MAKALAH
Madzhab
Imam Syafi’i
Di
susun oleh :
Ø Samsul muarif
Ø Hilman aziz
Ø Nor Fariza
Ø Adiman
Ø Ahmad Ariefuddin
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
PERBANDINGAN MADZHAB
UNIVERSITAS NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014/2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam islam kita
mengenal empat imam madzhab besar, yang tokoh-tokohnya terdiri dari Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Pandangan-pandangan dari empat ke empat
madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka
mempunyai perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan
hukum islam.
Namun disini pemakalah hanya akan membahas
sedikit mengenai imam Syafi’i, bagaimana kisah hidupnya, cara pengambilan hukum
dan sumber hokumnya. Karena Imam Syafi’I secara khusus dikenang karena
membangun dan mensistematisasi metode juris prudensi (secara tradisional
disebut ushul Fiqih) yang membahas dalil-dalil syara’utama, seperti Al Qur’an,
as-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan beberapa sumber bernilai lainnya yang tidak
seluruhnya diterima oleh seluruh madzhab-madzhab dibidang hokum.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa sejarah madzhab imam syafi’i?.
b.
Bagaimana pola pemikiran ijtihad imam
syafi’i?.
C. Tujuan masalah
a.
Untuk mengetahui sejarah kehidupan imam
syafi’i
b.
Untuk mengetahui metode ijtihad imam
syafi’i
BAB
11
PEMBAHASAN
A. Riwayat singkat kehidupan Imam Syafi’i
Sebagaimana dalam
sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah
yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap
khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlul Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
a. Kelahiran
Ia lahir di Gaza
palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza,
Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia
lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakhdari
Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang
mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu
Hanifah.
b. Nasab
Imam Syafi'i merupakan
keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin
As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf
bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin
Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di
Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut,
Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah
saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi
wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul
Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
, bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak
bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal
dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian
nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam .
Bahkan karena Hasyim
bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung
dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka
Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni
Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab.
Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau. (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal.
65 – 66)
C. PENDIDIKAN
IMAM SYAFI’I
Setelah ayah Imam
Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah,
tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak
kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra
sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari
seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.
1. Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi
ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab
Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya,
Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini,
si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam
Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya.
Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam
Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan
kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi:
“Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan
hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya
kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi
bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’
Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat
setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan:
“Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai
pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau
kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping
itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang
ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin
Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya
Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini
adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan
madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal
dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau
tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai
periwayatan ilmu
2. Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian
pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman
yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf
Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour
ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu
dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau
mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih
banyak lagi yang lainnya.
3. Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke
Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan.
Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid. Dan selama beliau
di Iraq, dapatlah menambah dan meluaskan ilmu pengetahuan fiqh ahli Iraq; pun
beliau dapat pula menambah pengetauan tentang cara-cara Qadhy (hakim) memeriksa
perkara dan memutuskan urusan, cara-cara memberi fatwa dan menjatuhkan hokum
dan sebagainya yang dilakukan oleh para Qadht dan Mufty disana (kepala agama
yang bertanggung jawab tentang masalah-masalah agama), yang selamanya belum
pernah beliau ketahui selama di Hijaz. Beliau
juga mendirikan madzhab Qadim / Qaul Qadim.
4. Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu
dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya,
penjelasan nasikh dan mansukhnya. Kalau di Baghdad
ia menamakan madzhab Al-Qadhim, maka madzhab di Mesir ini disebut Al-Jadid .
ada diantara fatwanya, pada Al-Qadim berbeda dengan fatwanya di Al Jadid
ini. Disebutkan Qaulul Qadim dan Qaulul Jadid. Di sana beliau wafat
sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab hari jumat 204 H.
D. KARYA
TULIS IMAM SYAFI’I
Kami hanya mengambil tiga karya Imam
Syafi’I yang paling termashyhur saja, diantaranya adalah :
i) Kitab
Ar Risalah
Dalam kitab ini
disusun oleh beliau secara sistematis, dimana didalamnya membahas tentang
beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu terdapat dalam
Al Qur;an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh,
syarat-syarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal,
masalah-masalah yang berkaitan dengan Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas.
Kitab ini diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady.
ii) Kitab
Al Umm
Sementara kitab “Al
Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di
Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan
perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di
belakang tembok,” pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-masalah
yang berkaitan ‘Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat. Bahkan dalam
kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy
terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara Imam Abu
Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kitab
al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam berbagai
pandangan Mujtahid.
(iii) Kitab ‘’Ikhtilaf
Malik Wa Syafi’I”
Yaitu kitab yang
membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali dan Ibu Mas’ud dan antara Imam
Syafi’I dengan Abu Hanifah.
D.
Guru-guru imam syafi’i
dan murid-muridnya
Guru-gurunya
a. Di Mekah
1.Muslim bin Khalid az Zanji
2.Ismail bin Qusthain
3.Sofyan bin Ujainah
4.Sa’ad bin Abi Salim al Qaddah
5.Daud bin Abdurraman al’Athar
6.Abdullhamid bin Abdul Aziz
1.Muslim bin Khalid az Zanji
2.Ismail bin Qusthain
3.Sofyan bin Ujainah
4.Sa’ad bin Abi Salim al Qaddah
5.Daud bin Abdurraman al’Athar
6.Abdullhamid bin Abdul Aziz
b. DI Madinah
1.Imam Malik bin Anas ( pembangun mazhab maliki)
2.Ibrahin bin Sa’ad al Anshari
3.Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad Darurdi
4.Ibrahim Ibnu Abi Yahay al Asaani
5.Muhammad bin Sa’id
6.Abdullah bin Nafi
1.Imam Malik bin Anas ( pembangun mazhab maliki)
2.Ibrahin bin Sa’ad al Anshari
3.Abdul ‘Aziz bin Muhammad ad Darurdi
4.Ibrahim Ibnu Abi Yahay al Asaani
5.Muhammad bin Sa’id
6.Abdullah bin Nafi
c. Di Yaman
1.Mathraf bin Mazin
2.Hsyam bin Abu Yusuf Qadli Shan’a
3.Umar bin Abi Salamah (pembangun mazhab Auza’i)
4.Yahya bin Hasan ( pembangun Mazhab Leits)
1.Mathraf bin Mazin
2.Hsyam bin Abu Yusuf Qadli Shan’a
3.Umar bin Abi Salamah (pembangun mazhab Auza’i)
4.Yahya bin Hasan ( pembangun Mazhab Leits)
d. Di Iraq
1.Waki’ bin Jarrah
2.Humad bin Usamah
3.Isma’il bin Ulyah
4.Abdul Wahab bin Hasan
5.Muhammad bin Hasan
6.Qadhi bin Yusuf
1.Waki’ bin Jarrah
2.Humad bin Usamah
3.Isma’il bin Ulyah
4.Abdul Wahab bin Hasan
5.Muhammad bin Hasan
6.Qadhi bin Yusuf
murid-muridnya
Sebagaimana telah
disebutkan di atas bahwa imam Syafi’i mempunyai banyak guru. Begitu juga
murid-muridnya, mereka tersebar di Makkah, Mesir dan sebagian di Baghdad Irak,
merekalah yang
menyebarkan madzhab gurunya.
menyebarkan madzhab gurunya.
Diantara murid yang ada
di Makkah, antara lain: Abu Bakar alHumaidi, Ibrahim bin Muhammad Abbas, Abu
Bakar Muhammad bin Idris dan Musa bin Abi al-Jarud. Murid Syafi’i di Irak,
antara lain : alHasan bin Muhammad al-Za’farani (wafat : 260 H), Abu Husain
al-Karabisi (wafat : 295H), Imam Ahmad bin Hambal (wafat : 241 H) dan Dawud
ad-Dhahiri (wafat : 505 H). Sedangkan muridnya yang di Mesir antara lain :
al-Bughaisti (wafat : 270 H), al-Mazani (wafat : 269 H) dan ar-Rabi’ah (wafat :
270 H).
Generasi penerus dan
penyebar madzhab Imam Syafi’i adalah : Abu Ishaq as-Saerazi (wafat : 478 H)
adalah pengarang kitab “alMuhadzdzab”, Imam Ghazali (wafat : 505 H) pengarang
kitab “Ihya ‘Ulumuddin” dan “al-Mustahfa”, dan al-Wazid ‘Izzudin ibn Abdi Salam
(wafat :660 H0 adalah pengarang kitab “Qawa’id al-Ahkam Fi Masail alAhkam”,
Muhyiddin an-Nawawi (wafat : 676 H) yang mengarang kitab Fiqh diantaranya
“Majmu’ Syarah Muhadzab” dan “Minhaj athThalibin”, Taqiyuddin as-Shabuni (wafat
: 765 H), Jalaluddin as-Suyuti (wafat : 791 H), pengarang kitab “Asybah wan
Nadhair” dan kitab “Tanwirul Hawalaik” syarah kitab al-Muwaththa’ Imam Malik
dan masih banyak lagi yang lainnya.
B. Sumber hukum dan Metode Imam Syafi’i dalam berijtihad
Para ulama' setelah
Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai sumber hukum Islam pertama dan sunnah
sebagai sumber kedua setelah al kitab, begitu juga sebelum Imam Syafi'i,
seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan hukum pertama
harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh, baru mengambil dari
sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal ketika ditanya oleh nabi:
"Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian jawabnya: "Saya
memutuskan sesuatu dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati di dalamnya maka
dengan sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad
dengan akal.
Syafi'i meletakkan
sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal sebagai hujjah karena sunnah juga
berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan al Qur'an dan sunnah dalam segala
aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an mutawatir dan
merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan sunnah tidak
mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an adalah kalam
Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga menjelaskan
bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam masalah aqidah.
1. Al Qur'an
Syafi'i tidak
memberikan batasan definitif bagi al Qur'an, berdasarkan berbagai uraiannya,
para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap al Qur'an. Misalnya
definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an adalah lafadz
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat dan membacanya
merupakan ibadah.
Menurut Syafi'i al
Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri atas
bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka
sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari
bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan
syahadat, membaca al Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu
merupakan fardhu ‘ain yang berlaku secara umum, sedangkan
penguasaan bahasa Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu
kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan bahasa
Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al Qur'an tanpa penguasaan
terhadap bahasa Arab.
2. Sunnah
Meskipun Syafi'i tidak
mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi dan batasan sunnah, dapat diketahui
dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu perkataan, perbuatan, atau taqrir
yang disandarkan kepada nabi SAW. Secara umum, batasan seperti ini diterima
oleh para ulama' yang datang kemudian. Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i
hampir dapat memastikan bahwa penegakkan sunnah sebagai sumber hukum merupakan
obsesi agenda pemikirannya, bahkan yang paling asasi. Karena itu kita tidak
boleh lupa dengan signifikasi historis dari pemberian gelar nashir al Sunnah
(pembela tradisi) kepadanya.
Syafi'i menegaskan bahwa
sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti samahalnya dengan al Qur'an. Untuk
mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli.
Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan
bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari Rosulullah SAW, maka dalil
dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang
telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima
dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan "Tidak benar, kalau sesuatu
(dalam hal ini dunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali
lainnya tidak".
Tentang hubungan
antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi sunnah
sebagai beriku:
a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al
Qur'an
b) Sebagai penjelas
dari ayat ayat al Qur'an yang masih global (mujmal)
c) Sebagai tambahan;
artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an
Bahwa sunnah tidak
dapat menaskh al-Kitab. Fungsi sunnah terhadap al-Kitab
hanyalah mengikuti apa yang diturunkan sebagai naskh,danmenafsirkan apa yang
diturunkan secara global (mujmal)… Dan firman Allah “tidak ada
sepatutnya bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” (Yunus : 15) merupakan
penjelasan dari apa yang telah dikemukakan, bahwa al-kitab hanya bias
dinaskhkan oleh al-Kitab . Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang
menghilangkan apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh
siapapun diantara makhlukNya.
Syarat syarat penerimaan sunnah
Syafi'i membagi hadits
menjadi dua, yaitu kabar al-ammah (hadits mutawatir) dan
kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu
pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan
tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada
pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat
diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul
fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan
dhobith) yang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang
diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits
tersebut.
3. . Ijma'
"Ijma' adalah
hujjah atas segala sesuatu karena ijma' itu tidak mungkin salah"
(Syafi'i). Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatd
din). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa
tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an
dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh
karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan hujjah
dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan
sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan kepada
semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu sepakat
memutuskan/menentukan hukumnya.
Ijma' umat terbagi
menjadi dua:
Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di
mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang
menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di
mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui.
Menurut Imam Hanafi
kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i
hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya.
Selain ijma' umat
tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu:
Ijma' sahabat
Ijma' Khalifah yang
empat
Ijma' Abu Bakar dan
Umar
Ijma' ulama Madinah
Ijma' ulama Kufah dan Basrah
ijma' itrah (golongan
Syiah)
Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang
sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan merupakan dalil yang
berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu
Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanniyaitu
Hadits ahad dan qiyas. Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang
menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan madzhab
Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma' yang mula-mula
mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima ijma'
sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang perlu di
ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti.
Sedangkan menurut Dr.
Muh Zuhri. yang dimaksud ijma menurut Imam Syafi’ri adalah kesepakatan
seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh ada seorang pun
menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus yang dicarikan kesepakatannya.
Teori ijma’ Imam Syafi’i tentunya sulit diwujudkan kalau hendak dikatakan tidak
mungkin. Namun tampaknya ide ijma’ sebagai sumber hokum ini merupakan upaya
antisipasif agar masyarakat islam tetap terpelihara dalam persatuan. Ulama
fiqih termasuk Imam Syafi’I melihat pertikaian politik dalam pemerintahan Islam
yang melibatkan semua masyarakat islam sudah sampai pada titik yang
membahayakan. Perpecahan ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa
membahayakan persatuan. Lembaga ijma’ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di
kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah persatuan
ummat islam.
4. Qiyas
Imam Syafi'i adalah
mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para fuqaha sebelumnya
membahas tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya dan
dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-normaRa'yu yang
shahih dan yang tidak shahih.
Imam Syafi'i membuat
kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang
shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang
salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum
yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus
sempurna pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan
macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian
Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i
sendiri tidak membuat ta'rif qiyas. Akan tetapi penjelasan
penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan
hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh ulama' ushul.
Biarpun ulama' ushul
berbeda pendapat dalam merumuskan definisi qias, namun secara implisit mereka
mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun qiyas. Hal ini karena definisi yang
berbeda tersebut tetap menekankan pada empat unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus
yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang baru akan ditentukan
hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah
ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan
syarat syarat terhadap masing masing unsur qiyas tersebut.
Pembagian Qiyas
Qiyas dilihat dari
kekuatan 'illat yang terdapat pada far dan ashl menurut al-Syafi'i dibagi
menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Qiyas yang iillat
hukum cabangnya (far') lebih kuat daripada iillat pada hukum ashl. Qiyas ini,
oleh ulama ushul figh Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya,
mengqiyaskan memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada perbuatan
memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena sifat
menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan
"ah".
2. Qiyas yang illat
pada far' sama keadaan dan kekuatan dengan 'illat yang pada ashl. Qiyas seperti
ini, disebut oleh ulama ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-musawi. Misalnya
mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada memakannya secara tidak patut
dalam menetapkan hukum haram. Artinya membakar harta anak yatim atau memakannya
secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya
sama-sama haram.
3. Qiyas yang illat
hukum cabangnya (far') lebih lemah dibamdingkan dengan illat hukum ashl. Qiyas
seperti ini, disebut dengan qiyas al-adna, seperti mengqiyaskan apel dengan
gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama
makanan. Memperlakukan riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum
riba pada gandum karena illat lebih kuat.
QOUL-QODIM DAN
QOUL-JADID, SERTA KEDUDUKANNYA DALAM MADZHAB.
Qaul Qodim dan Qoul
jaded merupakan produk hokum yang bernuansa social-politik dan social-kultur
adalah dua fatwa Imam Syafi’i yang dilakukan di dua daerah yang berbeda
sosio-kultur dan sosio-politiknya yaitu :
Qaul Qadim : dimana
situasi bagdad saat itu merupakan daerah yang sangat sederhana dan boleh
dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan daerah lain.
Qaul jaded :
dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah Metropolis yang mengharuskan
untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap putusan-putusan atau
fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip Maslahah menjadi
pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil keputusan, sebab
keputusan yang diambil dalam wujud qaul jadid merupakan pertimbangan terhadap
qaul qadim.
Secara umum bisa di
katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah ‘Qoul-Jadid’ seperti yang
di katakan Imam Syafi’i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim sebagai
pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang
mujtahid berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang
kedua dianggap Ruju’/ralat bagi yang pertama.
Tetapi Ulama
Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi :
1.
Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang
Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar antara 14
sampai dengan 30 masalah
2. Qoul-Jadid tidak
bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi’i mengatakan
bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari
Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab.
3. Qoul Jadid secara
mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab.
Dan pendapat ketiga
inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama Syafi’iyyah setelah
meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut dalam
qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid , kalaupun ada ulama
Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau
berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam
Nawawi( 676 H).
Sedangkan pendapat
yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq
Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini jelas salah, sebab antara
Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan, apabila tidak
mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang pertama di
buang.
Sementara itu ada yang
membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi
adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan, sebab tidak
mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan
itu adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal
Al-Syasyi ( 365 H ) justru sebaliknya.
BAB 111
KESIMPULAN
Sumber hukum yang
dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma',
dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum yang ada di
bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Imam Syafi'i pernah
menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama tinggal di sana, ia mengeluarkan
ijtihad-ijtihadnya, yang mana disebut sebagai Qaul Qadim. Karena adanya pergolakan
serta munculnya aliran Mu’tazilah yang ketika itu telah berhasil mempengaruhi
Kekhalifahan. Akhirnya Imam Syafi’i pindah ke Mesir, ia melihat kenyataan dan
masalah yang berbeda dengan masalah sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad).
Imam Syafi’I kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru, yang dinamakan sebagai
Qaul Jadid. Daerah/negara yang Menganut Mazhab mayoritas Syafi’I : Libia,
Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Palestina, Yordania, Libanon, Siriya,
Irak, Hijaz, Pakistan, India Jaziraa, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006.Fiqih
Lima Madzhab, Jakarta : Lentera
Syaltut, Mahmud. 1973.Fiqih Tujuh
Madzhab, Bandung : CV Pustaka Setia
Khallaf, Syekh Abdul Wahab.1955.ilmu
Ushul Fiqih, Jakarta : PT Rineka Cipta
Chalil, Moenawar.1965.Biography empat
serangkai imam madzhab, Jakarta : N.V Bulan- Bintang
SEKIAN
DAN TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar