Dalam
pembahasan kali ini, akan saya kemukakan dua contoh akan kritik Al-Ghazali yang
sangat mendalam dan mendasar, serta penuh daya nalar. Dari kritik tersebut
dapat difahami, betapa menukiknya pemahaman Al-Ghazali tentang agama Allah dan
azaz-azaz kemanusiaan, juga sejauh mana upaya perbaikan Al-Ghazali terhadap
perilaku manusia,baik yang terkait dengan aspek jasmani maupun ruhani.
Contoh
pertama : Peniadaantertib syar’i dalam amaliah
Contoh
pertama ini oleh Al-Ghazali ditujukan kepada perilaku agamawan yang sombong dan
tindakan ahli ibadah yang congkak. Dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan,
“Sebagian dari mereka terdapat sekelompok orang yang mengabaikan ibadah fardhu,
mereka lebih memilih sibuk dengan ibadah-ibadah utama (afdhaliyat) dan sunah
(dilakukan dapat pahala, ditinggalkan tidak berdosa). Seringkali karena
tenggelam dalam ibadah yang sarat keutamaan, sehingga mereka tampil sebagai
sosok yang fanatik dan berlebihan (israf). Orang semacam ini ibarat orang yang
diliputi was-was dalam mengambil air wudhu’. Ia tidak yakin dengan air yang
secara hukum syara’ dinyatakan sebagai air suci dan mensucikan, serta
meragukannya akan kemungkinan mengandung najis. Bila hal ini terjadi pada
makanan yang halal, lantas dia menyangkanya haram, maka orang tersebut jatuh
seakan-akan memakan makanan yang haram.
Apabila
sikap kehati-hatian ini beralih dari air ke persoalan makanan, maka lebih
baiknya yang menjadi rujukan adalah sejarah perjalanan seorang Sahabat (mungkin
yang dimaksud adalah sikap kehati-hatian para sahabat, seperti Abu Bakar dan
lain sebagainya).
Adalah
Umar, ra. Suatu saat mengambil air wudhu’ dari kolam milik seorang Nasrani.
Sekalipun terdapat kemungkinan kandungan hadis pada tempat itu, namun Umar
berkeyakinan akan kesuciannya, karena jika tidak demikian, dia takut terjatuh
pada keharaman (meniggalkan shalat).
Sementara
itu, ada pula kelompok yang sangat memperhatikan masalah-masalah yang sunah
sifatnya, dan kurang menghargai ibadah-ibadah fardhu. Kami melihat mereka
merasa lebih senang (nimat) dengan melakukan salat dhuha, salat malam atau
ibdah-ibadah sunah lainnya, dan merasa tidak mendapatkan kelezatan itu di saat
melakukan ibadah fardhu, sehingga dia tidak bersegera untuk melaksanakan ibadah
fardhu (pada awal waktunya). Orang yang demikian, berarti telah melupakan sabda
Rasulullah dalam hadis qudsinya :
“Tidaklah
orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Ku, bisa lebih dekat dari pada
orang-orang yang segera menunaikan apa yang Aku fardhukan kepada mereka.”
(Hadis riwayat Bukhari dari hadis Abu Hurairah).
Meninggalkan
tertib atau atau urutan dalam amaliah kebaikan atau yang fardhu adalah termasuk
perilaku buruk. Sebab telah di tentukan bagi manusia dua bentuk kewajiban, yang
satu bisa diperlambat, yang lain tidak. Atau dua keutamaan, yang satu bisa
dipersempit waktunya dan yang lain bisa diperluas. Barang siapa tidak bisa
membedakan,- atau menjaga- tertib dari ketentuan itu, tidak ragu lagi dia
termasuk orang yang bingung (tertipu).
Kasus-kasus
semacam di atas sangat banyak terjadi. Maka ketahuilah, perilaku maksiat itu
sudah jelas, dan perilaku taat pun juga sudah jelas. Yang menjadi persoalan
adalah, di bagian manakah di antara perilaku-perilaku ketaatan yang harus di
dahulukan. Hal ini amat rumit, karena masing-masing masih berada dalam
lingkaran ketaatan. Seperti mendahulukan amaliah fardhu dari hal-hal yang
sunah, mendahulukan kewajiban-kewajiban pribadi (fardhuain) dari fardhu
kifayah, mendahulukan persoalan yang tidak dapat di tunda. Termasuk dalam
konteks ini, adalah kenyataan yang harus lebih mendahulukan hak seorang ibu
dari pada hak seorang ayah. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang hal itu,
“Siapakah yang lebih berhak untuk diperlakukan dengan baik, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw menjawab, “Ibumu!”. Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”
Rasulullah saw menjawab lagi “Ibumu!”. Orang itu bertanya kembali “Lantas
siapa?” baru Rasulullah saw kemudian menjawab dengan, “Ayahmu!”. “Terus siapa
lagi?” tanya orang itu lagi. Rasulullah saw menjawab, “Orang yang dekat
kepadamu.” (Diriwayatkan oleh At-Turmudzi dan Al-Hakim dan dinyatakan sahih.
Hadis ini dari Bahaz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya. Diriwayatkan pula
dalam kitab Shahihain dengan lafadz yang berbeda, bersumber dari Abu Hurairah).
Sama-sama
orang yang terdekat, maka pilihlah diantara mereka yang paling membutuhkan. Dan
diantara orang-orang yang sama-sama paling membutuhkan itu, pilihlah yang
paling takwa dan paling wara’.
Dalam
kaitannya dengan masalah di atas, apabila seorang yang tidak memnuhi kebutuhan
kedua orang tuanya, sedang dia lebih mengutamakan melaksanakan ibadah haji,
maka perbuatan tersebut adalah perilaku tertipu. Sebab seharunya ia lebih
mendahulukan kebutuhan kedua orang tuanya dari pada menunaikan ibadah wajibnya,
haji. Oleh karena itu, orang harus lebih mendahulukan fardhu, yang lebih
penting dari pada yang penting.
Perlu
diketahui, apabila seorang hamba sudah terlanjur mempunyai janji, dan ternyata
janjinya masih belum terpenuhi, akan tetapi waktu shalat jum’at telah masuk.
Maka mendahulukan shalat jum’at harus lebih diutamakan. Sekalipun memebuhi
janji juga sesuatu yang wajib. Malaksanakan memenuhi janji, tetapi meninggalkan
shalat jum’at, hal itu terhitung tindakan maksiat, seklaipun pada dasarnya
memenuhi janji juga merupakan amal ketaatan.
Bila
baju seorang terkena najis, lantas dia marah kepada kedua orang tuanya atau
kepada keluarganya, oleh sebab baju yang najis tersebut. Ketahuilah, perilaku
seperti itu menyakiti kedua orang tua juga harus dijauhi. Akan tetapi menjauhi
marah atau menyakiti kedua orang jauh lebih diutamakan dari pada membenci
najis.
Sebenarnya,
contoh-contoh perilaku semacam di atas sengat banya sekali. Barang siapa tidak
mau memperhatikan tertib atau urut-urutannya, maka dia tergolong orang yang
tertipu. (Ihya’ ulumiddin, juz III, hal. 400-404).
Sesungguhnya,
apa yang diuraikan oleh Al-Ghazali – sebgai seorang ahli fiqh- di atas. Dalam
kehidupan sekarang ini sangat urgen (kebutuhan mendesak). Betapa pemahaman fiqh
dan kesadaran-kesadaran semacam tersebut di atas, sangat diperlukan bagi
generasi penerus yang akan membawa kebangkitan Islam.
Sering
sudah, saya- penulis- menghimbau kepada para pemuda dan jamaah-jamaah
keadamaan, untuk memikirkan Fiqh Maratib al-A’mal (fiqh dalam soal tertib amal)
dan mengamalkan setiap amalan menurut nilainya secara syar’i, serta
mempertimbangkan masalah-masalah yang diperintahkan atau yang dilarang. Saya
belum pernah membaca sebuah buku yang mengandung muatan yang sangat dalam dan
mendasar, selain apa yang ditulis oleh Al-Ghazali di dalam sebuah kalimatnya
sebagai berikut, “Meninggalkan tertib kebaikan, adalah termasuk perilaku yang
tercela (buruk).”
Contoh kedua: Membelanjakan harta
kekayaan pada tempat yang tidak lebih utama
Contoh
lain yang di angkat Al-Ghazali adalah tentang pemilikan harta kekayaan. Di mana
sebagian orang masih terdapat orang-orang yang tertipu. Mereka bersikeras untuk
membangun masjid-masjid, sekolah-sekolah, pondok-pondok, jembatan-jembatan agar
nama mereka dilihat oleh orang dan dapat dikenang sepanjang masa, bahkan kalau
bisa sampai mati sekalipun. Mereka mengira, bahwa dengan perbuatan itu, ia
berhak mendapatkan ampunan. Padahal sebenarnya, dilihat dari dua hal, mereka
telah tertipu, yaitu:
Pertama,
mereka (yang mengaku Islam) itu membangun dengan mempergunakan harta yang
diperoleh dengan cara zalim, rampasan atay dengan cara suap. Dengan sendirinya,
mereka berhadapan dengan kemurkaan Allah, baik dalam mencari harta atau ketika
dia membelanjakannya. Seharusnya dalam hal yang demikian, mereka menjauhi
cara-cara yang tidak dibenarkan oleh Syara’. Bila sudah tahu bahwa usaha mereka
telah tercampuri maksiat, maka saat itu pula, ia harus segera bertaubat kembali
ke jalan Allah, serta mengembalikan harta yang telah diperolehnya kepada yang
berhak. Ada pun cara pengembalian harta bisa dengan mengembalikan apa adanya,
atau dengan mengganti dengan yang lain. Bila mereka tidak mengembalikannya
kepada yang berhak, maka kembalikanlah kepada ahli warisnya. Jika kebetulan
orang yang dizalimi itu tidak memiliki ahli waris, maka mereka wajib
mengembalikan harta itu dengan cara membelanjakan untuk kepentingan umum yang
memerlukan. Barangkali yang lebih utama, harta itu di bagi-bagikan kepada fakir
miskin. Akan tetapi dalam kenyataannya, mereka tidak melakukan hal itu, karena
takut nama mereka tidak terdengar di telinga umum, dan tidak bisa memprasatikan
bangunan dengan nama yang jelas. Kalau demikian niat mereka, sudah pasti itu
riya’ dan mencari pujian, di samping berambisi ingin namanya bisa dikenang
sepanjang masa sebagai pelaku kebaikan.
Kedua
: Mereka mengira dirinya telah berbuat ikhlas, bertujuan untuk kebaikan dengan
membangun bangunan. Padahal, seorang apabila diminta untuk membiayai
pembangunan, dengan namanya yang tidak di cantumkan dalam bangunan itu, dia
tidak akan rela memberikan hartanya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha
mengetahui ditulis atau tidaknya nama seseorang di dinding bangunan itu. akan
tetapi umumnya orang tidak mempunyai maksud lain dalam beramal kecuali ingin
dilihat orang. Jika tidak demikian, mereka tidak akan membelanjakan hartanya.
Ada
pula di antara para pemilik harta kekayaan itu yang suka menyimpan hartanya,
alias bakhil (kikir). Mereka menyibukan diri hanya dengan ibadah lahiriah, yang
tidak memerlukan biaya (harta), seperti puasa di siang hari, melakukan shalat
malam, menghatamkan Al-Qur’an, dan sebagainya. Mereka tidak menyadari bahwa
mereka tergolong orang-orang yang tertipu.
Orang
yang kikir kebanyakan hanya sibuk memikirkan perut mereka sendri. Mereka baru
mau mengeluarkan kekayaannya apabila merasa ada tekanan. Mereka lebih suka
menyibukkan diri dengan ibadah keutamaan, karena ingin lepas dari kewajiban
sedekah.
Orang
seperti di atas, ibarat orang yang kemasukan ular di dalam bajunya, sementara
dia tidak memperdulikannya, dan hanya sibuk memasak as-Aakanjin untuk hidangan.
Apabila dirinya telah dibunuh oleh ular itu, masihkah dia berkepentingan dengan
as-Sakanjin itu?
Dikatakan
kepada Basyar, “Sungguh beruntunglah si Fulan itu, sudah kaya, lagi pula banyak
melakukan ibadah puasa dan salat.” Basyar menjawab, “Orang miskin adalah mereka
yang meninggalkan dirinya sendiri, lantas masuk kepada diri orang lain. Sungguh
orang yang memasak makanan lalu memberikan kepada orang-orang yang kelaparan,
atau memberikan nafkah kepada kaum fakir miskin, lebih afdhal dari pada puasa
dan salat untuk dirinya sendiri, dan juga lebih baik dari pada mengumpulkan
harta kekayaan dengan tidak membelanjakan pada kaum fakir miskin.’
Itulah
satu gejala keagamaan yang sempat dicela oleh Al-Ghazali, sasaran utamanya
adalah orang-orang yang agamis dan kaya raya. Tidak jarang mereka sangat
antusias melakukan kewajiban ibadah haji dengan harta kekayaannya, bahkan kalau
perlu pada tiap-tiap tahun, sekalipun tetangga mereka hidup kelaparan!
Ibnu
Mas’ud berkata, “Nanti, d akhir zaman akan banyak orang menunaikan ibadah haji
tanpa kelihatan usahanya. Perjalanan haji, bagi mereka sangatlah mudah, karena
mereka banyak memiliki rezeki, lalu mereka kembali pulang dengan memakai baju
ihram, tanpa mempedulikan keadaan tetangga mereka yang dalam kelaparan
(kesulitan). (Ihya’ Ulumiddin, juz III, hal. 406)
Dengan
sinyalemennya itu, Ibnu Mas’ud sepertinya telah melihat kondisi kita sekarang
ini dari balik tirai gaibnya, sehingga dapat menerangkan kondisi yang sedang
menggejala dewasa ini.
Itulah
contoh-contoh keberagaman yang mendapatkan kritik keras dari Al-Ghazali. Kritik
Al-Ghazali inimenunjukan, betapa besar perhatiannya terhadap perbaikan kondisi
masyarakat. Dengan diawali terlebih dulu memperbaiki pemahaman-pemahaman yang
salah dan persepsi-persepsi keliru tentang agama. Di samping itu, di sana
(dalam kitabnya) Al-Ghazali juga memberikan penjelasan tentang tipu daya jiwa,
penjelasan tetang hakikat jiwa dan rahasia-rahasianya.
(hal 135-142)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar