A. PENDAHULUAN
Islam yang sejak awal lahir sudah
menjadi perhatian banyak ummat, dengan munculnya berbagai pemahaman yang
beraneka ragam, mulai dari yang berseberangan, kasuistik maupun yang sifatnya menjelaskan
(mempertegas) dari peradaban-peradaban sebelumnya. Sejak abad ke-7 Islam muncul
dan sejak saat itulah Rasulullah dan kemudian diteruskan oleh para sahabat
berjuang menegakkan dua kalimat syahadat dari berbagai lini kehidupan Bangsa
Arab masa itu. Lahirnya sebuah peradaban baru yang ditandai dengan kekayaan
pemikiran dari para pemikir Muslim kemudian terus berkembang untuk memberikan
jawaban terhadap perubahan zaman dengan berbagai pasang-surutnya.
Sebuah proses yang sangat panjang
untuk membahas perkembangan pemikiran Islam, yang pada dasarnya tidak dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang datangnya tiba-tiba, melainkan muncul sebagai
akibat dari tarik-menarik antara kekuatan Inner dynamic Islam dengan
faktor-faktor eksternal. Karena itu, untuk memahami pemikiran Islam kita perlu
meletakkannya dalam konteks sejarah supaya tidak terjebak dalam pemahaman yang
ahistoris. Salah satu contoh sikap ahistoris itu ialah pemahaman bahwa Ahl
al-Sunnah wal-Jama’ah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, dan selalu mengandung
pengertian yang sama di semua tempat dan segala zaman. Ajaran Ahl al-Sunnah
wal-jamaa’ah dalam masyarakat Islam secara umum telah dijadikan sebagai
ideology formal dari berbagai gerakan, misalnya di Indonesia, Nahdlatul ‘Ulama
(NU) yang secara resmi menganut ideology ini, dengan keterangan, untuk
memperjuangkan agama Islam menurut ajaran salah satu dari Madzhab fiqh.
Muhammadiyah secara tidak langsung juga mengakui ideology ini sebagaimana yang
terlihat dalam salah satu keputusan Majelis Tarjih yang menyatakan bahwa
keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahl-al Haqq wa
al-Sunnah.
Banyak peristiwa penting berhubungan
dengan hukum islam sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dan
juga sebelum proklamasi tersebut, yang melahirkan kontroversi bahkan gejolak
dalam masyarakat. Pembicaraan mengenai hokum islam dalam perjalanan bangsa
Indonesia tidak hanya mendapat perhatian resmi seperti di PPKI, konstituante,
DPR, departemen-departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga resmi Negara,
tetapi juga padda tingkat rakyat, terutama organisasi-organisasi massa yang
berhubungan dengan islam. Yakni seperti Muhammadiyah (melalui lajnah tarjih)
dan nahdlatul Ulama (melalui Lajnah Bahsul Masa’il) sebagai organisasi islam
terbesar dan tertua di Indonesia telah berusaha, bahkan sejak sebelum
kemerdekaan, untuk memecahkan berbagai permasalahan hokum yang berhubungan
dengan islam. Dalam tulisan inilah kami mencoba memfokuskan pada
keputusan-keputusan yang pernah dikeluarkan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan
Lajnah Bahsul Masa’il sebagai dua lembaga ijtihad tentang metode-metode yang
digunakan dalam istinbath jama’I di Indonesia.
B. LAJNAH TARJIH MUHAMMADIYAH
Dalam bidang keagamaan, Muhammadiyah
dikenal sebagai organisasi Islam yang memutuskan tidak terikat dengan suatu
mazhab tertentu, baik dalam merumuskan ketentuan-ketentuan agama maupun dalam
menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah. Untuk merumuskan ketentuan-ketentuan hokum
baru tersebut muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis
Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa
pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat.
Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan
yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak
selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih
Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami
perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah
baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama
mengenainya ". Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih
dikenal dengan nama " Ijtihad ".
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis
yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad,
namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli,
ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau
terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Pada waktu berdirinya Persyarikatan
Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November
1912 M, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di
hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya
Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut
berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu
timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang
berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut,
serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para
pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas
dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M , melalui keputusan konggres ke 16
di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih
Muhammdiyah.
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M,
Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
a. KH. Mas Mansur
b. Ki Bagus Hadikusuma
c. KH. Ahmad Badawi
d. Krt. KH. Wardan Diponingrat
e. KH. Azhar Basyir
f. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman (
1990-1995 )
g. Prof. Dr. H. Amin Abdullah (
1995-2000)
h. Dr. H. Syamsul Anwar , MA (
2000-2005 )
Sejak tahun 1935 upaya perumusan
Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan
oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang
ditempuh adalah dengan mengkaji " Mabadi’ Khomsah "( Masalah Lima ) yang
merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena
adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima
tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam
Muktamar Khusus Majlis Tarjih di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1. Pengertian Agama (Islam) atau al
Din , yaitu :Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam
Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2. Pengertian Dunia (al Dunya ): Yang
dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : " Kamu lebih mengerti
urusan duniamu " ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya
para nabi ( yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang
diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
3. Pengertian Al Ibadah, ialah :
Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati segala
perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala
yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus ; a. yang
umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah b. Yang khusus ialah apa yang
telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya
yang tertentu.
4. Pengertian Sabilillah, ialah :
Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah, berupa
segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat( agama )-Nya dan
melaksanakan hukum-hukum-Nya
5. Pengertian Qiyas,( Ini belum
dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )
Metode Istinbat Hukum Majlis Tarjih
Muhammadiyah
Karena Masalah Lima tersebut, masih
bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk
dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu
tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis
Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih
Muhammadiyah.
Dalam memutuskan suatu masalah, maka
lajnah Tarjih menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah maqbullah (yang
dapat diterima otensitasnya), namun tidak menutup jalan ijtihad, untuk lebih
jelasnya berikut Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai keterangan singkat)
adalah sbb :
a. Di dalam beristidlal, dasar utamanya
adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar
illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan.
Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih
menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang
tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad
menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu (
menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau
mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian
dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak
membagi tanah yang ditaklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada
pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan
dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua :
Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum
yang tidak dijelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men
qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada, cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum,
beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal )
Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya
secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat,
seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual
barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll.
b. Dalam memutuskan sesuatu
keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad,
digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari
anggota majlis, tidak dipandang kuat.( Seperti pendapat salah satu anggota
Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah,
bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan
Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap
kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa
Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi ).
c. Tidak mengikatkan diri kepada
suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan
al– Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika
Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan
Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan.
Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di
atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat
dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada
Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai
organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak
langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut “Madzhab Muhammadiyah“,
ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan
Tarjih).
d. Berprinsip terbuka dan toleran dan
tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan
diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang
didapat ketika keputusan diambil, dan koreksi dari siapapun akan diterima.
Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian,
Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Seperti
halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran
tejadinya syirik sudah tidak ada lagi, pencabutan larangan perempuan untuk
keluar rumah dll).
e. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid
), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. (Keputusan yang membicarakan
tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di
Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena
mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam,
khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai
arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang
tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa
dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum
muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas,
sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat
munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat
yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, ( siroth ) jembatan yang
membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh ) kolam nabi Muhammad
saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal.
Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru
al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
f. Tidak menolak ijma’ sahabat
sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi
dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat
standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti.
Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua :
pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’
setelah sahabat).
g. Terhadap dalil-dalil yang nampak
mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak
dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq,
diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan
menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara
QS. Al Baqarah : 234 dengan QS. Al Thalaq : 4 dalam menentukan batasan iddah
orang hamil, Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap
dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali
Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga
menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah
ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara meng-taqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu
membatasi pengertian yang luas, seperti menjama’; antara larangan menjadikan
pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari
pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang
bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti
bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima :
Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan
sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah
di rumah.
h. Menggunakan asas “ saddu al-dara’I
“ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. ( Saddu al dzara’I adalah
perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada
hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan,
sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikhawatirkan akan membawa kepada
kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar
Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh
lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia,
karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada
Muktamar Tarjih di Malang 1989.
i. Men-ta’lil dapat dipergunakan
untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai
dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi
wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash
adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang
terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam
sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab
antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara
laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968
diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir
atau tidak, selama aman dari fitnah )
j. Pengunaaan dalil-dalil untuk
menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara konprehensif, utuh dan bulat.
Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq
yang bernyawa, jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan
menyebabkan kesyirikan )
k. Dalil-dalil umum Al Qur’an dapat
ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan
dalam point ke 5 )
l. Dalam mengamalkan agama Islam,
mengunakan prinsip “ Taysir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat
setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
m. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan
menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya.
Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash
dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. (
Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan
Syawal, selain menggunakan metode Rukyat, juga menggunakan metode al Hisab.
Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali
karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )
n. Dalam hal-hal yang termasuk “al
umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal
sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
o. Untuk memahami nash yang
musytarak, paham sahabat dapat diterima.
p. Dalam memahani nash , makna dlahir
didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini,
tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang
membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah SWT, seperti Allah bersemayam di
atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir
malam dll )
Contoh Istinbat Hukum Majlis Tarjih
Muhammadiyah
Penentuan awal ramadhan dan satu
syawal
Majlis Tarjih Muhammadiyah berkaitan
dengan masalah ini mendasarkan pada Al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni QS. Yunus :
5
“Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak[669]. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang
yang Mengetahui.”
Selanjutnya dalam hadits disebutkan
“puasalah karena melihat bulan
(tanggal) dan berbukalah karena melihatnya, apabila terhalang penlihatanmu oleh
awan, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa
penentuan awal bulan ramadhan maupun awal syawal, sebagian menentukan ru’yat
menjelang akhir bulan Ramadhan atau Syawal. Dan kalau tidak melihat bulan, maka
ditetapkan dengan istikmal. Sedankan sebagian lagi menentukan tanggal 1
ramadhan maupun 1 syawal dapat dengan ru’yat dan dengan hisab. Majlis tarjih
dalam qararnya menyatakan demikian pula. Dengan catatan kata “faqduru” artinya
kadarkanlah, yang berarti hitunglah (dengan ilmu hisab)
Dalam pemahaman Majlis Tarjih. Hadits
tersebut dipahami bahwa kata “ru’yah” ini berarti memahami dengan akal. Dalam
hal ini Majelis Tarjih memahami nash kemudian menggunakan akal atau ijtihad.
Penentuan awal bulan ramadhan maupun syawal bukanlah pada masa sekarang saja.
Dalam kitab bidayatul mujtahid susunan ibn Rusyd disebutkan bahwa penggunaan
hisab sudah dilakukan sejak masa sahabat dan tabi’in dan dinyatakan
bahwapenentuan awal bulan kalau dilakukan rukyat tidak melihat karena mendung,
maka dengan melakukan hisab. Dalam sejarah manhaj ini, perhitungan hisab
Majelis Tarjih selalu sesuai dengan hasil ru’yat, kecuali dalam saat yang
kritis yakni mendung di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak dapat
dirukyat.
C. BAHSUL MASAIL NAHDHOTUL ULAMA
NU (Nahdlatul Ulama) adalah sebuah
organisasi Islam terkenal di Indonesia yang mempunyai basis kuat di daerah
pedesaan, terutama di jawa dan madura, dimana organisasi ini berusaha
memelihara tradisi keagamaan yang diwariskan oleh kaum ulama dari dahulu sampai
sekarang. Sejak kejatuhan khilafah islamiyah dan lahirnya Negara nasional di
dunia Islam, pemeliharaan syari’at Islam menjadi tanggung jawab ulama. Di
Indonesia ulama berperan penting, karena dalam sejarah negeri ini pelaksanaan
syari’at islam tidak pernah menjadi tanggung jawab penuh Negara.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai
jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal
berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi
(dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i
dan Hambali sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab
fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan
bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang
dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU
menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i.
Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang
diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab
Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan
budaya konvensional - berpaling ke mazhab lain.
Dengan menganut salah satu dari empat
mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk
"bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya
pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang
pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah,
mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana atau
peradilan).
Dalam hal ini para ulama NU dan forum
Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal
al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila
kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul
itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul
mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat)
maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih.
Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga
mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan
hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).
Dalam memutuskan sebuah hukum,
sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il
yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas
mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il
fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah
tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU
yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren.
Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami
oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun
perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu
diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu
terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian
dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari
Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada
akhirnya ke Muktamar.
Dari segi historis maupun
operasionalitas, bahtsul masa'il NU merupakan forum yang sangat dinamis,
demokratis dan "berwawasan luas". Dikatakan dinamis sebab persoalan
(masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di
masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara
kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat
itulah yang diambil. Dikatakan "berwawasan luas" sebab dalam forum
bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf.
Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena "sepakat dalam khilaf"
ini adalah mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial
ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat.
Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak
mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat.
Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang
berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional.
Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.
Metode Istinbat Hukum Bahsul Masa’il
Pengertian istinbath hukum di
kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu
al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab -
mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks
permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama
(cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit
karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang
ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya
muj'tahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain
praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat
kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu,
kalimat istinbath di kalngan NU terutama dalam kerja bahtsu masa'il-nya
Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU
dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama
Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai
kalimat bahtsul masa'il yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang
terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya
para ahli fiqih)
Dalam memahami islam, NU terkesan
sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan masalah keagamaan yang dihadapi
dengan langsung merujuk kepada al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini tidak terlepas
dari pandangan bahwa mata rantai perpindahan ilmu agama islam tidak boleh
terputus dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Pengambilan keputusan NU
dibuat dalam kerangka bermazhab pada salah satu mazhab empat. Dengan beberapa
metode diantaranya:
a. Metode Qauli
Metode ini adalah suatu cara istinbat
hokum yang digunakan oelh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahsul Masa’il
dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada
kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung
pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang
sudah “jadi” dalam lingkup mazhab tertentu.
Contoh penerapan metode Qauliy adalah
keputusan Muktamar I (Surabaya, 21-23 September 1926).
S (soal): Bolehkah menggunakan hasil
dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah, atau pondok (asrama) karena itu
semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
J (jawab): Tidak boleh. Karena yang
dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah.
Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da’if (lemah).
Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah
dan Tafsir al-Munir Juz I
Dan mereka sepakat atas tidak
bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan masjid atau mengafani
(membungkus) mayat (rahmatul ummah)
Dan al-Qaffal mengutip dari sebagian
fuqaha’, bahwa mereka memperbolehkan membelanjakan harta zakat untuk semua segi
kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun benteng dan memakmurkan masjid,
karena firman Allah Swt. Fi sabilillah (dijalan Allah) itu mencakup semuanya
(Tafsir al-Munir)
Jadi secara ringkas dapat dismpulkan
bahwa metode yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il adalah dengan mengacu pada
buni teks (qaul) dari kitab-kitab mazhab empat, dan karenanya disebut metode
qauliy yang dalam tataran ijtihad dapat dipadankan dengan metode bayaniy.
Akibatnya proses baths al-masa’il ini mirip dengan apa yang terjadi dalam
gudang tempat persediaan beragam kebutuhan hidup masyarakat.
b. Metode Ilhaqi
Apabila metode qauliy tidak dapat
dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar,
maka dilakukan apa yang disebut dengan menyamakan hokum suatu kasus / masalah
yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus /
masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya).
Atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”.
Contoh penerapan metode ilhaqiy
adalah yang diputuskan pada Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai
hokum jual-beli petasan.
S (soal): Sahkah jual beli petasan
(mercon-jw) untuk merayakan hari Raya atau Penganten dan lain sebagaina?
J (jawab): Jual-beli tersebut
hukumnya sah! Karena ada maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira
menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Keterangan dalam kitab:
1) I’anah at-Talibin juz III / 121-
122:
“Adapun membelanjakan harta untuk
bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah I yang tidak
sesuai dengannya, maka tidak termasuk tindakan sia-sia. (Pendapatnya: tidak
termasuk tindakan sia-sia) artinya menurut pendapat yang terkuat, karena di
dalamnya mengandung tujuan yang benar, yaitu mendapatkan pahala
bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan: dalam hal keabikan tidak ada yang
dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf”.
2) Al-Bajuriy / 652-654 bab
perdagangan:
“Menjual sesuatu yang dapat dilihat
artinya dapat dihadirkan (maka diprbolehkan) jika memenuhi syarat, yaitu barang
yang dijual itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh
pembeli“.
Dari segi argumentasi yang mengacu
pada kitab-kitab rujukan, tidak ada rujukan yang menyebutkan secara jelas
mengenai hokum jual beli petasan, yang ada hanyalah uraian singkat mengenai
hokum bolehnya. Mentasarufkan harta untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya
menjual benda-benda yang dapat dihadirkan asal suci dan bermanfaat.
c. Metode Manhaji
Metode manhaji adalah suatu cara
menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan
mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hokum yang telah disusun imam
mazhab.
Contoh penerapan metode manhajiy
adalah keputusan kongres / Muktamar I (1926):
S (soal): Dapat pahalakah sodaqoh
kepada mayat?
J (jawab): Dapat!
Keterangan dalam kitab al-Bukhoriy
bab “janazah” dan kitab al-muhadzdzab bab “wasiyat”:
Ibnu abbas meriwayatkan bahwasanya
ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: sungguh ibuku telah meninggal,
apakah dia dapat memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka
beliau menjawab: ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah,
maka kuperskaiskan kepadamu bahwasanya saya menyedekahkannya untuk dia.
Keputusan diatas dikategorikan
sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk
pada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam mazhab
setelah al-Qur’an.
D. PENUTUP
Lajnah Tarjih Muhammadiyah
menyimpulkan pendapat terkuat dalam memutskan masalah-malasah baru yang tidak
pernah diputuskan oleh para mujtahid muslim di masa lalu. Di samping komite
tarjih, lajnah tarjih Juga merupakan komite ijtihad kolektif yang dikenal di
kalangan muhammadiyah dengan nama ijtihad jama’i. dalam hal ini lajnah tarjih
menggunakan tiga jenis ijtihad (Ijtihad Bayani, Ijtihad Qiyasi, dan Ijtihad
Istishlahi.
Adapun lajnah Bahsul Masa’il adalah
salah satu lembaga jami’iyyah Nahdotul Ulama yang menghimpun, membahas dan
memutuskan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum, dengan mengacu pada
madzhab empat (Hanafi, maliki, syafi’I dan hanbali). Dalam hal ini para ulama
NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum
kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun
muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada
nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan
beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf
(perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan
para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf
akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi
kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan
primer).
Dalam memutuskan sebuah hukum,
sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il
yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas
mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il
fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah
tasawuf (tarekat).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih
Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet
I )
Amin Abdullah, Dinamika Islam
Kultural, Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan , 2000)
Azhar, Muhammad, Fiqh Peradaban
(Yogakarta: ITTAQA Press, 2001)
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di
Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi 1999)
Ridwan, Paradigma politik NU,
(Yogakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat
Madani Independensi, Rasionalitas, dan Pluralisme (Jakarta: Pusat Studi Agama
dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005)
Zahra, Ahmad, Tradisi Intelektual NU
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004)
Programs
Rabu, 2 Maret 2005 05:05
Metode Istinbath Muhammadiyah, NU dan
MUI
Pembicara : Rumadi, Dosen Fakultas
Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Waktu: Jumat, 25 Februari 2005/ 16.00
- 18.00 WIB
Tempat : Kantor The Wahid Institute
Rumadi#1
The Wahid Institute kembali menggelar
diskusi mingguan, Jum’at (25/2/2005). Kali ini, tema yang diusung terkait
Metode Istinbath Muhammadiyah, NU, dan MUI. Tema ini perlu diangkat, mengingat
tiga lembaga keagamaan yang menjadi rujukan hukum bagi kaum muslim Indonesia
ini memiliki metode istinbath (proses penggalian hukum) masing-masing.
Istintbath a la Muhammadiyah misalnya, secara umum berbeda dengan a la
Nahdlatul Ulama (NU) dan Majlis Ulama Indonesia (MUI), begitu pun sebaliknya.
Karenanya, penelusuran metode istinbath tiga lembaga itu penting untuk memahami
alur keputusan hukum yang dihasilkan ketiganya.
Di samping itu, tanpa bermaksud
mengenyampingkan lembaga-lembaga keagamaan yang lain, tiga institusi ini
kenyataannya menjadi “arus utama” kehidupan umat Islam di Indonesia. Oleh
karena itu, wajah perkembangan hukum Islam di Indonesia pada tingkat tertentu
dapat dilihat dari dinamika yang terdapat dalam tiga lembaga tersebut.
Istinbath Muhammadiyah
Menelusuri metode istinbath
Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majlis Tarjih (selanjutya
disingkat MT), lembaga yang berfungsi sebagai “pabrik hukum”. Sebelum keputusan
final sebuah hukum digulirkan kepada publik, terlebih dahulu para cendekiawan
Muhammadiyah melakukan penggodokan secara serius dan matang di dalam MT ini. Di
sanalah, proses-proses istinbath dipraktekkan.
Secara harfiyah, pada mulanya tarjih
bermakna “membandingkan pendapat satu dengan yang lain untuk memilih pendapat
yang paling kuat.” Dengan kata lain, tarjih adalah menguatkan salah satu dari
dua pendapat atau lebih dengan argumen tertentu. MT pada mulanya memang tak
lebih sebagai lembaga untuk menguatkan satu dari beberapa pendapat yang sudah
ada sebelumnya. Namun pada perkembangannya, MT tidak lagi sekedar menguatkan
pendapat-pendapat yang telah ada itu, melainkan juga turut ber-ijtihad dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang ditemukan.
Peran seperti ini diawali pada
1960-an, terkait persoalan perburuhan, pembatasan kelahiran, dan hak milik.
Pada 1968, bahkan MT berhasil menetapkan hukum atas isu-isu kontemporer,
seperti bunga bank, judi nalo dan lotre, KB, dan sebagainya. Dengan demikian,
makna tarjih itu sendiri telah mengalami perluasan, tidak sekedar “menguatkan”
dan “memilih” salah satu dari berbagai pendapat, tapi juga berfungsi “mencari”
untuk memecahkan masalah baru. Karena itulah, MT kemudian diklaim oleh Muhammadiyah
sebagai lembaga ijtihad, sebuah penamaan yang sangat prestisius. Muhammadiyah
memang dikenal sebagai lembaga yang tidak canggung dengan istilah ijtihad
karena mereka berkeyakinan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka lebar.
Adapun runtutan istinbath yang
dicanangkan MT, pertama melalui al-Qur’an dan Sunnah Shahihah, dengan
“mengabaikan” pendapat-pendapat para imam fiqih pasca masa sahabat Rasulullah.
Hal ini terkait dengan genealogi intelektualisme Muhammadiyah yang memang
kurang begitu memberi apresiasi terhadap perkembangan fiqih pada periode yang
mereka sebut sebagai periode taqlid (sekitar abad 10 M-18 M). Rentang ini
dianggap sebagai periode dimana Islam bercampur-baur dengan apa yang disebut
takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Oleh karena itu, bila ada persoalan
hukum baru yang mengemuka, maka selalu dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Namun, semua orang tahu bahwa tidak semua persoalan dapat dicarikan
jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah karena keterbatasannya.
Jika tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah MT
menggunakan ijtihad dengan istinbath dari nash (teks) yang ada melalui
persamaan ‘illat (alasan hukum) . Dengan demikian, kendati qiyas (analogi)
tidak diakui secara langsung, namun dalam prakteknya tetap dikembangkan
Muhammadiyah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ijma’, Muhammadiyah hanya
menerima ijma’ al-shahabah (kesepakatan sahabat) yang mengikuti pandangan Ahmad
bin Hanbal, yang berarti bahwa ijma’ tak mungkin terjadi pasca generasi sahabat
Rasulullah (Khulafa ur- Rasyidin).
Almarhum KH Azhar Basyir, Mantan
Ketua PP Muhammadiyah pernah menyatakan, MT menempuh jalur ijtihad yang
meliputi; Pertama, ijtihad bayani, yakni ijtihad terhadap nash mujmal (teks
yang ambivalen) , baik karena belum jelas makna/maksudnya, maupun karena suatu
lafal tertentu mengandung musytarak (makna ganda), mutasyabih (multi tafsir),
dan lain sebagainya. Kedua, ijtihad qiyasi, yakni menganalogikan apa yang
disebut dalam nash pada masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, karena
persamaan ‘illat. Ketiga, ijtihad istishlahi, yakni pencarian maslahat berupa
perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Berdasarkan kenyataan ini, meski
Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak bermazhab, toh dalam praktiknya
Muhammadiyah tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya
pada tingkat metode atau yang akrab disebut mazhab ma nhaji.
Hal lain yang cukup menarik, misalnya
terkait fatwa Muhammadiyah tentang nikah beda agama, antara lelaki muslim
dengan wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi). Kendati al-Qur’an terang
membolehkan, fatwa Muhammadiyah pada tahun 1989 itu justru mengharamkan. Ayat
al-Qur’an yang membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5) itupun “diparkir” dengan alasan
hifdz al-din (memelihara agama). Muhamadiyah menyimpulkan –walaupun tanpa
melalui penelitian empirik- bila pernikahan itu dibenarkan, dikuatirkan anaknya
akan mengikuti agama ibunya. Sehingga, peluang kekuatiran ini harus buru-buru
ditutup. Pengharaman seperti inilah yang mereka sebut sebagai haram li sadd
al-dzari’ah (mencegah sesuatu yang dikhawatirkan akan terjadi). Ini artinya,
bagi Muhammadiyah, haram li sadd dzari’ah dapat mengalahkan ayat yang sudah
menyebutkan kebolehan menikahi perempuan ahl al-kitab. Menurut Rumadi, ini
jalan berpikir yang luar biasa, karena dengan sadd al-dzari’ah dijadikan
sebagai argumen untuk menutup bunyi eksplisit sebuah nash. Dalam kasus ini,
Muhammadiyah dengan berani melakukan naskh al-nushush bi sadd al-dzari’ah.
Sayangnya, Muhammadiyah tidak cukup mempunyai keberanian untuk mengembangkan
hal ini.
{mospagebreak}
Istinbath NU
Bila Muhammadiyah memiliki “pabrik
hukum” bernama MT, maka NU memiliki pabrik serupa bernama Bahtsul Masail
–pembahasan masalah (selanjutnya disingkat BM). Meskipun NU mengakui al-Qur’an
dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam prakteknya,
istinbath al-ahkam di kalangan NU tidak lantas dipahami sebagai “mengambil
hukum secara langsung dari kedua sumber primer di atas, tetapi penggalian hukum
dengan men-tathbiq-kan (menerapkan) nash al-fuqaha’ –terutama di lingkungan
Mazhab Syafi’i– secara dinamis, dalam konteks permasalahan hukumnya.” Dengan
pengertian istinbath ini, wajar bila keputusan-keputusan hukum NU tidak merujuk
langsung pada kedua sumber utama tadi, tapi merujuk pada kutub al-fiqh
al-mu’tabarah (kitab fiqih yang diakui NU). Sedangkan ushul al-fiqh dan qawaid
al-fiqhiyyah diposisikan sebagai penguat keputusan hukum yang diambil.
Istinbath seperti ini dilakukan NU,
lantaran ijtihad muthlaq dianggap terlampau berat dan sulit. Sebab, ijtihad
muthlaq harus dilakukan mujtahid yang telah menguasai ragam keilmuan agama dan
perangkat-perangkatnya. Tembok keterbatasan inilah yang tidak bisa ditembus
orang-orang saat ini. Di samping itu, ijtihad dalam koridor mazhab tertentu
memang praktis, juga dapat ditempuh semua ulama NU yang memahami ibarat
(uraian) kitab-kitab fiqih. Atas dasar itu pula, klaim istinbath tidak begitu
populer di kalangan ulama NU, sehingga boleh jadi BM menjadi kata kunci untuk menghindar
dari term ijtihad dan istinbath itu sendiri.
Dengan demikian, berbeda dengan
Muhammadiyah yang mengembangkan mazhab manhaji ( bermazhab pada metode), konsep
mazhab dalam NU lebih pada mazhab qauli (bermazhab pada pendapat hukumnya),
kendati pada Munas Alim Ulama NU 1992 mulai terjadi pergeseran dengan
diperkenalkannya istilah mazhab manhaji. Hanya saja dalam prakteknya, ijtihad
manhaji ini masih “setengah hati.”
Adapun rumusan sistem pengambilan
hukum yang dihasilkan Munas Alim Ulama 1992 itu adalah: 1) Dalam kasus ketika
jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana hanya terdapat satu
qaul/wajh (satu jenis pendapat), maka qaul/wajh yang dipakai seperti yang
diterangkan dalam ‘ibarat tersebut. 2) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi
oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka
dilakukan taqrir jama’i (ketetapan bersama) untuk memilih satu qaul/wajh. 3)
Dalam kasus tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberi penyelesaian, maka
dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nadhairiha (analogi dari kitab fiqih)
oleh para ahlinya. 4) Dalam kasus yang tidak ada qaul/wajh sama sekali dan
tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i (penggalian
hukum secara kolektif) dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para
ahlinya. Koridor mazhab yang dipakai dalam konteks ini adalah Mazhab Syafi’i.
Karena itu, keputusan hukum yang diambil NU jarang yang langsung merujuk pada
al-Qur’an atau Sunnah, tapi lebih dominan merujuk pada qaul imam mazhab.
Kenyataan ini menunjukkan, BM dalam
NU belum dapat dikatakan memuaskan, baik untuk kepentingan ilmiah maupun
sebagai upaya praktis menghadapi tantangan zaman. Praktik istinbath seperti ini
mencerminkan problem metodologis, karena berarti NU hanya terpaku dan terikat pada
satu mazhab (Syafi’i) meski AD/ART NU memungkinkan untuk mengikut mazhab yang
lain. Ketidakpuasan juga muncul, lantaran cara berfikir yang tekstual dan
cenderung menafikan realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning,
tanpa memberi jalan keluar.
{mospagebreak}
Istinbath MUI
Terlepas dari adanya motif politik di
balik pembentukan MUI, yang jelas majlis para “ulama Indonesia” ini telah
menjadi salah satu lembaga penghasil hukum Islam melalui Komisi Fatwa-nya. Pada
awalnya MUI, juga dapat dianggap sebagai “sintesa” dari lembaga-lembaga seperti
NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, dan sebagainya. Karena pluralitas anggotanya,
fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya merefleksikan keragaman pendapat dan
kecenderungan intelektual yang menjadi anggota organisasi Islam itu. Dengan
kata lain, Komisi Fatwa dapat dikatakan sebagai “panci pelebur” (melting pot)
yang mempertemukan tradisi fiqih oriented dan akademisi Islam dengan penguasaan
metodologi yang relatif baik. Sehingga, dalam MUI seharusnya terjadi peleburan
antara kecenderungan NU yang teguh memegang tradisi intelektual ulama klasik,
dan paham Muhammadiyah yang melulu memegang al-Qur’an dan Sunnah.
Almarhum Ibrahim Hosen, mantan Ketua
Komisi Fatwa MUI 1981, menyatakan; pemeliharaan atas dharuriyyatal-khams
(agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) sangat diperhatikan MUI tiap
mengeluarkan fatwa. Artinya, tiap fatwa MUI diharapkan mampu mewujudkan
kemaslahatan dimaksud, baik yang ukhrawi maupun dunyawi. Akan tetapi, jika
terjadi benturan antara maslahat non-syar’iyyah dengan nash qath’iy (teks yang
sudah jelas), MUI tidak akan menggunakan maslahat, karena kemaslahatan hanya
ditetapkan akal, sedang nash qath’iy oleh wahyu.
Sisi keunggulan MUI dalam istinbath
yang bersifat “lintas mazhab” dan tidak mepunyai keterikatan dengan mazhab
fiqih tertentu, maka fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya mencerminkan
keragaman dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Dalam prakteknya, potensi keunggulan
metodologis ini tidak mempunyai dampak apapun karena fatwa-fatwa hukum yang
dikeluarkan MUI senantiasa diwarnai oleh kepentingan politik tertentu, baik
kepentingan rezim, maupun kepentingan para elit MUI sendiri. Di samping itu,
fatwa MUI juga seringkali sekedar “berpendapat” tanpa memberi solusi atas
problem masyarakat. Dominasi kepentingan rezim dapat kita lihat terutama
fatwa-fatwa MUI zaman Orde Baru; dominasi kepentingan elit MUI dapat dilihat
dalam pengharaman umat Islam bertransaksi dengan bank konvensional pada awal
2003 lalu. Sedangkan fatwa pengharaman pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke
luar negeri hanya karena tidak ada mahram dapat ditunjuk sebagai contoh bahwa
MUI sekedar mengeluarkan hukum “halal-haram” dalam masalah sosial tanpa memberi
solusi yang memuaskan.
Kelemahan
Pada kesempatan yang sama, Rumadi juga
menyoroti sisi-sisi kelemahan ketiga lembaga pemroduk hukum di atas.
Menurutnya, secara umum kelemahan Muhammadiyah, NU, dan MUI, meliputi: pertama,
ketiganya mengukur sebuah pendapat hukum dari segi ke-manqul- annya, yaitu
sejauhmana pendapat itu bisa dibenarkan secara teks al-Qur’an dan Sunnah. Bila
pembenaran secara manqul sudah ditemukan, argumentasi itu sudah dianggap cukup
dan tidak butuh argumen lain. Kedua, pengukuran argumen secara ma’qul
(reasoning) kurang diindahkan, karena ma’qul harus ditundukkan oleh manqul.
Ketiga, landasan etik penetapan hukum nyaris tak pernah disentuh. Sebagai
misal, fatwa MUI tentang keharaman TKW, bila tak disertai mahram. Secara
manqul, barangkali keputusan itu ada benarnya. Tapi secara ma’qul mulai agak
lemah, apalagi sisi etiknya, karena fatwa itu tidak menghasilkan solusi apapun
bagi TKW yang kesulitan mencari penghidupan dinegerinya sendiri. Dalam kasus
TKW, tentu saja tidak cukup hanya dengan memberi hukum halal atau haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar