Kamis, 19 Maret 2015

METODE ISNTIBAT HUKUM MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH


A. PENDAHULUAN
Islam yang sejak awal lahir sudah menjadi perhatian banyak ummat, dengan munculnya berbagai pemahaman yang beraneka ragam, mulai dari yang berseberangan, kasuistik maupun yang sifatnya menjelaskan (mempertegas) dari peradaban-peradaban sebelumnya. Sejak abad ke-7 Islam muncul dan sejak saat itulah Rasulullah dan kemudian diteruskan oleh para sahabat berjuang menegakkan dua kalimat syahadat dari berbagai lini kehidupan Bangsa Arab masa itu. Lahirnya sebuah peradaban baru yang ditandai dengan kekayaan pemikiran dari para pemikir Muslim kemudian terus berkembang untuk memberikan jawaban terhadap perubahan zaman dengan berbagai pasang-surutnya.
Sebuah proses yang sangat panjang untuk membahas perkembangan pemikiran Islam, yang pada dasarnya tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang datangnya tiba-tiba, melainkan muncul sebagai akibat dari tarik-menarik antara kekuatan Inner dynamic Islam dengan faktor-faktor eksternal. Karena itu, untuk memahami pemikiran Islam kita perlu meletakkannya dalam konteks sejarah supaya tidak terjebak dalam pemahaman yang ahistoris. Salah satu contoh sikap ahistoris itu ialah pemahaman bahwa Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, dan selalu mengandung pengertian yang sama di semua tempat dan segala zaman. Ajaran Ahl al-Sunnah wal-jamaa’ah dalam masyarakat Islam secara umum telah dijadikan sebagai ideology formal dari berbagai gerakan, misalnya di Indonesia, Nahdlatul ‘Ulama (NU) yang secara resmi menganut ideology ini, dengan keterangan, untuk memperjuangkan agama Islam menurut ajaran salah satu dari Madzhab fiqh. Muhammadiyah secara tidak langsung juga mengakui ideology ini sebagaimana yang terlihat dalam salah satu keputusan Majelis Tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahl-al Haqq wa al-Sunnah.
Banyak peristiwa penting berhubungan dengan hukum islam sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dan juga sebelum proklamasi tersebut, yang melahirkan kontroversi bahkan gejolak dalam masyarakat. Pembicaraan mengenai hokum islam dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak hanya mendapat perhatian resmi seperti di PPKI, konstituante, DPR, departemen-departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga resmi Negara, tetapi juga padda tingkat rakyat, terutama organisasi-organisasi massa yang berhubungan dengan islam. Yakni seperti Muhammadiyah (melalui lajnah tarjih) dan nahdlatul Ulama (melalui Lajnah Bahsul Masa’il) sebagai organisasi islam terbesar dan tertua di Indonesia telah berusaha, bahkan sejak sebelum kemerdekaan, untuk memecahkan berbagai permasalahan hokum yang berhubungan dengan islam. Dalam tulisan inilah kami mencoba memfokuskan pada keputusan-keputusan yang pernah dikeluarkan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il sebagai dua lembaga ijtihad tentang metode-metode yang digunakan dalam istinbath jama’I di Indonesia.

B. LAJNAH TARJIH MUHAMMADIYAH
Dalam bidang keagamaan, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam yang memutuskan tidak terikat dengan suatu mazhab tertentu, baik dalam merumuskan ketentuan-ketentuan agama maupun dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah. Untuk merumuskan ketentuan-ketentuan hokum baru tersebut muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya ". Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama " Ijtihad ".
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M , melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
a. KH. Mas Mansur
b. Ki Bagus Hadikusuma
c. KH. Ahmad Badawi
d. Krt. KH. Wardan Diponingrat
e. KH. Azhar Basyir
f. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
g. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
h. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji " Mabadi’ Khomsah "( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1. Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2. Pengertian Dunia (al Dunya ): Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : " Kamu lebih mengerti urusan duniamu " ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para nabi ( yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
3. Pengertian Al Ibadah, ialah : Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus ; a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4. Pengertian Sabilillah, ialah : Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat( agama )-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
5. Pengertian Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )

Metode Istinbat Hukum Majlis Tarjih Muhammadiyah
Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Dalam memutuskan suatu masalah, maka lajnah Tarjih menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah maqbullah (yang dapat diterima otensitasnya), namun tidak menutup jalan ijtihad, untuk lebih jelasnya berikut Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai keterangan singkat) adalah sbb :
a. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang ditaklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak dijelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada, cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll.
b. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.( Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi ).
c. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al– Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut “Madzhab Muhammadiyah“, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan Tarjih).
d. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil, dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi, pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dll).
e. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. (Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, ( siroth ) jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh ) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
f. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat).
g. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS. Al Baqarah : 234 dengan QS. Al Thalaq : 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil, Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara meng-taqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama’; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
h. Menggunakan asas “ saddu al-dara’I “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. ( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
i. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )
j. Pengunaaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara konprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa, jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )
k. Dalil-dalil umum Al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )
l. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “ Taysir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
m. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. ( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat, juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )
n. Dalam hal-hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
o. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
p. Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah SWT, seperti Allah bersemayam di atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )

Contoh Istinbat Hukum Majlis Tarjih Muhammadiyah
Penentuan awal ramadhan dan satu syawal
Majlis Tarjih Muhammadiyah berkaitan dengan masalah ini mendasarkan pada Al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni QS. Yunus : 5
         
            
 
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.”

Selanjutnya dalam hadits disebutkan


“puasalah karena melihat bulan (tanggal) dan berbukalah karena melihatnya, apabila terhalang penlihatanmu oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa penentuan awal bulan ramadhan maupun awal syawal, sebagian menentukan ru’yat menjelang akhir bulan Ramadhan atau Syawal. Dan kalau tidak melihat bulan, maka ditetapkan dengan istikmal. Sedankan sebagian lagi menentukan tanggal 1 ramadhan maupun 1 syawal dapat dengan ru’yat dan dengan hisab. Majlis tarjih dalam qararnya menyatakan demikian pula. Dengan catatan kata “faqduru” artinya kadarkanlah, yang berarti hitunglah (dengan ilmu hisab)
Dalam pemahaman Majlis Tarjih. Hadits tersebut dipahami bahwa kata “ru’yah” ini berarti memahami dengan akal. Dalam hal ini Majelis Tarjih memahami nash kemudian menggunakan akal atau ijtihad. Penentuan awal bulan ramadhan maupun syawal bukanlah pada masa sekarang saja. Dalam kitab bidayatul mujtahid susunan ibn Rusyd disebutkan bahwa penggunaan hisab sudah dilakukan sejak masa sahabat dan tabi’in dan dinyatakan bahwapenentuan awal bulan kalau dilakukan rukyat tidak melihat karena mendung, maka dengan melakukan hisab. Dalam sejarah manhaj ini, perhitungan hisab Majelis Tarjih selalu sesuai dengan hasil ru’yat, kecuali dalam saat yang kritis yakni mendung di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak dapat dirukyat.

C. BAHSUL MASAIL NAHDHOTUL ULAMA
NU (Nahdlatul Ulama) adalah sebuah organisasi Islam terkenal di Indonesia yang mempunyai basis kuat di daerah pedesaan, terutama di jawa dan madura, dimana organisasi ini berusaha memelihara tradisi keagamaan yang diwariskan oleh kaum ulama dari dahulu sampai sekarang. Sejak kejatuhan khilafah islamiyah dan lahirnya Negara nasional di dunia Islam, pemeliharaan syari’at Islam menjadi tanggung jawab ulama. Di Indonesia ulama berperan penting, karena dalam sejarah negeri ini pelaksanaan syari’at islam tidak pernah menjadi tanggung jawab penuh Negara.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional - berpaling ke mazhab lain.
Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana atau peradilan).
Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).
Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.
Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masa'il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan "berwawasan luas". Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan "berwawasan luas" sebab dalam forum bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena "sepakat dalam khilaf" ini adalah mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.

Metode Istinbat Hukum Bahsul Masa’il
Pengertian istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab - mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj'tahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalngan NU terutama dalam kerja bahtsu masa'il-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masa'il yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqih)
Dalam memahami islam, NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan masalah keagamaan yang dihadapi dengan langsung merujuk kepada al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa mata rantai perpindahan ilmu agama islam tidak boleh terputus dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Pengambilan keputusan NU dibuat dalam kerangka bermazhab pada salah satu mazhab empat. Dengan beberapa metode diantaranya:
a. Metode Qauli
Metode ini adalah suatu cara istinbat hokum yang digunakan oelh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahsul Masa’il dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup mazhab tertentu.
Contoh penerapan metode Qauliy adalah keputusan Muktamar I (Surabaya, 21-23 September 1926).
S (soal): Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah, atau pondok (asrama) karena itu semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
J (jawab): Tidak boleh. Karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da’if (lemah).
Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al-Munir Juz I

Dan mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan masjid atau mengafani (membungkus) mayat (rahmatul ummah)

Dan al-Qaffal mengutip dari sebagian fuqaha’, bahwa mereka memperbolehkan membelanjakan harta zakat untuk semua segi kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun benteng dan memakmurkan masjid, karena firman Allah Swt. Fi sabilillah (dijalan Allah) itu mencakup semuanya (Tafsir al-Munir)

Jadi secara ringkas dapat dismpulkan bahwa metode yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il adalah dengan mengacu pada buni teks (qaul) dari kitab-kitab mazhab empat, dan karenanya disebut metode qauliy yang dalam tataran ijtihad dapat dipadankan dengan metode bayaniy. Akibatnya proses baths al-masa’il ini mirip dengan apa yang terjadi dalam gudang tempat persediaan beragam kebutuhan hidup masyarakat.

b. Metode Ilhaqi
Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan apa yang disebut dengan menyamakan hokum suatu kasus / masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus / masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya). Atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”.
Contoh penerapan metode ilhaqiy adalah yang diputuskan pada Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai hokum jual-beli petasan.
S (soal): Sahkah jual beli petasan (mercon-jw) untuk merayakan hari Raya atau Penganten dan lain sebagaina?
J (jawab): Jual-beli tersebut hukumnya sah! Karena ada maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Keterangan dalam kitab:
1) I’anah at-Talibin juz III / 121- 122:
“Adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah I yang tidak sesuai dengannya, maka tidak termasuk tindakan sia-sia. (Pendapatnya: tidak termasuk tindakan sia-sia) artinya menurut pendapat yang terkuat, karena di dalamnya mengandung tujuan yang benar, yaitu mendapatkan pahala bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan: dalam hal keabikan tidak ada yang dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf”.

2) Al-Bajuriy / 652-654 bab perdagangan:
“Menjual sesuatu yang dapat dilihat artinya dapat dihadirkan (maka diprbolehkan) jika memenuhi syarat, yaitu barang yang dijual itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh pembeli“.

Dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab-kitab rujukan, tidak ada rujukan yang menyebutkan secara jelas mengenai hokum jual beli petasan, yang ada hanyalah uraian singkat mengenai hokum bolehnya. Mentasarufkan harta untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya menjual benda-benda yang dapat dihadirkan asal suci dan bermanfaat.

c. Metode Manhaji
Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hokum yang telah disusun imam mazhab.
Contoh penerapan metode manhajiy adalah keputusan kongres / Muktamar I (1926):
S (soal): Dapat pahalakah sodaqoh kepada mayat?
J (jawab): Dapat!
Keterangan dalam kitab al-Bukhoriy bab “janazah” dan kitab al-muhadzdzab bab “wasiyat”:
Ibnu abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia dapat memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau menjawab: ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kuperskaiskan kepadamu bahwasanya saya menyedekahkannya untuk dia.

Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk pada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam mazhab setelah al-Qur’an.

D. PENUTUP
Lajnah Tarjih Muhammadiyah menyimpulkan pendapat terkuat dalam memutskan masalah-malasah baru yang tidak pernah diputuskan oleh para mujtahid muslim di masa lalu. Di samping komite tarjih, lajnah tarjih Juga merupakan komite ijtihad kolektif yang dikenal di kalangan muhammadiyah dengan nama ijtihad jama’i. dalam hal ini lajnah tarjih menggunakan tiga jenis ijtihad (Ijtihad Bayani, Ijtihad Qiyasi, dan Ijtihad Istishlahi.
Adapun lajnah Bahsul Masa’il adalah salah satu lembaga jami’iyyah Nahdotul Ulama yang menghimpun, membahas dan memutuskan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum, dengan mengacu pada madzhab empat (Hanafi, maliki, syafi’I dan hanbali). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).
Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat).


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan , 2000)
Azhar, Muhammad, Fiqh Peradaban (Yogakarta: ITTAQA Press, 2001)
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi 1999)
Ridwan, Paradigma politik NU, (Yogakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani Independensi, Rasionalitas, dan Pluralisme (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005)
Zahra, Ahmad, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004)
Programs
Rabu, 2 Maret 2005 05:05
Metode Istinbath Muhammadiyah, NU dan MUI

Pembicara : Rumadi, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Waktu: Jumat, 25 Februari 2005/ 16.00 - 18.00 WIB
Tempat : Kantor The Wahid Institute


Rumadi#1

The Wahid Institute kembali menggelar diskusi mingguan, Jum’at (25/2/2005). Kali ini, tema yang diusung terkait Metode Istinbath Muhammadiyah, NU, dan MUI. Tema ini perlu diangkat, mengingat tiga lembaga keagamaan yang menjadi rujukan hukum bagi kaum muslim Indonesia ini memiliki metode istinbath (proses penggalian hukum) masing-masing. Istintbath a la Muhammadiyah misalnya, secara umum berbeda dengan a la Nahdlatul Ulama (NU) dan Majlis Ulama Indonesia (MUI), begitu pun sebaliknya. Karenanya, penelusuran metode istinbath tiga lembaga itu penting untuk memahami alur keputusan hukum yang dihasilkan ketiganya.

Di samping itu, tanpa bermaksud mengenyampingkan lembaga-lembaga keagamaan yang lain, tiga institusi ini kenyataannya menjadi “arus utama” kehidupan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, wajah perkembangan hukum Islam di Indonesia pada tingkat tertentu dapat dilihat dari dinamika yang terdapat dalam tiga lembaga tersebut.

Istinbath Muhammadiyah
Menelusuri metode istinbath Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majlis Tarjih (selanjutya disingkat MT), lembaga yang berfungsi sebagai “pabrik hukum”. Sebelum keputusan final sebuah hukum digulirkan kepada publik, terlebih dahulu para cendekiawan Muhammadiyah melakukan penggodokan secara serius dan matang di dalam MT ini. Di sanalah, proses-proses istinbath dipraktekkan.

Secara harfiyah, pada mulanya tarjih bermakna “membandingkan pendapat satu dengan yang lain untuk memilih pendapat yang paling kuat.” Dengan kata lain, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua pendapat atau lebih dengan argumen tertentu. MT pada mulanya memang tak lebih sebagai lembaga untuk menguatkan satu dari beberapa pendapat yang sudah ada sebelumnya. Namun pada perkembangannya, MT tidak lagi sekedar menguatkan pendapat-pendapat yang telah ada itu, melainkan juga turut ber-ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang ditemukan.

Peran seperti ini diawali pada 1960-an, terkait persoalan perburuhan, pembatasan kelahiran, dan hak milik. Pada 1968, bahkan MT berhasil menetapkan hukum atas isu-isu kontemporer, seperti bunga bank, judi nalo dan lotre, KB, dan sebagainya. Dengan demikian, makna tarjih itu sendiri telah mengalami perluasan, tidak sekedar “menguatkan” dan “memilih” salah satu dari berbagai pendapat, tapi juga berfungsi “mencari” untuk memecahkan masalah baru. Karena itulah, MT kemudian diklaim oleh Muhammadiyah sebagai lembaga ijtihad, sebuah penamaan yang sangat prestisius. Muhammadiyah memang dikenal sebagai lembaga yang tidak canggung dengan istilah ijtihad karena mereka berkeyakinan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka lebar.

Adapun runtutan istinbath yang dicanangkan MT, pertama melalui al-Qur’an dan Sunnah Shahihah, dengan “mengabaikan” pendapat-pendapat para imam fiqih pasca masa sahabat Rasulullah. Hal ini terkait dengan genealogi intelektualisme Muhammadiyah yang memang kurang begitu memberi apresiasi terhadap perkembangan fiqih pada periode yang mereka sebut sebagai periode taqlid (sekitar abad 10 M-18 M). Rentang ini dianggap sebagai periode dimana Islam bercampur-baur dengan apa yang disebut takhayul, bid’ah, dan khurafat.

Oleh karena itu, bila ada persoalan hukum baru yang mengemuka, maka selalu dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun, semua orang tahu bahwa tidak semua persoalan dapat dicarikan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah karena keterbatasannya. Jika tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah MT menggunakan ijtihad dengan istinbath dari nash (teks) yang ada melalui persamaan ‘illat (alasan hukum) . Dengan demikian, ­kendati qiyas (analogi) tidak diakui secara langsung, namun dalam prakteknya tetap dikembangkan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ijma’, Muhammadiyah hanya menerima ijma’ al-shahabah (kesepakatan sahabat) yang mengikuti pandangan Ahmad bin Hanbal, yang berarti bahwa ijma’ tak mungkin terjadi pasca generasi sahabat Rasulullah (Khulafa ur- Rasyidin).

Almarhum KH Azhar Basyir, Mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menyatakan, MT menempuh jalur ijtihad yang meliputi; Pertama, ijtihad bayani, yakni ijtihad terhadap nash mujmal (teks yang ambivalen) , baik karena belum jelas makna/maksudnya, maupun karena suatu lafal tertentu mengandung musytarak (makna ganda), mutasyabih (multi tafsir), dan lain sebagainya. Kedua, ijtihad qiyasi, yakni menganalogikan apa yang disebut dalam nash pada masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, karena persamaan ‘illat. Ketiga, ijtihad istishlahi, yakni pencarian maslahat berupa perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Berdasarkan kenyataan ini, meski Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak bermazhab, toh dalam praktiknya Muhammadiyah tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode atau yang akrab disebut mazhab ma nhaji.

Hal lain yang cukup menarik, misalnya terkait fatwa Muhammadiyah tentang nikah beda agama, antara lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi). Kendati al-Qur’an terang membolehkan, fatwa Muhammadiyah pada tahun 1989 itu justru mengharamkan. Ayat al-Qur’an yang membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5) itupun “diparkir” dengan alasan hifdz al-din (memelihara agama). Muhamadiyah menyimpulkan –walaupun tanpa melalui penelitian empirik- bila pernikahan itu dibenarkan, dikuatirkan anaknya akan mengikuti agama ibunya. Sehingga, peluang kekuatiran ini harus buru-buru ditutup. Pengharaman seperti inilah yang mereka sebut sebagai haram li sadd al-dzari’ah (mencegah sesuatu yang dikhawatirkan akan terjadi). Ini artinya, bagi Muhammadiyah, haram li sadd dzari’ah dapat mengalahkan ayat yang sudah menyebutkan kebolehan menikahi perempuan ahl al-kitab. Menurut Rumadi, ini jalan berpikir yang luar biasa, karena dengan sadd al-dzari’ah dijadikan sebagai argumen untuk menutup bunyi eksplisit sebuah nash. Dalam kasus ini, Muhammadiyah dengan berani melakukan naskh al-nushush bi sadd al-dzari’ah. Sayangnya, Muhammadiyah tidak cukup mempunyai keberanian untuk mengembangkan hal ini.
{mospagebreak}

Istinbath NU
Bila Muhammadiyah memiliki “pabrik hukum” bernama MT, maka NU memiliki pabrik serupa bernama Bahtsul Masail –pembahasan masalah (selanjutnya disingkat BM). Meskipun NU mengakui al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam prakteknya, istinbath al-ahkam di kalangan NU tidak lantas dipahami sebagai “mengambil hukum secara langsung dari kedua sumber primer di atas, tetapi penggalian hukum dengan men-tathbiq-kan (menerapkan) nash al-fuqaha’ –terutama di lingkungan Mazhab Syafi’i– secara dinamis, dalam konteks permasalahan hukumnya.” Dengan pengertian istinbath ini, wajar bila keputusan-keputusan hukum NU tidak merujuk langsung pada kedua sumber utama tadi, tapi merujuk pada kutub al-fiqh al-mu’tabarah (kitab fiqih yang diakui NU). Sedangkan ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah diposisikan sebagai penguat keputusan hukum yang diambil.

Istinbath seperti ini dilakukan NU, lantaran ijtihad muthlaq dianggap terlampau berat dan sulit. Sebab, ijtihad muthlaq harus dilakukan mujtahid yang telah menguasai ragam keilmuan agama dan perangkat-perangkatnya. Tembok keterbatasan inilah yang tidak bisa ditembus orang-orang saat ini. Di samping itu, ijtihad dalam koridor mazhab tertentu memang praktis, juga dapat ditempuh semua ulama NU yang memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih. Atas dasar itu pula, klaim istinbath tidak begitu populer di kalangan ulama NU, sehingga boleh jadi BM menjadi kata kunci untuk menghindar dari term ijtihad dan istinbath itu sendiri.

Dengan demikian, berbeda dengan Muhammadiyah yang mengembangkan mazhab manhaji ( bermazhab pada metode), konsep mazhab dalam NU lebih pada mazhab qauli (bermazhab pada pendapat hukumnya), kendati pada Munas Alim Ulama NU 1992 mulai terjadi pergeseran dengan diperkenalkannya istilah mazhab manhaji. Hanya saja dalam prakteknya, ijtihad manhaji ini masih “setengah hati.”

Adapun rumusan sistem pengambilan hukum yang dihasilkan Munas Alim Ulama 1992 itu adalah: 1) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana hanya terdapat satu qaul/wajh (satu jenis pendapat), maka qaul/wajh yang dipakai seperti yang diterangkan dalam ‘ibarat tersebut. 2) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka dilakukan taqrir jama’i (ketetapan bersama) untuk memilih satu qaul/wajh. 3) Dalam kasus tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberi penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nadhairiha (analogi dari kitab fiqih) oleh para ahlinya. 4) Dalam kasus yang tidak ada qaul/wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i (penggalian hukum secara kolektif) dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya. Koridor mazhab yang dipakai dalam konteks ini adalah Mazhab Syafi’i. Karena itu, keputusan hukum yang diambil NU jarang yang langsung merujuk pada al-Qur’an atau Sunnah, tapi lebih dominan merujuk pada qaul imam mazhab.

Kenyataan ini menunjukkan, BM dalam NU belum dapat dikatakan memuaskan, baik untuk kepentingan ilmiah maupun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan zaman. Praktik istinbath seperti ini mencerminkan problem metodologis, karena berarti NU hanya terpaku dan terikat pada satu mazhab (Syafi’i) meski AD/ART NU memungkinkan untuk mengikut mazhab yang lain. Ketidakpuasan juga muncul, lantaran cara berfikir yang tekstual dan cenderung menafikan realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberi jalan keluar.
{mospagebreak}

Istinbath MUI
Terlepas dari adanya motif politik di balik pembentukan MUI, yang jelas majlis para “ulama Indonesia” ini telah menjadi salah satu lembaga penghasil hukum Islam melalui Komisi Fatwa-nya. Pada awalnya MUI, juga dapat dianggap sebagai “sintesa” dari lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, dan sebagainya. Karena pluralitas anggotanya, fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya merefleksikan keragaman pendapat dan kecenderungan intelektual yang menjadi anggota organisasi Islam itu. Dengan kata lain, Komisi Fatwa dapat dikatakan sebagai “panci pelebur” (melting pot) yang mempertemukan tradisi fiqih oriented dan akademisi Islam dengan penguasaan metodologi yang relatif baik. Sehingga, dalam MUI seharusnya terjadi peleburan antara kecenderungan NU yang teguh memegang tradisi intelektual ulama klasik, dan paham Muhammadiyah yang melulu memegang al-Qur’an dan Sunnah.

Almarhum Ibrahim Hosen, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI 1981, menyatakan; pemeliharaan atas dharuriyyatal-khams (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) sangat diperhatikan MUI tiap mengeluarkan fatwa. Artinya, tiap fatwa MUI diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan dimaksud, baik yang ukhrawi maupun dunyawi. Akan tetapi, jika terjadi benturan antara maslahat non-syar’iyyah dengan nash qath’iy (teks yang sudah jelas), MUI tidak akan menggunakan maslahat, karena kemaslahatan hanya ditetapkan akal, sedang nash qath’iy oleh wahyu.

Sisi keunggulan MUI dalam istinbath yang bersifat “lintas mazhab” dan tidak mepunyai keterikatan dengan mazhab fiqih tertentu, maka fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya mencerminkan keragaman dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dalam prakteknya, potensi keunggulan metodologis ini tidak mempunyai dampak apapun karena fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan MUI senantiasa diwarnai oleh kepentingan politik tertentu, baik kepentingan rezim, maupun kepentingan para elit MUI sendiri. Di samping itu, fatwa MUI juga seringkali sekedar “berpendapat” tanpa memberi solusi atas problem masyarakat. Dominasi kepentingan rezim dapat kita lihat terutama fatwa-fatwa MUI zaman Orde Baru; dominasi kepentingan elit MUI dapat dilihat dalam pengharaman umat Islam bertransaksi dengan bank konvensional pada awal 2003 lalu. Sedangkan fatwa pengharaman pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri hanya karena tidak ada mahram dapat ditunjuk sebagai contoh bahwa MUI sekedar mengeluarkan hukum “halal-haram” dalam masalah sosial tanpa memberi solusi yang memuaskan.

Kelemahan

Pada kesempatan yang sama, Rumadi juga menyoroti sisi-sisi kelemahan ketiga lembaga pemroduk hukum di atas. Menurutnya, secara umum kelemahan Muhammadiyah, NU, dan MUI, meliputi: pertama, ketiganya mengukur sebuah pendapat hukum dari segi ke-manqul- annya, yaitu sejauhmana pendapat itu bisa dibenarkan secara teks al-Qur’an dan Sunnah. Bila pembenaran secara manqul sudah ditemukan, argumentasi itu sudah dianggap cukup dan tidak butuh argumen lain. Kedua, pengukuran argumen secara ma’qul (reasoning) kurang diindahkan, karena ma’qul harus ditundukkan oleh manqul. Ketiga, landasan etik penetapan hukum nyaris tak pernah disentuh. Sebagai misal, fatwa MUI tentang keharaman TKW, bila tak disertai mahram. Secara manqul, barangkali keputusan itu ada benarnya. Tapi secara ma’qul mulai agak lemah, apalagi sisi etiknya, karena fatwa itu tidak menghasilkan solusi apapun bagi TKW yang kesulitan mencari penghidupan dinegerinya sendiri. Dalam kasus TKW, tentu saja tidak cukup hanya dengan memberi hukum halal atau haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar