Kamis, 05 Maret 2015

Indahnya Dunia Tasawuf




Kata pengantar


 Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada zat ilahi rabbi yang telah memberikan keberkahan kepada kita semua.  Dengan adanya tugas dari mata kuliah pemikiran islam yang memberikan tugas untuk membuat makalah sebaik mungkin yang berkenaan dengan ilmu tasawuf,  oleh karena itu makalah kami buat sebagai ajang pelatiha kami dalam bidang pemikiran islam, tema yang kami bawakan adalah ‘’ indahnya dunia tasawuf ‘’  semoga atas di tulisnya makalah ini dapat  memberikan manfaat kepada yang membacanya, dan manfaan dunia dan akhirat   amin ...
 teradisi ilmu-ilmu keislaman masa lalu yang tersimpan dalam kitab-kitab di indonesia yang terkenal dengan julukan kitab kuning, adalah hasil pemikiran para ulama besar pada abad tengah. Ya’ni  jaman kebesaran peradaban bagdad dan kordoba di masa silam, zaman itu alam pemikiran dan peradaban masih di dominasi alam pikiran yunani purba yang mengantalkan renungan spekulatif, mengandalkan ketajaman logika maka pusat pemikiran para ulama dulu adalah penafsiran untuk merumuskan ajaran-ajaran islam yang seharusnya menurut pemahaman para ulama itu terhadap al-qur’an dan al-hadist kegiatan ini menghasilkan bangunan mazhab-mazhab agung baik dalam lapangan ilmu aqidah( ilmu kalam) atau ilmu ilmu piqih dan ilmu tasawuf (sufisme) sehingga muncullah tasawuf .






                           17 september 2014
                                                                                                         Penyusun

                                                                                                            Samsul muarif



Daftar isi
KATA PENGANTAR .................................................................................................... 1 DAFTAR ISI    2
 BAB  I PENDAHULUAN............................................................................................. 4
A.   Latar belakang..................................................................................... 4

B.   Rumusan masalah............................................................................. 5

C.   Tujuan masalah.................................................................................. 5
BAB  II PEMBAHASAN ............................................................................................... 11  
A.   Kelahiran tasawuf.............................................................................. 11

B.    sumber ajaran tasawuf..................................................................... 12

C.   Tokoh sufi dan ajarannya................................................................. 17


D.   Macam-macam tasawuf..................................................................... 21

   BAB III........................................................................................................................... 27
A.   Kesimpulan.......................................................................................... 27

B.   Saran.................................................................................................... 28


DAPTAR PUSTAKA..................................................................................................... 28









BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang

Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang  melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf lebih-lebih pada abad  kelima hijriah aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakekat yaitu Imam Ghazali.
Corak dari pada tasawwuf falsafi tentunya sangat berbeda dengan tasawwuf yang pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi’in, karena tasawwuf ini muncul karena pengaruh filasafat Neo-PlatonismeBerkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampl sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Andanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para filsuf muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi.
Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai Sifat madzohir dari sifat tuhan.Namun istilah tasawuf   falsafi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh teosofi yang populer.Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya.
orang kedua yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawwuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara Mansusia dengan sifat-sifat tuhan.
B.   Rumusan masalah
     

·         Apa pengertian taswuf.?.....
    
·         Bagaimana tasawuf di eramodernitas.?..
  
·         Apa tingkatan menjadi tasawuf?..


C.   Tujuan masalah

Ø  Untuk mengetahui definisi tasawuf


Ø  Untuk mengenal tasawuf di eramodernitas


Ø  Untuk mengetahui syarat menjadi tasawuf



















Pengertian tasawuf
Secara etimologis pengertian tasawuf menurut pendapat ahli sufi adalah :
1.    Sebagian berkata, para sufi di beri kata sufi karena kesucian ( safa) hati mereka dan keberhasilan tindakan mereka (athar) bisr bin harist berkata “ sufi adalah orang yang hatinya tulus dan suci kepada allah ‘’ maka oleh karena itu tumbuh secara keseluruhan mengalami pembaruan dan semua sikaf di tingkatkan oleh kesucian dan ketulusan jiwa
2.    Ada yang berpandapat bahwa sufi di sebut sufi hanya karena mereka berada di barisan pertama ( safa) di depan allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepadanya dan tetapnya kerahasiaan mereka di hadapannya


Namun secara istilah menurut syeh  Al-islam  zakaria an-ansari mendefinisikan tasawuf sebagai jalan yang mengajarkan manusia cara untuk menyucikan diri, untuk  meningkatkan moral dan membagun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai kehidupan yana abadi. Unsur utama dalam  tasawuf artinya menyucikan jiwa . tujuan akhirnya adalaah kebahagyaan dan keselamatan abadi

Imam al-gojali mengatakan: “ ketika telah mencapai tingkat ahli dalam ilmu-ilmu ini,saya alihkan perhatian saya kepada metode-metode yang di pakai oleh sufi. Sya belajar mengenali bermacam metode yng di pakai oleh sufi. ( mir valuddin, 1987:4-6)


 tasawuf di eramodernitas

Ø  tasawuf sebagai tempat pelarian masyarakat modern

      Aspek akidah dalam sufisme umumnyaa di pandang sebelah mata mata dalam kitab-kitab yang membahas teologi islam. Masalah ini luput dari pengmatan para peneliti daan pengkaji ilmu kalam atau teolog  islam. Karena merekaa memandangnya sebagai bidang khusus, yaitu ilmu tasawuf atau sufissme, serta tidak di ikut sertakan pada pembahasan ilmu kalam. Sufisme sebagai suatu paham atau pendekatan memunculkan atau mengembangkan konsep-konsep akidah yang amat canggih. Pengaruhnya justru lebih dominan dan menguasai bagian dari akidah umat islam.
       Pengaruh akidah sufisme ini justru amat merakyat sampai ke pelosok-pelosok alam islami, terutama semenjak kemunduran atau kemandegan pemikiran islam, yakni dari abaad XIII hingga XVIII, atau bahkan hingga dewasa ini. Konsep-konsep sufisme tentang ilmu gaib, keramat, dan pemitosan para walli allah memang memenuhi selera emusional masarakat awam dan segolongan para terpelajar yang belum berani menerapkan keritik historis dalam agama.
      Sebenarnya tasawuf muncul atas dasar adanya  akidah baru bahwa manusia itu bisa mengadakan hubungan langsung dengan tuhan, dengan perantaraan pengalaman atau penghayatan kejiwaan. Munculnya kepercayaan baru ini dalam kehidupan umat islam adalah pada akir abad ke II dan pemulaanya pada abad III hijriah. Inti sari yang menjadi tujuan utama dalam ajaran tasawuf di dengankan oleh robi’ah al-adawiah ( w.185 h/801 m ) dalam sebuah sa’ir: “ aku mencintai mu dengan dua macm cinta, cinta dari kerinduan hati,dan cinta anuhgerah mu. ada pun cinta kerinduan ku menyibukan aku dalam jikir pada mu, melupakan selin engkau,          ada pun cinta memang anugerah mu maka bukakanlah tabi penutup mu agar aku bisa melihat wajah mu, tidak ada puji untuk ini dan itu bagiku, segala puji dari mu dan untukmu pula”
       
Tingkatan (maqomat)  tasawuf
A.    MAQAMAT
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti “tempat orang berdiri” atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya diartikan sebagai “jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan kepada Allah”. Dalam bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti “tangga”.

Ada tujuh maqam secara urut yang masing-masingnya umum terdapat dalam kita-kitab lainya ketujuh maqom itu

التوبة والورع  والزهىد والفقر والصبر وتوكل والرضا         
(1)  yaitu : maqam  taubat, maqam wara’, maqam zuhud, mqam fakir, maqam sabar, maqam tawakal, dan maqam ridda( rela) .

Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi menuju Tuhan, yang telah disepakati oleh para sufi yaitu al-zuhud, al-taubah, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridha.
1.      Al-Zuhud
Kata al-zuhud secara harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut Imam al-Ghazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”. Adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”. Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat  dan mengharapkan ridha Allah SWT.
2.      Al-Taubah
Secara bahasa, kata al-taubah berasal dari bahasa Arab yang berarti “kembali”. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan para sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang kita lakukan disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibuktikan dengan melakukan amal kebajikan. Menurut Harun Nasution, yang dimaksud taubat oleh para sufi ialah taubat yang sebenar-benarnya, yaitu taubat yang disertai tekad untuk tidak melakukan dosa lagi. Taubat yang sesungguhnya sebaiknya tidak dilakukan hanya satu kali saja.
Dalam Al-Quran banyak dijumpai ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat, diantaranya:
“Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supayak amu beruntung.”
3.    Al-Wara’
Kata al-wara’ secara bahasa berarti ”saleh”, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
4.      Al-Faqr
Al –faqr atau “fakir’ secara bahasa biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau “orang miskin”. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita serta tidak meminta rejeki kecuali sekedar untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Fakir juga bisa diartikan sebagai “tidak meminta, sungguh pun tak ada pada diri kita, kalau diberi kita terima”. Artinya, tidak meminta tetapi juga tidak menolak.
5.      Al-Shabr
Kata al-shabr atau “sabar” secara bahasa berarti tabah hati. Menurut Dzu al-Nun al-Mishri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika seseorang mendapatkan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya dalam kefakiran (ekonomi). Selanjutnya, Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik.
Di kalangan para sufi, al-shabr diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah, juga sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan oleh Allah kepada kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Allah, sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.
Sikap sabar sangat dianjurkan oleh Al-quran. Allah swt berfirman:
“Bersikap sabarlah sebagaimana para rasul yang berjiwa teguh. Jangan tergesa-gesa menghadapi mereka”.
6.      Al-Tawakal
Kata al-tawakal atau “tawakal” secara bahasa berarti menyerahkan diri. Menurut Hamdun al-Qashshar mengatakan, tawakal adalah berpegang teguh kepada Dzat Allah. Harun Nasution mengatakan bahwa tawakal adalah menyerahkan diri kepada takdir dan keputusan Allah
Seseorang yang bersikap tawakal selamanya dalam keadaan tentram, jika mendapat anugerah dia berterima kasih, dan jika dia mendapat musibah dia selalu sabar dan pasrah kepada takdir Allah. Seseorang yang bertawakal tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini.
Allah berfirman:
“Dan hanya kepada Allahlah orang-orang yang beriman bertawakal”.
7.      Al-Ridha

Kata al-ridha atau “ridha” secara bahasa berarti rela, suka, dan senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha menentang qadha dan qadar Tuhan. Seseorang bersikap ridha akan menerima qadha dan qadar dengan hati yang senang. Dia mampu menghilangkan kebencian dari hati sehingga yang tinggal dalamnya hanya perasaan senang dan gembira, dia merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Dia tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, dan tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha dan qadar. Seseorang yang bersikap ridha justru perasaan cintanya bergelora di waktu menerima bala’ (cobaan yang berat).
Biasanya manusia merasa sukar menerima keadaan “buruk” yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, kehilangan pangkat dan kedudukan, kematian dan lain-lain, yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan seperti itu hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu, dia juga rela berjuang di jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa, dan sebagainya. Semua itu bagi seorang sufi dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap sebagai ibadah karena mengharapkan keridhaan Allah. Dalam hadis qudsi, Rasullah saw menegaskan:
Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barang siap yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya dia keluar dari kolong langit dan mencari Tuhan selain Aku.”

masing-masing dari ke tujuh maqam ini di soroti dan di beri arti sesuai dengan cipta penyucian hati secara sufi. Namunn secara urut ke tujuh maqam ini juga mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya . pada puncaknya, yaitu maqam ketujuh akan tercapailah kebebasan hati dari segala ikatan dunia yaitu menciptakan susana hatti yang netral dn memandang sepele terhaddap dunia. Ihsanuddin dalam kitab makripat misallnya menyetir suatu,  sya’ir yang menggambarkan sikap sufi terhadap dunia sebagai berikut :
وكل ماخلق الله وما لم يخلق #   مختقر فى همتي كشعرة فى مفرق           
Setiap apa yang telah di ciptakan allah, serta apa yang belum tercipta tak berharga dalam hatiku hanya seperti sehelai ranbut yang terlepas dari kepalaku.













                                     BAB II PEMBAHASAN
A, kelahiran taswuf
      

         Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Istilah ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. Abdul Hasan Al Fusyandi mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw, tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya."
Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir kemudian dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan tabiin serta generasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani lainnya dalam hidupnya. Akan tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung dalam mengejar kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka orang-orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyah dan mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang ini.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”
Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi kita. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Sabar, dll. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Kelahiran tasawuf memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa mula-mula munculnya sufisme adalah dari Basrah di Irak. Di Basrah terjadi sikap berlebih-lebihan dalam kezuhudan dan ibadah yang tidak pernah ada di kalangan semua warga kota lainnya.
Ibnul Jauzi mengemukakan istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.


B, Sumber ajaran tasauf


  1. Allah
Allah merupakan Zat sumber ilmu tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf dari selain Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmuNya kepada para sufi lewat hidayah (ilham) baik langsung maupun dengan perantaraan lain selain Allah yang Allah kehendaki. Ada kalanya lewat Al-Qur’an dengan metode iqro’ul Qur’an (membaca, menyimak, menganalisa isi kandungan Al-Qur’an). Dimana dalam alqur’an itu terdapat beberapa ayat yang memang berkenaan dengan perintah tasawuf, meski tidak secara langsung berbentuk tasawuf, tapi karena adanya pesan yang tersirat dalam ayat al-qur’an yang sesungguhnya menyeru untuk bertasawuf. Seperti ayat tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan. Hal itu misalnya ayat 54 surat al-Maidah :
Selain tentang mahabbah antara kholik dengan makhluknya, dalam al-qur’an pun Allah menerangkan tentang keunggulan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Hal ini menjadi salah satu amalan kau sufi (yaitu meninggalkan segala kehidupan yang berhubungan dengan keduniaan dan memfokuskan dirinya untuk kehidupan akhiratnya saja, atau sering disebut dengan zuhud). Diantaranya ialah ayat 77 pada surat an-Nisaa dan ayat 20 pada surat al-Hadid.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan tasawuf. Yang sudah tentu itu semua menjadi sumber dari ilmu tasawuf yang diajarkan dan diamalkan oleh seorang sufi.
Selain melalui al-qur’an, Ada pula melalui alam dengan cara perenungan sufi dan lain sebagainya yang pada intinya merupakan hidayah dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide tercerahkan dalam nuansa pemikiran dan keyaqinan di dalam hati untuk dimanifestasikan dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian diri kepada Allah SWT.
  1. Rasul
Rasul merupakan sumber kedua setelah Allah bagi para sufi dalam mendalami dan pengambangkan ilmunya, karena hanya kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyuNya. Tentulah Rasul pula yang lebih banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat dibalik yang tersurat dalam Al-Qur’an. Selain itu rosul pulalah satu-satunya manusia yang sempurna dalam segala hal, Beliau adalah insan panutan bagi semua umat manusia terutama kaum sufi yang senantiasa mencoba meniru semua kelakuan Rasulullah denag sebaik-baiknya.
Seperti sebelum Nabi diangkat menjadi rasul, berhari-hari ia mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada saat bulan Ramadhan. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang arab yang tengah tenggelam di dalamnya, seperti peraktek pedagangan dengan perinsip menghalahkan segala cara. Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan atau minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT., sehingga siti Aisyah bertanya, “mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullah padahal Allah senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah menjawab “apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah? “.
Selain dari itu di dalam hadits Rasulullah banyak dijumpai keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia yang dapat difahami dengan pendekatan tasawuf, seperti hadits;
من عرف نفسه فقد عرف ربه   
Artinya:
    Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal tuhannya.”
لا يزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى أحبه فاءذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع وبصره الذي يبصربه ولسانه الذي ينطق به ويده الذي يبطش بها ورجله الذي يمشى بها فبي يسمع فبي يبصر وبي ينطق وبي يعقل وبي يبطش وبي يمشى
Artinya:
senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepadaku dengan amalan-amalan sunnah sehingga aku mencintainya. Maka tetkala mencintainya, jadilah aku pendengarnya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan berjalan.”
Semua keterangn tersebut ada pada diri rasulullah yang oleh para sufi dijadikan sebagai sumber kedua dari ilmu tasawuf setelah Allah SWT.
  1. Kehidupan Para Sahabat
Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi SAW yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketaqkaan, kezuhudan, dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufikarena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi. Oleh sebab itu, perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali dalam hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidak-tidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh nabi SAW. Oleh karena itu al-Qur’an memuji mereka:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ÈÉÉÊÇ
100. Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (Q.s.9:100).
Karena hal itulah para sufi menjadikan kehidupa para sabat Nabi sebagai sumber ke tiga dari ajaran tasawuf. Dengan harapan bias menjadi pengikut yang sebaik-baiknya agar dapat tergolongkan kepada orang-orang yang mendapatkan ridho Allha dan surga-Nya seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut diatas.
  1. Ijma’ Sufi
Ijma’ Sufi (kesepakatan para ‘ulama tasawuf) merupakan esensi yang sangat penting dalam ilmu tasawuf, karenanya mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf setelah Al-Qur’an Dan Al-Hadits.
  1. Ijtihad Sufi
Dalam kesendiriannya, para sufi banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu sebagai alat pembeda antara kepositifan dengan kenegatifan dalam pengalaman itu. Maka diperlukan ijtihad bagi setiap sufi sebagai sumber yang ke 4 dalam ilmu tasawuf, jika belum ditemukan dalam Qur’an, Hadits maupun ijma’ sufi.
  1. Qiyas Sufi
Qiyas merupakan penghantar sufi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari jama’ahnya, maka qiyas ditempatkan pada sumber ke lima dalam ilmu tasawuf.
  1. Nurani Sufi
Setiap sufi positif, memiliki nurani yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah firasat, rasa, radar batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap kaum sufi, bias dari keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah kepada Allah tanpa kenal lelah. Maka nurani sufi merupakan sumber yang ke enam dalam ilmu tasawuf.
  1. Amalan Sufi
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Sufi, Ijtihad Sufi, Qiyas Sufi dan Nurani Sufi seperti yang penulis jelaskan di atas akan sia-sia tanpa pengamalan kaum sufi. Maka amalan sufi merupakan sumber ke tujuh dalam ilmu tasawuf. Jika ke tujuh sumber di atas mampu anda telusuri, maka penulis yaqin anda akan tahu, mengerti, memahami dan mampu menghayati hakikat ilmu tasawuf.
Namun pada umumnya ada satu tradisi yang sangat unik di kalangan sufi, dengannya para sufi memiliki derajat tersendiri jika dibandingkan dengan para faqih, filosof dan ahli lainnya, yaitu: “Kerahasiaan (rahasia).” Kaum sufi memegang teguh tradisi rahasia (menyembunyikan) nurani dan amalinya, karena jika dua hal tersebut diketahui umum dapat menimbulkan kesalah fahaman, hal ini disebabkan dimensi tariqat (perjalanan) sufi merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi tersembunyi, gaib) yang tidak semua orang mampu menjalaninya, namun para sufi amat merindukannya disebabkan semata karena cinta kepaNya.










C, Tokoh tasawuf dan ajaranya

                      TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN AJARANNYA

Berikut ini beberapa tokoh tasawuf yang terkenal beserta ajarannya, diantaranya:
a.      Hasan Al-Bashri
Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’.
Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melakukan perintah-Nya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang akan datang yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi.
b.      Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Dia adalah seorang zahidah, zahid perempuan yang dapat menghiasi lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriah. Dia termasyhur karena mengemukakan dan membawa versi baru dalam hidup keruhanian, dimana tingkat zuhud yang diciptakan Hasan al-Bashri yang bersifat khauf dan raja’ itu dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkat zuhud yang bersifat hub (cinta) karena yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.
Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:
Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu,
Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau,
Namun mata hatiku memandang-Mu selalu.
Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepada Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagi melalui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.
Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
c.       Al-Hallaj
Al-hallaj adalah seorang tokoh sufi yang mengembangkan paham al-hulul. Nama lengkapnya adalah Husein Bin Mansyur al-Hallaj. Dia dilahirkan pada tahun 244 H/858 M di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Waisith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya, ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki. Pada tahun 264 H, ia masuk kota Baghdad dan belajar pada Junaid yang juga seorang sufi. Al-Hallaj pernah menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga hari. Dengan riwayat hidup singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup mendalam dan kuat.
Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Hulul berimplikasi kepada bersemayamnya sifat-sifat ke-Tuhanan kedalam diri manusia atau masuk suatu dzat kedalam dzat yang lainnya. Hulul adalah doktrin yang sangat menyimpang. Hulul ini telah disalah artikan oleh manusia yang telah mengaku bersatu dengan Tuhan. Sehingga dikatakan bahwa seorang budak tetaplah seorang budak dan seorang raja tetaplah seorang raja. Tidak ada hubungan yang satu dengan yang lainnya sehingga yang terjadi adalah hanyalah Allah yang mengetahui Allah dan hanya Allah yang dapat melihat Allah dan hanya Allah yang menyembah Allah.
d.      Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali. Karena kedudukan tingginya dalam Islam, dia diberi gelar Hujjatul Islam. Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari itulah, tokoh sufi yang satu ini terkenal dengan al-Ghazzali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula dengan al-Ghazali, sebagaimana diriwayatkan al-Sam’ani dalam karyanya, al-Ansab, yang dinisbatkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah. Al-Ghazali lahir di Thus, kawasan Khurasan, tahun 1059 M. Ia pernah belajar kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, seorang guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, al-Ghazali mempelajari teologi, pengetaauan alam, filsafat dan lain-lain, tetapi akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun menggembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus di tahun 1105 M dan meninngal di sana tahun 1111 M.
Di bidang tasawuf, karya-karya Al-Ghazali cukup banyak, yang paling penting adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam karyanya tersebut, dia menguraikan secara terinci pendapatnya tentang tasawuf, serta menghubungkannya dengan fiqh maupun moral agama. Juga karya-karya lainnya, al-Munqidz min al-Dhalal, dimana ia menguraikan secara menarik kehidupan rohaniahnya, Minhaj al-‘Abidin, Kimia’ al-Sa’adah, Misykat al-Anwar  dan sebagainya.
Ajarannya
e.       Ibn Arabi
Muhyiddin Ibn Arabi lahir di Murcia, Spanyol tahun 1165 M. setelah menempuh studi di Seville, ia pindah ke Tunis di taun 1194 m, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M ia pergi ke Makkah dan meninggal di Damaskus tahun 1240 M.
Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya kira-kira berjumlah dua ratus lebih. Salah satu buku termasyhurnya adalah Fushush al-Hikam yang merupakan wacana tentang tasawuf.
Inti ajaran tasawuf yang diperkenalkan Ibn Arabi adalah wahdat al-wujud. Wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Dalam paham wahdat al-wujud ada dua hal yaitu khalq (makhluk) dan haq (tuhan). Menurut paham ini setiap sesuatu punya dua aspek (aspek luar dan dalam). Aspek luar merupakan khalq yang merupakan sifat kemakhlukan, aspek dalam adalah haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dari sini kemudian muncul pemahaman bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang-bayang atau fotokopi dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagaimana diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu Dia menjadikan alam semesta ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat Allah ingin melihat diri-Nya, Dia cukup melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Allah dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Allah, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin: ia melihat dirinya yang banyak, tetapi dirinya sebenarnya hanya satu








D, macam-macam tasawuf


      Tasawuf Qur’ani
 Karena  tasawuf  merupakan  jalan menuju Allah,untuk mendekatkan diri kepada Allah,maka rujukan pertama dan terutama yang harus dilihat adalah Alqur’an yang merupakan surat cinta dari Allah untuk umat manusia. Dengan memahami nilai-nilai yang ada dalam Alqur’an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan maka di harapkan seseorang itu akan lebih dekat dengan Allah. Tasawuf yang mengacu kepada nilai-nilai alqur’an dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada Allah disebut Tasawuf Qur’ani.

Sahl at-Tusturi pernah mengatakan: “Pokok ajaran kami adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an, mengamalkan sunnah, makan makanan yang halal, mencegah menyakiti orang lain, menjauhi yang tidak baik, bertaubat dan menunaikan hak-hak. Lalu Imam an-Nawawi mengatakan: “Pokok ajaran tarikat tasawuf ada lima: bertakwa kepada Allah baik tersembunyi ataupun terang-terangan, mengikuti sunnah baik perkataan ataupun perbuatan, berpaling dari akhlak tercela dihadapan atau dibelakang, ridha terhadap pemberian Allah sedikit ataupun banyak dan kembali ke jalan Allah dalam suka dan duka. Imam Ahmad pun menasihati anaknya (Abdullah bin Ahmad): “Wahai anakku wajib bagimu duduk bersama mereka, yaitu suatu kaum yang dapat memberikan kepada kita banyaknya ilmu, taqarrub kepada Allah (murâqabah), timbulnya rasa takut, hidup zuhud dan tingginya cita-cita, seraya beliau mengatakan: “Lâ a’lamu aqwâman afdhalu minhum” (aku tidak tahu ada kaum yang lebih utama daripada mereka).” (Sayyid al-Murâbith bin Abdurrahman al-Abyîri, Al-Firaqul Islâmiyyah bainal Qadîm wal Hadîts, 2007, hal. 148)

2.      Tasawuf Sunni
Asketisme(zuhud) adalah cikal bakal tumbuhnya tasawuf,sedangkan kemunculan asketisme sendiri adalah bersumber dari ajaran islam. Pemahaman dan pengalaman asketisme yang berkembang sejak abad pertama hijriah,benar-benar berdasarkan islam,baik yang bersumber dari Alqur’an,Sunnah maupun kehidupan sahabat nabi.

Asketisme yang tadinya tidak lebih dari sesuatu yang bersifat praktis dalam kehidupan,kemudian berkembang menjadi konsep-konsep yang sistematis-teoritis dengan tetap berpegang teguh kepada Alqur’an dan Sunnah serta kehidupan para sahabat. Di sisi lain,asketisme sebagai ide yang berakar pada ajaran islam,lebih terfokus pada pembicaraan dan pembinaan moral,baik moral kepada Allah maupun moral kepada diri sendiri serta kepada sesama umat manusia.

Sulit dipastikan waktu yang tepat tentang kapan peralihan asketisme ke sufisme,tetapi yang pasti,bahwa sufisme yang awal adalah sufisme yang tetap konsisten dan komitmen dengan prinsip-prinsip islam. Oleh karena sifat-sifatnya yang demikian maka tasawuf tipe yang awal dapat diterima sebagian besar ulama terutama para ulama yang tergolong Ahlusunnah. Inilah salah satu sebab tasawuf tipe ini dinamakan tasawuf sunni.

Yang dimaksud tasawuf sunni adalah tasawuf yang dibatasi sumber pengambilannya dari kitabullâh dan sunnah, dimana mereka menyelaraskan segala sesuatu atas pertimbangan keduanya. Maka tidak salah kalau dikatakan pertimbangan tasawufnya adalah pertimbangan syari’ah.Bermula dari hidup zuhud, lalu menjadi seorang shûfi dan berhenti pada akhlak. Gambaran puncak tasawuf ini disempurnakan oleh Abu Hamid al-Ghazali, maka jadilah tasawuf ini bagian dari thariqat ahlus sunnah wal jama’ah.Sejauh mana tasawuf ini menjadikan sumber ajaran?, kalaulah istilah ini disetujui, maka akan ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa ‘negeri akhirat lebih baik dibandingkan dunia.’ Demikian pula dengan hadits-hadits Rasulullah mengenai pentingnya zuhud, dimana zuhud merupakan elemen dasar (the basic element) metodologi umum pendidikan seorang muslim. (Lihat Muhammad as-Sayyid al-Galind dalam Min Qadhaya at-Tasawuf fî Dhauil Kitâb was Sunnah)

            Diantara sufi yang berpengaruh dari aliran tasawuf sunni dengan pokok-pokok ajarannya ialah sebagai berikut

·         Hasan Al Bashri
Dasar pendiriannya yang paling utama adaalah zuhud terhadap kehidupan dunawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.

·         Rabiah Al Adawiyah
Ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis.

·         Dzu Al Nun Al Misri
Jasanya yang paling besar dan menonjol dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah,yang disebut Al maqomat. Beliau banyak memberikan petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan Pandangan sufi.

·         Abu Hamid Al-Ghazali
Inti tasawuf Al Ghazali adalah jalan menuju Allah atau ma’rifatullah. Oleh karena itu,serial Al maqomat dan al ahwal,pada dasarnya adalah rincian dari metoda pencapaian pengetahuan mistis.

3.      Tasawuf ‘Amali
Yang disebut tasawuf ‘amali adalah Keseluruhan rangkaian amalan lahiriah dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah,yaitu dengan melakukan macam-macam amalan yang terbaik serta cara-cara beramal yang paling sempurna. Menurut para sufi,ajaran agama itu mengandung dua aspek,lahiriah dan bathiniyah. Secara rinci,kedua aspek tersebut dibagi kedalam empat bidang sebagai berikut:

a        Syari’at,diartikan sebagai kualitas amalan lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Alqur’an dan Sunnah. Syari’at adalah hukum-hukum formal atau amalan lahiriah yang berkaitan dengan anggota jasmaniah manusia,sedangkan syari’at sebagai fiqih dan syari’at sebagai tasawuf tidak dapat dipisahkan karena yang pertama adalah sebagai wadahnya dan yang kedua sebagai isinya. Kerna itu ditegaskan, Seorang yang salik tidak mungkin memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan lahiriahnya.

b   Thariqot,kalangan sufi mengartikan thariqat sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan pengikut tasawuf dan dijadikan metoda pengarahan jiwa dan moral.

c    Hakikat,dalam dunia sufi hakikat diartikan sebagai aspek bathin dan dari syari’at,sehingga dikatakan hakikat adalah aspek yang paling dalam dari setiap amal,inti dan rahasia dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan suluk.

d    Ma’rifat,berarti pengetahuan atau pengalaman. Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat.

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Yang dimaksud tasawuf ‘amali, adalah pola tasawuf yang dilakukan para penganut tarekat (ashhâbut turuq) seperti mengedepankan mujâhadah, menjauhkan sifat tercela, memutuskan hubungan dengan yang lain dan menghadap Allah dengan sepenuh cita-cita.


Dalam pelaksanaannya, ada beberapa kaidah dan adab yang dirinci secara klasikal seperti hubungan murid dengan gurunya, ‘uzlah, khalwat, al-jû’ (berlapar-lapar), as-sahr (bermalam-malam/ begadang), as-shumt (berdiam diri) dan dzikir


4.      Tasawuf Akhlaqi
Pada mulanya tasawuf itu ditandai dengan ciri-ciri psikologis dan moral,yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral yang sempurna. Dalam pandangan sufi,ternyata manusia depedensia kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi,bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya. Kenikmatan hidup di dunia menjadi tujuan,bukan lagi sebagai jembatan emas menuju kebahagiaan sejati.efek dari pandangan hidup seperti ini emnuju kearah pertentangan manusia dengan sesama manusia,sikap ethnosentrisme,egoisme,persaingan tidak sehat,sehingga manusia lupa kepada eksistensialnya sebagai hamba Allah. Karena ekspresi manusiawinya  sebagian besar dihabiskan untuk persoalan-persoalan duniawi,menyebabkan ingatan dan perhatiannya jauh dari Tuhan.

Menurut orang sufi,Untuk merehabilitir sikap mental yang tidak baik tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah saja. Itulah sebabnya,pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf,seorang kandidat diharuskan melakukan amalan dan latiha yang cukup berat,tujuannya adalahuntuk menguasai hawa nafsu,untuk menekan hawa nafsu sampai ke titik terendah dan bila memungkinkan mematikan hawa nafsu itusama sekali.
Sistem pembinaan akhlak itu mereka susun sebagai berikut:

  • Takhalli,yakni mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap duniawi
  • Tahalli,membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik
  • Tajalli,terungkapnya nur gaib bagi hati
  • Munajat,melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan
  • Zikrul maut,ingatan yang berkepanjangan tentang mati akan memancing rasa keTuhanan yang semakin dalam.

Tokoh-tokohnya tasawuf akhlaki ini antara lain:

-          Haris Al Muhasabi(w.243 H) adalah salah seorang sufi yang populer dalam pembahasan tasawuf akhlaki melalui konvergensi  antara syariat dan akhlak. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu mempunyai substansi,substansi manusia dan akal budi yang disertai moralitas dan substansi akal adalah kesabaran.

-          Al Sirri Al Saqathi( w.257 H) pendapatnya yang populer  ialah bahwa kekuatan yang paling tangguh ialah kemampuan mengendalikan diri. Seseorang yang mampu mengendalikan dirinya ,niscaya tidak akan sanggup mengendalikan orang lain.

-          Al Kharraj( w.277 H) ,orang pertama yang menulis konsep-konsep dasar tentang sifat-sifat terpuji yang kemudian menjadi rujukan sufi-sufi selanjutnya.

-          Sahl Al Tutsuri ( w. 293 H) dengan ajarannya yang rinci tentang ikhlash serta hal-hal yang merusak perbuatan.
-           
5.      Tasawuf Salafi

Yang dimaksud tasawuf salafi adalah tasawuf yang digagas oleh sekumpulan tokoh ulama salaf seperti Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Corak tasawuf ini menyerupai tasawuf sunni dalam segala urusannya, terutama dalam pentingnya berpegang terhadap kitâbullah dan sunnah, serta dalam hal tercelanya faham ittihad, hulul, wihdatul wujud, maqâmat dan ahwal.

Sebenarnya, istilah tasawuf salafi merupakan istilah pembelaan dari kelompok shûfi yang ingin menegaskan bahwa tidak benar orang yang berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari luar Islam dengan mengedepankan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim sebagai tokoh penggagasnya, sehubungan keduanya merupakan tokoh puritanisme Islam.

Hal ini dapat dilihat dari pembelaan Syaikh Muhammad Zaki Ibrahim (pendiri dan syaikh tarikat al-‘Asyirah al-Muhammadiyah al-Syadziliyyah dan komisi pembaruan sufi serta ikatan tarikat-tarikat yang ada di Mesir). Menurutnya: “Dasar-dasar tasawuf terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini tak dapat dipungkiri, bahkan oleh mereka yang agak minim tentang Islam. Tak ada seorang pun dari kalangan Muslim yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah hasil kutipan dari kitab suci Budha, Majusi, dan Rahbaniyyah. 

Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran selain Islam adalah sebuah pendapat yang sembrono, berlebih-lebihan dan penuh kebohongan.Jika yang dimaksud dengan tasawuf adalah filsafat yang asing dari akidah dan syari’at, maka hal tersebut memang benar, namum filsafat tersebut tidak ada hubungannya dengan tasawuf Islami.Jika ada yang menjadikan mereka (para ahli filsafat) sebagai dasar untuk menghujat dan menghukumi kesesatan tasawuf dengan sebab kesesatan perilaku beberapa oknum yang mengatas namakan tasawuf, maka hal tersebut merupakan sebuah pemutar balikan fakta yang sebenarnya. Menghukumi seseorang atas kesalahan orang lain adalah satu perbuatan yang tercela.” (Lihat Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, 2002, hal.13)

6.      Tasawuf Falsafi  
Yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah yang bercampur didalamnya antara dzauq shûfiyyah dan nadzhar ‘aqliyyah (perasaan terdalam kaum shûfi dan nalar akal/ filsafat) dengan sumber yang berbeda-beda.Ini merupakan pendapatnya Abul Wafa’ al-Ghanîmi at-Taftâzani, sedangkan DR.‘Ali Sami an-Nasyâr berpendapat bahwa tasawuf ini merupakan campuran antara makna-makna Islam dan falsafat kuno yang dalam falsafat zhahirnya Islami, sementara dalamnya tidak Islami.(Sayyid Muhammad ‘Aqîl, hal. 12).

Para penganut tasawuf macam ini diantaranya adalah Suhrawardi al-Maqtûl (550-580 H.), Ibnu ‘Arabi (560-638 H.), Ibnu Sab’in (614-669 H.) dan yang lainnya.


Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah,juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakan teologi dan filsafat.dari kelompok inilah yang tampil sebagai sufi yang filosofis dan filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banayak di pergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi neo platonisme dalam semua variasinya.

Selain Abu Yazid Al Bhustami ,tokoh teosofi yang populer dalam kelompok ini dapat ditunjuk Masarrah(w.381 H) dari Andalusi dan sekaligus sebagai perintis.berdasarkan pemahamannya tentang teori emanasi ia berpendapat,bahwa melalui jalan tasawuf manusia dapat membebaskan jiwanya dari cengkeraman badani (materi) dan memperoleh sinar ilahi secara langsung (ma’rifat sejati). orang kedua yang mengkombinasikan teori filsafat dengan tasawuf dapat disebut Suhrawardi al Maqtul(w.578 H) yang berkebangsaan Persia atau Iran. Berangkat dari teori emanasi Ia berpendapat,bahwa dengan melalui usaha keras dan sungguh-sungguh seperti apa yang dilakukan para sufi,seseorang dapat membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali ke pangkalan pertama yakni alam malakut atau alam ilahiyat. Konsepsi lengkap teori ini kemudian dikenal dengan nama al Isyraqiyah yang ia tuangkan dalam karya tulisnya al Hikmatul Isyraqiyah. Bersumber dari prinsip yang sama  al Hallaj (w.308 H) memformulasikan teorinya dalam doktrin al Hulul, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara Rohaniyah atau antara Mahluk dengan Al Khaliq.

7.      Neo Sufisme

Terminologi Neo sufisme pertamakali di munculkan oleh pemikir muslim kontemporer yakni Fazlur Rahman dalam bukunya” Islam”. Kemunculan istilah itu tidak begitu saja diterima para pemikir muslim ,tetapi justru memancing polemik dan diskusi yang luas. Sebelum Fazlur,sebetulnya di Indonesia Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya “ Tasawuf Modern ” tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan isi buku ini,terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf Al Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah. Kalau al Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat maka Hamka justru menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarkat.

Menurut fajlur Rahman,perintis apa yang ia sebut sebagai neo sufisme adalah ibnu Taimiyah(w.728 H) yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibnu Qoyyim,yaitu tipe tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah. Apabila benar demikian ,maka muatan dari yang disebut neo sufisme itu sudah sejak abad 8 H ,tapi kenapa baru abad dua puluh ini diangkat sebagai neo sufisme.Kebangkitan kembali sufisme di dunia islam dengan sebutan neo sufisme,nampaknya tidak bisa dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernisme.

Neosufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio moral masyarakat muslim,sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat individual dan “hampir” tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu karakter keseluruhan neisme adalah puritanis dan aktivis.

Sikap puritanis pendukung neo sufisme menyebabkan berseberangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif. Berlainan dengan neo sufisme,yang malahan mendorong dan memotivasi pengikutnya agar aktif dan kreatif dalam kehidupan ini,baik yang bersifat karya-karya praktis maupun dalam kreatifitas intelektual. Menurut al Qusyasyi(w.1071 H),sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan diri dari masyarakat,tetapi sufi yang yang teteap aktif dalam kehidupan masyarakat dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

















BAB III
PENUTUP

A, kesimpulan

Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt.
Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
Harun Nasution lebih lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.      Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.      Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.      Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.      Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.

B, saran

Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.

C, Daptar pustaka

Miskawaih, Ibnu, Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934  Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, Jakarta : Hikmah, tahun 1989
Wahiduddin Khan, Kritik Terhadap Ilmu Fiqih, Tasawuf dan Ilmu Kalam (terj.), Jakarta : Gema Insani Press, tahun 1994 tasauf dan perkembangannya dalam islam, manajemen pt raja grafindo persada jakarta1996.



SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar