Jumat, 06 Maret 2015

Hukum Islam Pada Masa Tabi'in



HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
Dosen pengampu Gusnam Haris, S.Ag., M.Ag

sdfgn










Disusun oleh :
1.     Ahmad Arifuddin
2.     Muhammad Akbar E.P
3.     Ahmad Fadholi
4.     Muhammad Syaifur R



JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA



DAFTAR ISI

Daftar Isi........................................................................................................ i
BAB I Pendahuluan................................................................................... .. ii
A.    Latar Belakang Masalah....................................................................... .. ii
B.     Rumusan Masalah................................................................................. .. ii
C.     Tujuan................................................................................................... .. ii
BAB II Pembahasan................................................................................... .. 1
A.    Faktor Perkembangan Tasyri’............................................................... .. 1
1. Bidang Politik................................................................................... .. 1
2. Luasnya Wilayah.............................................................................. .. 2
3. Berkembangnya Ilmu Pengetahuan.................................................. .. 3
a.    Ahlul Hadits ........................................................................ .. 4
b.   Ahlur Ra’yi........................................................................... .. 6
B.     Pengaruh Ahlul Hadits dan Ahlul  Ra’yi................................................ 9
BAB II Penutup......................................................................................... 10
A.    Kesimpulan........................................................................................... 10
Daftar Pustaka....................................................................................... 11


BAB I
Pendahuluan
A.      Latar Belakang
Ajaran Islam yang kristalnya berupa al qur’an dan as Sunnah diyakini pemeluknya dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang timbul pada suatu zaman. Islam itu satu, tapi realitas mengatakan bahwa Islam itu beragam. Misalnya, ada komunitas yang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, adapula yang senang pemerintahan republik, bahkan ada juga yang ingin kembali menggunakan sistem kekhalifahan. Ada yang sangat terikat dengan teks al Qur’an dan al Hadits dalam memahami hukum Islam, ada pula yang longgar melihat konteks nash tersebut.
Hukum Islam dari masa ke masa mulai zaman Rasulullah SAW sampai periode sekarang telah mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Lihat saja, pada masa Rasul, dalam menyelesaikan masalah hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada beliau dan dalam menjawabnya beliau langsung mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Setelah beliau wafat, selain menggunakan al Qur’an dan al Hadits sebagai dasar penyelesaian masalah hukum, juga berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua sumber tersebut. Pada masa tabi’in, kesepakatan dari sahabat dalam masalah hukum juga menjadi salah satu sumber hukum dalam menjawab persoalan umat. Begitu juga masa tabi’it tabi’in ijma’ yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya menjadi pertimbangan dan dasar hukum dalam member solusi atas problem-problem baru yang muncul.
Sumber tasyri’ pada masa Tabi’in adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada masa ini muncul Madrasah Al Hadis dan Madrasah Ra’yu, kedua aliran tersebut berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu yang bermukim di Iraq dalm menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalm berijtihad, karena hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas, sedangkan kasus yang mereka hadapi sangat berat dan beragam.








BAB II
Pembahasan
A.                Faktor Perkembangan Tasyri’
Perkembangan tasyri’ tidak lepas dengan perkembangan hukum Islam itu sendiri. A. Hanafi M.A dalam bukunya Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, membagi fase perkembangan hukum Islam kedalam lima fase, yaitu fase permulaan hukum Islam, fase persiapan hukum Islam, fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam, fase kemunduran hukum Islam, dam fase kebangunan hukum Islam. Dalam hal ini penulis hanya akan membahas perkembangan tasyri’ pada masa tabi’in yang masuk dalam fase pemmbinaan dan pembukuan hukum Islam.
Fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam berlangsung kurang lebih dua ratus lima puluh tahun Hijriyah, yakni awal-awal abad pertama Hijriyah sampai pertengahan abad keempat Hijriyah. Fase ini disebut juga masa keemasan, karena hukum Islam pada masa tersebut mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Penulisan-penulisan dan pembukuan terhadap hukum-hukum Islam dengan giatnya dijalankan, seperti penulisan-penulisan terhadap hadits hadits Nabi SAW, fatwa-fatwa (pendapat-pendapat) sahabat-sahabat serta para tabiin, tafsir Quran, kumpulan pendapat imam-imam fiqih dan penulisan ilmu ushul fiqih[1].
Masa tabiin diawali dengan berakhirnya pemerintahan kekhalifahan Khulafaur Rasyidin dan dilanjutkan dengan pemerintahan monarki Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah. Adapun faktor perkembangan tasyri’ pada masa tabiin, yaitu:

1.    Bidang Politik
Umat Islam pada masa tabiin ini terpecah menjadi tiga kelompok yaitu Khawarij sebagai penentang Ali, Syiah sebagai pendukung Ali, dan Jumhur sebagai kelompok mayoritas.
Akibat dari perpecahan politik ini, maka besar sekali pengaruhnya dalam pembentukan dan pembinaan hukum Islam. Hal ini disebabkan antara satu golongan dengan golongan yang lain berbeda pendapat dalam menerima sumber hukum Islam yang datang dari para sahabat baik yang merupakan perawi hadits maupun fatwa-fatwa mereka, ada golongan yang mau menerima dan ada pula yang tidak mau menerima. Ini disesuaikan dengan kondisi politik[2]

2.             Luasnya Wilayah
Dalam catatan sejarah, pusat kekuasaan politik Islam berpindah-pindah. Madinah di masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, Damaskus di masa Dinasti Umayyah, dan Baghdad di masa Dinasti Abbasiyah.[3]
Kekuasaan Islam pada masa tersebut meliputu daerah yang luas sekali, mulai dari perbatasan negeri Tiongkok di sebelah timur sampai Andalusia (Spanyol sekarang) di sebelah barat. Di dalamnya terdapat berbagai umat dengan bermacam-macam adat kebiasaan, cara hidup dan kepentingan-kepentingannya.
Oleh karena itu, para ulama dengan segala kegiatan menggali sumber-sumber hukum Islam beserta jiwa dan aturan-aturan umumnya  untuk menghadapi setiap persoalan yang terjadi dalam lapangan hukum. Bahkan kegiatan mereka tidak terbatas pada peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi, melainkan juga meliputi peristiwa khayalan yang boleh jadi bisa terjadi. Dengan demikian, maka syariat Islam tidak kewalahan dalam menentukan sikapya terhadap sesuatu persoalaan atau dalam mewujudkan masa keadilan (kemaslahatan) orang banyak. Apalagi kegiatan-kegiatan dalam lapangan politik telah menimbulkan kegiatan disegala bidang kehidupan negara[4].

3.             Berkembangnya Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran pada masa Utsman bin Affan dan Hadits pada masa Umar bin Abd Aziz, sebagai pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputusan itu dapat dijadikan yurespudensi hakim saat ini.
Satu hal  yang cukup menggembirakan, bahwa pada periode khalifah Bani Abbasiyah memerintah, dunia Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena khalifah memperhatikan secara serius keadaan sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya untuk kepentingan masyarakat.[5] Dan yang lebih menonjol lagi adalah bidang sektor pendidikan, dengan mengembangkan bermacam-macam ilmu pengetahuan. Banyak buku-buku ilmiyah yang berasal dari luar negeri, seperti Romawi, Persia, Industan, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[6]
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, maka perkembangan ilmu pengetahuan keagaamaan pun (Islam) mendapat tempat yang cukup Istimewa pula, karena pada periode ini sebagai masa keemasan bagi perkembangan ajaran-ajaran Islam, seperti Aqidah, ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan lain sebaginya, untuk menyaingi perkembangan ilmu pengetahuan yang diimport dari dunia barat, terutama filsafat Socrates, Plato, Aristoteles, yang datang dari Yunani.[7]
Maka dari perkembangan ilmu yang sangat pesat inilah, muncul berbagai madzhab-madzhab fiqih. Sebelum munculnya madzhab-madzhab dalam hukum Islam, terutama madzhab empat, maka telah terdapat aliran-aliran-rasio. Kebanyakan pengikut-pengikut aliran-aliran hadits adalah fuqaha negeri Hijaz (Saudi Arabia) sekarang dan kebanyakan pengikut aliranan rasio adalah fuqaha Iraq.[8]
a.       Ahlul Hadits
Dalam masyarakat islam terdapat kelompok orang yang metode pemahamannya terhadap ajaran wahyu amat terikat oleh informasi dari Nabi. Dengan kata lain, ajaran islam itu diperoleh dari Al-Qur;an dan petunjuk Nabi saja, bukan yang lain. Disamping disebut as-Sunah, petunjuk Nabi juga juga disebut Hadits. Karena itu merek disebut Ahlul Hadits. Mulanya aliran ahlul hadits timbul di Hijaz, utamanya di Madinah karena penduduk hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi Rasul dibanding dengan penduduk di luar hijaz. Hijaz adalah daerah yang perkembangan budayanya dalam pantuan Rasullullah hingga beliau wafat. Di madinah sebagai ibu kota islam, beredar hadits nabi yang jauh lebih banyak /lengkap dibanding dengan daerah lain dimanapun. Semua persoalan hukum dan budaya sudah terjawab oleh teks wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits). Di sana tidak banyak varian mata pencaharian penduduk seperti yang terdapat di darah irak. Ulamanya pun sudah mapan dengan tradisi menyelesaikan masalah hukum dengan teks wahyu, tidak memerlukan memeras otak. Sehingga pada masa itu hijaz dikenal sebagai pusat hadits.[9]
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal masa permulaan pebukaan hadits. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi dalam tulisan menggerakan hatinya untuk memerintahkan ulama hadits, seperti Ibn Syihad al-Zuhri agar membukukan hadits. Semenjak itulah pembukuan dan penulisan naskah-naskah di beberapa daerah kekuasaan islam (misalnya Hijaz, Syam, Irak, mesir, yaman, khurasan) menjadi kebutuhan, sehingga hampir tidak ada ahli riwayat yang tidak punya catatan. Prestasi penghimpunan hadits, semenjak dari “asal himpun” hingga pemilihan hadits-hadits shahih dari yang tidak shahih, adalah kebanggaan tersendiri dalam menyelamatkan syariat islam.[10]
Sa’id bin al-Musayyab adalah seorang tabi’in panutan aliran ini. Banyak ulama yang serius mempelajari bagaimana Sa’id bin al-Musayyab berpikir tentang hukum. Secara berurutan, Malik, al-Syafi’i, Ahmad dan Dawud adalah pewaris aliran ini. Namun demikian, ualma yang terkenal berpendirian keras berpedang metode berpikir ahlul hadits adalah Ahmad bin Hanbal dan Dawud.
          Aliran Ahlul hadits sebenarnya tidak hanya diikuti oleh ahli hukum di hijaz saja. Ada beberapa ulama fiqh besar di luar hijaz. ‘Amir al-Sya’bi di kufah, Sufyan al-Tsaury, al-Auza’i di Syam, Yazid bin Habib, perintis ilmu fiqh di mesir, mereka semua pengikut aliran ahlul hadits di luar hijaz.[11]
Dimasa sahabat/khulafa al-Rasyidin, sumber hukum islam adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi (Al-Qur;an dan Al-Hadits). Di masa tabi’in, sumber itu ditambah dengan fatwa sahabat. Menurut ulama ahlul hadits, apabila tidak memperoleh dari al-Qur’an dan al-Hadits ketika menjawab persoalan hukum, mereka meninjau pendapat sahabat. Jika mereka tidak memperolehnya maka mereka berijtihad atau tidak memberi fatwa. Mereka membenci ra’y serta menghindari fatwa dan istinbath kecuali bila terpaksa dan tidak ada kesempatan untuk mengelak. Progam mereka yang utama adalah meriwayatkan hadits Rasullullah SAW. Dimana tabi’it tabi’in, sumber hukum islam bertambah lagi, fatwa tabi’in, demikian seterusnya, generasi mendatang menjadikan fatwa generasi sebelumnya sebagai sumber hukum islam.[12]
b.      Ahlur Ra’yi
Istilah ra’y digunakan untuk menyebut kelompok pemikiran hukum islam yang memberi porsi akal lebih banyak dibandingkan dengan pemikir lainnya. Bila kelompok lain dalam menjawab persoalan hukum tampak terikat oleh teks nash (al-Qur’an dan al-Hadist) maka kelompok ahlul ra’yi tampak tidak terikat, sebaliknya, leluasa menggunakan pendapat akal. Sebenarnya ahlul ra’yi bukan berarti kelompok yang meninggalkan hadits. Mereka juga menggunakan hadits sebagai dasar penetapan hukum. Hanya, mereka dalam melihat kasus penetapan hukum berpendapat bahwa nas syar’i itu mempunyai tujuan tertentu. Dan nas syar’i secara kumulatif bertujuan mendatangkan maslahat manusia (mashalih al-ibad). Karena banyaknya persoalan yang mereka hadapi dan “terbatasnya jumlah nas” maka mereka berupaya memikirkan rahasia yang terkandung di dalam nas, dikenal dengan ta’lil al-ahkam. Sedangkan kelompok ahlul hadits lebih memperlihatkan penguasaan hafalan nas dan mengamalkan sesuatu sesuai dengan bunyi nas itu. mari kita lihat pola pikir mereka terhadap beberapa hadits berikut ini.
1.)    Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap 40 ekor kambing zakatnya seekor kambing.
2.)    Hadist tentang fitrah menyebutkan bahwa zakat fitrah itu satu gantung kurma atau gandum.
Ulama ahlul ra’y memahami nas tersebut berdasarkan tujuan tasyri’, bukan redaksi. Sehingga, pemilik 40 ekor kambing tidak harus mengeluarkan zakat berupa seekor kambing. Tetapi boleh mengeluarkan zakat berupa apa saja yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada waktu itu, minimal seharga seekor kambing. Begitu juga dengan zakat fitrah. Bagi mereka, zakat fitrah  dapat di bayar dengan kurma atau gandum, atau apa saja senilai dengan dengannya. Jadi, penyebutan “seekor kambing”  pada zakat ternak dan “segantung gandum dan kurma” pada zakat fitrah adalah tujuan syara’, tetapi contoh sarana mewujudkan kesejahteraan umat manusia sebagai tujuan syariat. Menurut ulama ahlul hadits, pengeluaran zakat hewan ternak berupa seekor kambing dan zakat fitrah berupa segantung gandum atau kurma tidak perlu diganti, takut tidak sah.[13]
Struktur berpikir ahlul ra’yi ini agaknya diilhami oleh sebuah hadits terkenal, dialog antara Nabi SAW. Dengan Mu’adz bin Jabal ketika beliau hendak mengutusnya ke Yaman sebagai qadhi (hakim).
     “Dengan apa engkau memutuskan perkara nanti?” Nabi bertanya>
        Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah”.
        “Kalau dalam kitab Allah tidak ada”.
        “Dengan sunnah Rasul”.
        “Kalau dalam sunnah Rasul juga tidak ada?”
        “Saya berijtihad dengan ra’yi saya”.
        Maka Rasullullah menepuk dada Mu’adz tanda setuju. Dialog itu mengandung ajaran bahwa ra’yi (akal pikiran) yang sehat itu dapat dijadikan acuhan untuk menyelesaikan persoalan hukum. Dengan kata lain, sumber hukum islam berdasarkan alur pikir tersebut ada tiga;
a.)    Al-Qur’an
b.)    Al-Sunnah dan
c.)    Ra’y (pikiran).[14]
Dengan demikian, sebenarnya aliran ahlul hadits bukanlah aliran yang sama sekali menghindari penggunaan akal. Ketawadhu’an mereka melahirkan sikap berhati-hati, sangat mengakui kelemahan akal- kendati berkesan tidak berani menggunakan akal- dan sangat mengutamakan penggunaan ajaran wahyu.[15]
Ahlul ra’yi merasa bahwa keberhaslan berijtihad dengan ra’yu dapat menyelamatkan umat islam dari persoalan hukum islam, karenanya metode ini terus dikembangkan. Lebih dari itu, mereka kemudian mengandaikan hal-hal yang kemungkinan terjadinya amat jauh. Ini disebabkan karena mereka memperkirakan bahwa wilayah islam akan bertambah luas terus sehingga persoalan hukum yang mungkin terjadi harus diantisipasi.[16]
Contoh perdebatan antara Ahlul Hadits dan Ahlul Ra’yi adalah:
كل اربعين شاة شاة في
“ Pada tiap-tiap empat puluh kambing adalah seekor kambing”
Bagi Fuqaha Iraq, yang menjadi pedoman dari nas Hadits tersebut ialah pengertiannya yakni maksud dan tujuan memberikan zakat, yatu agar pemilik kambing tersebut harus membahagiakan orang fakir miskin dengan seekor kambing atau barang lain yang sama misalnya. Jadi kalau zakat tersebut dikeluarkan dalam bentuk uang, maka sudah mencukupi. Akan tetapi fuqaha Hijaz tersebut memegangi bunyi kata-kata hadits itu sendiri, tanpa mencari hikmah tujuan adanya zakat. Jadi kalau kambing, maka kambinglah yang harus dikeluarkan.[17]
B.     Pengaruh Ahlul Hadits dan Ra’yi pada Hukum Islam
1.      Bermunculan para ahli mujtahid dari kalangan sahabat Nabi yang aktif, serta produktif dalam menginterpretasi ayat-ayat hukum dalam Al-Quran maupun hadits-hadits ahkam, untuk menjawab timbulnya kasus kasus hukum dunia Islam.
2.      Timbulnya fatwa-fatwa hukum produk Ijtihad para sahabat, yang tujuannya untuk memeberi jawaban kasus yang timbul dalam masyarakat Isla,, yang kebetulan hukum dari kasus tersebut tidak ada disinggung-singgung baik dalam Al-Quran maupun Hadits. Dalam Hal ini ada dua kemungkinan, yaitu :
a.    Fatwa-fatwa semasa dunia Islam masih belum meluas, para sahabar sangat   mudah mengadakan diskusi dan musyawarah di Kota Medinah, sebagai ibukota Islam pada waktu itu. Maka hasil produk Ijtihad hukum beliau lakukan bersama-sama yang terkenal sebutan Ijma’ sahabi.
Fatwa-fatwa semasa Islam telah meluas dari Jazirah Arab dan para sahabat berpencar antara satu sama lain cukup jauh jaraknya, sedang komunikasi dan transportasi sangat sukar, situasi tidak mengizikan maka ijtihad dilakukan secara perorangan, tanpa musyawarah. Dari penilaian inilah nanti, para ulama berbeda pendapat dalam mempergunakan ijtihad (istimbath) hukum para shahabi dalam menentukan hukum ilmu fiqh.[18]








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

            Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu, adanya partai politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam juga turut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengaruh besar terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in adalah Al-Quran, Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabiin ang selalu menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa ini pula mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham antara pemuka tasyri’, yang berlainan, dan cara penggunaan ra’yu yang berbeda.
Pada masa tabiin ulama dibedakan menjadi dua aliran, yaitu Ahli Hadits dan Ahlur Ra’yi. Munculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf.











DAFTAR PUSTAKA


Zuhri, Dr. Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. PT. Grafindo Persada. Jakarta: 1996.
M.H, A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Bulan Bintang. Jakarta: 1977.
Matdawam, Drs. M. Noor, Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah Perkembangannya). Yayasan Bina Karier-LP5BIP. Yogyakarta: 1985.




[1]  A. Hanafi M.A Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm, 198
[2] Drs. M. Noor Matdawan Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah dan Perkembangannya) (Yogyakarta: Yayasan “Bina Karier” LP5BIP, 1985) hlm, 73.
[3] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 63.
[4]  A. Hanafi M.A Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm, 198
[5]  Drs. M. Noor Matdawan Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah dan Perkembangannya) (Yogyakarta: Yayasan “Bina Karier” LP5BIP, 1985) hlm, 87.
[6]  Ibid hlm 87.
[7] Ibid hlm 87
[8] A. Hanafi M.A Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm, 203.
[9]  Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 67.
[10]  Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 68.
[11]  Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 69.
[12]  Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 67.
[13]  Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 70.
[14]  Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 71.
[15]  Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 69.
[16]   Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 71.
[17]  A. Hanafi M.A Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm, 204.
[18]   Drs. M. Noor Matdawan Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah dan Perkembangannya) (Yogyakarta: Yayasan “Bina Karier” LP5BIP, 1985) hlm, 84-85.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar