Hizbullah
“Hizbullah telah
membuktikan, bahwa israel bukanlah pasukan terbaik dunia.” –
Smith Alhadar (Penasehat
Indonesia Society For Middle East Studies)
Hizbullah
adalah kelompok Islam Lebanon yang terdiri dari sayap militer dan sipil.
Kelompok ini didirikan pada tahun 1982 untuk memerangi pendudukan israel di
selatan lebanon. Bersama gerakan amal, Hizbullah adalah partai politik utama
yang mewakili komunitas syiah, kelompok terbesar di lebanon. Hizbullah kini
dipimpim oleh Syaikh Hassan Nasrallah sebagai pengganti sekretaris
jendral, Sayyid Abbas al-Musawi yang tewas bersama istri dan anaknya
akibat serangan bom Israel.
Pasukan
Hizbullah tak pernah sekalipun menampakan kegentarannya walau israel
membombardir kota Lebanon dan membinasakan ribuan korban sipil. Bahkan gencatan
senjata yang mengakhiri agresi militer itu seolah tak mampu meredam semangat
Hizbullah untuk mengulang kekalahan israel tahun 2000.
Hizbullah
kini tak hanya milik kaum syiah tapi seluruh golongan di Lebanon bahkan dunia.
Mereka membuktikan bahwa tuduhan teroris yang dialncarkan Israel dan AS
hanyalah taktik membungkam kedigdayaan Hizbullah.
“Selama proyek
zionisme dan imperialisme masih ada di Lebanon dan dunia Arab, Hizbullah akan
terus berjuang demi tanah dan kehormatan.”
Musthafa Abd.
Rahman
(wartawan KOMPAS,
kini tinggal di Cairo, Mesir)
Unsur-unsur kunci
kemenangan Hizbullah di selatan Lebanon
Penarikan
mundur memalukan israel dari lebanon pada Mei 2000 membuat umat Islam seluruh
dunia bergegap gembita. Terdapat sentuhan luar biasa ketika kita melihat
prajurit-prajurit Israel lari tunggang langgang setelah lebih dari lima
dasawarsa tentara-tentara Arab terus menelan kekalahan dari Israel. Namun,
untuk emnggali pelajaran dari kemenangan di Lebanon, kita perlu melampui
euforia ini dengan menganalisis dan mengkaji kemenangan itu berikut
faktor-faktor penyangganya.
Kemenangan
perlawanan Islam menggaris bawahi realitas dasar dari penanganan Israel: zionis
hanya memahami bahasa kekuatan senjata. Kemenangan ini membongkar kebusukan
asumsi kaum pecundang dan putus asa akan sebuah “proses perdamaian” atau bahwa
israel tidak dapat dikalahkan di medan tempur, bahwa gerakan perlawanan merupakan
jalur yang ditempuh para petualang zaman baru yang semangat jihadnya sudah
ketinggalan zaman, dan bahwa kita hanya dapat memperoleh hal penting dari
Israel jika memakai jalur perundingan. Hizbullah telah membuktikan bahwa
asumsi-asumsi itu Cuma khayalan belaka.
Secara
khusus, kemenangan Hizbullah mematahkan pandangan tentang kedigdayaan angkatan
bersenjata Israel. Ketika berhadapan dengan Hizbullah, Israel berbenturan
dengan sebuah kekuatan yang setidaknya sama terlatih, sama terorganisasi, sama
disiplin, dan sama terpimipin dengan unit-unit terbaik dari angkatan bersenjata
sendiri. Dalam berbagai kontak tempur, kaum Mujahidin terbukti jauh lebih
berani dan cerdik daripada para wajib militer Israel dan para pengkhianat yang
menjadi skutu lokalnya, yang ketakutan dan tak bersemangat. Sebagaimana Vietnam
menyingkap tabir ilusi keperkasaan militer Amerika Serikat, tentara Israel yang
“digdaya” dan “termasyur” itu pun telah ditelanjangi di selatan Lebanon.
Jika
melihat data statistik (jumlah personil, jumlah peralatan militer, tingkat
kecanggihan teknologi, dan sebagainya), perlawanan Islam seharusnya tidak
menang di Lebanon. Pada intinya, kemenangan mereka menunjukkan betapa
percumanya memahami kekuatan, khususnya kekuatan militer, hanya dari faktor
fisik dan kasat mata yang dapat dihitung, dijumlah dan dikomputerisasi. Akar
terdalam dari kemenangan ini terletak pada faktor-faktor nonkasat mata,
kualitatif, dan immaterial. Unsur penting yang digenggam gerakan perlawanan
bukanlah kekuatan fisik, melainkan moral, yakni iman yang kucup kuat untuk
mengatasi demoralisasi ketika dipukul secara militer dan kerelaan memikul
penderitaan serta memberi pengorbanan yang perlu untuk melancarkan perang
geriliya berkepanjangan. Kekuatan iman dan tekad untuk mati syahid menjadi
kompas moral bagi para pejuang perlawanan Islam, layaknya diktum Napoleon bahwa
“dalam perang, moral di banding material adalah tiga banding satu.” Moral kaum
Mujahidin tinggi, karena mereka tidak melihat perjuangan mereka sebagai
perjuangan nasional, melainkan perjuangan Islam-jihad melawan penindasan dan
pendudukan serta membela kejayaan Islam.
Bagaimanapun
juga, kekuatan iman itu tidaklah bekerja dalam sebuah kehampaan strategis
maupun politik. Gerakan perlawanan juga berhasil membangun hubungan dengan dan
membangkitkan semangat sebagian besar rakyat lebanon, termasuk kaum minoritas
Nasrani Lebanon yang cukup besar jumlahnya, untuk melawan pendudukan. Dengan
pencapaian ini, mereka bergerak kearah “psikologi perang” massal dan suatu
konsensus politik kerakyatan yang berpusat pada tujuan bersama, yakni
pembebasan. Dengan demikian, para pemimpin Hizbullah mempertnjukan unsur yang
disebut para pakar politik sebagai kepemimpinan “valensi” yaitu penarik
berbagai eleman untuk bergabung. Mereka menekankan kesepakatan, bukan pertaian,
serta memusatkan perhatian pada wacana publik tentang pembebasan sebagai tujuan
bersama, bukan terseret dalam perdebatan mengenai cara dan taktik.
Memahami
betapa pentingnya dukungan masyarakat, pimpinan Hizbullah bekerja sekeras mungkin
untuk mencegah terkikisnya dukungan rakyat yang mereka nikmati. Ini merek
terjemahkan menjadi keteguhan berpegang pada perlawanan dan mencegah perikaian
berdarah tak berguna antargolongan, sesuatu yang telah mencekam Lebanon selama
bertahun-tahun perang saudara. Para pemimpin Hizbullah berkali-kali berhasil
mencegah para pejuang mereka tercebur dalam mimpi buruk perang internal. Ini
membutuhkan sebuah pandangan tentang perjuangan bersenjata sebagai hal yang di
lancarkan secara taktik dan operasional, di samping secara strategis. Tataran
strategis menuntut seni memadukan faktor-faktor politik dan psikologis dengan
kekuatan militer untuk mencapai kemenangan atau, setidaknya, memperkecil
kemungkinan kalah. Dukungan publik yang dinikmati para pejuang telah
menggerogoti strategi Israel yang membom sasaran sipil untuk memaksa para
pejuang meletakkan senjata. Bukannya menghancurkan moral penduduk sipil,
pengeboman Israel malah berdampak sebaliknya, justru memeperkuat tekat rakyat
Lebanon dan menempa solidaritas rakyat yang lebih luas dan kokoh dengan para
pejuang perlawanana. Strategi tindakan balasan Israel ditujukan untuk
mempertegas peran sederhana tentang seperioritas militernya, namun Hizbullah
tidak mau mendengarkan. Mereka malah menerapkan taktik yang ditujukan untuk
membalikan keadaan ini dengan menciptakan “pengimbangan rasa takut”, begitu
kira-kira. Jika sasaran sipil Lebanon diserang, Hizbullah akan menyerang
pemukiman Israel. Kebijakan ini membantu gerakan perlawanan mengatasi godaan
untuk mengambil sikap defensif yang membiarkan inisiatid medan pada musuh dan
paling-paling hanya menghasilkan kondisi berimbang.
Di
tahap-tahap awal, operasi taktis perlawanan Islam mengambil bentuk perang
partisan atau geriliya klasik, dengan fokus utama bom, ranjau, dan serangan
pukul lari. Dengan segera mereka mengembangkan senjata yang mematikan dan tak
terkalahkan, para pengebom yang mencari kematian syahid (apa yang disebut media
barat sebagai “bom bunuh diri”). Sejalan dengan semakin berpengalamannya para
pejuang, operasi Hizbullah semakin berani dan efektif dengan menggabungkan
unsur-unsur perang konvensional dan geriliya. Operasi taktis Hizbullah
dilakukan berkesinambungan, dengan tujuan menghancurkan keutuhan dan moral
prajurit Israel beserta kaki tangannya dalam Tentara Lebanon Selatan (SLA),
melalui serangkaian tindakan yang acak, keras, dan tak terduga. Para pejuang
Hizbullah yang bersenjata ringan menunjukan ketangkasan dan kegesitan yang
lebih baik daripada pasukan udara dan lapis baja Israel yang terbukti lamban
dan tidak efektif.
Pada
akhirnya, tindakan-tindakan ini menciptakan situasi yang dengan segera memburuk
dan gagal diatasi Israel dan SLA. Fakta bahwa prajurit Israel tidak punya nyali
dalam berperang mematikan di Lebanon mendorong para anggota elit politik Israel
untuk berlomba-lomba membuat jani kampanye untuk menarik mundur tentara mereka
dari selatan Lebanon. Tinjauan perwira militer Prusia abad XIX, Carl von
Clausewitz, dalam karya besarnya, On War, menandaskan, “Tindakan militer tidak
pernah diarahkan kepada kekuatan material semata. Tindakan ini harus selalu di
arahkan sekaligus kepada kekuatan moral yang menghidupinya. Keduanya tidak
dapat dipisahkan.”
Gerakan
perlawanan sangat memahami arti penting media dalam perjuangan mematahkan
pendudukan. Para pejuang menciptakan infrastruktur medianya sendiri untuk
memotong dominasi media barat yang daya hancurnya merupakan kutukan atas
kebenaran. Para juru foto dan cameramen mengambil gambar aksi tempur dan sering
kali beriringan dengan para pejuang yang sedang melancarkan operasi militer.
Tayangan gamblang langsung dari medan tempur, yang kerap memperlihatkan korban
dari pihak Israel dan SLA, membantu menangkal mitos superior Israel dan
mengangkat kepercayaan diri penduduk.
Pembebasan
atas wilayah selatan Lebanon juga merupakan bukti lain atas tidak bergunanya
organisasi internasional semacam PBB dan “Hukum Internasional” dalam menuntut
hak korban-korban mesin perang Israel dan memukul mendur pendudukan zionis atas
tanah Arab.
Setelah
pembebasan itu, Skretaris Jenderal Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah menegaskan
bahwa pembebasan wilayah selatan Lebanon tidak akan pernah terjadi kalau saja
para pejuang bersandar pada kemunitas internasional. Para prajurit PBB
ditembatkan di Lebanon segera setelah tank-tank Israel bergenuruh masuk dalam invasi
pertama Israel atas wilayah itu pada Maret 1978. Penempatan pasukan PBB ini
diselenggarakan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB no.425 yang menuntut
penarikan mundur Israel dari wilayah itu. selama 22 tahun, Israel membangkan
kepada kemunitas Internasional. Bukan hanya menolak pada resousi 425, Israel
malah memperluas wilayah kependudukannya, berusaha membentuk struktur politik
Lebanon agar sesuai dengan kepentingannya, dan melancarkan operasi militer yang
memakan korban jiwa sekurangnya 20.000 orang dan korban luka puluhan ribu orang
(diperkirakan 95%-nya adalah rakyat sipil)
Pengalaman
perlawanan Islam di Lebanon, yang telah melakukan gerakan dalam kurun kurang
dari dua dasawarsa sejak invasi Israel pada 1982, menuju kemenangan dan
pembebasan, menggarisbawahi fakta bahwa hanya sebuah perlawanan komprehensif
dan berjangka panjang yang dapat mengatasi tantangan kaum Zionis. Faktor
kuncinya adalah kemampuan yang diilhami iman Islam untuk menanggung perjuangan
jangka panjang dan fokus kekuatan militer secara intensif atas sistem vital
musuh. Hal ini berimplikasi jelas bagi perjuangan Daud melawan Goliat lain di
masa ini, yang dilancar gerakan Islam di mana-mana, seperti Palestina, Kashmir,
Irak, dan Chechnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar