Kata
pengantar
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada
zat ilahi rabbi yang telah memberikan keberkahan kepada kita semua. Dengan adanya tugas dari mata kuliah
pemikiran islam yang memberikan tugas untuk membuat makalah sebaik mungkin yang
berkenaan dengan ilmu tasawuf, oleh
karena itu makalah kami buat sebagai ajang pelatiha kami dalam bidang pemikiran
islam, tema yang kami bawakan adalah ‘’ indahnya dunia tasawuf ‘’ semoga atas di tulisnya makalah ini dapat memberikan manfaat kepada yang membacanya,
dan manfaan dunia dan akhirat amin ...
teradisi ilmu-ilmu keislaman masa lalu yang
tersimpan dalam kitab-kitab di indonesia yang terkenal dengan julukan kitab
kuning, adalah hasil pemikiran para ulama besar pada abad tengah. Ya’ni jaman kebesaran peradaban bagdad dan kordoba
di masa silam, zaman itu alam pemikiran dan peradaban masih di dominasi alam
pikiran yunani purba yang mengantalkan renungan spekulatif, mengandalkan
ketajaman logika maka pusat pemikiran para ulama dulu adalah penafsiran untuk
merumuskan ajaran-ajaran islam yang seharusnya menurut pemahaman para ulama itu
terhadap al-qur’an dan al-hadist kegiatan ini menghasilkan bangunan
mazhab-mazhab agung baik dalam lapangan ilmu aqidah( ilmu kalam) atau ilmu ilmu
piqih dan ilmu tasawuf (sufisme) sehingga muncullah tasawuf .
17 september 2014
Penyusun
Samsul muarif
Daftar
isi
KATA PENGANTAR .................................................................................................... 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 4
A. Latar belakang..................................................................................... 4
B. Rumusan masalah............................................................................. 5
C. Tujuan masalah.................................................................................. 5
BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................................... 11
A.
Kelahiran tasawuf.............................................................................. 11
B.
sumber
ajaran tasawuf..................................................................... 12
C.
Tokoh sufi dan ajarannya................................................................. 17
D.
Macam-macam tasawuf..................................................................... 21
BAB III........................................................................................................................... 27
A.
Kesimpulan.......................................................................................... 27
B.
Saran.................................................................................................... 28
DAPTAR PUSTAKA..................................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Latar belakang munculnya ajaran ini tidak
telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang melanda para ulama’ fiqh dan
tasawwuf lebih-lebih pada abad kelima hijriah aliran syi’ah al-islamiyah
yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan ali bin abi
thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa
imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah,
dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme
yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat
bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan
inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali.
Corak dari pada tasawwuf falsafi tentunya sangat berbeda dengan
tasawwuf yang pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi’in, karena tasawwuf
ini muncul karena pengaruh filasafat Neo-PlatonismeBerkembangnya tasaawuf
sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan
menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang
berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampl sejumlah
kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka
yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat.ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan
dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Andanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf
pertama kali di motori oleh para filsuf muslim yang pada saat itu mengalami
helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang terkenal yang membahas
tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi.
Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar
dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat
lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi
berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan
bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang
direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai Sifat madzohir dari sifat
tuhan.Namun istilah tasawuf falsafi bulum terkenal pada waktu itu,
setelah itu baru tokoh-tokoh teosofi yang populer.Abu Yazid al-Bustami, Ibn
Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya.
orang kedua yang mengombinasikan antara teori
filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau
Iran. Masih banyak tokoh tasawwuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti
al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara Mansusia dengan
sifat-sifat tuhan.
B. Rumusan masalah
·
Apa pengertian taswuf.?.....
·
Bagaimana tasawuf di eramodernitas.?..
·
Apa tingkatan menjadi tasawuf?..
C. Tujuan masalah
Ø Untuk mengetahui definisi tasawuf
Ø Untuk mengenal tasawuf di eramodernitas
Ø Untuk mengetahui syarat menjadi tasawuf
Pengertian tasawuf
Secara etimologis
pengertian tasawuf menurut pendapat ahli sufi adalah :
1. Sebagian berkata, para sufi di beri kata
sufi karena kesucian ( safa) hati mereka dan keberhasilan tindakan mereka
(athar) bisr bin harist berkata “ sufi adalah orang yang hatinya tulus dan suci
kepada allah ‘’ maka oleh karena itu tumbuh secara keseluruhan mengalami
pembaruan dan semua sikaf di tingkatkan oleh kesucian dan ketulusan jiwa
2. Ada yang berpandapat bahwa sufi di sebut
sufi hanya karena mereka berada di barisan pertama ( safa) di depan allah,
melalui pengangkatan keinginan mereka kepadanya dan tetapnya kerahasiaan mereka
di hadapannya
Namun secara istilah
menurut syeh Al-islam zakaria an-ansari mendefinisikan tasawuf
sebagai jalan yang mengajarkan manusia cara untuk menyucikan diri, untuk meningkatkan moral dan membagun kehidupan
jasmani dan rohani guna mencapai kehidupan yana abadi. Unsur utama dalam tasawuf artinya menyucikan jiwa . tujuan
akhirnya adalaah kebahagyaan dan keselamatan abadi
Imam al-gojali
mengatakan: “ ketika telah mencapai tingkat ahli dalam ilmu-ilmu ini,saya
alihkan perhatian saya kepada metode-metode yang di pakai oleh sufi. Sya
belajar mengenali bermacam metode yng di pakai oleh sufi. ( mir valuddin,
1987:4-6)
tasawuf di eramodernitas
Ø tasawuf sebagai tempat pelarian
masyarakat modern
Aspek akidah dalam sufisme umumnyaa di
pandang sebelah mata mata dalam kitab-kitab yang membahas teologi islam.
Masalah ini luput dari pengmatan para peneliti daan pengkaji ilmu kalam atau
teolog islam. Karena merekaa
memandangnya sebagai bidang khusus, yaitu ilmu tasawuf atau sufissme, serta
tidak di ikut sertakan pada pembahasan ilmu kalam. Sufisme sebagai suatu paham
atau pendekatan memunculkan atau mengembangkan konsep-konsep akidah yang amat
canggih. Pengaruhnya justru lebih dominan dan menguasai bagian dari akidah umat
islam.
Pengaruh akidah sufisme ini justru amat
merakyat sampai ke pelosok-pelosok alam islami, terutama semenjak kemunduran
atau kemandegan pemikiran islam, yakni dari abaad XIII hingga XVIII, atau
bahkan hingga dewasa ini. Konsep-konsep sufisme tentang ilmu gaib, keramat, dan
pemitosan para walli allah memang memenuhi selera emusional masarakat awam dan
segolongan para terpelajar yang belum berani menerapkan keritik historis dalam
agama.
Sebenarnya tasawuf muncul atas dasar
adanya akidah baru bahwa manusia itu
bisa mengadakan hubungan langsung dengan tuhan, dengan perantaraan pengalaman
atau penghayatan kejiwaan. Munculnya kepercayaan baru ini dalam kehidupan umat
islam adalah pada akir abad ke II dan pemulaanya pada abad III hijriah. Inti
sari yang menjadi tujuan utama dalam ajaran tasawuf di dengankan oleh robi’ah
al-adawiah ( w.185 h/801 m ) dalam sebuah sa’ir: “ aku mencintai mu dengan dua
macm cinta, cinta dari kerinduan hati,dan cinta anuhgerah mu. ada pun cinta
kerinduan ku menyibukan aku dalam jikir pada mu, melupakan selin engkau, ada pun cinta memang anugerah mu maka
bukakanlah tabi penutup mu agar aku bisa melihat wajah mu, tidak ada puji untuk
ini dan itu bagiku, segala puji dari mu dan untukmu pula”
Tingkatan (maqomat) tasawuf
A. MAQAMAT
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti “tempat orang
berdiri” atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya diartikan sebagai “jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan kepada Allah”.
Dalam bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti “tangga”.
Ada tujuh maqam
secara urut yang masing-masingnya umum terdapat dalam kita-kitab lainya ketujuh
maqom itu
التوبة والورع والزهىد والفقر
والصبر وتوكل والرضا
(1) yaitu : maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, mqam fakir,
maqam sabar, maqam tawakal, dan maqam ridda( rela) .
Tentang beberapa jumlah
tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi menuju Tuhan, yang
telah disepakati oleh para sufi yaitu al-zuhud, al-taubah, al-wara’,
al-faqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridha.
1.
Al-Zuhud
Kata al-zuhud secara
harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut
Imam al-Ghazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan
penuh kesadaran”. Adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya
hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”. Dalam perspektif
tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan
padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat
dan mengharapkan ridha Allah SWT.
2.
Al-Taubah
Secara bahasa, kata al-taubah
berasal dari bahasa Arab yang berarti “kembali”. Sedangkan taubat yang dimaksud
oleh kalangan para sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan
yang kita lakukan disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa tersebut dan dibuktikan dengan melakukan amal kebajikan. Menurut
Harun Nasution, yang dimaksud taubat oleh para sufi ialah taubat yang
sebenar-benarnya, yaitu taubat yang disertai tekad untuk tidak melakukan dosa
lagi. Taubat yang sesungguhnya sebaiknya tidak dilakukan hanya satu kali saja.
Dalam Al-Quran banyak
dijumpai ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat, diantaranya:
“Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman, supayak amu beruntung.”
3.
Al-Wara’
Kata al-wara’ secara bahasa berarti
”saleh”, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung
arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-wara adalah
meninggalkan segala sesuatu yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal
dan haram (syubhat).
4.
Al-Faqr
Al –faqr atau “fakir’ secara bahasa biasanya
diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau “orang miskin”. Sedangkan
dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada
pada diri kita serta tidak meminta rejeki kecuali sekedar untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban. Fakir juga bisa diartikan sebagai “tidak meminta, sungguh
pun tak ada pada diri kita, kalau diberi kita terima”. Artinya, tidak meminta
tetapi juga tidak menolak.
5.
Al-Shabr
Kata al-shabr
atau “sabar” secara bahasa berarti tabah hati. Menurut Dzu al-Nun al-Mishri,
sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak
Allah, tetapi tenang ketika seseorang mendapatkan dan menampakkan sikap cukup
walaupun sebenarnya dalam kefakiran (ekonomi). Selanjutnya, Ibn Atha mengatakan
sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik.
Di kalangan para sufi,
al-shabr diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-larangan Allah, juga sabar dalam menerima segala
cobaan yang ditimpakan oleh Allah kepada kita. Sabar dalam menunggu datangnya
pertolongan Allah, sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu
datangnya pertolongan.
Sikap sabar sangat
dianjurkan oleh Al-quran. Allah swt berfirman:
“Bersikap sabarlah
sebagaimana para rasul yang berjiwa teguh. Jangan tergesa-gesa menghadapi
mereka”.
6.
Al-Tawakal
Kata al-tawakal
atau “tawakal” secara bahasa berarti menyerahkan diri. Menurut Hamdun
al-Qashshar mengatakan, tawakal adalah berpegang teguh kepada Dzat Allah. Harun
Nasution mengatakan bahwa tawakal adalah menyerahkan diri kepada takdir dan
keputusan Allah
Seseorang yang bersikap
tawakal selamanya dalam keadaan tentram, jika mendapat anugerah dia berterima
kasih, dan jika dia mendapat musibah dia selalu sabar dan pasrah kepada takdir
Allah. Seseorang yang bertawakal tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa
yang ada untuk hari ini.
Allah berfirman:
“Dan hanya kepada Allahlah orang-orang yang
beriman bertawakal”.
7.
Al-Ridha
Kata al-ridha atau “ridha” secara
bahasa berarti rela, suka, dan senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti
tidak berusaha menentang qadha dan qadar Tuhan. Seseorang
bersikap ridha akan menerima qadha dan qadar dengan hati yang senang. Dia mampu
menghilangkan kebencian dari hati sehingga yang tinggal dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira, dia merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa
senang menerima nikmat. Dia tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar,
dan tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha dan qadar.
Seseorang yang bersikap ridha justru perasaan cintanya bergelora di waktu
menerima bala’ (cobaan yang berat).
Biasanya manusia merasa
sukar menerima keadaan “buruk” yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan,
kerugian, kehilangan barang, kehilangan pangkat dan kedudukan, kematian dan
lain-lain, yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dari
berbagai cobaan seperti itu hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat
ridha. Selain itu, dia juga rela berjuang di jalan Allah, rela menghadapi
segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa, dan
sebagainya. Semua itu bagi seorang sufi dipandang sebagai sifat-sifat yang
terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap sebagai ibadah karena
mengharapkan keridhaan Allah. Dalam hadis qudsi, Rasullah saw menegaskan:
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan
selain Aku. Barang siap yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur
atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya
dia keluar dari kolong langit dan mencari Tuhan selain Aku.”
masing-masing dari
ke tujuh maqam ini di soroti dan di beri arti sesuai dengan cipta penyucian
hati secara sufi. Namunn secara urut ke tujuh maqam ini juga mengarah ke
peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya . pada puncaknya,
yaitu maqam ketujuh akan tercapailah kebebasan hati dari segala ikatan dunia
yaitu menciptakan susana hatti yang netral dn memandang sepele terhaddap dunia.
Ihsanuddin dalam kitab makripat misallnya menyetir suatu, sya’ir yang menggambarkan sikap sufi terhadap
dunia sebagai berikut :
وكل ماخلق الله وما لم يخلق #
مختقر فى همتي كشعرة فى مفرق
Setiap apa yang
telah di ciptakan allah, serta apa yang belum tercipta tak berharga dalam
hatiku hanya seperti sehelai ranbut yang terlepas dari kepalaku.
BAB II
PEMBAHASAN
A, kelahiran taswuf
Tasawuf adalah istilah yang sama
sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak
dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in). Istilah ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini.
Abdul Hasan Al Fusyandi mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw, tasawuf
ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar
nama, tetapi tidak ada realitasnya."
Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani lainnya dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyah dan mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang ini.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”
Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi kita. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
Ibnul Jauzi mengemukakan istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.
Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani lainnya dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyah dan mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang ini.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”
Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi kita. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
Ibnul Jauzi mengemukakan istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.
B, Sumber ajaran
tasauf
- Allah
Allah merupakan Zat
sumber ilmu tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf
dari selain Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmuNya kepada para
sufi lewat hidayah (ilham) baik langsung maupun dengan perantaraan lain selain
Allah yang Allah kehendaki. Ada kalanya lewat Al-Qur’an dengan metode iqro’ul
Qur’an (membaca, menyimak, menganalisa isi kandungan Al-Qur’an). Dimana
dalam alqur’an itu terdapat beberapa ayat yang memang berkenaan dengan perintah
tasawuf, meski tidak secara langsung berbentuk tasawuf, tapi karena adanya
pesan yang tersirat dalam ayat al-qur’an yang sesungguhnya menyeru untuk
bertasawuf. Seperti ayat tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah)
dengan Tuhan. Hal itu misalnya ayat 54 surat al-Maidah :
Selain tentang mahabbah
antara kholik dengan makhluknya, dalam al-qur’an pun Allah menerangkan tentang
keunggulan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Hal ini menjadi salah
satu amalan kau sufi (yaitu meninggalkan segala kehidupan yang berhubungan
dengan keduniaan dan memfokuskan dirinya untuk kehidupan akhiratnya saja, atau
sering disebut dengan zuhud). Diantaranya ialah ayat 77 pada surat
an-Nisaa dan ayat 20 pada surat al-Hadid.
Dan masih banyak lagi
ayat-ayat dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan tasawuf. Yang sudah tentu itu
semua menjadi sumber dari ilmu tasawuf yang diajarkan dan diamalkan oleh
seorang sufi.
Selain melalui
al-qur’an, Ada pula melalui alam dengan cara perenungan sufi dan lain
sebagainya yang pada intinya merupakan hidayah dari Allah, kemudian berwujud
menjadi ide tercerahkan dalam nuansa pemikiran dan keyaqinan di dalam hati
untuk dimanifestasikan dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian
diri kepada Allah SWT.
- Rasul
Rasul merupakan sumber
kedua setelah Allah bagi para sufi dalam mendalami dan pengambangkan ilmunya,
karena hanya kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyuNya. Tentulah Rasul
pula yang lebih banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat dibalik yang tersurat
dalam Al-Qur’an. Selain itu rosul pulalah satu-satunya manusia yang sempurna
dalam segala hal, Beliau adalah insan panutan bagi semua umat manusia terutama
kaum sufi yang senantiasa mencoba meniru semua kelakuan Rasulullah denag
sebaik-baiknya.
Seperti sebelum Nabi
diangkat menjadi rasul, berhari-hari ia mengasingkan diri di Gua Hira, terutama
pada saat bulan Ramadhan. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu
itu diagung-agungkan oleh orang arab yang tengah tenggelam di dalamnya, seperti
peraktek pedagangan dengan perinsip menghalahkan segala cara. Selama di Gua
Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang
zahid. Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan,
tidak makan atau minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa
beribadah kepada Allah SWT., sehingga siti Aisyah bertanya, “mengapa engkau
berbuat begini, ya Rasulullah padahal Allah senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah
menjawab “apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur
kepada Allah? “.
Selain dari itu di
dalam hadits Rasulullah banyak dijumpai keterangan yang berbicara tentang
kehidupan rohaniah manusia yang dapat difahami dengan pendekatan tasawuf,
seperti hadits;
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Artinya:
“Barangsiapa
yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal tuhannya.”
لا يزال العبد يتقرب الي
بالنوافل حتى أحبه فاءذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع وبصره الذي يبصربه ولسانه الذي
ينطق به ويده الذي يبطش بها ورجله الذي يمشى بها فبي يسمع فبي يبصر وبي ينطق وبي
يعقل وبي يبطش وبي يمشى
Artinya:
“senantiasa seorang hamba itu
mendekatkan diri kepadaku dengan amalan-amalan sunnah sehingga aku
mencintainya. Maka tetkala mencintainya, jadilah aku pendengarnya yang dia
pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya
yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka
dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan
berjalan.”
Semua keterangn tersebut ada pada diri
rasulullah yang oleh para sufi dijadikan sebagai sumber kedua dari ilmu tasawuf
setelah Allah SWT.
- Kehidupan Para Sahabat
Sumber lain yang diacu
oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi SAW yang berkaitan dengan
keteguhan iman, ketaqkaan, kezuhudan, dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu,
setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam islam tidak dapat
mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi
di abad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat
dijadikan acuan oleh para sufikarena para sahabat sebagai murid langsung
Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti
kehidupan Nabi. Oleh sebab itu, perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama
dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali dalam hal-hal tertentu yang khusus
bagi Nabi SAW. Setidak-tidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang
paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh nabi SAW. Oleh karena itu
al-Qur’an memuji mereka:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ÈÉÉÊÇ
100. Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
“ orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang muhajirin
dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho
kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (Q.s.9:100).
Karena hal itulah para
sufi menjadikan kehidupa para sabat Nabi sebagai sumber ke tiga dari ajaran
tasawuf. Dengan harapan bias menjadi pengikut yang sebaik-baiknya agar dapat
tergolongkan kepada orang-orang yang mendapatkan ridho Allha dan surga-Nya seperti
yang disebutkan dalam ayat tersebut diatas.
- Ijma’ Sufi
Ijma’ Sufi (kesepakatan
para ‘ulama tasawuf) merupakan esensi yang sangat penting dalam ilmu tasawuf,
karenanya mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf
setelah Al-Qur’an Dan Al-Hadits.
- Ijtihad Sufi
Dalam kesendiriannya,
para sufi banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu sebagai alat
pembeda antara kepositifan dengan kenegatifan dalam pengalaman itu. Maka
diperlukan ijtihad bagi setiap sufi sebagai sumber yang ke 4 dalam ilmu
tasawuf, jika belum ditemukan dalam Qur’an, Hadits maupun ijma’ sufi.
- Qiyas Sufi
Qiyas merupakan
penghantar sufi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari
jama’ahnya, maka qiyas ditempatkan pada sumber ke lima dalam ilmu tasawuf.
- Nurani Sufi
Setiap sufi positif,
memiliki nurani yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah
firasat, rasa, radar batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap
kaum sufi, bias dari keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah
kepada Allah tanpa kenal lelah. Maka nurani sufi merupakan sumber yang ke enam
dalam ilmu tasawuf.
- Amalan Sufi
Al-Qur’an, Al-Hadits,
Ijma’ Sufi, Ijtihad Sufi, Qiyas Sufi dan Nurani Sufi seperti yang penulis
jelaskan di atas akan sia-sia tanpa pengamalan kaum sufi. Maka amalan sufi
merupakan sumber ke tujuh dalam ilmu tasawuf. Jika ke tujuh sumber di atas
mampu anda telusuri, maka penulis yaqin anda akan tahu, mengerti, memahami dan
mampu menghayati hakikat ilmu tasawuf.
Namun pada umumnya ada satu
tradisi yang sangat unik di kalangan sufi, dengannya para sufi memiliki derajat
tersendiri jika dibandingkan dengan para faqih, filosof dan ahli lainnya,
yaitu: “Kerahasiaan (rahasia).” Kaum sufi memegang teguh tradisi rahasia
(menyembunyikan) nurani dan amalinya, karena jika dua hal tersebut diketahui
umum dapat menimbulkan kesalah fahaman, hal ini disebabkan dimensi tariqat
(perjalanan) sufi merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi
tersembunyi, gaib) yang tidak semua orang mampu menjalaninya, namun para sufi
amat merindukannya disebabkan semata karena cinta kepaNya.
C, Tokoh tasawuf dan ajaranya
TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN
AJARANNYA
Berikut ini beberapa tokoh tasawuf yang terkenal beserta ajarannya, diantaranya:
a. Hasan Al-Bashri
Hasan
al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’
dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di
Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah
perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal
tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana
karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah
terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang
dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menyebabkan
Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan
kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud
serta khauf dan raja’.
Dasar
pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga
ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
Prinsip
kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut
kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melakukan perintah-Nya. Serta
menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah
mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar selalu
memikirkan kehidupan yang akan datang yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi.
b. Rabiah
Al-Adawiyah
Nama
lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah,
juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah
karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Dia adalah seorang zahidah,
zahid perempuan yang dapat menghiasi lembaran sejarah sufi dalam abad kedua
hijriah. Dia termasyhur karena mengemukakan dan membawa versi baru dalam hidup keruhanian,
dimana tingkat zuhud yang diciptakan Hasan al-Bashri yang bersifat khauf dan
raja’ itu dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkat zuhud yang bersifat hub (cinta)
karena yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.
Cinta
murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya
dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair
berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang
kucinta,
Pintu hatiku telah
tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak
mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku
memandang-Mu selalu.
Cinta
kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia
membagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah
telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai
tentang cintanya kepada Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat
mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk
mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi
melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna
segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa
dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin
dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
c. Al-Hallaj
Al-hallaj
adalah seorang tokoh sufi yang mengembangkan paham al-hulul. Nama
lengkapnya adalah Husein Bin Mansyur al-Hallaj. Dia dilahirkan pada tahun 244
H/858 M di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia
tinggal sampai dewasa di Waisith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia
pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin
Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya, ia berangkat ke Bashrah dan
belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki. Pada tahun 264 H, ia masuk kota
Baghdad dan belajar pada Junaid yang juga seorang sufi. Al-Hallaj pernah
menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga hari. Dengan riwayat hidup singkat
ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup
mendalam dan kuat.
Hulul
merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya
kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Hulul berimplikasi kepada bersemayamnya
sifat-sifat ke-Tuhanan kedalam diri manusia atau masuk suatu dzat kedalam dzat
yang lainnya. Hulul adalah doktrin yang sangat menyimpang. Hulul ini telah
disalah artikan oleh manusia yang telah mengaku bersatu dengan Tuhan. Sehingga
dikatakan bahwa seorang budak tetaplah seorang budak dan seorang raja tetaplah
seorang raja. Tidak ada hubungan yang satu dengan yang lainnya sehingga yang
terjadi adalah hanyalah Allah yang mengetahui Allah dan hanya Allah yang dapat
melihat Allah dan hanya Allah yang menyembah Allah.
d. Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali. Karena
kedudukan tingginya dalam Islam, dia diberi gelar Hujjatul Islam. Ayahnya,
menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari itulah,
tokoh sufi yang satu ini terkenal dengan al-Ghazzali (yang pemintal wol),
sekalipun dia terkenal pula dengan al-Ghazali, sebagaimana diriwayatkan
al-Sam’ani dalam karyanya, al-Ansab, yang dinisbatkan pada suatu kawasan
yang disebut Ghazalah. Al-Ghazali lahir di Thus, kawasan Khurasan, tahun
1059 M. Ia pernah belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, seorang guru
besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama,
al-Ghazali mempelajari teologi, pengetaauan alam, filsafat dan lain-lain,
tetapi akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah
bertahun-tahun menggembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus di tahun 1105 M dan
meninngal di sana tahun 1111 M.
Di bidang tasawuf, karya-karya Al-Ghazali cukup banyak, yang paling penting
adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam karyanya tersebut, dia menguraikan
secara terinci pendapatnya tentang tasawuf, serta menghubungkannya dengan fiqh
maupun moral agama. Juga karya-karya lainnya, al-Munqidz min al-Dhalal,
dimana ia menguraikan secara menarik kehidupan rohaniahnya, Minhaj
al-‘Abidin, Kimia’ al-Sa’adah, Misykat al-Anwar dan sebagainya.
Ajarannya
e. Ibn Arabi
Muhyiddin Ibn Arabi lahir di Murcia, Spanyol tahun 1165 M. setelah menempuh
studi di Seville, ia pindah ke Tunis di taun 1194 m, dan di sana ia masuk
aliran sufi. Di tahun 1202 M ia pergi ke Makkah dan meninggal di Damaskus tahun
1240 M.
Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif.
Jumlah buku yang dikarangnya kira-kira berjumlah dua ratus lebih. Salah satu
buku termasyhurnya adalah Fushush al-Hikam yang merupakan wacana tentang
tasawuf.
Inti ajaran tasawuf yang diperkenalkan Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud.
Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan
demikian, wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Dalam paham wahdat al-wujud
ada dua hal yaitu khalq (makhluk) dan haq (tuhan). Menurut paham ini setiap
sesuatu punya dua aspek (aspek luar dan dalam). Aspek luar merupakan khalq yang
merupakan sifat kemakhlukan, aspek dalam adalah haq yang mempunyai sifat
ketuhanan. Dari sini kemudian muncul pemahaman bahwa antara makhluk (manusia)
dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang
sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya
bayang-bayang atau fotokopi dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu
dasar pemikiran bahwa Allah sebagaimana diterangkan dalam al-hulul, ingin
melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu Dia menjadikan alam
semesta ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat
Allah ingin melihat diri-Nya, Dia cukup melihat alam ini. Pada benda-benda yang
ada di alam ini Allah dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini
terdapat sifat-sifat Allah, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini
juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya
satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa
cermin: ia melihat dirinya yang banyak, tetapi dirinya sebenarnya hanya satu
D, macam-macam tasawuf
Tasawuf Qur’ani
Karena tasawuf merupakan jalan menuju Allah,untuk mendekatkan diri
kepada Allah,maka rujukan pertama dan terutama yang harus dilihat adalah
Alqur’an yang merupakan surat cinta dari Allah untuk umat manusia. Dengan
memahami nilai-nilai yang ada dalam Alqur’an dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan maka di harapkan seseorang itu akan lebih dekat dengan Allah. Tasawuf
yang mengacu kepada nilai-nilai alqur’an dalam usahanya untuk mendekatkan diri
kepada Allah disebut Tasawuf Qur’ani.
Sahl at-Tusturi pernah mengatakan: “Pokok
ajaran kami adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an, mengamalkan sunnah, makan
makanan yang halal, mencegah menyakiti orang lain, menjauhi yang tidak baik,
bertaubat dan menunaikan hak-hak. Lalu Imam an-Nawawi mengatakan: “Pokok ajaran
tarikat tasawuf ada lima: bertakwa kepada Allah baik tersembunyi ataupun
terang-terangan, mengikuti sunnah baik perkataan ataupun perbuatan, berpaling
dari akhlak tercela dihadapan atau dibelakang, ridha terhadap pemberian Allah
sedikit ataupun banyak dan kembali ke jalan Allah dalam suka dan duka. Imam
Ahmad pun menasihati anaknya (Abdullah bin Ahmad): “Wahai anakku wajib bagimu
duduk bersama mereka, yaitu suatu kaum yang dapat memberikan kepada kita
banyaknya ilmu, taqarrub kepada Allah (murâqabah), timbulnya rasa takut, hidup
zuhud dan tingginya cita-cita, seraya beliau mengatakan: “Lâ a’lamu aqwâman
afdhalu minhum” (aku tidak tahu ada kaum yang lebih utama daripada mereka).”
(Sayyid al-Murâbith bin Abdurrahman al-Abyîri, Al-Firaqul Islâmiyyah bainal
Qadîm wal Hadîts, 2007, hal. 148)
2. Tasawuf Sunni
Asketisme(zuhud) adalah cikal bakal
tumbuhnya tasawuf,sedangkan kemunculan asketisme sendiri adalah bersumber dari
ajaran islam. Pemahaman dan pengalaman asketisme yang berkembang sejak abad
pertama hijriah,benar-benar berdasarkan islam,baik yang bersumber dari
Alqur’an,Sunnah maupun kehidupan sahabat nabi.
Asketisme yang tadinya tidak lebih dari
sesuatu yang bersifat praktis dalam kehidupan,kemudian berkembang menjadi
konsep-konsep yang sistematis-teoritis dengan tetap berpegang teguh kepada
Alqur’an dan Sunnah serta kehidupan para sahabat. Di sisi lain,asketisme
sebagai ide yang berakar pada ajaran islam,lebih terfokus pada pembicaraan dan
pembinaan moral,baik moral kepada Allah maupun moral kepada diri sendiri serta
kepada sesama umat manusia.
Sulit dipastikan waktu yang tepat tentang
kapan peralihan asketisme ke sufisme,tetapi yang pasti,bahwa sufisme yang awal
adalah sufisme yang tetap konsisten dan komitmen dengan prinsip-prinsip islam.
Oleh karena sifat-sifatnya yang demikian maka tasawuf tipe yang awal dapat
diterima sebagian besar ulama terutama para ulama yang tergolong Ahlusunnah.
Inilah salah satu sebab tasawuf tipe ini dinamakan tasawuf sunni.
Yang dimaksud tasawuf sunni adalah tasawuf
yang dibatasi sumber pengambilannya dari kitabullâh dan sunnah, dimana mereka
menyelaraskan segala sesuatu atas pertimbangan keduanya. Maka tidak salah kalau
dikatakan pertimbangan tasawufnya adalah pertimbangan syari’ah.Bermula dari
hidup zuhud, lalu menjadi seorang shûfi dan berhenti pada akhlak. Gambaran
puncak tasawuf ini disempurnakan oleh Abu Hamid al-Ghazali, maka jadilah
tasawuf ini bagian dari thariqat ahlus sunnah wal jama’ah.Sejauh mana tasawuf
ini menjadikan sumber ajaran?, kalaulah istilah ini disetujui, maka akan ditemukan
ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa ‘negeri akhirat lebih baik
dibandingkan dunia.’ Demikian pula dengan hadits-hadits Rasulullah mengenai
pentingnya zuhud, dimana zuhud merupakan elemen dasar (the basic element)
metodologi umum pendidikan seorang muslim. (Lihat Muhammad as-Sayyid al-Galind
dalam Min Qadhaya at-Tasawuf fî Dhauil Kitâb was Sunnah)
Diantara sufi yang berpengaruh dari aliran tasawuf sunni dengan pokok-pokok
ajarannya ialah sebagai berikut
· Hasan Al Bashri
Dasar pendiriannya yang paling utama
adaalah zuhud terhadap kehidupan dunawi sehingga ia menolak segala kesenangan
dan kenikmatan duniawi.
· Rabiah Al Adawiyah
Ia merupakan orang pertama yang mengajarkan
al hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.Cinta murni kepada Tuhan
merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui
syair-syair dan kalimat-kalimat puitis.
· Dzu Al Nun Al Misri
Jasanya yang paling besar dan menonjol
dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan
sufi menuju Allah,yang disebut Al maqomat. Beliau banyak memberikan petunjuk
arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan Pandangan sufi.
· Abu Hamid Al-Ghazali
Inti tasawuf Al Ghazali adalah jalan menuju
Allah atau ma’rifatullah. Oleh karena itu,serial Al maqomat dan al ahwal,pada
dasarnya adalah rincian dari metoda pencapaian pengetahuan mistis.
3. Tasawuf ‘Amali
Yang disebut tasawuf ‘amali adalah
Keseluruhan rangkaian amalan lahiriah dan latihan olah batiniah dalam usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah,yaitu dengan melakukan macam-macam amalan
yang terbaik serta cara-cara beramal yang paling sempurna. Menurut para
sufi,ajaran agama itu mengandung dua aspek,lahiriah dan bathiniyah. Secara
rinci,kedua aspek tersebut dibagi kedalam empat bidang sebagai berikut:
a
Syari’at,diartikan sebagai kualitas amalan
lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Alqur’an dan Sunnah.
Syari’at adalah hukum-hukum formal atau amalan lahiriah yang berkaitan dengan
anggota jasmaniah manusia,sedangkan syari’at sebagai fiqih dan syari’at sebagai
tasawuf tidak dapat dipisahkan karena yang pertama adalah sebagai wadahnya dan
yang kedua sebagai isinya. Kerna itu ditegaskan, Seorang yang salik tidak
mungkin memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan
lahiriahnya.
b Thariqot,kalangan sufi
mengartikan thariqat sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan
pengikut tasawuf dan dijadikan metoda pengarahan jiwa dan moral.
c Hakikat,dalam dunia sufi
hakikat diartikan sebagai aspek bathin dan dari syari’at,sehingga dikatakan
hakikat adalah aspek yang paling dalam dari setiap amal,inti dan rahasia dari
syariat yang merupakan tujuan perjalanan suluk.
d Ma’rifat,berarti pengetahuan
atau pengalaman. Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung
tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari
ilmu hakikat.
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa
Yang dimaksud tasawuf ‘amali, adalah pola tasawuf yang dilakukan para penganut
tarekat (ashhâbut turuq) seperti mengedepankan mujâhadah, menjauhkan sifat
tercela, memutuskan hubungan dengan yang lain dan menghadap Allah dengan
sepenuh cita-cita.
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa kaidah
dan adab yang dirinci secara klasikal seperti hubungan murid dengan gurunya,
‘uzlah, khalwat, al-jû’ (berlapar-lapar), as-sahr (bermalam-malam/ begadang),
as-shumt (berdiam diri) dan dzikir
4. Tasawuf Akhlaqi
Pada mulanya tasawuf itu ditandai dengan
ciri-ciri psikologis dan moral,yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia
dalam upaya menciptakan moral yang sempurna. Dalam pandangan sufi,ternyata
manusia depedensia kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh
dorongan-dorongan nafsu pribadi,bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya.
Kenikmatan hidup di dunia menjadi tujuan,bukan lagi sebagai jembatan emas
menuju kebahagiaan sejati.efek dari pandangan hidup seperti ini emnuju kearah
pertentangan manusia dengan sesama manusia,sikap
ethnosentrisme,egoisme,persaingan tidak sehat,sehingga manusia lupa kepada
eksistensialnya sebagai hamba Allah. Karena ekspresi manusiawinya
sebagian besar dihabiskan untuk persoalan-persoalan duniawi,menyebabkan ingatan
dan perhatiannya jauh dari Tuhan.
Menurut orang sufi,Untuk merehabilitir
sikap mental yang tidak baik tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari
aspek lahiriah saja. Itulah sebabnya,pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan
tasawuf,seorang kandidat diharuskan melakukan amalan dan latiha yang cukup
berat,tujuannya adalahuntuk menguasai hawa nafsu,untuk menekan hawa nafsu
sampai ke titik terendah dan bila memungkinkan mematikan hawa nafsu itusama
sekali.
Sistem pembinaan akhlak itu mereka susun
sebagai berikut:
- Takhalli,yakni mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap duniawi
- Tahalli,membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik
- Tajalli,terungkapnya nur gaib bagi hati
- Munajat,melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan
- Zikrul maut,ingatan yang berkepanjangan tentang mati akan memancing rasa keTuhanan yang semakin dalam.
Tokoh-tokohnya tasawuf akhlaki ini antara
lain:
- Haris Al Muhasabi(w.243 H) adalah salah seorang sufi yang
populer dalam pembahasan tasawuf akhlaki melalui konvergensi antara
syariat dan akhlak. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu mempunyai
substansi,substansi manusia dan akal budi yang disertai moralitas dan substansi
akal adalah kesabaran.
- Al Sirri Al Saqathi( w.257 H) pendapatnya
yang populer ialah bahwa kekuatan yang paling tangguh ialah kemampuan
mengendalikan diri. Seseorang yang mampu mengendalikan dirinya ,niscaya tidak
akan sanggup mengendalikan orang lain.
- Al Kharraj( w.277 H) ,orang pertama yang menulis
konsep-konsep dasar tentang sifat-sifat terpuji yang kemudian menjadi rujukan
sufi-sufi selanjutnya.
- Sahl Al Tutsuri ( w. 293 H) dengan
ajarannya yang rinci tentang ikhlash serta hal-hal yang merusak perbuatan.
-
5. Tasawuf Salafi
Yang dimaksud tasawuf salafi adalah tasawuf
yang digagas oleh sekumpulan tokoh ulama salaf seperti Ibnu Taimiyyah dan
muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Corak tasawuf ini menyerupai tasawuf sunni
dalam segala urusannya, terutama dalam pentingnya berpegang terhadap kitâbullah
dan sunnah, serta dalam hal tercelanya faham ittihad, hulul, wihdatul wujud,
maqâmat dan ahwal.
Sebenarnya, istilah tasawuf salafi
merupakan istilah pembelaan dari kelompok shûfi yang ingin menegaskan bahwa
tidak benar orang yang berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari luar
Islam dengan mengedepankan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim sebagai tokoh
penggagasnya, sehubungan keduanya merupakan tokoh puritanisme Islam.
Hal ini dapat dilihat dari pembelaan Syaikh
Muhammad Zaki Ibrahim (pendiri dan syaikh tarikat al-‘Asyirah al-Muhammadiyah
al-Syadziliyyah dan komisi pembaruan sufi serta ikatan tarikat-tarikat yang ada
di Mesir). Menurutnya: “Dasar-dasar tasawuf terdapat dalam Al-Qur’an dan
sunnah. Hal ini tak dapat dipungkiri, bahkan oleh mereka yang agak minim
tentang Islam. Tak ada seorang pun dari kalangan Muslim yang mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah hasil kutipan dari kitab suci Budha, Majusi, dan
Rahbaniyyah.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf
bersumber dari ajaran selain Islam adalah sebuah pendapat yang sembrono,
berlebih-lebihan dan penuh kebohongan.Jika yang dimaksud dengan tasawuf adalah
filsafat yang asing dari akidah dan syari’at, maka hal tersebut memang benar,
namum filsafat tersebut tidak ada hubungannya dengan tasawuf Islami.Jika ada
yang menjadikan mereka (para ahli filsafat) sebagai dasar untuk menghujat dan
menghukumi kesesatan tasawuf dengan sebab kesesatan perilaku beberapa oknum
yang mengatas namakan tasawuf, maka hal tersebut merupakan sebuah pemutar
balikan fakta yang sebenarnya. Menghukumi seseorang atas kesalahan orang lain
adalah satu perbuatan yang tercela.” (Lihat Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf
Salafi, 2002, hal.13)
6. Tasawuf Falsafi
Yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah
yang bercampur didalamnya antara dzauq shûfiyyah dan nadzhar ‘aqliyyah
(perasaan terdalam kaum shûfi dan nalar akal/ filsafat) dengan sumber yang
berbeda-beda.Ini merupakan pendapatnya Abul Wafa’ al-Ghanîmi at-Taftâzani,
sedangkan DR.‘Ali Sami an-Nasyâr berpendapat bahwa tasawuf ini merupakan
campuran antara makna-makna Islam dan falsafat kuno yang dalam falsafat
zhahirnya Islami, sementara dalamnya tidak Islami.(Sayyid Muhammad ‘Aqîl, hal.
12).
Para penganut tasawuf macam ini diantaranya
adalah Suhrawardi al-Maqtûl (550-580 H.), Ibnu ‘Arabi (560-638 H.), Ibnu Sab’in
(614-669 H.) dan yang lainnya.
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan
latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan
dengan Allah,juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakan
teologi dan filsafat.dari kelompok inilah yang tampil sebagai sufi yang
filosofis dan filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf
falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran
filsafat yang paling banayak di pergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham
emanasi neo platonisme dalam semua variasinya.
Selain Abu Yazid Al Bhustami ,tokoh teosofi
yang populer dalam kelompok ini dapat ditunjuk Masarrah(w.381 H) dari Andalusi
dan sekaligus sebagai perintis.berdasarkan pemahamannya tentang teori emanasi
ia berpendapat,bahwa melalui jalan tasawuf manusia dapat membebaskan jiwanya
dari cengkeraman badani (materi) dan memperoleh sinar ilahi secara langsung
(ma’rifat sejati). orang kedua yang mengkombinasikan teori filsafat dengan
tasawuf dapat disebut Suhrawardi al Maqtul(w.578 H) yang berkebangsaan Persia
atau Iran. Berangkat dari teori emanasi Ia berpendapat,bahwa dengan melalui
usaha keras dan sungguh-sungguh seperti apa yang dilakukan para sufi,seseorang
dapat membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali ke
pangkalan pertama yakni alam malakut atau alam ilahiyat. Konsepsi lengkap teori
ini kemudian dikenal dengan nama al Isyraqiyah yang ia
tuangkan dalam karya tulisnya al Hikmatul Isyraqiyah. Bersumber
dari prinsip yang sama al Hallaj (w.308 H) memformulasikan teorinya dalam
doktrin al Hulul, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara
Rohaniyah atau antara Mahluk dengan Al Khaliq.
7. Neo Sufisme
Terminologi Neo sufisme pertamakali di
munculkan oleh pemikir muslim kontemporer yakni Fazlur Rahman dalam bukunya”
Islam”. Kemunculan istilah itu tidak begitu saja diterima para pemikir muslim
,tetapi justru memancing polemik dan diskusi yang luas. Sebelum Fazlur,sebetulnya
di Indonesia Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya
“ Tasawuf Modern ” tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata
Neo-Sufisme. Keseluruhan isi buku ini,terlihat adanya kesejajaran
prinsip-prinsipnya dengan tasawuf Al Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah. Kalau al
Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat maka
Hamka justru menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif
dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarkat.
Menurut fajlur Rahman,perintis apa yang ia
sebut sebagai neo sufisme adalah ibnu Taimiyah(w.728 H) yang kemudian
diteruskan oleh muridnya Ibnu Qoyyim,yaitu tipe tasawuf yang terintegrasi
dengan syari’ah. Apabila benar demikian ,maka muatan dari yang disebut neo
sufisme itu sudah sejak abad 8 H ,tapi kenapa baru abad dua puluh ini diangkat
sebagai neo sufisme.Kebangkitan kembali sufisme di dunia islam dengan sebutan
neo sufisme,nampaknya tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai
kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada
sains dan teknologi selaku produk era modernisme.
Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan
kepada rekonstruksi sosio moral masyarakat muslim,sedangkan sufisme terdahulu
terkesan lebih bersifat individual dan “hampir” tidak melibatkan diri dalam
hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu karakter keseluruhan neisme adalah
puritanis dan aktivis.
Sikap puritanis pendukung neo sufisme
menyebabkan berseberangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan
pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif. Berlainan dengan neo
sufisme,yang malahan mendorong dan memotivasi pengikutnya agar aktif dan
kreatif dalam kehidupan ini,baik yang bersifat karya-karya praktis maupun dalam
kreatifitas intelektual. Menurut al Qusyasyi(w.1071 H),sufi yang sebenarnya
bukanlah yang mengasingkan diri dari masyarakat,tetapi sufi yang yang teteap
aktif dalam kehidupan masyarakat dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar demi
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A, kesimpulan
Dari segi linguistik
tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah,
hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana.
Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu
membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan
diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata
hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Al-Ghazali mengatakan bahwa
tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal dengan
sebenar-benarnya kepada Allah Swt.
Tasawuf diciptakan
sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena
bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat,
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam
hubungan ini Harun Nasution bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya
dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan
takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah
yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada
kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang
bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
Harun Nasution lebih
lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan
hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa
kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar,
baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian,
hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai
ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan
ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf
juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Berupaya menyelamatkan diri dari
akidah-akidah syirik dan batil
2. Melepaskan diri (takhalli) dari
penyakit-penyakit kalbu.
3. Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak
Islam yang mulia.
4. Mencapai derajat ihsan dalam ibadah
(tajalli).
Dengan demikian kaum
sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada
setiap kali beribadah.
B, saran
Setelah para pembaca
selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di dalam
penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan makalah
yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan
kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah
referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini penulis
hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan keterbatasan
buku referensi yang penulis dapatkan.
C, Daptar pustaka
Miskawaih, Ibnu, Tahzib al-Akhlak wa Tathhir
al-A’raq, Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934 Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, Jakarta : Hikmah,
tahun 1989
Wahiduddin Khan, Kritik Terhadap
Ilmu Fiqih, Tasawuf dan Ilmu Kalam (terj.), Jakarta : Gema Insani
Press, tahun 1994 tasauf dan perkembangannya dalam islam, manajemen pt raja
grafindo persada jakarta1996.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar