PENDAHULUAN
BAB
I
I. Latar
Belakang
Ketika
berbicara tentang pemerintahan Indonesia, terbesit dipikiran kita satu kata
yaitu “korupsi”. Jika ditanya, apa pendapatmu tentang Indonesia? jawabannya
adalah “negara kaya”, jika ditanya, apa pendapatmu tentang pemerintahnya?
Jawabannya pasti “korupsi”. Begitulah kondisi negara kita saat ini.
Korupsi
bisa dikatakan telah membudaya di Indonesia. bukan hanya pemerintahnya saja tetapi
mulai dari masyarakat bawah sampai dengan pejabat tinggi, mulai dari anak kecil
sampai kakek-kakek pun melakukan praktek korupsi. Maka jangan heran jika
penanggulangan bencana moral ini sangat susah dicegah. Diobati saja susah
apalagi dicegah.
Namun
diantara orang-orang yang banyak tersangkut kasus korupsi, banyak pula diantara
mereka yang sebenarnya tidak meniatkan diri mereka untuk melakukan korupsi
tersebut. Korupsi sekarang bukan hanya diniati untuk memperkaya diri sendiri
atau kelompok, tetapi juga telah menjadi bahan politik untuk menjatuhkan lawan
politiknya.
“Saya yang capek-capek membangun
negeri ini, saya juga yang kalian tuduh menghancurkan negeri ini?”
itulah salah satu kalimat yang keluar dari salah satu mantan bupati kabupaten
Siak yang sekarang telah menjadi tersangka korupsi kasus subsidi pupuk. Atau
pernahkah anda mendengar “seandainya saya
terbukti, saya berani gantung di monas!”. Ada apa dengan dibalik mereka
berani mengatakan seperti itu? Apakah hanya mencari sensasi? Apakah hanya
mencari perhatian? Sangat dangkal kiranya kita berpikiran seperti itu.
Dengan
bergitu, bagaimana status hukuman bagi mereka yang tersandung kasus korupsi di
Indonesia? dan bagaimana status hukuman bagi mereka juga yang tersandung kasus
korupsi namun sebenarnya mereka tidak meniatkannya? Serta bagaimana cara
mencegah korupsi agar tidak menjadi sebudah budaya dalam kehidupan kita?
II.
Rumusan Masalah
1. Apa
itu korupsi?
2. Bagaimana
korupsi di Indonesia?
3. Apa
hukuman bagi para koruptor yang sengaja
maupun yang tidak sengaja?
4. Bagaimana
status hukuman bagi koruptor yang tidak sengaja?
5. Apa
langkah-langkah pemberantasan korupsi
III.
Tujuan
1. Mengetahui
defenisi korupsi
2. Mengetahui
perkembangan korupsi di Indonesia.
3. Mengetahui
hukuman bagi koruptor.
4. Mengetahui
status hukuman koruptor yang tidak sengaja.
5. Mengetahui
langkah-langkah pemberantasan korupsi.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Korupsi
Korupsi atau rasuah
(bahasa
Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok)
adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai
negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak1.
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak
pidana korupsi adalah:
“Setiap
orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara2.”
Dalam ilmu
politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi,
ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain,
yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan
kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya3.
Hafidhuddin4.
mencoba memberikan gambaran korupsi dalam prespektif ajaran Islam. Ia
menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan
yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro
(dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan
kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri
dengan kaki kanan) atau diusir5..
Sehingga secara
keseluruhan, korupsi adalah perbuatan penyimpangan moral yang melanggar hukum
dan merusak tatanan kehidupan untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri
maupun kelompok sehingga membuat kerugian bagi masyarakat luas.
1 Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm/korupsi
2Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang dan Para Ahli _ Irham
Ma'ruf.htm
3ibid
4Pramono U.
Thantowi, Op Cit, hlm 256
5Dr. Mansyur
Semma, Negara dan Korupsi, hlm 33
2. Korupsi
dan Perkembangan Korupsi di Indonesia
Dari hasil
survei indeks persepsi korupsi atau yang didalam bahasa Inggris dikenal dengan
Corruption Perception Index (CPI) terbaru tahun 2013 mengatakan bahwa Indonesia
menduduki posisi peringkat 114 dari 177 negara. Posisi Indonesia ini meningkat
4 peringkat dari CPI tahun 2012. Tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat 118.
Namun, skor CPI Indonesia tidak berubah dari tahun lalu, yakni 326.
Walaupun
begitu, tingkat korupsi di Indonesia masih dapat dikategorikan tinggi
dibandingkan dengan negara lainnya. Khususnya negara-negara ASEAN. Indonesia
tentunya masih tertinggal jauh dengan Singapura yang saat ini berselesa di
tingkat 5 sedunia, sedangkan Malaysia diperingkat 54 dengan indeks 49, Thailand
peringkat 88 dengan indeks 37 dan Filipina diperingkat 108 dengan indeks 34.
Sedangkan masih ada negara yang dibawah Indonesia, yaitu Myanmar, Laos, dan
Vietnam.
6 nasional.news.viva.co.id/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-stagnan
Melihat
fenomena ini, menunjukkan tidak adanya peingkatan pemberantasan korupsi secara
signifikan. Artinya praktek korupsi meningkat pada setiap harinya di Indonesia,
walaupun KPK dengan gencarnya memeberantas korupsi, namun korupsi tidak pernah
padam. Bak pepatah mengatakan, “mati satu tumbuh seribu”. Satu ditangkap,
seribu orang kembali muncul.
Penyelewengan
korupsi ini muncul dari berbgai kalangan. Mulai dari kalangan bawah sampai
dengan kalangan pejabat daerah maupun pejabat negeri. Rata-rata rakyat selalu
menyalahkan para pejabatnya dalam hal korupsi ini. Padahal mereka tidak melihat
bahwa tanpa disadari mereka pun terkadang melakukan korupsi walaupun dalam hal
kecil.
Diagram
diatas menunjukkan indeks partai yang melakukan praktek korupsi yang dihitung
dari tahun 2002 sampai dengan 2014. Dari diagram tersebut, partai yang paling
tinggi melakukan praktek korupsi dalam jangka periode tersebut adalah PDIP.
Dengan tersangka koruptor sebanyak 119 orang dan indeks korupsinya 7,7. Disusul
oleh PAN, dengan tersangka koruptor 88 orang dan indeks korupsinya 5.5.
sedangkan diantara partai-partai tersebut, PKS lah partai yang pejabatnya
“masih” sedikit terjerat kasus korupsi.
Kami
percaya, bahwa setiap partai politik itu sama semua. Partai terkorup yang
dilihat dari survei diatas adalah hasil dari buah kekuasaan yang pernah
dirasakan partai tersebut. PDIP adalah partai yang sudah lama, dan sudah pernah
berkuasa. Survei ini diambil ketika PDIP sedang berkuasa, maka tak heran jika
banyak kader-kadernya yang terjerat kasus korupsi. Begitu pula dengan golkar,
yang dari dulu selalu mengawali perjalanan permerintahan di Indonesia, banyak
kader-kadernya yang terjerat kasus korupsi.
Bagaimana dengan demokrat? Walaupun
demokrat adalah partai yang pernah berkuasa selama dua dekade dibawah
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, namun partai ini masih dikategorikan
partai yang baru, karena baru terbentuk menjelang pemilu tahun 2004. Maka tak
heran indeks korupsinya lebih kecil dibandingkan dengan partai yang sudah lama
terbentuk dan sudah pernah berkuasa. Demokrat juga pernah berkuasa, dan alhasil
selama ia berkuasa, maka sudah banyak kader-kadernya yang terjerat korupsi. Itu
masih dua dekade, jika terus lanjut? Maka akan sama halnya dengan partai
lainnya.
Seperti
inilah potret birokrasi di negara kita, yang tidak pernah lepas oleh masalah
korupsi. Tentunya banyak faktor yang melatar belakangi mereka untuk melakukan
salah satu pelanggaran hukum tersebut. Namun perlu kita ketahui, samapai kapan
ini harus berlanjut?
3.
Hukuman Bagi
Para Koruptor
a. Hukuman
menurut Undang-Undang
Hukuman
tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sebagaimana yang tercantum didalamnya:
Pasal I
Beberapa
ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1.
Pasal 2 ayat (2) substansi tetap,
penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam
penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.
2.
Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan
tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi
langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
a.
memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b.
memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2)
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a.
memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau
b.
memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2)
Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah):
a.
pemborong, ahli bangunan yang pada
waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan
bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b.
setiap orang yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.
setiap orang yang pada waktu menyerahkan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara
dalam keadaan perang; atau
d.
setiap orang yang bertugas
mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2)
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
Pasal 10
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a.
menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b.
membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c.
membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
a.
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b.
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c.
hakim yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;
d.
seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili;
e.
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang;
g.
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h.
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang
di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i.
pegawai negeri atau penyelenggara
negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
3.
Di antara Pasal 12 dan Pasal 13
disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C,
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1)
Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12
tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
(2)
Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
yang nilainya Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.
yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
(2)
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(2)
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3)
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi
dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(1)
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Di antara Pasal 26 dan Pasal 27
disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti
yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.
alat bukti lain yang berupa
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.
dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
5.
Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua)
pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Pasal 37 dengan substansi yang
berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa
yang berbunyi "keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan
oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
b.
Pasal 37 A dengan substansi yang
berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan kata
"dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2)
pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing
berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan
Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal
terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau
perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
6.
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan
3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang
seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 38 A
Pembuktian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan
di sidang pengadilan.
Pasal 38 B
(1)
Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib
membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan,
tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2)
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta
benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim
berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk
negara.
(3)
Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4)
Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal
dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan
pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan
memori kasasi.
(5) Hakim
wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan
terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila
terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari
perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila
setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui
masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga
berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan
gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya7.
b. Hukuman
Koruptor menurut Islam
Agama
Islam tentunya sangat melarang praktek yang merugikan umat ini. Secara gamblang
Allah SWT melukiskan praktek ini dalam surah An-Nissa ayat 29 :
أنإلا بالباطل بينكملكم أمواتأكلوا لا آمنوا لذين
أيها يا
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu.”
Islam
menganologikan hukuman bagi korupsi ini dalam tiga bentuk. Yang pertama hukuman
dalam bentuk perampokan. yaitu korupsi dilakukan dengan kekuatan dan kekuasaan
dan yang telah dikorupsi telah mencapai satu nishab / batas minimal maka
dikenakan dengan hukum potong tangan secara bersilangan sebatas pergelangan
tangan. ( Nishabnya seberat emas 93,6 gram, tahun 2011 emas 1 gram seharga
Rp.400.000,00 maka nishabnya = Rp. 38.520.000,00). Apabila akibat perbuatan
tersebut menyebabkan korbannya meninggal dunia dia dapat dikenakan hukuman
mati, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maaidah ayat 33,
يُقَتَّلُواْ أَن فَسَادًا اْلأَرْضِ فِي وَيَسْعَوْنَ وَرَسُولَهُ اللهَ
بُونَ يُحَارِ الَّذِينَ جَزَاؤُا إِنَّمَا
خِزْيٌ لَهُمْ ذَالِكَ اْلأَرْضِ يُنفَوْا أَوْ خِلاَفٍ مِّنْ وَأَرْجُلُهُم أَيْدِيهِمْ أَوْتُقَطَّعَ يُصَلَّبُوا أَوْ
عَظِيْمٌ عَذَابٌ اْلأَخِرَةِ فِي وَلَهُمْ الدُّنْيَا فِي
“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan RosulNya dan membuat kerusakan di muka
bumi , bagi pembunuh hendaknya dibunuh, bagi perampok yang membunuh korbannya
hendaknya disalibkan , bagi perampok yang hanya merampas harta korbannya maka
hukum mannya dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan sebatas
pergelangannya “
Yang kedua dianalogikan
dengan pencurian. Maka hukumnya adalah potong tangan sebatas pergelangan
apabila telah mencapai satu nishab ( 93,6 gram emas).
Yang ketiga,
dianalogikan dengan hukuman orang munafik. Karena praktek korupsi itu salah
satu unsur didalamnya pasti ada kemunafikan. Pada diri koruptor secara sempurna
terdapat ciri-ciri di atas khusus masalah amanah . Pada zaman Rosulullah
seseorang yang menggelapkan rampasan perang tidak boleh disholati , lebih-lebih
seorang munafik dalam Al Qur-an surat Attaubah ayat 84, jelas-jelas haram
disholati, dido’akan, yaitu:
وَرَسُولِهِ بِاللهِ
كَفَرُوا إِنَّهُمْ قَبْرِهِ عَلَى وَلاَتَقُمْ أَبَدًا مَّاتَ مِّنْهُم أَحَدٍ عَلَى وَلاَتُصَلِّ
8
www.semuatentangislam.htm/ HUKUMAN BAGI
KORUPTOR MENURUT ISLAM
”
Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan jenasah seseorang mati di antara
mereka (munafik) dan janganlah berdo’ah dikubur-nya, sesungguhnya mereka telah
kafir kepada Allah dan RosulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik”.8
Secara
kesimpulan hukuman menurut Islam bagi orang yang koruptor adalah hukuman
qishos. Potong tangan, mati, dan jenazahnya tidak boleh di sholatkan.
4. Hukuman
Bagi Koruptor yang “tidak” Sengaja Korupsi
Korupsi
sekarang, bukan lagi perbuatan yang di niati, tetapi sudah menjadi alat untuk
menjatuhkan lawan politiknya. Sudah banyak diantara para pejabat kepala daerah
dan petinggi-petinggi lainnya terjerat kasus korupsi karena ketidak tahuan
mereka terhadap tindak pidana ini.
Dilihat
dari defenisi korupsi dalam Undang Undang No. 31 tahun 1999 yang mengatakan
bahwa “Setiap orang yang dikategorikan melawan
hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan
maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”
Dalam
konteks tersebut disebutkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum,
perbuatan yang memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang
lain maupun dalam bentuk individu atau kerja sama, menyalah gunakan kewenangan
pada jabatan dan kedudukan, dan tentunya merugikan keuangan negara. Jika
sesorang didakwa korupsi dengan salah satu motif yang telah disebutkan
tersebut, maka dia punya hak untuk dihukum.
Sebagaimana
yang kita ketahui, kita semua sama dihadapan hukum. Hukum tidak memandang yang
kaya dan yang miskin. Yang rakyat dan yang pejabat. Dan semua juga punya hak
untuk diperiksa jika didakwa korupsi.
Maka,
dalam kaitannya koruptor yang tidak sengaja korupsi bukan karena niatnya, maka
sama saja, dia berhak untuk dihukum atas ketidak tahuannya dalam hukum. Karena
dia telah melanggar salah satu atau bahkan beberapa motif korupsi tersebut yaitu,
melawan hukum, dan merugikan uang negara dan perekonomian negara. Dalam
penentuan status hukumannya, maksimal berapa tahun ia di penjara dan terkena
denda, maka itu dapat dipertimbangkan kembali. Dalam Undang-Undang sudah jelas
dijelaskan bagi para koruptor,
namun motifnya
berbeda-beda. Dengan motif yang berbeda dan juga kerugian yang didapat oleh
negara, maka hukuman yang akan diberikan pun juga berbeda.
Dalam
hal ini, sebaiknya lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi ini
kedepannya akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi koruptor yang
sebenar-benar koruptor dan koruptor yang tidak sengaja jadi koruptor. Sesuai
dengan salah satu isi pidato bapak presiden Susilo BambangYudhoyono :
"Pengalaman
empirik kita delapan tahun lebih ini, saya menganalisis ada dua jenis korupsi.
Pertama, memang korupsi diniati untuk melakukan korupsi. Ya sudah, good bye. Tapi ada juga kasus-kasus
korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat yang dilakukan itu keliru dan
terkategori korupsi. Maka negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak
punya niat melakukan korupsi tapi bisa salah di dalam mengemban tugas-tugasnya,"10
Bapak
presiden menyampaikan pidato ini dihadapan para menteri kabinet Indonesia
Bersatu II dan seluruh gubernur, yang intinya menyarankan kepada lembaga
pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi yaitu KPK untuk hati-hati dalam
mengambil keputusan terhadap terdakwa korupsi dan memberikan keringanan
kepadanya. Presiden menambahkan :
“"Tugas yang datang siang dan
malam, Kadang-kadang memerlukan kecepatan pengambilan keptusan, memelukan
kebijakan yang tepat (dari pejabat pemerintah, Red). Jangan biarkan mereka
(pejabat pemerintah, Red) dinyatakan bersalah dalam tindak pidana
korupsi,"11
Menurut
pendapat hemat kami, apa yang disampaikan oleh bapak presiden ada kalanya kita
mendukungnya. Suatu perbuatan itu berlandaskan kepada niat, niat bergantung
pada hati, niat yang baik atau niat yang buruk. Niat yang baik belum tentu
berjalan dengan baik. Adakalanya niat baik menjadi petaka kepada kita, namun
kita perlu ingat, niat yang baik tidak akan membuat kita sia-sia. Tetapi niat
yang buruk, akan buruk selamanya dan tidak ada kemashlahatan kepada kita, yang
ada hanyalah kemudharatan yang absolut.
10
www. INILAH.com.htm/SBY Negara Harus Bela Pejabat Terjebak Korupsi
11
ibid
5.
Langkah-langkah Pemberantasan
Korupsi
Langkah-langkah yang disarankan dalam
pemberantasan korupsi yaitu :
a.
Lakukan diagnosa
jenis korupsi dan luas sebarannya
1.) Adakan
lokakarya diagnosa partisipatoris bagi pegawai unit-unit yang rawan korupsi
2.) Lakukan
survei anonim yang sistematis mengenai pegawai dan konsumen
3.) Lakukan
penelitian khusus, termasuk penelitian mengenai sampai seberapa jauh unit-unit
dalam pemerintahan daerah mudah dijangkit korupsi.
b.
Susun sebuah
strategi dengan fokus pada sistem. Gunakan kerangka analisis kebijaksanaan
untuk menghsilkan pilihan-pilihan langkah untuk dipertimbangkan, dampak setiap
langkah, dan biaya langsung dan tidak langsung dari setiap langkah. Hal-hal
pokok yang perlu dipertimbangkan
1.) Seleksi
pemasok
2.) Menetapkan
Imbalan dan sanksi
3.) Mengumpulkan
informasi mengenai hasil pemasok warga: membasmi monopoli, menjelaskan dan
membatasi wewenang, dan meningkatkan akuntabilitas.
4.) Menaikkan
“biaya moral” korupsi
c.
Menyusun
strategi pelaksanaan.
1.) Menyelaraskan
langkah-langkah pemerintah daerah: koordinasi dan penanggung jawab.
2.) “Petik
buah ranum yang terjangkau”, pilih sejak awal sekali masalah masalah yang mudah
diatasi.
3.) Kerjasama
dengan kekuatan-kekuatan yang mendukung (nasional, internasional, swasta, LSM)
4.) Basmi
budaya kebal hukum dengan cara membawa koruptor “kakap” ke pengadilan.
5.) Sebarluaskan
upaya pemberantasan korupsi melalui media.
6.) Lakukan
sesuatu yang baik bagi pegawai negeri, hindari kesan di kalangan mereka bahwa
mereka diserang.
7.) Perkuat
kemampuan lemabga, tidak saja melalui “langkah-langkah disisi persediaan”
(lebih banyak pelatihan, lebih banyak ahli, atau lebih banyak komputer), tetapi
terutama melalui perubahan sistem informasi dan intensif.
8.) Cari
jalan bagaimana agar kampanye anti-korupsi dapat mendorong perubahan yang lebih
luas dan dalam di dalam tubuh pemerintan daerah (misalnya konsultasi dengan
warga, gaji sesuai dengan hasil kerja, atau pekerjaan dikontrakan ke sektor
swasta.12
12 Teten Masduki, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam
Pemerintahan Daerah, hlm 199
KESIMPULAN
Korupsi adalah
perbuatan penyimpangan moral yang melanggar hukum dan merusak tatanan kehidupan
untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri maupun kelompok sehingga membuat
kerugian bagi masyarakat luas.
Dari hasil
survei indeks persepsi korupsi atau yang didalam bahasa Inggris dikenal dengan
Corruption Perception Index (CPI) terbaru tahun 2013 mengatakan bahwa Indonesia
menduduki posisi peringkat 114 dari 177 negara. Posisi Indonesia ini meningkat
4 peringkat dari CPI tahun 2012. Tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat 118.
Namun, skor CPI Indonesia tidak berubah dari tahun lalu, yakni 32
Hukuman
tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hukuman
minimal satu tahun penjara dengan maksimal hukuman penjara seumur hidup, serta
denda minimal lima puluh juta sampai dengan tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
Dalam
kaitannya koruptor yang tidak sengaja korupsi bukan karena niatnya, maka sama
saja, dia berhak untuk dihukum atas ketidak tahuannya dalam hukum. Karena dia
telah melanggar salah satu atau bahkan beberapa motif korupsi tersebut yaitu,
melawan hukum, dan merugikan uang negara dan perekonomian negara. Dalam
penentuan status hukumannya, maksimal berapa tahun ia di penjara dan terkena
denda, maka itu dapat dipertimbangkan kembali. Dalam Undang-Undang sudah jelas
dijelaskan bagi para koruptor, namun motifnya berbeda-beda. Dengan motif yang
berbeda dan juga kerugian yang didapat oleh negara, maka hukuman yang akan
diberikan pun juga berbeda. Disini lembaga penegak hukum dituntut untuk
memberikan putusan hukuman dengan bijaksana dan seadil-adilnya.
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com/bahasa
Indonesia ensiklopedia bebas.htm/korupsi.
www.semuatentangislam.htm/ HUKUMAN BAGI KORUPTOR MENURUT ISLAM
www. Inilah.com.htm/SBY Negara Harus Bela Pejabat
Terjebak Korupsi
Mansyur Semma, Dr. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Masduki, Teten. Penuntun
Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar