Selasa, 31 Maret 2015

Kemengan Hizbullah melawan Zionisme

Hizbullah

“Hizbullah telah membuktikan, bahwa israel bukanlah pasukan terbaik dunia.” –
Smith Alhadar (Penasehat Indonesia Society For Middle East Studies)
                Hizbullah adalah kelompok Islam Lebanon yang terdiri dari sayap militer dan sipil. Kelompok ini didirikan pada tahun 1982 untuk memerangi pendudukan israel di selatan lebanon. Bersama gerakan amal, Hizbullah adalah partai politik utama yang mewakili komunitas syiah, kelompok terbesar di lebanon. Hizbullah kini dipimpim oleh Syaikh Hassan Nasrallah sebagai pengganti sekretaris jendral, Sayyid Abbas al-Musawi yang tewas bersama istri dan anaknya akibat serangan bom Israel.
                Pasukan Hizbullah tak pernah sekalipun menampakan kegentarannya walau israel membombardir kota Lebanon dan membinasakan ribuan korban sipil. Bahkan gencatan senjata yang mengakhiri agresi militer itu seolah tak mampu meredam semangat Hizbullah untuk mengulang kekalahan israel tahun 2000.
                Hizbullah kini tak hanya milik kaum syiah tapi seluruh golongan di Lebanon bahkan dunia. Mereka membuktikan bahwa tuduhan teroris yang dialncarkan Israel dan AS hanyalah taktik membungkam kedigdayaan Hizbullah.

“Selama proyek zionisme dan imperialisme masih ada di Lebanon dan dunia Arab, Hizbullah akan terus berjuang demi tanah dan kehormatan.”
Musthafa Abd. Rahman
(wartawan KOMPAS, kini tinggal di Cairo, Mesir)

Unsur-unsur kunci kemenangan Hizbullah di selatan Lebanon
                Penarikan mundur memalukan israel dari lebanon pada Mei 2000 membuat umat Islam seluruh dunia bergegap gembita. Terdapat sentuhan luar biasa ketika kita melihat prajurit-prajurit Israel lari tunggang langgang setelah lebih dari lima dasawarsa tentara-tentara Arab terus menelan kekalahan dari Israel. Namun, untuk emnggali pelajaran dari kemenangan di Lebanon, kita perlu melampui euforia ini dengan menganalisis dan mengkaji kemenangan itu berikut faktor-faktor penyangganya.
                Kemenangan perlawanan Islam menggaris bawahi realitas dasar dari penanganan Israel: zionis hanya memahami bahasa kekuatan senjata. Kemenangan ini membongkar kebusukan asumsi kaum pecundang dan putus asa akan sebuah “proses perdamaian” atau bahwa israel tidak dapat dikalahkan di medan tempur, bahwa gerakan perlawanan merupakan jalur yang ditempuh para petualang zaman baru yang semangat jihadnya sudah ketinggalan zaman, dan bahwa kita hanya dapat memperoleh hal penting dari Israel jika memakai jalur perundingan. Hizbullah telah membuktikan bahwa asumsi-asumsi itu Cuma khayalan belaka.
                Secara khusus, kemenangan Hizbullah mematahkan pandangan tentang kedigdayaan angkatan bersenjata Israel. Ketika berhadapan dengan Hizbullah, Israel berbenturan dengan sebuah kekuatan yang setidaknya sama terlatih, sama terorganisasi, sama disiplin, dan sama terpimipin dengan unit-unit terbaik dari angkatan bersenjata sendiri. Dalam berbagai kontak tempur, kaum Mujahidin terbukti jauh lebih berani dan cerdik daripada para wajib militer Israel dan para pengkhianat yang menjadi skutu lokalnya, yang ketakutan dan tak bersemangat. Sebagaimana Vietnam menyingkap tabir ilusi keperkasaan militer Amerika Serikat, tentara Israel yang “digdaya” dan “termasyur” itu pun telah ditelanjangi di selatan Lebanon.
                Jika melihat data statistik (jumlah personil, jumlah peralatan militer, tingkat kecanggihan teknologi, dan sebagainya), perlawanan Islam seharusnya tidak menang di Lebanon. Pada intinya, kemenangan mereka menunjukkan betapa percumanya memahami kekuatan, khususnya kekuatan militer, hanya dari faktor fisik dan kasat mata yang dapat dihitung, dijumlah dan dikomputerisasi. Akar terdalam dari kemenangan ini terletak pada faktor-faktor nonkasat mata, kualitatif, dan immaterial. Unsur penting yang digenggam gerakan perlawanan bukanlah kekuatan fisik, melainkan moral, yakni iman yang kucup kuat untuk mengatasi demoralisasi ketika dipukul secara militer dan kerelaan memikul penderitaan serta memberi pengorbanan yang perlu untuk melancarkan perang geriliya berkepanjangan. Kekuatan iman dan tekad untuk mati syahid menjadi kompas moral bagi para pejuang perlawanan Islam, layaknya diktum Napoleon bahwa “dalam perang, moral di banding material adalah tiga banding satu.” Moral kaum Mujahidin tinggi, karena mereka tidak melihat perjuangan mereka sebagai perjuangan nasional, melainkan perjuangan Islam-jihad melawan penindasan dan pendudukan serta membela kejayaan Islam.
                Bagaimanapun juga, kekuatan iman itu tidaklah bekerja dalam sebuah kehampaan strategis maupun politik. Gerakan perlawanan juga berhasil membangun hubungan dengan dan membangkitkan semangat sebagian besar rakyat lebanon, termasuk kaum minoritas Nasrani Lebanon yang cukup besar jumlahnya, untuk melawan pendudukan. Dengan pencapaian ini, mereka bergerak kearah “psikologi perang” massal dan suatu konsensus politik kerakyatan yang berpusat pada tujuan bersama, yakni pembebasan. Dengan demikian, para pemimpin Hizbullah mempertnjukan unsur yang disebut para pakar politik sebagai kepemimpinan “valensi” yaitu penarik berbagai eleman untuk bergabung. Mereka menekankan kesepakatan, bukan pertaian, serta memusatkan perhatian pada wacana publik tentang pembebasan sebagai tujuan bersama, bukan terseret dalam perdebatan mengenai cara dan taktik.
                Memahami betapa pentingnya dukungan masyarakat, pimpinan Hizbullah bekerja sekeras mungkin untuk mencegah terkikisnya dukungan rakyat yang mereka nikmati. Ini merek terjemahkan menjadi keteguhan berpegang pada perlawanan dan mencegah perikaian berdarah tak berguna antargolongan, sesuatu yang telah mencekam Lebanon selama bertahun-tahun perang saudara. Para pemimpin Hizbullah berkali-kali berhasil mencegah para pejuang mereka tercebur dalam mimpi buruk perang internal. Ini membutuhkan sebuah pandangan tentang perjuangan bersenjata sebagai hal yang di lancarkan secara taktik dan operasional, di samping secara strategis. Tataran strategis menuntut seni memadukan faktor-faktor politik dan psikologis dengan kekuatan militer untuk mencapai kemenangan atau, setidaknya, memperkecil kemungkinan kalah. Dukungan publik yang dinikmati para pejuang telah menggerogoti strategi Israel yang membom sasaran sipil untuk memaksa para pejuang meletakkan senjata. Bukannya menghancurkan moral penduduk sipil, pengeboman Israel malah berdampak sebaliknya, justru memeperkuat tekat rakyat Lebanon dan menempa solidaritas rakyat yang lebih luas dan kokoh dengan para pejuang perlawanana. Strategi tindakan balasan Israel ditujukan untuk mempertegas peran sederhana tentang seperioritas militernya, namun Hizbullah tidak mau mendengarkan. Mereka malah menerapkan taktik yang ditujukan untuk membalikan keadaan ini dengan menciptakan “pengimbangan rasa takut”, begitu kira-kira. Jika sasaran sipil Lebanon diserang, Hizbullah akan menyerang pemukiman Israel. Kebijakan ini membantu gerakan perlawanan mengatasi godaan untuk mengambil sikap defensif yang membiarkan inisiatid medan pada musuh dan paling-paling hanya menghasilkan kondisi berimbang.
                Di tahap-tahap awal, operasi taktis perlawanan Islam mengambil bentuk perang partisan atau geriliya klasik, dengan fokus utama bom, ranjau, dan serangan pukul lari. Dengan segera mereka mengembangkan senjata yang mematikan dan tak terkalahkan, para pengebom yang mencari kematian syahid (apa yang disebut media barat sebagai “bom bunuh diri”). Sejalan dengan semakin berpengalamannya para pejuang, operasi Hizbullah semakin berani dan efektif dengan menggabungkan unsur-unsur perang konvensional dan geriliya. Operasi taktis Hizbullah dilakukan berkesinambungan, dengan tujuan menghancurkan keutuhan dan moral prajurit Israel beserta kaki tangannya dalam Tentara Lebanon Selatan (SLA), melalui serangkaian tindakan yang acak, keras, dan tak terduga. Para pejuang Hizbullah yang bersenjata ringan menunjukan ketangkasan dan kegesitan yang lebih baik daripada pasukan udara dan lapis baja Israel yang terbukti lamban dan tidak efektif.
                Pada akhirnya, tindakan-tindakan ini menciptakan situasi yang dengan segera memburuk dan gagal diatasi Israel dan SLA. Fakta bahwa prajurit Israel tidak punya nyali dalam berperang mematikan di Lebanon mendorong para anggota elit politik Israel untuk berlomba-lomba membuat jani kampanye untuk menarik mundur tentara mereka dari selatan Lebanon. Tinjauan perwira militer Prusia abad XIX, Carl von Clausewitz, dalam karya besarnya, On War, menandaskan, “Tindakan militer tidak pernah diarahkan kepada kekuatan material semata. Tindakan ini harus selalu di arahkan sekaligus kepada kekuatan moral yang menghidupinya. Keduanya tidak dapat dipisahkan.”
                Gerakan perlawanan sangat memahami arti penting media dalam perjuangan mematahkan pendudukan. Para pejuang menciptakan infrastruktur medianya sendiri untuk memotong dominasi media barat yang daya hancurnya merupakan kutukan atas kebenaran. Para juru foto dan cameramen mengambil gambar aksi tempur dan sering kali beriringan dengan para pejuang yang sedang melancarkan operasi militer. Tayangan gamblang langsung dari medan tempur, yang kerap memperlihatkan korban dari pihak Israel dan SLA, membantu menangkal mitos superior Israel dan mengangkat kepercayaan diri penduduk.
                Pembebasan atas wilayah selatan Lebanon juga merupakan bukti lain atas tidak bergunanya organisasi internasional semacam PBB dan “Hukum Internasional” dalam menuntut hak korban-korban mesin perang Israel dan memukul mendur pendudukan zionis atas tanah Arab.
                Setelah pembebasan itu, Skretaris Jenderal Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah menegaskan bahwa pembebasan wilayah selatan Lebanon tidak akan pernah terjadi kalau saja para pejuang bersandar pada kemunitas internasional. Para prajurit PBB ditembatkan di Lebanon segera setelah tank-tank Israel bergenuruh masuk dalam invasi pertama Israel atas wilayah itu pada Maret 1978. Penempatan pasukan PBB ini diselenggarakan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB no.425 yang menuntut penarikan mundur Israel dari wilayah itu. selama 22 tahun, Israel membangkan kepada kemunitas Internasional. Bukan hanya menolak pada resousi 425, Israel malah memperluas wilayah kependudukannya, berusaha membentuk struktur politik Lebanon agar sesuai dengan kepentingannya, dan melancarkan operasi militer yang memakan korban jiwa sekurangnya 20.000 orang dan korban luka puluhan ribu orang (diperkirakan 95%-nya adalah rakyat sipil)

                Pengalaman perlawanan Islam di Lebanon, yang telah melakukan gerakan dalam kurun kurang dari dua dasawarsa sejak invasi Israel pada 1982, menuju kemenangan dan pembebasan, menggarisbawahi fakta bahwa hanya sebuah perlawanan komprehensif dan berjangka panjang yang dapat mengatasi tantangan kaum Zionis. Faktor kuncinya adalah kemampuan yang diilhami iman Islam untuk menanggung perjuangan jangka panjang dan fokus kekuatan militer secara intensif atas sistem vital musuh. Hal ini berimplikasi jelas bagi perjuangan Daud melawan Goliat lain di masa ini, yang dilancar gerakan Islam di mana-mana, seperti Palestina, Kashmir, Irak, dan Chechnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar