HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
Dosen pengampu Gusnam Haris, S.Ag., M.Ag
Disusun
oleh :
1. Ahmad
Arifuddin
2. Muhammad
Akbar E.P
3. Ahmad
Fadholi
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
DAFTAR ISI
Daftar Isi........................................................................................................ i
BAB I Pendahuluan................................................................................... .. ii
A.
Latar
Belakang Masalah....................................................................... .. ii
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. .. ii
C.
Tujuan................................................................................................... .. ii
BAB II Pembahasan................................................................................... .. 1
A.
Faktor
Perkembangan Tasyri’............................................................... .. 1
1. Bidang Politik................................................................................... .. 1
2. Luasnya Wilayah.............................................................................. .. 2
3. Berkembangnya Ilmu Pengetahuan.................................................. .. 3
a.
Ahlul
Hadits ........................................................................ .. 4
b.
Ahlur
Ra’yi........................................................................... .. 6
B.
Pengaruh
Ahlul Hadits dan Ahlul Ra’yi................................................ 9
BAB II Penutup......................................................................................... 10
A.
Kesimpulan........................................................................................... 10
Daftar Pustaka....................................................................................... 11
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Ajaran Islam
yang kristalnya berupa al qur’an dan as Sunnah diyakini pemeluknya dapat
mengantisipasi segala kemungkinan yang timbul pada suatu zaman. Islam itu satu,
tapi realitas mengatakan bahwa Islam itu beragam. Misalnya, ada komunitas yang
menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, adapula yang senang
pemerintahan republik, bahkan ada juga yang ingin kembali menggunakan sistem
kekhalifahan. Ada yang sangat terikat dengan teks al Qur’an dan al Hadits dalam
memahami hukum Islam, ada pula yang longgar melihat konteks nash tersebut.
Hukum Islam
dari masa ke masa mulai zaman Rasulullah SAW sampai periode sekarang telah
mengalami perkembangan yang begitu signifikan. Lihat saja, pada masa Rasul,
dalam menyelesaikan masalah hukum, para umat bisa langsung menanyakannya kepada
beliau dan dalam menjawabnya beliau langsung mendapatkan wahyu dari Allah SWT.
Setelah beliau wafat, selain menggunakan al Qur’an dan al Hadits sebagai dasar
penyelesaian masalah hukum, juga berijma’ jika tidak menemukannya dalam kedua
sumber tersebut. Pada masa tabi’in, kesepakatan dari sahabat dalam masalah
hukum juga menjadi salah satu sumber hukum dalam menjawab persoalan umat.
Begitu juga masa tabi’it tabi’in ijma’ yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya
menjadi pertimbangan dan dasar hukum dalam member solusi atas problem-problem
baru yang muncul.
Sumber
tasyri’ pada masa Tabi’in adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka
sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah.
Semua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada
masa ini muncul Madrasah Al Hadis dan Madrasah Ra’yu, kedua aliran
tersebut berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah hadis yang bermukim di Madinah
dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis
Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu yang bermukim di Iraq dalm menjawab
permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalm berijtihad, karena
hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas, sedangkan kasus yang
mereka hadapi sangat berat dan beragam.
BAB II
Pembahasan
A.
Faktor
Perkembangan Tasyri’
Perkembangan tasyri’ tidak lepas dengan perkembangan hukum Islam itu
sendiri. A. Hanafi M.A dalam bukunya Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, membagi
fase perkembangan hukum Islam kedalam lima fase, yaitu fase permulaan hukum
Islam, fase persiapan hukum Islam, fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam,
fase kemunduran hukum Islam, dam fase kebangunan hukum Islam. Dalam hal ini
penulis hanya akan membahas perkembangan tasyri’ pada masa tabi’in yang masuk
dalam fase pemmbinaan dan pembukuan hukum Islam.
Fase pembinaan dan pembukuan hukum Islam berlangsung kurang lebih dua
ratus lima puluh tahun Hijriyah, yakni awal-awal abad pertama Hijriyah sampai
pertengahan abad keempat Hijriyah. Fase ini disebut juga masa keemasan, karena
hukum Islam pada masa tersebut mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat.
Penulisan-penulisan dan pembukuan terhadap hukum-hukum Islam dengan giatnya
dijalankan, seperti penulisan-penulisan terhadap hadits hadits Nabi SAW,
fatwa-fatwa (pendapat-pendapat) sahabat-sahabat serta para tabiin, tafsir
Quran, kumpulan pendapat imam-imam fiqih dan penulisan ilmu ushul fiqih[1].
Masa tabiin diawali dengan berakhirnya pemerintahan kekhalifahan
Khulafaur Rasyidin dan dilanjutkan dengan pemerintahan monarki Daulah Bani
Umayyah dan Abbasiyah. Adapun faktor perkembangan tasyri’ pada masa tabiin,
yaitu:
1. Bidang Politik
Umat Islam pada masa tabiin ini terpecah menjadi tiga kelompok yaitu
Khawarij sebagai penentang Ali, Syiah sebagai pendukung Ali, dan Jumhur sebagai
kelompok mayoritas.
Akibat dari perpecahan politik ini, maka besar sekali pengaruhnya dalam
pembentukan dan pembinaan hukum Islam. Hal ini disebabkan antara satu golongan
dengan golongan yang lain berbeda pendapat dalam menerima sumber hukum Islam
yang datang dari para sahabat baik yang merupakan perawi hadits maupun
fatwa-fatwa mereka, ada golongan yang mau menerima dan ada pula yang tidak mau
menerima. Ini disesuaikan dengan kondisi politik[2]
2.
Luasnya Wilayah
Dalam catatan sejarah, pusat kekuasaan politik Islam berpindah-pindah.
Madinah di masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, Damaskus di masa Dinasti Umayyah,
dan Baghdad di masa Dinasti Abbasiyah.[3]
Kekuasaan Islam pada masa tersebut meliputu daerah yang luas sekali,
mulai dari perbatasan negeri Tiongkok di sebelah timur sampai Andalusia (Spanyol
sekarang) di sebelah barat. Di dalamnya terdapat berbagai umat dengan
bermacam-macam adat kebiasaan, cara hidup dan kepentingan-kepentingannya.
Oleh karena itu, para ulama dengan segala kegiatan menggali sumber-sumber
hukum Islam beserta jiwa dan aturan-aturan umumnya untuk menghadapi setiap persoalan yang
terjadi dalam lapangan hukum. Bahkan kegiatan mereka tidak terbatas pada
peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi, melainkan juga meliputi peristiwa
khayalan yang boleh jadi bisa terjadi. Dengan demikian, maka syariat Islam
tidak kewalahan dalam menentukan sikapya terhadap sesuatu persoalaan atau dalam
mewujudkan masa keadilan (kemaslahatan) orang banyak. Apalagi kegiatan-kegiatan
dalam lapangan politik telah menimbulkan kegiatan disegala bidang kehidupan
negara[4].
3.
Berkembangnya Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran pada
masa Utsman bin Affan dan Hadits pada masa Umar bin Abd Aziz, sebagai pedoman
para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul dengan
keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga
keputusan-keputusan itu dapat dijadikan yurespudensi hakim saat ini.
Satu hal yang cukup menggembirakan,
bahwa pada periode khalifah Bani Abbasiyah memerintah, dunia Islam mengalami
kemajuan yang sangat pesat, karena khalifah memperhatikan secara serius keadaan
sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya untuk kepentingan masyarakat.[5]
Dan yang lebih menonjol lagi adalah bidang sektor pendidikan, dengan
mengembangkan bermacam-macam ilmu pengetahuan. Banyak buku-buku ilmiyah yang
berasal dari luar negeri, seperti Romawi, Persia, Industan, diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab.[6]
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, maka
perkembangan ilmu pengetahuan keagaamaan pun (Islam) mendapat tempat yang cukup
Istimewa pula, karena pada periode ini sebagai masa keemasan bagi perkembangan
ajaran-ajaran Islam, seperti Aqidah, ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan lain
sebaginya, untuk menyaingi perkembangan ilmu pengetahuan yang diimport dari
dunia barat, terutama filsafat Socrates, Plato, Aristoteles, yang datang dari
Yunani.[7]
Maka dari perkembangan ilmu yang sangat pesat inilah, muncul berbagai
madzhab-madzhab fiqih. Sebelum munculnya madzhab-madzhab dalam hukum Islam,
terutama madzhab empat, maka telah terdapat aliran-aliran-rasio. Kebanyakan
pengikut-pengikut aliran-aliran hadits adalah fuqaha negeri Hijaz (Saudi
Arabia) sekarang dan kebanyakan pengikut aliranan rasio adalah fuqaha Iraq.[8]
a. Ahlul Hadits
Dalam
masyarakat islam terdapat kelompok orang yang metode pemahamannya terhadap
ajaran wahyu amat terikat oleh informasi dari Nabi. Dengan kata lain, ajaran
islam itu diperoleh dari Al-Qur;an dan petunjuk Nabi saja, bukan yang lain.
Disamping disebut as-Sunah, petunjuk Nabi juga juga disebut Hadits. Karena itu
merek disebut Ahlul Hadits. Mulanya aliran ahlul hadits timbul di Hijaz,
utamanya di Madinah karena penduduk hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan
tradisi Rasul dibanding dengan penduduk di luar hijaz. Hijaz adalah daerah yang
perkembangan budayanya dalam pantuan Rasullullah hingga beliau wafat. Di
madinah sebagai ibu kota islam, beredar hadits nabi yang jauh lebih banyak /lengkap
dibanding dengan daerah lain dimanapun. Semua persoalan hukum dan budaya sudah
terjawab oleh teks wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits). Di sana tidak banyak varian
mata pencaharian penduduk seperti yang terdapat di darah irak. Ulamanya pun
sudah mapan dengan tradisi menyelesaikan masalah hukum dengan teks wahyu, tidak
memerlukan memeras otak. Sehingga pada masa itu hijaz dikenal sebagai pusat
hadits.[9]
Masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal masa permulaan pebukaan hadits.
Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi dalam
tulisan menggerakan hatinya untuk memerintahkan ulama hadits, seperti Ibn
Syihad al-Zuhri agar membukukan hadits. Semenjak itulah pembukuan dan penulisan
naskah-naskah di beberapa daerah kekuasaan islam (misalnya Hijaz, Syam, Irak,
mesir, yaman, khurasan) menjadi kebutuhan, sehingga hampir tidak ada ahli
riwayat yang tidak punya catatan. Prestasi penghimpunan hadits, semenjak dari
“asal himpun” hingga pemilihan hadits-hadits shahih dari yang tidak shahih, adalah
kebanggaan tersendiri dalam menyelamatkan syariat islam.[10]
Sa’id
bin al-Musayyab adalah seorang tabi’in panutan aliran ini. Banyak ulama yang
serius mempelajari bagaimana Sa’id bin al-Musayyab berpikir tentang hukum.
Secara berurutan, Malik, al-Syafi’i, Ahmad dan Dawud adalah pewaris aliran ini.
Namun demikian, ualma yang terkenal berpendirian keras berpedang metode
berpikir ahlul hadits adalah Ahmad bin Hanbal dan Dawud.
Aliran Ahlul hadits sebenarnya tidak
hanya diikuti oleh ahli hukum di hijaz saja. Ada beberapa ulama fiqh besar di
luar hijaz. ‘Amir al-Sya’bi di kufah, Sufyan al-Tsaury, al-Auza’i di Syam,
Yazid bin Habib, perintis ilmu fiqh di mesir, mereka semua pengikut aliran
ahlul hadits di luar hijaz.[11]
Dimasa
sahabat/khulafa al-Rasyidin, sumber hukum islam adalah apa yang diriwayatkan
dari Nabi (Al-Qur;an dan Al-Hadits). Di masa tabi’in, sumber itu ditambah
dengan fatwa sahabat. Menurut ulama ahlul hadits, apabila tidak memperoleh dari
al-Qur’an dan al-Hadits ketika menjawab persoalan hukum, mereka meninjau
pendapat sahabat. Jika mereka tidak memperolehnya maka mereka berijtihad atau
tidak memberi fatwa. Mereka membenci ra’y serta menghindari fatwa dan istinbath
kecuali bila terpaksa dan tidak ada kesempatan untuk mengelak. Progam mereka
yang utama adalah meriwayatkan hadits Rasullullah SAW. Dimana tabi’it tabi’in,
sumber hukum islam bertambah lagi, fatwa tabi’in, demikian seterusnya, generasi
mendatang menjadikan fatwa generasi sebelumnya sebagai sumber hukum islam.[12]
b. Ahlur
Ra’yi
Istilah
ra’y digunakan untuk menyebut kelompok pemikiran hukum islam yang memberi porsi
akal lebih banyak dibandingkan dengan pemikir lainnya. Bila kelompok lain dalam
menjawab persoalan hukum tampak terikat oleh teks nash (al-Qur’an dan
al-Hadist) maka kelompok ahlul ra’yi tampak tidak terikat, sebaliknya, leluasa
menggunakan pendapat akal. Sebenarnya ahlul ra’yi bukan berarti kelompok yang
meninggalkan hadits. Mereka juga menggunakan hadits sebagai dasar penetapan
hukum. Hanya, mereka dalam melihat kasus penetapan hukum berpendapat bahwa nas
syar’i itu mempunyai tujuan tertentu. Dan nas syar’i secara kumulatif bertujuan
mendatangkan maslahat manusia (mashalih al-ibad). Karena banyaknya persoalan
yang mereka hadapi dan “terbatasnya jumlah nas” maka mereka berupaya memikirkan
rahasia yang terkandung di dalam nas, dikenal dengan ta’lil al-ahkam. Sedangkan
kelompok ahlul hadits lebih memperlihatkan penguasaan hafalan nas dan
mengamalkan sesuatu sesuai dengan bunyi nas itu. mari kita lihat pola pikir
mereka terhadap beberapa hadits berikut ini.
1.)
Dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa setiap 40 ekor kambing zakatnya seekor kambing.
2.)
Hadist tentang fitrah
menyebutkan bahwa zakat fitrah itu satu gantung kurma atau gandum.
Ulama
ahlul ra’y memahami nas tersebut berdasarkan tujuan tasyri’, bukan redaksi.
Sehingga, pemilik 40 ekor kambing tidak harus mengeluarkan zakat berupa seekor
kambing. Tetapi boleh mengeluarkan zakat berupa apa saja yang lebih sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada waktu itu, minimal seharga seekor kambing.
Begitu juga dengan zakat fitrah. Bagi mereka, zakat fitrah dapat di bayar dengan kurma atau gandum, atau
apa saja senilai dengan dengannya. Jadi, penyebutan “seekor kambing” pada zakat ternak dan “segantung gandum dan
kurma” pada zakat fitrah adalah tujuan syara’, tetapi contoh sarana mewujudkan
kesejahteraan umat manusia sebagai tujuan syariat. Menurut ulama ahlul hadits,
pengeluaran zakat hewan ternak berupa seekor kambing dan zakat fitrah berupa segantung
gandum atau kurma tidak perlu diganti, takut tidak sah.[13]
Struktur
berpikir ahlul ra’yi ini agaknya diilhami oleh sebuah hadits terkenal, dialog
antara Nabi SAW. Dengan Mu’adz bin Jabal ketika beliau hendak mengutusnya ke
Yaman sebagai qadhi (hakim).
“Dengan apa engkau memutuskan perkara
nanti?” Nabi bertanya>
Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah”.
“Kalau dalam kitab Allah tidak ada”.
“Dengan sunnah Rasul”.
“Kalau dalam sunnah Rasul juga tidak
ada?”
“Saya berijtihad dengan ra’yi saya”.
Maka Rasullullah menepuk dada Mu’adz
tanda setuju. Dialog itu mengandung ajaran bahwa ra’yi (akal pikiran) yang
sehat itu dapat dijadikan acuhan untuk menyelesaikan persoalan hukum. Dengan
kata lain, sumber hukum islam berdasarkan alur pikir tersebut ada tiga;
a.)
Al-Qur’an
b.)
Al-Sunnah dan
c.)
Ra’y (pikiran).[14]
Dengan demikian, sebenarnya aliran ahlul
hadits bukanlah aliran yang sama sekali menghindari penggunaan akal.
Ketawadhu’an mereka melahirkan sikap berhati-hati, sangat mengakui kelemahan
akal- kendati berkesan tidak berani menggunakan akal- dan sangat mengutamakan
penggunaan ajaran wahyu.[15]
Ahlul ra’yi merasa bahwa keberhaslan
berijtihad dengan ra’yu dapat menyelamatkan umat islam dari persoalan hukum
islam, karenanya metode ini terus dikembangkan. Lebih dari itu, mereka kemudian
mengandaikan hal-hal yang kemungkinan terjadinya amat jauh. Ini disebabkan
karena mereka memperkirakan bahwa wilayah islam akan bertambah luas terus
sehingga persoalan hukum yang mungkin terjadi harus diantisipasi.[16]
Contoh perdebatan antara Ahlul Hadits dan
Ahlul Ra’yi adalah:
كل اربعين شاة شاة في
“ Pada tiap-tiap empat puluh kambing adalah seekor
kambing”
Bagi Fuqaha Iraq, yang menjadi pedoman dari
nas Hadits tersebut ialah pengertiannya yakni maksud dan tujuan memberikan
zakat, yatu agar pemilik kambing tersebut harus membahagiakan orang fakir
miskin dengan seekor kambing atau barang lain yang sama misalnya. Jadi kalau
zakat tersebut dikeluarkan dalam bentuk uang, maka sudah mencukupi. Akan tetapi
fuqaha Hijaz tersebut memegangi bunyi kata-kata hadits itu sendiri, tanpa
mencari hikmah tujuan adanya zakat. Jadi kalau kambing, maka kambinglah yang
harus dikeluarkan.[17]
B. Pengaruh
Ahlul Hadits dan Ra’yi pada Hukum Islam
1. Bermunculan
para ahli mujtahid dari kalangan sahabat Nabi yang aktif, serta produktif dalam
menginterpretasi ayat-ayat hukum dalam Al-Quran maupun hadits-hadits ahkam,
untuk menjawab timbulnya kasus kasus hukum dunia Islam.
2. Timbulnya
fatwa-fatwa hukum produk Ijtihad para sahabat, yang tujuannya untuk memeberi
jawaban kasus yang timbul dalam masyarakat Isla,, yang kebetulan hukum dari
kasus tersebut tidak ada disinggung-singgung baik dalam Al-Quran maupun Hadits.
Dalam Hal ini ada dua kemungkinan, yaitu :
a. Fatwa-fatwa
semasa dunia Islam masih belum meluas, para sahabar sangat mudah mengadakan diskusi dan musyawarah di
Kota Medinah, sebagai ibukota Islam pada waktu itu. Maka hasil produk Ijtihad
hukum beliau lakukan bersama-sama yang terkenal sebutan Ijma’ sahabi.
Fatwa-fatwa semasa Islam telah meluas
dari Jazirah Arab dan para sahabat berpencar antara satu sama lain cukup jauh
jaraknya, sedang komunikasi dan transportasi sangat sukar, situasi tidak
mengizikan maka ijtihad dilakukan secara perorangan, tanpa musyawarah. Dari
penilaian inilah nanti, para ulama berbeda pendapat dalam mempergunakan ijtihad
(istimbath) hukum para shahabi dalam menentukan hukum ilmu fiqh.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Faktor
yang mendorong perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu, adanya partai
politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah
Islam juga turut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengaruh besar
terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada
masa tabi’in adalah Al-Quran, Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabiin
ang selalu menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada
masa ini pula mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham antara
pemuka tasyri’, yang berlainan, dan cara penggunaan ra’yu yang berbeda.
Pada masa tabiin ulama dibedakan menjadi dua aliran,
yaitu Ahli Hadits dan Ahlur Ra’yi. Munculnya dua aliran tersebut semakin
mempercepat perkembangan ikhtilaf.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Dr. Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. PT. Grafindo Persada. Jakarta:
1996.
M.H, A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Bulan Bintang.
Jakarta: 1977.
Matdawam, Drs. M. Noor, Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah
Perkembangannya). Yayasan Bina Karier-LP5BIP. Yogyakarta: 1985.
[1] A. Hanafi M.A Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm, 198
[2] Drs. M. Noor Matdawan Dinamika Hukum Islam (Tinjauan Sejarah dan
Perkembangannya) (Yogyakarta: Yayasan “Bina Karier” LP5BIP, 1985) hlm, 73.
[3] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996) hlm, 63.
[4] A. Hanafi M.A Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm, 198
[5] Drs. M. Noor Matdawan Dinamika
Hukum Islam (Tinjauan Sejarah dan Perkembangannya) (Yogyakarta: Yayasan “Bina
Karier” LP5BIP, 1985) hlm, 87.
[6] Ibid hlm 87.
[7] Ibid hlm 87
[8] A. Hanafi M.A Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977) hlm, 203.
[9] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 67.
[10] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 68.
[11] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 69.
[12] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 67.
[13] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 70.
[14] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 71.
[15] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 69.
[16] Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) hlm, 71.
[17] A. Hanafi M.A Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) hlm, 204.
[18] Drs. M. Noor Matdawan Dinamika
Hukum Islam (Tinjauan Sejarah dan Perkembangannya) (Yogyakarta: Yayasan “Bina
Karier” LP5BIP, 1985) hlm, 84-85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar