A. Pembahasan
Pandangan Para Ulama
Mengenai Orang yang Paling Patut menjadi Imam Shalat
Madzab
Hanafi berpendapat bahwasanya orang yang
paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih berilmu dalam hokum
agama kemudian orang yang lebih baik bacaan Al-Qur’anya, orang yang lebih
wara’, kemudian orang yang lebih dulu masuk islam, orang yang lebih tua
usianya, orang yang lebih baik akhlaknya, orang yang lebih bagus wajahnya,
orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih bersih pakaianya. Dan apabila
semua sama dalam sifat-sifat yang disebutkan diatas, maka hendaklah diundi
diantara mereka.
Madzab
Maliki berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat
adalah sultan atau wakilnya, imam masjid, tuan rumah, orang yang lebih tahu
hokum shalat, orang yang lebih mengetahui hokum hadits, orang yang paling adil,
orang yang lebih baik bacaanya, orang yang lebih taat beribadah, orang yang
telah lebih dulu masuk islam, orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih
baik akhlaknya, orang yang lebih baik pakaianya. Dan jika mereka semua sama
dalam sifat yang disebutkan diatas, maka harus diundi.
Madzab Hambali berpendapat
bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih
mengerti hokum agama dan lebih baik bacaanya, kemudian orang yang lebih baik
bacaanya saja, orang yang lebih tahu hukum shalat, kemudian orang yang lebih
baik bacaanya tetapi tidak tahu hukum shalat, orang yang lebih dulu hijrah,
orang yang lebih aqwa, orang yang lebih wara’. Dan jika semua sifat yang
disebutkan sama, maka harus diundi.
Madzab
Syafi’I berpendapat bahwasanya orang yang paling
patut menjadi imam shalat adalah penguasa, imam masjid, orang yang paling
faqih, orang yang paling bagus bacaanya, orang yang paling wara’, orang yang
lebih dulu hijrah, orang yang lebih dulu memeluk agama islam, orang yang lebih
baik nasabnya, orang yang lebih bersih pakaianya, orang yang lebih bersih
badanya, orang yang lebih bagus suaranya, kemudian orang yang lebih bagus
siknya yaitu wajah.[1]
Imamiah berpendapat
bahwasanya jika masing-masing orang ingin menjadi imam karena menginginkan
pahala imamah bukan dengan tujuan keduniaan, maka orang yang dipilih makmum
itulah yang berhak menjadi imam, karena kelebihan pengetahuan agamanya. Jika
mereka berselisih maka yang lebih utama adalah mendahulukan faqih, kemudian
orang yang lebih baik bacaanya, kemudian orang yang lebih tua usianya, kemudian
orang yang lebih baik kedudukanya menurut syara’.[2]
Dari beberapa pendapat
ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa mereka lebih banyak mendahulukan
aspek-aspek pengetahuan dan bacaan yang terbaik. Disamping itu dapat
disimpulkan dari ketentuan tersebut bahwasanya imam shalat haruslah orang yang terbaik diantara
jamaahnya, yaitu terbaik keagamaanya, keilmuanya, fisik atau kesehatan, dan
terbaik pergaulan sosialnya.
Pandangan Para Ulama
Mengenai Keabsahan Perempuan Menjadi
Imam Shalat
Para ulama berbeda pendapat mengenai
keabsahan perempuan menjadi imam shalat. Hal ini dikarenakan dalil-dalil yang
menjadi pijakan masing-masing pihak berbeda, sehingga hasil ijtihadnya pun
berbeda.
A. Imam Syafi’I dalam kitabnya Al-Umm
secara tegas menegasikan perempuan menjadi imam shalat atas laki-laki. Larangan
perempuan menjadi imam ini bukan hanya kepada laki-laki dewasa saja tetapi anak
kecil yang laki-laki dan khunsa tidak sah mengikuti perempuan sebagai imam
shalat. Larangan perempuan mengimami laki-laki menurut Imam Syafi’i berlaku
selama-lamanya dan perempuan hanya boleh mengimami sesama perempuan saja, baik
dalam shalat fardu maupun shalat sunnah.
B. Imam Taqiyuddin Abu Bakar mempunyai
pendapat yang sama dengan Imam Syafi’I dalam kitabnya Kifayah Al-Akhyar menjelaskan
alasan larangan perempuan menjadi imam atas laki-laki yaitu dengan mengambil
dalil dari Al-Qur’an dan hadits nabi. Dalam kitab Al-Muhazzab ( salah satu
kitab standar dalam madzab Syafi’i ) karya Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syirazi
dijelaskan juga larangan laki-laki menjadi makmum perempuan. Jika seorang
laki-laki tidak tahu maka ia wajib mengulangi shalatnya ketika ia telah
mengetahui bahwa imamnya tersebut adalah seorang perempuan. [3]
C. Adapun menurut madzab Maliki, shalat
perempuan yang dikerjakan di rumah lebih afdal daripada di masjid dan
berjama’ah, perempuan itu di sunnahkan shalat secara berjama’ah dengan syarat
imamnya adalah laki-laki.[4]
Berbeda dengan madzab Syafi’I dan Hambali, madzab Maliki memutlakan larangan
perempuan menjadi imam baik bagi laki-laki maupun perempuan. Jika ada laki-laki
yang shalat di belakang perempuan maka shalatnya tersebut batal, sedangkan
shalat imam perempuan tersebut tetap sah.[5]
D. Senada dengan madzab maliki, madzab
Hanafi juga memutlakan larangan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki,
sedangkan perempuan yang mengimami perempuan madzab Hanafi mengatakan makruh tahrim tanpa diimami oleh
laki-laki meskipun dalam shalat sunnah tarawih, kecuali dalam shalat jenazah.
Di samping itu
perempuan dimakruhkan menghadiri jama’ah terutama malam hari sedangkan pada
siang hari boleh dengan syarat aman dari fitnah. Madzab Hanafi juga memakruhkan
jama’ah perempuan yang diimami oleh laki-laki apabila shalat jama’ah tersebut
dikerjakan di rumah tanpa ada laki-laki yang lain dan tanpa muhrimnya, seperti
saudara atau suaminya.[6] Larangan
perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki juga dikemukakan oleh madzab
Syi’ah Imamiah dan Syi’ah Hadawiyah.
Dalam banyak persoalan yang menyangkut
masalah laki-laki dan perempuan dalam
bidang ibadah maupun sosial, dimana berlangsung pertemuan antara laki-laki
dengan perempuan, baik secara bersama-sama, berhadap-hadapan maupun aktivitas
perempuan yang mengundang perhatian laki-laki, para ulama ahli fiqh selalu
mengkaitkanya dengan alasan khauf al-fitnah
yakni menjaga jangan smapai terjadi fitnah, yakni suasana yang mengganggu atau
menggoda pikiran laki-laki. Dengan alasan ini pula dalam banyak masalah
seperti, urutan saf dalam shalat berjama’ah, posisi perempuan dan laki-laki haruslah terpisah dan perempuan
harus di belakang kaum laki-laki, perempuan tidak diwajibkan shalat jum’at,
perempuan dilarang menyampaikan khutbah dan mengumandangkan adzan . Bahkan
perempuan yang keluar untuk shalat berjama’ah di masjid dianggap kurang baik.
Disamping itu perempuan juga tidak boleh menjadi imam shalat atas laki-laki
seperti yang telah dijelaskan diatas. Jadi jelas bahwa salah satu alasan yang
paling substansial dari larangan perempuan menjadi imam shalat adalah karena
adanya factor kekhawatiran akan menimbulkan “fitnah”.
E. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Abu
Saur, Ibnu Jarir, Al-Muzani, Ash-San’any dan Asy-Syaukani membolehkan perempuan
menjadi imam shalat atas laki-laki. Hal ini didasarkan atas haidts Nabi
Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ummu Waraqah tersebut [7]Ash-San’any
penulis kitab Subul As-Salam menyimpulkan dari hadits Ummu waraqah bahwa mereka
yang menjadi makmum Ummu waraqah ini adalah laki-laki dan perempuan. Karena
secara eksplisit ( menurut lahiriyahnya ) hadits ini memperlihatkan bahwa Ummu
Waraqah menjadi imam shalat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya dan
perempuan hamba sahaya.[8]
Pernyataan ini memberikan batasan keabsahan perempuan menjadi imam shalat hanya
bagi laki-laki yang sudah tua atau laki-laki muda tapi yang berstatus hamba
sahaya.
F.
Hukum
Perempuan menjadi Imam Shalat menurut Syekh Nawawi al-Bantani
Dalam
Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, Syekh Nawawi menjelaskan bahwasanya
syarat-syarat mendirikan shalat jama’ah adalah :
1. Makmum wajib berniat mendirikan shalat
berjama’ah dengan mengikuti imam.
2.
Orang
yang pandai membaca (qari) tidak mengikuti imam yang ummi.
3. Perempuan dan khunsa[9]
tidak boleh menjadi imam atas laki-laki. Laki-laki tidak boleh bermakmum pada
perempuan dan khunsa karena hal tersebut termasuk empat yang batil (tidak boleh).[10]
Selanjutnya
dalam kitab Kasyifatu as-Saja, Syekh Nawawi membagi imamah dalam shalat menjadi dua, yaitu imamah yang sahih dan imamah
yang batil. Menurut beliau imamah dalam shalat ada 9 bentuk, lima
diantaranya adalah imamah yang sah menurut syara’ dan empat lagi adalah imamah
yang dilarang menurut syara’.
Bentuk
atau model imamah yang dibolehkan oleh syara’, yaitu[11] :
1. Imamah laki-laki dengan laki-laki,
artinya laki-laki boleh menjadi imam atas laki-laki.
2.
Imamah
perempuan dengan laki-laki, artinya laki-laki boleh menjadi imam shalat bagi
perempuan.
3.
Imamah
khunsa dengan laki-laki, artinya laki-laki boleh menjadi imam shalat bagi
khunsa
4.
Imamah
perempuan dengan khunsa, artinya khunsa boleh menjadi imam shalat bagi
perempuan.
5.
Imamah
perempuan dengan perempuan, artinya perempuan boleh menjadi imam shalat bagi
perempuan.
Adapun empat imamah yang dilarang oleh
Syekh Nawawi, yaitu :
1.
Imamah
laki-laki dengan perempuan, artinya perempuan tidak boleh menjadi imam shalat
bagi laki-laki
2.
Imamah
laki-laki dengan khunsa, artinya khunsa tidak boleh menjadi imam shalat atas
laki-laki. Kecuali khunsa itu telah jelas kelaki-lakianya, yaitu ia lebih
dominan pada laki-laki, maka bermakmum padanya dihukumi makruh.
3.
Imamah
khunsa dengan perempuan, artinya perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi
khunsa . Tetapi apabila perempuan menjadi imam shalat atas khunsa yang lebih
dominan ke perempuan, maka hukumnya makruh.
4.
Imamah
khunsa dengan khunsa, artinya khunsa tidak boleh menjadi imam shalat atas
sesama khunsa.
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ mengutip pendapat Abu Hamid
Al-Isfgirayini, tokoh ulama fiqh aliran Iraqi dari madzab Syafi’I menyatakan
bahwa seluruh ulama fiqh dari berbagai madzab kecuali Abu Saur (salah seorang
mujtahid besar), sepakat berpendapat bahwa imam perempuan dalam shalat bagi
jama’ah kaum laki-laki adalah tidak sah. Akan tetapi pernyataan tersebut
dibantah oleh Qadi Abu Tayyib dan Al-Abdari , mereka menyatakan bahwa keabsahan
perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki bukan hanya dikemukakan oleh Abu
Saur saja, akan teteapi Ibnu Jarir At-Tabari dan Imam Al-Muzani juga berpendapat
sama[12]
Jadi berdasarkan pembagian imamah
tersebut, dapat dipahami bahwasanya Syekh Nawawi hanya membolehkan perempuan
menjadi imam shalat atas sesame perempuan saja, dan perempuan tidak boleh
menjadi imam shalat atas laki-laki maupun khunsa (yang lebih dominan pada
laki-laki). Hal ini sejalan dengan pendapat Madzab Syafi’i.
G.
Hukum
Perempuan menjadi Imam Shalat menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy
Dalam
bukunya Pedoman Shalat, Hasbi memaparkan berbagai pendapat yang ada tentang
hukum perempuan menjadi imam shalat, kemudian ia mentarjih pendapat-pendapat
tersebut setelah melakukan pengkajian terhadap dalil-dalil yang mereka
pergunakan.
Hasbi berpendapat bahwa
perempuan-perempuan yang menghadiri jama’ah bersama laki-laki dan diimami oleh
laki-laki adalah suatu kebajikan, karena sejarah dan riwayat membuktikan
bahwasanya perempuan-perempuan di zaman Nabi Muhammad saw turut shalat bersama
nabi saw, baik diwaktu siang maupun malam hari. Hal ini diketahui oleh nabi saw
sendiri, dan mencegah para sahabat melarang istri-istri mereka pergi shalat
berjama’ah di malam hari ke masjid.[13]
Menurut
Hasbi shalatnya para perempuan lebih baik dirumah ketika ditakuti timbul
fitnah, kecuali andaikata secara mutlak para perempuan lebih baik shalat
dirumah tentulah nabi saw tidak berdiam diri membiarkan perempuan menghadiri
jama’ah di masjid. Maka dalam hal ini hendaklah para perempuan menjauhkan
segala sesuatu yang dapat menimbulkan gairah orang laki-laki kepadanya, baik
mengenai pakaian maupun parfum yang digunakanya.
Adapun perempuan yang menjadi imam
atas laki-laki, Hasbi sependapat dengan al-Muzani, Abu Saur, Ibnu Jarir,
as-Sana’ni, dan asy Syaukani bahwasanya perempuan boleh menjadi imam atas
laki-laki.[14]
Tetapi Hasbi tidak memutlakan bolehnya perempuan menjadi imam shalat bagi
laki-laki dalam konteks keluarga.
Hasbi
mengatakan dalam bukunya Pedoman Shalat :
“Dan
haruslah dimaklumi, bahwa orang-orang perempuan boleh menjadi imam jama’ah bagi
isi rumahnya, walaupun ada diantara mereka laki-laki, seperti budak laki-laki
dan pelayan-pelayan.[15]
Selanjutnya
Hasbi mengatakan :
“Kebolehan
orang-orang perempuan menjadi imam jama’ah bagi ahli rumahnya, walaupun ada
diantara yang mengikutinya laki-laki, berdasar pada hadits Ummu Waraqah yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, seperti yang
tegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulugul Maram”.[16]
Jadi berdasarkan paparan diatas
menjadi jelas bahwasanya perempuan boleh menjadi imam shalat bagi ahli
rumahnya, meskipun ada yang laki-laki, berdasarkan hadits Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ummu Waraqah tersebut. Kata-kata ahli rumahnya
mencakup orang tua, saudara, anak, istri dan suami serta pembantu (jika ada).
Jadi apabila perempuan tersebut yang paling patut untuk menjadi imam shalat
dalam sebuah keluarga maka hal itu diperbolehkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy.
Fatwa MUI Perempuan
menjadi Imam Mengenai Keabsahan Shalat
Ada suatu kejadian yang sangat
menghebohkan pada tanggal 18 Maret 2005 di gereja Katedral di Amerika Serikat,
seorang perempuan tokoh kebanggaan kaum liberal yang dikenal aktif
memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality), yang juga Professor Studi Islam
di Virginia Commonwealth University bernama Amina Wadud mengimami sebuah shalat
jum’at yang dimakmumi tidak hanya dari kaum perempuan saja, tetapi kaum
laki-laki pun ikut menjadi makmum. Tak cukup sampai disitu, tiga tahun
kemudian, Amina Wadud kembali membuat kontroversi dengan kembali menjadi imam
shalat jum’at bagi kaum perempuan dan laki-laki di Pusat Pendidikan Islam di
Oxford, Inggris pada tahun 2008. Dan hebatnya lagi Amina Wadud memberikan
khutbah singkat sebelum shalat jum’at tersebut.
Dalam menanggapi permasalahan tersebut,
MUI (Majelis Ulama Indonesia) segera mengeluarkan fatwa dalam Musyawarah
Nasional (Munas) MUI VII, pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli
2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor : 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 tentang Perempuan
menjadi Imam Shalat.
Menurut MUI hal ini perlu dilakukan untuk memberikan
kepastian hukum dalam syari’at islam tentang hukum perempuan menjadi imam
shalat agar dapat dijadikan pedoman bagi
umat islam. MUI mendasarkan fatwanya pada kitabullah, sunnah Rasulullah, ijma’ ulama, dan kaidah-kaidah fiqh.
1. Firman Allah SWT, antara lain:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)… (QS. al-Nisa [4]: 34).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أُمَّ وَرَقَةَ أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ
دَارِهَا (رواه أبو داود والحاكم
Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya (HR. Abu Dawud dan al-Hakim).
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أُمَّ وَرَقَةَ أَنْ تَؤُمَّ نِسَاءَ
أَهْلَ دَارِهَا (رواه الدارقطني
Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya (HR. Daraquthni)
رواه ابن ماجة قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا (
Rasulullah bersabda: “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki” (HR. Ibnu Majah)
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ
لِلنِّسَاءِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه مسلم
Rasulullah bersabda: “(Cara makmum mengingatkan imam yang mengalami kekeliruan adalah dengan) membaca tasbih bagi makmum laki-laki dan bertepuk tangan bagi makmum perempuan” (HR. Muslim)
خَيْرُ صُفُوفِ
الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ
آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Rasulullah bersabda: “Saf(barisan dalam salat berjamaah) terbaik untuk lakil-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan)”
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ
الْمَرْأَة وَالْكَلْبُ ُ وَالْحِمَارُ (رواه مسلم
Rasulullah bersabda: “Salat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar” (HR. Muslim)
أَفْضَلُ صَلَاةِ
الْمَرْأَةِ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا (رواه البخاري
Rasulullah bersabda: “(Melaksanakan) salat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya” (HR. al-Bukhari)
3. Ijma’ shahabat bahwa di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. Para shahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh A’isyah dan Ummu Salamah r.a. (Tuhfah al-Ahwazi li-al-Mubarakfuri).
4. Qa’idah fiqh:
الأصل فى العبادات
التوقيف والإتباع
“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqifdan ittiba’(mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
Selain itu, MUI juga memerhatikan pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi). Dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah). “Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad saw, tidak diketahui adanya shalat jama’ah dimana imamnya perempuan dan makmumnya laki-laki,” kata MUI.
Oleh
sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. “Rasulullah
bersabda : “Saf (barisan dalam shalat berjama’ah) terbaik untuk laki-laki
adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir
(belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir
(belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan)”.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.
DAFTAR PUSTAKA
M.
Ulil Absor, (2003), Hukum Wanita menjadi Imam Shalat, Sripsi, Jurusan Perbandingan Madzab, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Uniersitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Hasan
Kamil Al-Maltawi, 1978, Fiqh Ibadah ala Madzab Al-Imam Malik, ( Mesir : Maktabah
Misriyah)
Abdurrahman Al-Jaziri, 1991, Al-Fiqh Al-Islam ala
Al-Mazahib Al-Arba’ah, ( Beirut : Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah)
KH.
Ahmad Azhar Basyir, 1994, Refleksi atas Persoalan Keislaman : Seputar Filsafat,
Hukum, Politik dan Ekonomi, cet. 2 (Bandung : Mizan)
T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, 1993, Pedoman Shalat, (
Jakarta : Bulan Bintang)
Ibnu
Rusyd, 1990, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, alih bahasa M. A.
Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, cet.1, jilid 1 ( semarang : Asy-Syifa)
Hasby
ash-Syiddiqy, 2001, Pedoman Shalat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra)
Www.Fiqihkontemporer.com
[1] Wahbah Azzuhaili, Al-Fiqh,
hlm. 184-185
[2] Jawad Mughniyyah, Fiqh, hlm.
140.
[3] Imam Abi Ishaq Ibrahim
Asy-Syirazi, Al-Muhazzab, juz. 1 ( Semarang : Taha Putra, t.th, hlm. 97.
[4] Hasan Kamil Al-Maltawi, Fiqh
Ibadah ala Madzab Al-Imam Malik, ( Mesir : Maktabah Misriyah, 1978 ), hlm. 167
[5] Ibid., hlm. 170. Lihat juga
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Al-Islam ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, ( Beirut :
Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah, 1991 ), hlm. 372.
[6] Wahbah Azzuhaili, Al-Fiqh.,
hlm. 176.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, alih bahasa M. A. Abdurrahman dan A. Haris
Abdullah, cet.1, jilid 1 ( semarang : Asy-Syifa, 1990 ), hlm. 305. lihat juga
T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Shalat, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993 ),
hlm. 446-447
[8] Muhammad bin Ismail
Ash-San’any, Subul As-salam, ( Beirut : Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah , t. th ),
hlm. 76.
[9] Khunsa adalah orang yang
mempunyai kemaluan laki-laki dan perempuan. Khunsa yang dapat diketahui salah
satu jenisnya yang lebih dominan disebut Khunsa
Ghairu Musykil. Jika jenis laki-laki yang lebih dominan, maka khunsa
tersebut dihukumkan laki-laki, dan begitu juga sebaliknya. Berbeda dengan khunsa musykil yang tidak dapat
diketahui jenis kelaminya yang dominan. Lihat KH. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi
atas Persoalan Keislaman : Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, cet. 2
(Bandung : Mizan, 1994), hlm. 160. Lihat juga Syekh Nawawi, Kasyifatu., hlm.
89.
[10] Syekh Nawawi al-Bantani, Tausyih
‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, (Semarang : Taha Putra, t.th.), hlm. 72-73.
[11] Syekh Nawawi, Kasyifatu
as-Saja (Semarang : Karya Putra, t.th), hlm. 89.
[12] Syarafuddin An-Nawawi,
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, ( Jeddah : Maktabah Al-Irsyad, t.th ), hlm. 225.
[13] Hasby ash-Syiddiqy, Pedoman
Shalat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 443.
[14] Ibid., hlm. 447.
[15] Ibid. hlm. 445
[16] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar