempuan menjadi imam ini bukan hanya kepada laki-laki dewasa saja tetapi anak kecil yang laki-laki dan khunsa tidak sah mengikuti perempuan sebagai imam shalat. Larangan perempuan mengimami laki-laki menurut Imam Syafi’i berlaku selama-lamanya dan perempuan hanya boleh mengimami sesama perempuan saja, baik dalam shalat fardu maupun shalat sunnah.

B.     Imam Taqiyuddin Abu Bakar mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Syafi’I dalam kitabnya Kifayah Al-Akhyar menjelaskan alasan larangan perempuan menjadi imam atas laki-laki yaitu dengan mengambil dalil dari Al-Qur’an dan hadits nabi. Dalam kitab Al-Muhazzab ( salah satu kitab standar dalam madzab Syafi’i ) karya Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syirazi dijelaskan juga larangan laki-laki menjadi makmum perempuan. Jika seorang laki-laki tidak tahu maka ia wajib mengulangi shalatnya ketika ia telah mengetahui bahwa imamnya tersebut adalah seorang perempuan. [3]


C.     Adapun menurut madzab Maliki, shalat perempuan yang dikerjakan di rumah lebih afdal daripada di masjid dan berjama’ah, perempuan itu di sunnahkan shalat secara berjama’ah dengan syarat imamnya adalah laki-laki.[4] Berbeda dengan madzab Syafi’I dan Hambali, madzab Maliki memutlakan larangan perempuan menjadi imam baik bagi laki-laki maupun perempuan. Jika ada laki-laki yang shalat di belakang perempuan maka shalatnya tersebut batal, sedangkan shalat imam perempuan tersebut tetap sah.[5]

D.    Senada dengan madzab maliki, madzab Hanafi juga memutlakan larangan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki, sedangkan perempuan yang mengimami perempuan madzab Hanafi mengatakan makruh tahrim tanpa diimami oleh laki-laki meskipun dalam shalat sunnah tarawih, kecuali dalam shalat jenazah.

Di samping itu perempuan dimakruhkan menghadiri jama’ah terutama malam hari sedangkan pada siang hari boleh dengan syarat aman dari fitnah. Madzab Hanafi juga memakruhkan jama’ah perempuan yang diimami oleh laki-laki apabila shalat jama’ah tersebut dikerjakan di rumah tanpa ada laki-laki yang lain dan tanpa muhrimnya, seperti saudara atau suaminya.[6] Larangan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki juga dikemukakan oleh madzab Syi’ah Imamiah dan Syi’ah Hadawiyah.
Dalam banyak persoalan yang menyangkut masalah laki-laki dan perempuan  dalam bidang ibadah maupun sosial, dimana berlangsung pertemuan antara laki-laki dengan perempuan, baik secara bersama-sama, berhadap-hadapan maupun aktivitas perempuan yang mengundang perhatian laki-laki, para ulama ahli fiqh selalu mengkaitkanya dengan alasan khauf al-fitnah yakni menjaga jangan smapai terjadi fitnah, yakni suasana yang mengganggu atau menggoda pikiran laki-laki. Dengan alasan ini pula dalam banyak masalah seperti, urutan saf dalam shalat berjama’ah, posisi perempuan  dan laki-laki haruslah terpisah dan perempuan harus di belakang kaum laki-laki, perempuan tidak diwajibkan shalat jum’at, perempuan dilarang menyampaikan khutbah dan mengumandangkan adzan . Bahkan perempuan yang keluar untuk shalat berjama’ah di masjid dianggap kurang baik. Disamping itu perempuan juga tidak boleh menjadi imam shalat atas laki-laki seperti yang telah dijelaskan diatas. Jadi jelas bahwa salah satu alasan yang paling substansial dari larangan perempuan menjadi imam shalat adalah karena adanya factor kekhawatiran akan menimbulkan “fitnah”.

E.     Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Abu Saur, Ibnu Jarir, Al-Muzani, Ash-San’any dan Asy-Syaukani membolehkan perempuan menjadi imam shalat atas laki-laki. Hal ini didasarkan atas haidts Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ummu Waraqah tersebut [7]Ash-San’any penulis kitab Subul As-Salam menyimpulkan dari hadits Ummu waraqah bahwa mereka yang menjadi makmum Ummu waraqah ini adalah laki-laki dan perempuan. Karena secara eksplisit ( menurut lahiriyahnya ) hadits ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam shalat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya dan perempuan hamba sahaya.[8] Pernyataan ini memberikan batasan keabsahan perempuan menjadi imam shalat hanya bagi laki-laki yang sudah tua atau laki-laki muda tapi yang berstatus hamba sahaya.





F.      Hukum Perempuan menjadi Imam Shalat menurut Syekh Nawawi al-Bantani

Dalam Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, Syekh Nawawi menjelaskan bahwasanya syarat-syarat mendirikan shalat jama’ah adalah :
1.      Makmum wajib berniat mendirikan shalat berjama’ah dengan mengikuti imam.
2.      Orang yang pandai membaca (qari) tidak mengikuti imam yang ummi.
3.      Perempuan dan khunsa[9] tidak boleh menjadi imam atas laki-laki. Laki-laki tidak boleh bermakmum pada perempuan dan khunsa karena hal tersebut termasuk empat yang batil (tidak boleh).[10]
Selanjutnya dalam kitab Kasyifatu as-Saja, Syekh Nawawi membagi imamah dalam shalat menjadi dua, yaitu imamah yang sahih dan imamah yang batil. Menurut beliau imamah dalam shalat ada 9 bentuk, lima diantaranya adalah imamah yang sah menurut syara’ dan empat lagi adalah imamah yang dilarang menurut syara’.
Bentuk atau model imamah yang dibolehkan oleh syara’, yaitu[11] :
1.      Imamah laki-laki dengan laki-laki, artinya laki-laki boleh menjadi imam atas laki-laki.
2.      Imamah perempuan dengan laki-laki, artinya laki-laki boleh menjadi imam shalat bagi perempuan.
3.      Imamah khunsa dengan laki-laki, artinya laki-laki boleh menjadi imam shalat bagi khunsa
4.      Imamah perempuan dengan khunsa, artinya khunsa boleh menjadi imam shalat bagi perempuan.
5.      Imamah perempuan dengan perempuan, artinya perempuan boleh menjadi imam shalat bagi perempuan.
Adapun empat imamah yang dilarang oleh Syekh Nawawi, yaitu :
1.      Imamah laki-laki dengan perempuan, artinya perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki
2.      Imamah laki-laki dengan khunsa, artinya khunsa tidak boleh menjadi imam shalat atas laki-laki. Kecuali khunsa itu telah jelas kelaki-lakianya, yaitu ia lebih dominan pada laki-laki, maka bermakmum padanya dihukumi makruh.
3.      Imamah khunsa dengan perempuan, artinya perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi khunsa . Tetapi apabila perempuan menjadi imam shalat atas khunsa yang lebih dominan ke perempuan, maka hukumnya makruh.
4.      Imamah khunsa dengan khunsa, artinya khunsa tidak boleh menjadi imam shalat atas sesama khunsa.
             
            Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ mengutip pendapat Abu Hamid Al-Isfgirayini, tokoh ulama fiqh aliran Iraqi dari madzab Syafi’I menyatakan bahwa seluruh ulama fiqh dari berbagai madzab kecuali Abu Saur (salah seorang mujtahid besar), sepakat berpendapat bahwa imam perempuan dalam shalat bagi jama’ah kaum laki-laki adalah tidak sah. Akan tetapi pernyataan tersebut dibantah oleh Qadi Abu Tayyib dan Al-Abdari , mereka menyatakan bahwa keabsahan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki bukan hanya dikemukakan oleh Abu Saur saja, akan teteapi Ibnu Jarir At-Tabari dan Imam Al-Muzani juga berpendapat sama[12]

              Jadi berdasarkan pembagian imamah tersebut, dapat dipahami bahwasanya Syekh Nawawi hanya membolehkan perempuan menjadi imam shalat atas sesame perempuan saja, dan perempuan tidak boleh menjadi imam shalat atas laki-laki maupun khunsa (yang lebih dominan pada laki-laki). Hal ini sejalan dengan pendapat Madzab Syafi’i.

G.    Hukum Perempuan menjadi Imam Shalat menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy
             
              Dalam bukunya Pedoman Shalat, Hasbi memaparkan berbagai pendapat yang ada tentang hukum perempuan menjadi imam shalat, kemudian ia mentarjih pendapat-pendapat tersebut setelah melakukan pengkajian terhadap dalil-dalil yang mereka pergunakan.
              Hasbi berpendapat bahwa perempuan-perempuan yang menghadiri jama’ah bersama laki-laki dan diimami oleh laki-laki adalah suatu kebajikan, karena sejarah dan riwayat membuktikan bahwasanya perempuan-perempuan di zaman Nabi Muhammad saw turut shalat bersama nabi saw, baik diwaktu siang maupun malam hari. Hal ini diketahui oleh nabi saw sendiri, dan mencegah para sahabat melarang istri-istri mereka pergi shalat berjama’ah di malam hari ke masjid.[13]
              Menurut Hasbi shalatnya para perempuan lebih baik dirumah ketika ditakuti timbul fitnah, kecuali andaikata secara mutlak para perempuan lebih baik shalat dirumah tentulah nabi saw tidak berdiam diri membiarkan perempuan menghadiri jama’ah di masjid. Maka dalam hal ini hendaklah para perempuan menjauhkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan gairah orang laki-laki kepadanya, baik mengenai pakaian maupun parfum yang digunakanya.
              Adapun perempuan yang menjadi imam atas laki-laki, Hasbi sependapat dengan al-Muzani, Abu Saur, Ibnu Jarir, as-Sana’ni, dan asy Syaukani bahwasanya perempuan boleh menjadi imam atas laki-laki.[14] Tetapi Hasbi tidak memutlakan bolehnya perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki dalam konteks keluarga.
Hasbi mengatakan dalam bukunya Pedoman Shalat :
“Dan haruslah dimaklumi, bahwa orang-orang perempuan boleh menjadi imam jama’ah bagi isi rumahnya, walaupun ada diantara mereka laki-laki, seperti budak laki-laki dan pelayan-pelayan.[15]
Selanjutnya Hasbi mengatakan :
“Kebolehan orang-orang perempuan menjadi imam jama’ah bagi ahli rumahnya, walaupun ada diantara yang mengikutinya laki-laki, berdasar pada hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, seperti yang tegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulugul Maram”.[16]
              Jadi berdasarkan paparan diatas menjadi jelas bahwasanya perempuan boleh menjadi imam shalat bagi ahli rumahnya, meskipun ada yang laki-laki, berdasarkan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ummu Waraqah tersebut. Kata-kata ahli rumahnya mencakup orang tua, saudara, anak, istri dan suami serta pembantu (jika ada). Jadi apabila perempuan tersebut yang paling patut untuk menjadi imam shalat dalam sebuah keluarga maka hal itu diperbolehkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy.

Fatwa MUI Perempuan menjadi Imam Mengenai Keabsahan Shalat

Ada suatu kejadian yang sangat menghebohkan pada tanggal 18 Maret 2005 di gereja Katedral di Amerika Serikat, seorang perempuan tokoh kebanggaan kaum liberal yang dikenal aktif memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality), yang juga Professor Studi Islam di Virginia Commonwealth University bernama Amina Wadud mengimami sebuah shalat jum’at yang dimakmumi tidak hanya dari kaum perempuan saja, tetapi kaum laki-laki pun ikut menjadi makmum. Tak cukup sampai disitu, tiga tahun kemudian, Amina Wadud kembali membuat kontroversi dengan kembali menjadi imam shalat jum’at bagi kaum perempuan dan laki-laki di Pusat Pendidikan Islam di Oxford, Inggris pada tahun 2008. Dan hebatnya lagi Amina Wadud memberikan khutbah singkat sebelum shalat jum’at tersebut.
Dalam menanggapi permasalahan tersebut, MUI (Majelis Ulama Indonesia) segera mengeluarkan fatwa dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor : 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 tentang Perempuan menjadi Imam Shalat.
Menurut MUI hal ini perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at islam tentang hukum perempuan menjadi imam shalat  agar dapat dijadikan pedoman bagi umat islam. MUI mendasarkan fatwanya pada kitabullah, sunnah Rasulullah, ijma’ ulama, dan kaidah-kaidah fiqh.

1.  Firman Allah SWT, antara lain:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)… (QS. al-Nisa [4]: 34).

2.  Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أُمَّ وَرَقَةَ أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا (رواه أبو داود والحاكم

Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya (HR. Abu Dawud dan al-Hakim).

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أُمَّ وَرَقَةَ أَنْ تَؤُمَّ نِسَاءَ أَهْلَ دَارِهَا (رواه الدارقطني

Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya (HR. Daraquthni)

     رواه ابن ماجة  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا (

Rasulullah bersabda: “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki” (HR. Ibnu Majah)

 التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه مسلم


Rasulullah bersabda: “(Cara makmum mengingatkan imam yang mengalami kekeliruan adalah dengan) membaca tasbih bagi makmum laki-laki dan bertepuk tangan bagi makmum perempuan” (HR. Muslim)

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

Rasulullah bersabda: “Saf(barisan dalam salat berjamaah) terbaik untuk lakil-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan)”

يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَة وَالْكَلْبُ ُ وَالْحِمَارُ (رواه مسلم

Rasulullah bersabda: “Salat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar” (HR. Muslim)

أَفْضَلُ صَلَاةِ الْمَرْأَةِ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا (رواه البخاري

Rasulullah bersabda: “(Melaksanakan) salat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya” (HR. al-Bukhari)

3.  Ijma’ shahabat bahwa di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. Para shahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh A’isyah dan Ummu Salamah r.a. (Tuhfah al-Ahwazi li-al-Mubarakfuri).

4.  Qa’idah fiqh:

الأصل فى العبادات التوقيف والإتباع

“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqifdan ittiba’(mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
 (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”

            Selain itu, MUI juga memerhatikan pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi). Dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah). “Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad saw, tidak diketahui adanya shalat jama’ah dimana imamnya perempuan dan makmumnya laki-laki,” kata MUI.
            Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. “Rasulullah bersabda : “Saf (barisan dalam shalat berjama’ah) terbaik untuk laki-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan)”.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah." 

Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.
















DAFTAR PUSTAKA
M. Ulil Absor, (2003), Hukum Wanita menjadi Imam Shalat, Sripsi, Jurusan Perbandingan Madzab, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Uniersitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Hasan Kamil Al-Maltawi, 1978, Fiqh Ibadah ala Madzab Al-Imam Malik, ( Mesir : Maktabah Misriyah)
Abdurrahman Al-Jaziri, 1991, Al-Fiqh Al-Islam ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, ( Beirut : Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah)

KH. Ahmad Azhar Basyir, 1994, Refleksi atas Persoalan Keislaman : Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, cet. 2 (Bandung : Mizan)
T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, 1993, Pedoman Shalat, ( Jakarta : Bulan Bintang)


Ibnu Rusyd, 1990, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, alih bahasa M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, cet.1, jilid 1 ( semarang : Asy-Syifa)
Hasby ash-Syiddiqy, 2001, Pedoman Shalat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra)
Www.Fiqihkontemporer.com








[1]  Wahbah Azzuhaili, Al-Fiqh, hlm. 184-185
[2]  Jawad Mughniyyah, Fiqh, hlm. 140.
[3]  Imam Abi Ishaq Ibrahim Asy-Syirazi, Al-Muhazzab, juz. 1 ( Semarang : Taha Putra, t.th, hlm. 97.
[4]  Hasan Kamil Al-Maltawi, Fiqh Ibadah ala Madzab Al-Imam Malik, ( Mesir : Maktabah Misriyah, 1978 ), hlm. 167
[5]  Ibid., hlm. 170. Lihat juga Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Al-Islam ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, ( Beirut : Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah, 1991 ), hlm. 372.
[6]  Wahbah Azzuhaili, Al-Fiqh., hlm. 176.
[7]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, alih bahasa M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, cet.1, jilid 1 ( semarang : Asy-Syifa, 1990 ), hlm. 305. lihat juga T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Shalat, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993 ), hlm. 446-447
[8]  Muhammad bin Ismail Ash-San’any, Subul As-salam, ( Beirut : Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah , t. th ), hlm. 76.
[9]  Khunsa adalah orang yang mempunyai kemaluan laki-laki dan perempuan. Khunsa yang dapat diketahui salah satu jenisnya yang lebih dominan disebut Khunsa Ghairu Musykil. Jika jenis laki-laki yang lebih dominan, maka khunsa tersebut dihukumkan laki-laki, dan begitu juga sebaliknya. Berbeda dengan khunsa musykil yang tidak dapat diketahui jenis kelaminya yang dominan. Lihat KH. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman : Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, cet. 2 (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 160. Lihat juga Syekh Nawawi, Kasyifatu., hlm. 89.
[10]  Syekh Nawawi al-Bantani, Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, (Semarang : Taha Putra, t.th.), hlm. 72-73.
[11]  Syekh Nawawi, Kasyifatu as-Saja (Semarang : Karya Putra, t.th), hlm. 89.
[12]  Syarafuddin An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, ( Jeddah : Maktabah Al-Irsyad, t.th ), hlm. 225.
[13]  Hasby ash-Syiddiqy, Pedoman Shalat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 443.
[14]  Ibid., hlm. 447.
[15]  Ibid. hlm. 445
[16]  Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar