Kamis, 19 Maret 2015

HUKUM MAWARIS



BAB I
PENDAHULUAN
Umum diketahui bahwa al-Qur’an tak hanya berisi etika, butir-butir sejarah, aqidah, dan tasawwuf. Dalam al-Qur’an juga dijabarkan persoalan hukum. Hukum dalam al-Qur’an ada yang bersifat global-ringkas (‘am dan kulli), dan ada yang partikular-detail (khash dan far’i). Bahasan al-Qur’an tentang shalat, puasa, zakat, dan haji termasuk ringkas dan umum. Al-Qur’an tak menjelaskan tentang tata cara shalat, mekanisme pengeluaran zakat, praktek penyelenggaraan haji, dan sebagainya. Sementara di antara ayat-ayat al-Qur’an yang detail dan partikular itu adalah soal hukum waris. Al-Qur’an menyebutkan siapa mendapatkan apa. Siapa saja ahli waris yang mendapatkan bagian waris, dan seberapa besar bagian warisnya. Apa yang telah rinci disebut dalam al-Qur’an itu didetailkan kembali dalam Hadits dan dijabarkan (ditafsirkan atau ditakwilkan) dalam tafsir para ulama dari dulu hingga sekarang.
Ribuan tahun lalu hukum waris itu ditetapkan di Madinah. Ia dipraktekkan untuk puluhan ribu umat Islam di sana. Hukum waris yang disyariatkan itu dirasa lebih manusiawi dan lebih sesuai dengan konteks masyarakat Madinah ketika itu ketimbang pembagian waris yang berjalan sebelum Islam. Namun, ketika Islam berkembang ke berbagai negeri,  hukum waris itu berjumpa dengan tradisi dan relasi kemanusiaan yang berbeda. Jika hukum waris dulu itu turun dalam konteks masyarakat partrinial, maka dalam perkembangannya hukum waris itu pun bertemu dengan struktur masyarakat matrilinial. Gerak zaman pun sedang mengarah kepada relasi laki-perempuan yang berkeadilan dan berkesetaraan; anak perempuan diposisikan sama belaka dengan anak laki-laki. Laki dan perempuan memang lain secara biologis, tapi bukan untuk dilainkan dalam pembagian waris.
Dengan latar itu, muncul berbagai suara yang menunjukkan ketidak-puasan terhadap sistem dan pola pembagian waris. Para pembaharu Islam berusaha untuk melakukan kontekstualisasi dan reaktulisasi hukum waris Islam. Untuk itu di dalam pembahasan makalah ini kita akan coba melihat mengenai sejarah tentang kewarisan dan seperti apa sebab-sebab kewarisan itu sendiri sejak sebelum atau pra Islam sampai zaman adanya Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Tentang Kewarisan
Hukum waris sudah ada pada masyarakat Arab pra-Islam. Kehadiran hukum waris Islam untuk perbaikan jenis ketidak-adilan dalam pembagian waris tersebut. Pertama, dikisahkan bahwa pada zaman Arab pra-Islam, warisan tak diberikan kepada anak kecil (ma kanu yuwarritsuna al-shighar).  Ini karena anak kecil tak menghasilkan secara ekonomi. Kita tahu bahwa ekonomi masyarakat Arab pra-Islam sangat tergantung pada bisnis-perniagaan, di samping juga pada hasil jarahan dan rampasan perang dari kelompok masyarakat dan bangsa-bangsa yang ditaklukkan. Dengan demikian, hanya orang yang menghasilkan harta yang pantas mendapatkan harta pusaka.
Dalam konteks itu, maka turun ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa anak kecil, baik laki maupun perempuan, mendapatkan hak untuk mendapatkan warisan. Dikisahkan bahwa Aus ibn Tsabit wafat dengan meninggalkan dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Lalu datanglah dua anak laki-laki pamannya bernama Khalid dan Arfathah (saudara sepupu laki-laki anak-anak Aus) mengambil semua harta warisan Aus ibn Tsabit. Dengan pengambilan harta itu, janda mendiang Aus mengadu kepada Nabi, lalu turunlah ayat al-Qur’an, “Bagi laki-laki ada bagian harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabatnya; dan bagi perempuan pun ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak darinya, suatu bagian yang telah ditetapkan”.
Dalam ushul fikih dikatakan bahwa anak kecil memang tak cakap bertindak (ahliyya’ al-ada’), tapi ia tetap cakap hukum (ahliyyah al-wujub). Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ (4): 12), “Allah memerintahkan kepadamu mengenai bagian anak-anakmu; untuk seorang anak laki-laki (al-dzakar) seperti bagian dua orang anak perempuan”. Memberikan bagian waris terhadap anak kecil saat itu kontroversial, dan lebih kontroversial lagi dengan memberikan waris kepada anak perempuan. Al-Qur’an menggambarkan perilaku buruk sebagian masyarakat Arab pra-Islam yang suka membunuh dan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Allah berfirman (QS, al-Nahl [16]: 58) :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُه مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌُ
Artinya : ”Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”
Kedua, berbagai ulama berkata bahwa perempuan zaman pra-Islam tak mendapatkan warisan. Alih-alih mendapatkan warisan, mereka dianggap sebagai barang yang perlu diwariskan. Berbagai sumber menceritakan bahwa jika seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan seorang istri, maka para wali dan keluarga terdekat mendiang suami lebih berhak untuk menikahi si janda tersebut. Jika mereka hendak menikahi, maka pernikahan bisa dilangsungkan. Jika mereka enggan untuk menikahi, maka si janda tersebut dibiarkan sampai meninggal dunia. Ibn Jarir al-Thabari mengisahkan bahwa Abu Qais ibn al-Aslat wafat dengan meninggalkan istri bernama Kabisyah binti Ma’an ibn Ashim. Dengan meninggalnya sang ayah, anak dari Abu Qais hendak menikahi ibu tirinya tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung lama yang kemudian dikritik oleh Islam.
Dalam konteks itu, maka turun ayat al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 19, yang artinya “Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya..”.  Rasyid Ridha menegaskan bahwa ayat ini menegaskan sebuah realitas dimana perempuan direndahkan dan dianggap sebagai barang yang bisa diwariskan, sehingga keluarga sang suami bisa mewarisi si perempuan sebagaimana bisa mewarisi harta mereka. [1]
Dengan dasar itu, maka Allah mengharamkan pewarisan seorang janda kepada keluarga terdekat. Bahkan, diturunkan sebuah ayat waris yang menegaskan perempuan dalam satu keluarga adalah ahli waris, sebagaimana laki-laki. Dengan jeli ayat waris itu mengkritik terhadap tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang tak memberikan waris kepada perempuan. Bagi orang Arab ketika itu, yang berhak mendapatkan warisan adalah mereka yang menghasilkan secara finansial. Dengan demikian, perempuan yang tak bekerja menghasilkan harta dianggap tak pantas mendapatkan warisan harta. Mereka berkata, “bagaimana kami bisa memberikan harta kepada orang yang tak pernah menunggang kuda, tak memanggung senjata untuk berperang, dan tak pernah berperang melawan musuh (yuqatilul al-‘aduwwa). Kami menanggung nafkah mereka dan mereka tak menanggup nafkah kami”. [2]
Apa yang berlaku pada zaman pra-Islam itu tampaknya terus bertahan hingga Rasulullah dan umat Islam hijrah ke Madinah. Diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdullah bahwa janda mendiang Sa’ad ibn al-Rabi’ pernah mengadu kepada Rasullah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah: Sa’ad telah wafat dengan meninggalkan dua anak perempuan. Tapi, seluruh harta peninggalan Sa’ad diambil oleh saudara laki-lakinya sehingga tak tersisa sedikitpun, sementara dua anak perempuan Sa’ad membutuhkan biaya untuk keperluan pernikahan mereka”. Lalu Rasulullah memanggil sang paman (saudara laki-laki Sa’ad) dan berkata kepadanya, “berikan dua pertiga harta Sa’ad kepada anak perempuannya, seperdelapan buat istrinya, dan sisanya buat kamu”. Maka turunlah surat an-Nisa’ ayat 11-12 yang berbicara tentang hukum waris. [3]
Riwayat lain mengisahkan bahwa ayat waris dalam al-Qur’an turun dengan sebab berikut. Alkisah, Abdurrahman ibn Tsabit (saudara laki-laki Hassan ibn Tsabit yang penyair itu) wafat dengan meninggalkan seorang istri bernama Ummu Kajjah dan lima saudara perempuan. Maka datanglah para ahli waris untuk mengambil seluruh harta peninggalan Abdurrahman ibn Tsabit. Lalu Ummu Kajjah datang mengadu kepada Nabi. Maka, turunlah firman Allah yang mengatur pembagian waris dalam Islam, yaitu surat al-Nisa’ ayat 12. [4]
Penjelasan ini hendak menunjukkan bahwa hukum waris atau mekanisme pembagian waris sudah ada pada zaman sebelum Islam. Tradisi pewarisan seperti itu berlangsung selama tiga belas tahun umat Islam berada di Mekah. Sebab, ayat yang berbicara tentang waris baru turun dalam periode Madinah. Bahkan, dalam periode awal di Madinah, Rasulullah menetapkan mekanisme hukum waris tertentu. Menurutnya, kebersamaan dalam hijrah dan kesetiakawanan sebagai sesama umat Islam menyebabkan adanya hubungan kewarisan. Setiap umat Islam adalah bersaudara, dan setiap yang berhijrah adalah pewaris bagi pelaku hijrah yang lain. Menurut Rasyid Ridha, hukum kewarisan seperti di awal periode Madinah ini ditetapkan Nabi karena sebagian besar keluarga dekat (dzawi al-qurba) umat Islam adalah orang-orang musyrik. Dalam ancaman pembunuhan orang-orang musyrik itu, maka umat Islam harus bersatu padu saling menolong (al-tanashur) dan saling menanggung (al-takaful). Apalagi, umat Islam yang hijrah ke Madinah itu telah berjihad dengan meninggalkan seluruh harta bendaanya di Mekah. Dalam kondisi itu, menurut Rasyid Ridha, wajar sekiranya Nabi Muhammad membentuk solidaritas sesama umat Islam bahkan sampai dalam hubungan kewarisan. [5]
B.     Kewarisan Pada Zaman Pra Islam
Hukum kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat jahiliyyah. Orang-orang arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang, nomaden (pindah-pindah). Ciri-ciri tersebut merupakan kultur yang mapan. Karena itu budaya tersebut ikut membentuk niali-nilai, sistem hukum dan sistem sosial yang berlaku. sehingga kekuatan fisik pun menjadi salah satu ukuran di dalam sistem hukum kewarisannya.
Kehidupan mereka sedikit banyak tergantung pada hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa bangsa yang telah mereka taklukkan, disamping ada juga yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam bidang mu’ammalah dan pembagian harta pusaka, mereka berpegang teguh kepada tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia. Tradisi menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari seseorang yang telah meninggal adalah sebagai wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris.
Banyak sekali riwayat dari para Sahabat yang menceritakan hal itu. Salah satunya adalah Ibnu Abi Thalhah, misalnya mengutip suatu riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang menjelaskan ”bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut, (atas tindakan ini). Maka ia melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik terus dikawininya dan jika jelek   ditahannya   sampai   meninggal   dunia   untuk   kemudian   dipusakai   harta peninggalannya. [6]
Sebagai bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihsham bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta izin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah s.a.w. belum dapat memberikan jawaban spontan. Baru beberapa saat kemudian setelah Allah menurunkan ayat: 19 dari surah An Nisa’ :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Hai orang orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita-wanita (janda-janda simati) dengan cara paksaan”
Ayat di atas tidak bisa dipahami bahwa mewarisi janda-janda dengan jalan bukan paksaan diperbolehkan. Dalam kaitan ini Allah memberikan penegasan dalam surah An Nisa’ ayat 22:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
 وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah, dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh)”
Akhirnya hasrat Mihsham untuk mengawini janda ayahnya dilarang oleh Rasulullah setelah menerima wahyu dari Allah, merupakan suatu bukti bahwa tradisi semacam itu sudah biasa dilakukan oleh orang jahiliyah sebelum datangnya agama Islam. Adapun penundaan Rasulullah sampai saat turunnya wahyu yang melarangnya, disebabkan  adat tersebut sudah  mendarah  daging pada mereka sehingga memerlukan petunjuk yang tegas dari Allah.
Adapun dasar-dasar pewarisan pada zaman jahiliyah atau sebelum Islam ialah sebagai berikut:
1.            Pertalian kerabat (al-qara>bah)
2.            Janji prasetia (al-h}ilf wa al-mu’a>qadah)
3.            Pengangkatan anak (al-tabanni atau adopsi)
Sebelumnya ada syarat khusus ialah dimana seorang pewaris atau yang mewarisi adalah laki-laki yang sudah dewasa. Selanjutnya barulah ketiga syarat tadi. Sedang laki-laki yang belum dewasa dan belum biasa berperang tidak boleh mendapatkan warisan. Bergitu pula perempuan, mereka sama sekali tidak berhak mendapatkan harta warisan, bahkan mereka menjadi harta warisan. [7]
1.   Pertalian kerabat (al-qara>bah) atau nasab (keturunan)
Pertalian kerabat disini adalah mereka laki laki dan kuat fisiknya. Pertimbangannya, merekalah yang secara fisik kuat memanggul senjata, menghancurkan musuh demi kehormatan suku dan marga mereka. Implikasinya, wanita dan anak anak tidak mendapatkan bagian warisan. Karena keduanya tidak sanggup melakukan tugas peperangan, dan dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Oleh karena itu, kerabat yang dapat menerima warisan pada zaman jahiliyah adalah:
•      Anak laki laki
•      Saudara laki laki
•      Paman
•      Anak laki laki paman
Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu isteri ayah atau isteri saudara dijadikan harta pusaka.
Hal ini bisa dilihat dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari [8] : “Telah berceritera kepada kami Muhammad bin Muqotil, telah berceritera kepada kami Asbath bin Muhammad, telah berceritera kepada kami Asy-Syaibaniy, dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, Asy-Syaibaniy berkata dan disebut pula oleh Abul Hasan As-Suwa’iy dan saya tidak menduganya ia menyebutkannya keculi dari Ibnu Abbas : “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu sekalian mewarisi orang-orang perempuan dengan cara paksa”, ia berkata: Mereka itu dulu apabila seorang lelaki mati, wali-wali dari si mati itulah yang lebih berhak atas isteri si mati, apabila sebagian mereka menghendakinya, mereka mengawininya, atau apabila mereka menghendaki, mereka akan mengawinkannya atau tidak mengawinkannya. Mereka para wali inilah yang lebih berhak atas perempuan itu dari pada keluarga si perempuan itu sendiri karena itu tuunlah ayat : “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal atas kamu sekalian mewarisi orang -orang perempuan dengan cara paksa”.
Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Abu  Daud : “Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Tsabit Al-Marwazy, telah berceritera kepada saya Aliy bin Husain, dari ayahnya, dari Yazid An-Najwiy,dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, berkata Tidak halal bagi kamu sekalian mewarisi orang-orang perempuan dengan cara paksa dan janganlah kamu mempersulit mereka karena hendak mengambil sebagian dari apa yang telah engkau sekalian berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka telah melakukan perbuatan keji yang nyata. Hal tersebut adalah lantaran seorang lelaki itu mewarisi isteri kerabatnya, kemudian si lelaki itu membuat susah perempuan tersebut sampai ia mati atau ia mengembalikan maskawin yang dulu ia terima. Kemudian Allah menetapkan ketentuan tersebut , artinya Allah melarang perbuatan yang seperti itu.
Sedang dalam kaitannya dengan pengankatan anak, masyarakat jahiliyah menyamakan anak hasil zina dengan anak kandung. Hubungannya dinasabkan kepada ayah (zina)nya. Sehingga anak tersebut juga memiliki hak waris yang sama penuhnya dengan anak kandung.

2.   Janji prasetia (al-h}ilf wa al-mu’a>qadah)
Janji prasetia dijadikan dasar perjanjian dalam masyarakat jahiliyah. Karena melalui perjanjian ini sendi-sendi kekuatan dan “martabat” suku dapat dipertahankan. Janji prasetia dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih. Pelaksanaanya, seseorang berikrar kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah satu diantara mereka meninggal dunia. Tujuannya ialah untuk kepentingan tolong menolong, nasihat-menasihati, dan mendapatkan rasa aman. Untuk itu hanya biasa dilakukan antara orang orang yang telah dewasa dan cakap melakukannya. Inilah sumpah yang diikrarkan: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mempusakai hartaku akupun mempusakai hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku akupun dituntut darahku karena tindakanku padamu dan kamu diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawaku akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti dari nyawamu”
Adapun dalil yang melegalkan hal ini, ialah dalam QS. surah An Nisa’ ayat 33:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, kami jadikan pewaris pewarisnya. Dan (jika ada) orang yang telah berjanji Prasetia dengan kamu, maka berikanlah bagiannya ”
Namun, hal ini hanya sebagian Ulama’ Hanafiyyah saja yang tetap memberlakukan ketentuan hukum menurut isi ayat tersebut. Alasan yang dikemukakan, tidak ada ayat lain yang menasakh atau menghapusnya, sehingga menurut kalangan mereka dapat dilakukan sesuai ayat tersebut. Bagi yang janji prasetia akan mendapat 1/6 dari harta peninggalan si mayyit. Seperti halnya pertalian kerabat, bahwa yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang kuat dan bisa melindungi. Bagi yang terikat janji setia pun begitu.
3. Pengangkatan anak (al-tabanni atau adopsi)
Dalam tradisi Jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang lazim. Status anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung. Caranya seseorang mengambil anak laki laki orang lain untuk dipelihara dan dimasukkan kedalam keluarga bapak angkatnya. Karena statusnya sama dengan anak kandung, maka terjadi hubungan saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia. Lebih dari itu, hubungan kekeluargaannya terputus, dan oleh karenanya tidak bisa mewarisi harta peninggalan harta ayah kandungnya8. Anak angkat bukan saja status hukumnya sama dengan anak kandung, tetapi juga perlakuan, pemeliharaan dan kasih sayang. Untuk selanjutnya pengangkatan anak ini masih berlaku sampai masa awal-awal islam.
Adapun Menurut Rasyid Ridha menjelaskan bahwa pada zaman pra-Islam, sebab-sebab terjadinya pewarisan itu ada tiga. Pertama, karena ada hubungan nasab (al-nasab). Namun, hubungan nasab ini hanya dikhususkan buat laki-laki dewasa yang bisa menunggang kuda, memerangi musuh, memperoleh harta rampasan perang. Dengan demikian, anak laki-laki yang masih kecil dan kaum perempuan tak mendapatkan bagian waris. Kedua, karena ada hubungan anak angkat (al-tabanni). Anak angkat mendapatkan bagian waris pada zaman pra-Islam sekalipun yang bersangkutan tak punya hubungan darah dengan ayah atau ibu angkatnya. Ketiga, karena ada sumpah dan kesepakatan. Sekiranya seseorang berkata kepada salah seorang temannya, “darahku, darahmu juga, hartaku adalah hartamu juga, antara engkau dan aku saling mewarisi, kau bisa meminta kepadaku dan aku pun bisa meminta kepadamu”. Jika mereka bersepakat, sekiranya salah satu dari keduanya meninggal dunia, maka terjadi hubungan kewarisan di antara mereka.
C.    Kewarisan Pada Masa Islam
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.

a. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsur kausalitas (sebab akibat) adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَوَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَمِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan  ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 :
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوامَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Al-Anfal : 75).
b. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrasi masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif) tetapi ketentuan agama.
Di sebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrasi (hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.
c. Hubungan karena sebab al-wala’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1.      Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2.      Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain. Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan mengambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 : “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
D.  Tujuan  Diturunkannya Ayat-Ayat Waris
Ayat-ayat waris dalam al-Qur’an bertujuan :
-          Untuk membatalkan formula hubungan kewarisan yang ditetapkan Nabi Muhammad sebelumnya. Ini seiring dengan makin besarnya jumlah keluarga muslim dalam periode Madinah terakhir. Apalagi setelah terjadinya penaklukan kota Mekah. Sehingga bisa diperkirakan tak ada lagi seorang muslim yang memiliki keluarga non-muslim. Karena itu, ketentuan Nabi bahwa hubungan kewarisan diikat oleh faktor hijrah dan persaudaraan sesama umat Islam sudah tak relevan. Setelah ayat waris dalam al-Qur’an turun, maka muncul formula baru bahwa hubungan kewarisan terjadi karena dua hal, yaitu hubungan nasab dan hubungan perkawinan.
-          Ayat waris turun untuk membatalkan hukum waris pra-Islam itu dianggap tidak adil dan diskriminatif. Hukum waris pra-Islam itu harus dirombak dengan hukum waris yang lebih berkeadilan dan berkemanusiaan. Anak laki-laki kecil (al-shighar) dan perempuan yang pada mulanya tak mendapatkan warisan, pada zaman Islam mendapatkan warisan. Jika suami meninggal dunia, seorang istri tak boleh dicampakkan begitu saja. Si istri juga mendapatkan warisan, sebagaimana ahli waris yang lain.
Untuk menjaga dan mengadvokasi hak kelompok-kelompok lemah dalam keluarga saat itu (anak laki-laki kecil dan perempuan), al-Qur’an segera menetapkan beberapa ahli waris inti yang mendapatkan warisan. Ditetapkan bahwa kelompok ahli waris terdiri dari dua kelompok. [1]. Menurut hubungan darah. Dari golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan dari golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. [2]. menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Para ulama, berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, menetapkan apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.    

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Hukum waris pada zaman Pra Islam lebih ditekankan pada bentuk kekuatan
fisik, sehingga yang berhak mendapatkan warisan adalah laki-laki yang sudah
dewasa dan bisa berperang. sedangkan kedudukan perempuan sangat rendah.
Tidak hanya tidak mendapatkan harta, tetapi dia juga dijadikan harta warisan.
Secara umum sebab-sebab mendapatkan warisan pada zaman Pra Islam
adalah :
a. Kekerabatan (al-qara>bah)
b. Janji prasetia (al-h}ilf wal mu’a>qadah)
c. Pengangkatan anak (tabanni/adopsi)
Hukum kewarisan pada masa Islam sudah mengalami pembaharuan. Ada beberapa penyebab yang sudah dihapuskan dari ketentuan pada zaman pra Islam. Diantaranya yang sudah dihapus adalah janji prasetia. Secara umum penyebab mendapatkan warisan pada masa Islam adalah :
a. Hubungan kekerabatan
b. Hubungan perkawinan
c. Hubungan karena sebab al-wala’.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar