Makalah Ini Dbuat Untuk Memenuhi Tugas: MATA KULIAH PIH
Disusun oleh:
MASUDDIN ABDULLAH(14360025)
AHMAD SIDIK MALAWAT(14360026)
AHMAD FAUZI(14360027)
SUDARTI(14360028)
TJAHYO ADJI PRAKOSO(14360029)
AHMAD MAHYUDDIN AL F(14360030)
DESIANA LUTFIANI(14360031)
WULAN NURJANNAH(14360032)
PERBANDINGAN MADZHAB
Fakultas syariah dan hukum
UIN
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
DAFTAR ISI
Ø LATAR
BELAKANG MASALAH………………………………………………….3
Ø RUMUSAN
MASALAH…………………………………………………………….4
Ø ISI:
A. KETETAPAN HUKUM ABORSI DI INDONESIA…………………………….5
B.HUKUM ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN DALAM
PANDANGAN ISLAM……………………………………………………………………………….8
C.HUBUNGAN HUKUM ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN DALAM
HUKUM INDONESIA DAN HUKUM ISLAM…………………………………...11
Ø KESIMPULAN……………………………………………………………………..11
Ø DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………….12
LATAR BELAKANG MASALAH
Di
era globalisasi perkembangan teknologi dan kebudayaan semakin pesat. Namun seiring
pesatnya perkembangan teknologi dan kebudayaan, telah banyak melahirkan
PROBLEMATIKA KEHIDUPAN MANUSIA. Salah satunya PROBLEMATIKA SOSIAL. Khususnya di
Negara Multikultural, terutama di INDONESIA. Dalam pandangan para cendekiawan
sosial, mereka berpendapat bahwa negara tersebut mengalami berbagai macam
PROBLEMATIKA SOSIAL. Diantara kasus-kasus PROBLEMATIKA SOSIAL yang saat ini
tengah aktual dalam pandangan masyarakat adalah kasus ABORSI KORBAN PEMERKOSAAN.
Kasus tersebut mengalami pro dan kontra dalam masyarakat. Terutama mengenai
fatwa MUI dan keputusan pemerintah salah satunya keputusan pemerintah yang
menuai banyak kontroversi antara pro dan kontra adalah PP. NO. 61/2014 tentang
kesehatan reproduksi bagi korban pemerkosaan, yang telah dilegalkan oleh
pemerintah Indonesia. Dikalangan masyarakat yang mendukung pengesahan UU
tersebut. Mereka berpendapat bahwa dengan dilegalkannya UU tersebut, dapat
melindungi sang Ibu dari segala bahaya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan
dilegalkannya UU tersebut. Mereka berpendapat bahwa cara tersebut tidak
manusiawi dalam pandangan agama, dikarenakan membunuh kehidupan bayi tersebut. Sedangkan
bayi tersebut adalah anugerah dari Tuhan. Dari sisi lain dapat membahayakan
kesehatan Ibu dari sang bayi tersebut. Dengan memandang latar belakang
tersebut. Kami membuat suatu makalah dengan judul:
“KETETAPAN UNDANG-UNDANG ABORSI DALAM KASUS PEMERKOSAAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”
RUMUSAN
MASALAH
Ø Bagaimana
Ketetapan Hukum Aborsi Di Indonesia?
Ø Bagaimana
Hukum Aborsi Bagi Korban Pemerkosaan dalam Pandangan Islam ?
Ø Bagaimana
hubungan hukum aborsi bagi korban pemerkosaan dalam Hukum Islam dan hukum positif
A. KETETAPAN HUKUM ABORSI DI INDONESIA
Pengaturan Hukum tentang aborsi diatur dalam KUHP dan
UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 Menurut Pengaturan Hukum, dalam hukum pidana
Indonesia (KUHP) abortus provocatus
criminalis dilarang dan diancam
hukuman pidana tanpa memandang latar belakang dilakukannya dan orang yang
melakukan,yaitu semua orang, baik pelaku maupun penolong abortus. Ini diatur dalam pasal 346,347, 348,dan 349
KUHP. Dalam kitab UU hukum pidana (KUHP) indonesia melarang aborsi dan sanksi
hukumnya cukup berat. Hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang
bersangkutan tetapi semua pihak yang terlibat dalam kejahatan itu.
Tindakan aborsi menurut Kitab Undang-undang
Hukum Pidana di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Beberapa pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang Aborsi (Abortus Provocatus):
Pasal 229 (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang
wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan, bahwa karenapengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu
rupiah. (2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. (3)
Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 314 “Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa
anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
Pasal 342 “Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut
akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak
lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak
sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343 “Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang
lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan
rencana.
Pasal 346 “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”.
Pasal 347 (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun. (2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2)Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 “Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan”.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
a. Seorang perempuan
hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh
orang lain, diancam hukuman
empat tahun penjara.
b. Seseorang yang dengan
sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa
persetujuan ibu
hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil
tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
c. Jika dengan
persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu
hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
d. Jika yang melakukan &
atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru
obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk berpraktik dapat
dicabut.
e. Setiap janin yang
dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidupnya.
. Sedangkan Undang-undang
No. 36 Tahun 2009 Pasal 194 tentang kesehatan memberikan pengecualian abortus
dengan alalsan medis yang dikenal dengan abortus
provocatus medicalis.
pasal 194 UU Kesehatan
berikut ini :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi
tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Sanksi pidana di
dalam KUHP untuk praktik aborsi pun dinyatakan secara tegas untuk bidan atau
dokter yang membantu melakukan kejahatan ini.
Dan menurut PP.
Nomor 61 tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur tentang praktek
aborsi. Bahwa ada dua aborsi yang dilegalkan, yaitu:
·
Aborsi karena ada indikasi kedaruratan medis
·
Korban Perkosaan
Dari
pernyataan tersebut dalam Undang-Undang tersebut dalam BAB IV INDIKASI KEDARURATAN MEDIS
DANPERKOSAAN SEBAGAI PENGECUALIAN ATAS LARANGAN ABORSI. Menyatakan :
Pasal 31:
(1) Tindakan Aborsi dapat dilakukan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan
Pasal 34:
(1) Kehamilan
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat ( 1 ) huruf b merupakan kehamilan hasil hubingan seksual
tanpa adanya persetujuan dari pihak
perempuan. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
(2)Kehamilan
akibat peerkosaan sebagaimana yang dimaksud ayat ( 1 ) dibuktikan dengan:
a. Usia
kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog dan/
atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Pasal 35:
(1) Aborsi dapat dilakukan berdasarkan indikasi
kedaruratan medisdan kehamilan akibat
perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan atnggung jawab.
Pasal 37:
(1)Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.
Dari Undang
–Undang tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa Aborsi diperbolehkan dengan syarat ada indikasi kedaruratan medis
dan kehamilan akibat perkosaan.
Mengenai legalisasi aborsi di Indonesia masih
menuai berbagai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Masyarakat yang pro
menilai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan merupakan hal yang bisa
dilakukan jika memang nantinya anak yang dilahirkan akan membawa tekanan psikis
terhadap wanita tersebut dan aborsi sah saja karena memang tidak merugikan
orang lain karena yang merasakan sakit adalah wanita tersebut. Sedangkan janin
yang timbul karena harus tetap
dilahirkan,dan kalau memang anak tersebut akan mengingatkan ibu pada perkosaan
anak tersebut bisa dijauhkan dari ibu, ,Mengenai legalisasi aborsi, menurut
pandangan masyarakat tidak boleh dilakukan kecuali karena ada indikasi darurat
medis, karena janin di dalam kandungan punya hak untuk hidup dan jika aborsi
dilegalkan, maka akan menggeser nilai-nilai norma dalam masyarakat.
B. HUKUM ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Abortus (al-ijhâdh) merupakan salah satu problem masyarakat Dunia Barat, yang muncul akibat
kebejatan moral masyarakatnya, banyaknya kelahiran ilegal karena perbuatan zina
yang tak terhitung lagi, serta membudayanya pergaulan bebas di luar nikah.
Prosentase kelahiran ilegal tersebut menurut media massa barat bahkan telah
mencapai 45% dari seluruh kelahiran. Prosentase ini terkadang naik dan
terkadang turun. Di berberapa negara Barat prosentasenya bahkan telah mencapai
70%. Lantas apa hukum aborsi dalam pandangan Islam?
Aborsi merupakan suatu pembunuhan terhadap hak hidup
seorang manusia dan merupakan suatu dosa besar. Merujuk pada ayat-ayat Al-Quran
yaitu pada Surat Al Maidah ayat 32, setiap muslim meyakini bahwa siapapun
membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh semua umat manusia. Selanjutnya
Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu membunuh anakmu karena takut
akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya secara layak.
Aborsi dalam istilah medis adalah berhentinya kehamilan sebelum usia
kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir
selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya
adalah kelahiran prematur. Sedangkan dalam istilah syari’at, aborsi adalah
kematian janin atau keguguran sebelum sempurna; walaupun janin belum mencapai
usia enam bulan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa aborsi secara syari’at tidak
melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan bentuk janin
tersebut.
Ijhadh (aborsi) menurut
bahasa berarti menggugurkan kandungan yang kurang masanya atau kurang
kejadiannya, tidak ada perbedaan antara kehamilan anak permpuan atau laki –
laki, baik aborsi ini dilakukan dengan sengaja atau tidak. Lafazh ijhadh
memiliki beberapa sinonim seperti isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang),
tharah (melempar), dan imlash(menyingkirkan).
Abdurrahman Al-Baghdadi (1998) dalam bukunya “Emansipasi Adakah Dalam Islam” halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Abdurrahman Al-Baghdadi (1998) dalam bukunya “Emansipasi Adakah Dalam Islam” halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang
memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596
M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan
aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya
At Tuhfah dan Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut,
mantan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel
sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada
kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk
menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati
dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi
dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi
yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh
Jika dikaitkan dengan
aborsi kehamilan tidak diharapkan akibat pemerkosaan, maka dapat menyimpulkan: Pertama, secara umum praktik aborsi
dilarang; Kedua, larangan terhadap
praktik dikecualikan pada beberapa keadaan, kehamilan akibat pemerkosaan yang
dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Pandanagn ahli fikh
yang membolehkan aborsi tersebut dalam realitas sosial tidak dapat dijadikan
alternatif bagi perempuan yang tidak menghendaki kehamilannya. Meskipun
demikian, dalam konteks Indonesia berdasarkan Keputusan Fatwa Musyawarah
Nasional VI Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: I/MUNAS VI/MUI/2000 tanggal 29
Juli 2000 ditetapkan:
1.
Melakukan aborsi
(pengguguran janin) sesudah nafkh al-ruhhukumnya adalah haram, kecuali jika ada
alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu
2.
Melakukan aborsi
sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh al-ruh, hukumnya adalah
haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari’ah
Islam
3.
Mengharamkan
semua pihak untuk melakukan, membantu atau mengizinkan aborsi.
Ketetapan MUI tersebut,
apabila dicermati bahwa pada dasarnya sebagaimana ahli fikh umumnya, MUI
mengharamkan praktik aborsi termasuk di dalamnya pihak yang turut serta
melakukan, membantu dan mengizinkan aborsi. Meski demikian terdapat kebolehan
aborsi apabila memenuhi beberapa unsur:
1.
Melakukan aborsi
sebelum ditiupkannya ruh (nafkh al-ruh)
2.
Melakukan aborsi
sebelum ditiupkannya ruh (nafkh al-ruh), hanya boleh dilakukan apabila:
a. Jika
ada alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu
b. Ada
alasan lain yang dibenarkan oleh syari’ah Islam.
Berdasarkan pertumbuhan
embrio, pada kehamilan usia 0-8 minggu embrio dalam proses pertumbuhan sel yang
belum sempurna dan diduga kuat peniupan roh belum terjadi. Kondisi embrio pada
usia tersebut nyaris sama dengan yang diinformasikan hadis Nabi bahwa Allah
mengutus malaikat untuk menyempurnakan proses pembentukan manusia adalah
setelah embrio melewati usia 42 hari. Secara lengkap hadis tersebut berbunyi
sebagai berikut:
“Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda bahwa apabila nuthfah telah melewati empat puluh dua
hari, Allah mengutus malaikat untuk membentuk rupanya, menjadikan pendengarannya,
penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya, kemudian malaikat bertanya:
Wahai Tuhanku, apakah dijadikan laki-laki atau perempuan? Lalu Allah menentukan
apa yang dikehendaki, dan malaikat itupun menulisnya.” (Hadis Riwayat. Muslim).
Jadi, berdasarkan hadis
tersebut didukung dengan kaidah-kaidah fikih, dengan mempertimbangkan
pertumbuhan embrio dan hak-hak reproduksi, maka aborsi alternatif dapat
dilakukan sebagai pilihan terakhir dalam kondisi darurat setelah upaya lain
berupa pencegahan KTD tidak berhasil dilakukan. Dengan syarat, dilakukan sesuai
Standar Operasional Prosedur (SOP) profesi kesehatan serta melalui proses
konseling sebelum maupun sesudah aborsi dilakukan. Dengan demikian, fikih
aborsi alternatif dapat mendukung upaya penguatan hak reproduksi perempuan
dalam menghindari KTD maupun mencegah terjadinya kematian ibu.
C.HUBUNGAN HUKUM ABORSI BAGI KORBAN
PERKOSAAN DALAM HUKUM INDONESIA DAN
HUKUM ISLAM
Hubungan hukum aborsi kasus pemerkosaan dalam
hukum
Indonesia dengan hukum
islam
adalah sama – sama melarang tapi juga membolehkan asalkan memiliki alasan yang
kuat.
D. KESIMPULAN
Legalisasi Aborsi tergolong sebagai masalah
kontemporer ditengah masyarakat, sehingga logis dikalangan ahli hukum dan ahli
agama masih memperdebatkannya. Khususnya dari aspek kemanfaatan dan kerugiannya
dalam ranah syari’at (hukum islam). Disamping problem hukum ini,sebagian
anggota masyarakat khususnya yang sedang mengalami masalah, juga seringkali
berdalih bahwa aborsi juga menjadi kebuutuhan manusia atau sekelompok orang
yang salah satu kebutuhan ini berhubungan dengan hak hidup atau hak keberlaunjutan
hidup. Jangankan seorang perempuan hamil akibat pemerkosaan, yang hamil bukan korban pemerkosaan saja mencoba
mencari pembenaran untuk melakukan aborsi.
E. DAFTAR PUSTAKA
Tutik,Titik Triwulan. 2009. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan Akibat Perkosaan
Menurut UU. NO. 36 Tahun 2009. Tentang Kesehatan. Surabaya:Aneka Press
PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar