TASAWUF KONTENPORER
Di susun oleh :
Ahmad Ariefuddin
14360055
Kelas B
PERBANDINGAN
MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
A. Pendahuluan
Ketika peradaban ummat
manusia sampai pada puncaknya, pertanyaan yang mendasar tentang eksistensi
kehadirannya di dunia kembali muncul untuk mendapatkan jawaban. Apa sebenarnya hakikat manusia hidup di
dunia? Ketika pertanyaan itu muncul, peradaban puncak itu runtuh dengan
sendirinya. Maka, kehidupan yang masuk fase digitalisasi, dunia serba di ujung jari, hanya menjadi tiada berarti. Muncul
kegersangan jiwa dan manusia kembali mencari jati diri dalam bentuk lain.
Manusia akhirnya kembali mencari dan menggali kedalaman makna kehidupan dan
hakikat dirinya.
Eksistensi
kehidupan dunia ternyata tak sekedar mencari dan memenuhi hasrat terhadap
materi belaka. Jiwa yang selama ini kurus kering dan berkerontang tak dipenuhi
kebutuhannya meminta untuk diisi dan diberi makan juga. Inilah titik balik yang
membuat beberapa waktu terakhir munculnya fenomena menarik masyarakat kota.
Tumbuhnya pola hidup beragama yang berwajah lain. Agama tak sekedar ritual
aktual tetapi menjadi ritual religi yang menumbuhkan aura kesadaran mendalam
atas ibadah dan pendekatan diri terhadap Pencipta. Jika selama ini agama
hanyalah sebuah bentuk ibadah formal, menyaru kepentingan duniawi atasnya,
digali lebih dalam mendekati titik ketakutan manusia atas kematian nurani yang selama
ini telah terbelenggu dalam kerangkeng
materialisme, terkubur di bawa liberalisme dan kapitalisme. Maka agama kini tak
sekedar kegiatan rutin tanpa memberi sentuhan kedekatan bathin terhadap
Pencipta. Dengan kata lain, ketika modernisasi Barat meninggalkan agama,
mempengaruhi semua lini kehidupan, maka atas kesadaran terhadap kekosongan
jiwa, pada saat itulah agama diajak kembali di masa posmodernis saat ini.
Dr. KH. Hamdan Rasyid, di
dalam buknya berjudul Sufi Berdasi,
Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, mengatakan, fenomena menarik
pada sebagian masyarakat di kota-kota besar sekarang ini, yaitu mereka mulai
tertarik untuk mempelajari dan mempraktikkan pola hidup sufistik. Hal ini dapat
dilihat dari banjirnya buku-buku tasawuf di tokok-toko buku, bermunculannya
kajian-kajian tasawuf dan maraknya tayangan-tayangan, baik di TV maupun radio.
Inilah sebuah bukti,
ternyata agama telah dibawa untuk hidup di wilayah industri dan digitalisasi.
Maka kitab suci masuk ruang internet, diolah ke dalam MP3, pesantren virtual, dan segala macamnya. Fenomena ini makin
menarik dikaji mengingat betapa pongahnya masyarakat modern ketika puncak
kehidupannya yang rasional, empiris telah membawa mereka ke puncak peradaban.
Makalah ini
mencoba masuk pada kajian, apakah ini bentuk tasawuf kontemporer? Dari mana
akar peradabannya?
B.
Pengertian
Sangat rumit untuk
mencocokkan fenomena ini sebagai sebuah bentuk aktual kehidupan agama di tengah
masyarakat kota. Apalagi tidak ada bimbingan tokoh dan fase yang menjadi petunjuk
dalam kajian ini. Oleh karenanya, penulis mencoba berangkat dari pengertian dua
kata; tasawufdan kontemporer. Dimana, pengertian-pengertian itu akan memberi
pemahaman dan batasan, baik dari segi waktu maupun konteks yang akan
dibicarakan.
Ahli bahasa masih berbeda
pendapat terhadap pengertian tasawuf. Ada yang menyebut tasawuf dari kata shafa’ yang berarti suci, bersih, ibarat
kilatan kaca. Sebagian yang lain berpendapat bahwa tasawuf itu berasal dari
kata shuf, yang berarti bulu
binatang, sebab orang-orang yang memasuki dunia tasawuf dan mengamalkan ajaran
tasawuf (pada masa awal Islam) itu memakai baju dari bulu binatang yang kasar
sebagai bentuk pemberontakan, kebencian terhadap hidup glamour, pakaian indah dan mahal.
Namun sebagian ahli bahasa
juga ada yang menyatakan bahwa kata tasawuf diambil dari kata shuffah (kaum shuffah),
yaitu segolongan sahabat Rasulullah SAW yang memisahkan diri di satu tempat
tersendiri di samping masjid Nabawi, yang mereka ini mempunyai pola hidup
menjauhi kehidupan dunia. Ada juga sebagian ahli bahasia yang berpendapat bahwa
sebenarnya tasawuf berasal dari kata shufanah, yaitu sejenis kayu mersik yang
tumbuh di padang pasir tanah Arab. Bahkan ada juga di antara para ahli yang
menyatakan tasawuf bukanlah berasal dari akar bahasa Arab, tetapi berasal dari
bahasa Yunani Lama yang diarabkan yaitu dari kata Theosofieyang berarti ilmu ketuhanan, yang kemudian diarabkan dan
diucapkan oleh lidah orang Arab menjadi tasawuf.
Terlepas dari perbedaan di
kalangan ahli bahasa tentang arti dan asal kata tasawuf, namun ada benang merah
dari semua kata tersebut, yaitu tasawuf adalah sebuah ajaran (Pola Hidup) yang
mengajarkan kepada manusia untuk membersih diri dari sesuatu yang hina dan
menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dengan
Allah atau sampai pada maqam yang
tinggi.
Dengan kata lain, tasawuf
adalah ajaran bagaimana berakhlak dengan akhlak rabbaniyah, seperti iman, amal shaleh, ibadah, dakwah, akhlak dan
bakti kepada orang tua, untuk mencapai maqam
yang tinggi, yaitu dekat dan keredhaan Allah SWT. Atau dengan ungkapan lain,
tasawuf pada dasarnya adalah takhalluq,
dan takhalluq pada dasarnya berakhlak
mulia kepada sesama. Meneladani Rasulullah SAW dan mengharap kecintaan denga
meninggalkan nafsu duniawi.
Jadi, sufi (orang yang
mengamalkan ajaran tasawuf) adalah orang yang berusaha membersihkan diri dari
sesuatu yang hina dan menghiasi dirinya dengan sesuatu yang baik, yaitu akhlak rabbaniyah, atau sampai pada
maqam tertinggi. Dan jika seseorang telah dekat denga Allah dan meraih
cinta-Nya, karena kemuliaan akhlaknya, maka secara otomatis ia pun akan dekat
dan dicintai oleh sesama manusia.
Setelah memahami selintas
pengertian tasawuf, penulis kemukakan pengertian istilah Kontemporer. Istilah
dari akar kata bahasa Inggris yang dipungut menjadi istilah bahasa Indonesia, contemporary, berarti sezaman, sebaya,
seumur dan zaman sekarang, dewasa ini, mutakhir,
sedangkan kata mutakhir berarti terbaru atau modern pada masa kini, misalnya pameran seni lukis kontemporer. Secara
harfiah, kontemporer dapat dipahami sebagai waktu sekarang yang aktual. Terkini
dan menjadi trendbaru.
Beranjak dari pengertian dua
akar kata di atas, menurut penulis, kita diajak untuk menangkap fenomena terkiniterhadap perkembangan sosial
dunia tasawuf. Dimana secara garis besar dapat dibagi dua corak, tasawuf
akhlaqi, tasawuf falsafi.
Tentu tidaklah mudah untuk
menarik kesimpulan dan menformat fenomena tersebut menjadi sebuah grand teori, karena gejala tersebut
justru tengah berlangsung hingga detik ini. Tetapi secara akademis ilmiah hal
ini patut dilakukan, mengingat bagaimana arah dan tujuan hidup manusia pada
perkembangan zaman ini.
C. Fenomena Tasawuf Kontemporer
Bagaimana bisa menyebut
tasawuf kontemporer sebagai bentuk baru dari suasana beragama dan pencarian
manusia terhadap Pencipta. Setidaknya penulis memiliki tawaran pemikiran
sebagai berikut; Tasawuf kontemporer tidak terlepas dari kontek ajaran tasawuf
klasik. Tetapi tidak memiliki silsilah secara langsung terhadap tasawuf klasik.
Kalau masih ada silsilah, tentu saja ia masih masuk kategori tasawuf klasik.
Tasawuf kontemporer terdapat di wilayah masyarakat kota mengambil ajaran
tasawuf dan mengemasnya menjadi industri baru berbasis agama karena dibutuhkan
oleh masyarakat kota. Kejenuhan masyarakat kota terhadap persaingan hidup
membuat pasar tasawuf tumbuh dan masuk wilayah komunikasi massa dan teknologi.
Penulis berpendapat, tasawuf
kontemporer adalah penamaan yang pada dasarnya berakar dan berada pada barisan
neo-sufisme Fazlur Rahman dan tasawuf modern, yang
diusung Hamka. Menurut Hamka, tasawuf modern adalah penghayatan keagamaan
esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan
diri (uzlah). Hal ini menurut
Nurcholis Madjid, neo-sufism
menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada
sufism terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafidan menanam kembali sikap positif
terhadap kehidupan.
Pemahaman ini bisa memberi bukti
konkrit ketika melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kota
saat ini. Terdapat lembaga-lembaga tasawuf yang tidak memiliki akar langsung kepada
tarekat dan digelar massal juga komersial. Sekedar misal, Indonesian Islamic Media Network(IMaN), Kelompok Kajian Islam
Paramadina, Yayasan Takia, Tasauf Islamic
Centre Indonesia (TICI). Kelompok ini mencoba menelaah dan mengaplikasikan
ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari secara massal. Misalnya Dzikir Bersama,
Taubat, Terapi Dzikir.
Wajah tasauf dalam bentuk
lain dilakukan —dan sangat laku— Emotional
Spritual Question(ESQ) di bawah pimpinan Ari Ginanjar. Konon, konsep awal
ESQ ini, dilakukan oleh kaum nashrani di Eropa dan Amerika dalam mengantisipasi
kebutuhan jiwa masyarakat kota setempat.
Selain bentuk lembaga, dalam
pengembangannya melibatkan komunikasi massa. Misalnya, promosi dalam bentuk
buku, pamflet, iklan, adventorial, program audio visual CD, VCD, Siaran
Televisi, hingga internet (misalnya, www.sufinews.com,
www.pesantrenonline.com, gusmus.net, myquran.com). Siaran televisi yang
sehari-hari dapat ditonton, memperlihatkan kecenderungan yang sama besarnya
dengan boomingsinetron misteri dengan
tayangan dzikir bersama dan ceramah agama. Berawal dari Televisi Manajemen Qolbu(MQ TV) di Bandung di bawah pimpinan
Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), muncul beberapa nama lain menyusulnya. Sekedar
menyebut, Arifin Ilham, Ustazd Jefri.
Karena masuk pada ranah
industri dan bersentuhan dengan komersialisme, tasauf terkesan menjadi alat
untuk mengedepankan perilaku keagamaan yang katarsis. Bersedih dan
disedih-sedihkan. Taubat, sebuah jendela masuk tasawuf menjadi arena penyesalan
yang dipertontonkan. Dzikir, sebagai lapazkan secara bersama-sama panduan yang
terpaksa khusu’, Do’a yang
disandiwarakan dengan tetes air mata.
Artinya, jika tidak
hati-hati, pola seperti ini akan terjerumus dalam pseudo tasawuf. Tasawuf yang hanya mengedepankan tontonan daripada
substansi penghayatan.
Karena ia masuk dalam wadah
publikasi, maka ongkos (bahasa yang lebih sopan digunakan; mahar) yang harus dibayar adalah tumbuhnya idola baru yang menjadi
pujaan. Berbeda dengan tasawuf klasik dan tarekat yang memiliki rasa hormat
yang tinggi terhadap guru spiritual, yang terjadi pada tasawuf kontemporer
adalah pemujaan idola yang tiada berbeda dengan pemujaan manusia sekuler
terhadap Madonna. Dan janganlah heran, jika hari lebaran, salah satu baju
“wajib” dibeli kaum muslim adalah baju (simbol) yang dipakai sang idola.
Suasana religius yang terpaksa hadir itu juga dibayar mahal jika akan
menghadirkan sang idola ke sebuah majelis. Sungguh naif, bila dipandang dari
segi ajaran tasawuf itu sendiri.
Selain bentuk-bentuk di
atas, tanpa mengurangi kehadiran tasauf klasik yang masih berkembang bersamaan
juga dengan tarekat yang sudah pula masuk ke kota besar, tasawuf kontemporer
juga ditunjukkan dalam bentuk terapi pengobatan. Seperti terapi Narkoba dengan
Dzikir Abah Sepuh dan Abah Anom di Pesantren Suralaya. Pengamalan ibadah
agama—shalat wajib, shalat sunat—yang lengkap dan metode tasauf (taubat,
dzikir) yang dijalankan selama 24 jam dengan paket pengobatan yang mahal pula.
Agaknya, inilah yang lebih
spesifik dalam tasawuf kontemporer. Sebuah bentuk baru yang ada di tengah
masyarakat kota. Kalau begitu, apa beda antara tasawuf kontemporer? Dalam segi
semangat, tidak ada beda. Hanya segi waktu dan model yang ditawarkan. Jika masa
modern banyak dihadapkan pada semangat untuk kembali kepada bentuk lebih
positif dan kemurnian ajaran agama, maka pada tasawuf kontemporer beralihnya
model dari sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat
dari kegagalan dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa,
terdapat pengakuan terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut.
Wilayah massa itu adalah, dimana masyarakat yang memiliki wadah komunikasi
massa dan teknologi informasi. Tasawuf masuk menjadi bagian dari perangkat
hidup dengan wajah baru yang sesuai pada selera zamannya.
D.
Analisa Kritis Terhadap Tasawuf Kontemporer
Pemaparan di atas
sesungguhnya belum final dan butuh analisa bersama dalam diskursus kajian
fenomena tasawuf. Namun penulis mencoba menghantarkan, bahwa tasawuf
kontemporer sebuah bentuk aktual corak beragama masyarakat kota. Jika tidak
hati-hati, atau salah dalam pengajaran dan aplikasinya akan membawa bentuk pseudotasawuf. Atau lebih ekstrim lagi,
tasawuf kontemporer yang bersentuhan dengan corak sufistik, hanyalah mengambil
semangat yang tidak utuh dari tasawuf konvensional yang dikenal selama ini. Apabila
kita memahami corak sufistik, seakan-akan hanya mengarah kepada dunia tasawuf,
bukan masuk ke dalam ranah tasawuf secara total.
Seperti yang pernah
diungkapkan oleh Azyumardi Azra. Azyumardi membagi tiga bentuk tasawuf yang
menyita masyarakat akhir-akhir ini, pertama Student
Sufism, Convensional Sufismdan Urban Sufism.
Pencapaian yang hendak
ditujukan oleh tasawuf kontemporer adalah sama dengan konsep para sufi
terdahulu (sufi klasik). Seperti kedekatan terhadap Pencipta, kehadiran
Pencipta dalam kehidupan sehari-hari, menjadi insan kamil. Melihat coraknya,
pengembangan tasauf kontemporer mengarah kepada tubuhnya tasawuf akhlaqi, dimana mengedepan sikap kesahajaan dan ibadah yang
banyak untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Pencipta.
Tetapi, apresiasi positif
yang patut diberikan kepada mereka yang mengusung tasawuf dengan wajah baru ini
adalah, mereka masuk dalam mewarnai zaman. Tak terbayangkan, jika mereka tidak
ada. Kekosongan pada wilayah massa akan membuat kepercayaan diri (confidence self) beragama masyarakat
akan terus menurun. Tentu saja, nuansa keagamaan akan tidak terlihat lagi di
permukaan. Setidaknya, mereka sekarang sudah memulainya untuk menjawab kebutuhan
rohani masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf kontemporer merupakan bentuk
alternatif beragama sebagai pilihan setelah goncangan ketiadaan dan kekosongan
jiwa. Dimana jiwa yang kurus kering tidak pernah mendapat sentuhan religi,
sementara jiwa memiliki kebutuhan tersebut tetapi tidak pernah diberikan.
E. Penutup
Tasawuf kontemporer adalah
tasawuf bercorak kekinian yang masih berakar pada tasawuf klasik dan
konvensional. Bila tasawuf konvensional hanya menyebar melalui buku-buku,
tetapi tasawuf kontemporer menggunakan instrumen teknologi. Pada tataran ini,
bila nilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi, maka
tasawuf kontemporer diragui akan keotentikannya. Ia hanya menjadi bagian kecil
dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan.
Tasawuf kontemporer masih
berlandaskan Al-Quran dan Hadits, tetapi mengedepankan packaging dari pada esensi. Walau pun demikian, mereka yang
terlibat di dalam dunia tasawuf kontemporer terus mencoba dan menggali serta
merasakan, juga mengakui mereka sudah masuk dalam dunia tasawuf. Menurut
analisa penulis, tentulah tidak akan mampu marwah
tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa dijemput secara total tanpa
mengetahui secara utuh ajaran tasawuf masa lalu tersebut. Apalagi hanya
mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya bahan dari apa yang
dikomersilkan — karena dibutuhkan pasar— kepada masyarakat kota.
Walau pun secara tidak
langsung ada akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari
secara mendalam setiap ajaran yang sudah dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut analisa penulis, ada kerinduan
masyarakat kota untuk kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan marwah beragama. Tidak sekedar
formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam terhadap kehidupan
sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya harus terus diawasi
karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang cenderung bermata dua.
Terlepas dari plus dan minus
ajaran, juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo tasawuf, semangat dan pengaruhnya
membawa arti penting bagi agama Islam di tengah masyarakat. Lebih-lebih
masyarakat kota yang memang merindukan khazanah kehidupan beragama.
Mari kita diskusikan!
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Rahman, Drs, M.Ag, Sastra Ilahi, Ilham
Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Penerbit Hikmah Mizan, Cet.
1 Bandung, 2004
Halim,
Abdul Mahmud, Prof Dr, Tasawuf di Dunia
Islam, Penerbit, Pustaka Setia, Jakarta, 2002
Hamka, Prof.
Dr. , Tasawuf Modern, Penerbit
Pustaka Panjimas, Jakarta, 2005
Rasyid,
Hamdan Dr KH, MA, Sufi Berdasi, Mencapai
Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, Al-Mawardi, Jakarta, 2006
Solihin Dr
M MAg, Melacak Pemikiran Tasawuf di
Nusantara, Rajawali Pers, Jakarta, 2005
Nurcholis
Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun
Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1995
Seyyed
Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, Sufisme
Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300 M),Jogjakarta, Pustaka Sufi
2002.
Abdullah
Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme,
Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. www.khusairi.blogspot.com
Muhammad
Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih,
Solo; Penerbit Tiga Serangkai 2004
Nazib Zuhdi, Kamus
Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, Penerbit, Fajar Mulya Surabaya, 1993
WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka 1999
Drs. Asmaran As, M.A, Pengantar
Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar