WASIAT
Dosen pengampu Drs.
Riyanta, M.Hum
Disusun
oleh :
1. Ahmad
Arifuddin
2. Anwar
Baihaqi
3. Muhammad
Badrudin
JURUSAN
PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr. wb
Islam merupakan
agama yang indah, tidak memberatkan, menyedikitkan beban, dan lain-lain.
Disamping itu juga, islam telah mengatur semua tentang kehidupan manusia ,
serta kehidupan-kehidupan lainnya yang sudah tercakup dalam AL-QUR’AN dan
HADIS. Salah satu cakupan nya yaitu tentang wasiat.
Di dalam era
yang semakin maju ini, pembagian harta seringkali menjadi percekcokan antara
ahli waris, karena adaanya keinginan untuk memiliki keseluruhan harta tersebut.
Dalam hal ini islam juga telah mengatur tentang wasiat itu sendiri.
Salah satu hal
yang bisa membuat orang dapat berubah yaitu “HARTA”. Karena dengan harta,
mereka beranggapan bahwa semuanya bias dimiliki dengan kekayaan yang ia punya.
Tetapi jika orang tersebut mempunyai keimanan yang kuat dan pengetahuan tentang
hokum-hukum islam, maka ia akan membagikan harta tersebut sesuai dengan yang
disyari’atkan. Dalam wasiat pun sudah diatur seberapa bagian yang harus
diwasiatkan olehnya.untuk lebih jelasnya,akan kami paparkan dalam hal “WASIAT”.
Wassalamu’alaikum
wr.wb
Daftar
ISI :
KATA PENGANTAR .................................................................................................... 1
DAFTAR ISI 2
BAB I
PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
A.
Apa pengertian wasiat ........................................................................3
B.
Apakah rukun wasiat itu .....................................................................5
C.
Apakah yang dapat membatalkan wasiat ............................................7
BAB II............................................................................................................................ 8
A.
Kesimpulan.......................................................................................... 8
DAPTAR PUSTAKA..................................................................................................... 9
BAB
I
A.
PENGERTIAN
DAN DASAR HUKUM
Kata wasiat berasal
dari bahasa Arab, yaitu wasiat yang berarti “suatu ucapan atau pernyataan
dimulainya suatu perbuatan”. Biasanya perbuatan itu dimulai setelah orang ang mengucapkan atau menyatakan itu
meninggal dunia.
Para
ulama pada umumnya sepakat bahwa pengertian wasiat ialah : pernyataan atau
perkataan seseorang kepada orang lain bahwa ia memberikan kepada orang lain itu
hartanya tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau memberikan manfaat
sesuatu barang kepunyaan setelah ia meninggal dunia. Seperti si A berwasiat
kepada si B bahwa ia memberikan B, sehingga B memiliki separuh harta A yang
terletak di kota C bila ia telah meninggal dunia. Setelah A meninggal dunia, B
memiliki separuh tanah A yang terletak dikota C.
Ada
beberapa perbedaan antara wasiat dengan hibah. Pada hibah, pemilikan dari
pemberian itu terjadi setelah selesai pernyataan hibah diucapkan atau
dinyatakan oleh yang menghibahkan, sedangkan pada wasiat pemilikan itu baru
terjadi setelah meninggal dunia orang yang berwasia, bahkan jika orang yang
menerima wasiat lebih dahulu meninggal dari orang yang berwasiat, maka wasiat
itu menjadi batal, kecuali jika ada perjanjian bahwa ahli waris orang yang
menerima wasiat boleh menerima wasiat itu. hibah hanya berupa pemberian harta
hak milik, sedangkan wasiat bentuk pemberiaannya lebih luas dari itu, boleh
berupa garta milik, pembebasan hutang, manfaat dan sebagainya. Hibah tidak
boleh dibatalkan, sedangkan wasiat dapat dibatalkan bila orang yang menerima
wasiat lebih dahulu meninggal dunia dari orang yang berwasiat.
Banyak
ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan dan menjadi dasar
dari wasiat itu, yang dari padanya dipahami bahwa wasiat itu merupakan
kewajiban moral bagi seseorang untuk memenuhi hak orang lain atau kerabatnya,
karena orang itu telah banyak berjasa kepadanya atau membantu usaha dan
kehidupannya, sedang orang itu tidak termasuk orang atau keluarganya yang
memperoleh bagian harta waris. Seakan-akan wasiat itu merupakan penyempurnaan
dari hukum waris yang telah disyariatkan.
Di
antara ayat-ayat tentang wasiat, ialah firman Allah SWT :
1. Q.S.
2 : 180-18
2. Q.S.
5 : 106
3. Q.S
4 : 12
Hadist-hadist yang
berhubungan dengan wasiat di antaranya :
1. Dari
Abdullah bin Umar, ia berkata : Bahwasanya Rasullullah SAW. Bersabda : Tidak
pantas seorang muslim yang mempunyai suatu harta yang harus di wasiatkannya
membiarkannya dua malam, kecuali wasiatnya itu telah tertulis. (H.R Bukhari)
2. Dari
Ibnu Abbas RA, ia berkata : (Alangkah baiknya), andai kata orang mau menurunkan
wasiatnya ke seperempat, karena sesungguhnya Rasullullah bersabda :Sepertiga
itu banyak atau besar . (Muttafaqun’alaih).
Berbeda pendapat dengan
para ulama tentang hukum wasiat. Ibnu Hazain berpendapat bahwa wasiat itu wajib
dilakukan oleh seorang yang mempunyai harta banyak atau sedikit. Pendapat ini
berasal dari pendapat Abdullah bin Umar, Thalhah, Zubair,Abdullah bin Aufa,
Thawus, Asy-Sya’bi dan Az-Zuhri. Mereka beralasan dengan arti lahir dari ayat
180 surat Al-Baqarah di atas. Pada ayat itu terdapat perkataan “kutiba”
(diwajibkan). Karena itu hukum berwasiat itu adalah wajib.
Mazhab yang empat, yaitu Mazhdhab Hanafi, Maliki, Syafi’i
dan Hambali serta golongan Zya’ah Zaidiyah berpendapat bahwa wasiat itu bukan
wajib bagi orang yang mempunyai harta banyak atau sedikit, tetapi hukumnya
tidak sama bagi tiap-tiap orang. Hukumnya itu disesuaikan dengan keadaan orang
yang berwasiat dan orang atau yang akan menerima wasiat.
Menurut mereka wasiat itu wajib dilakukan oleh setiap
orang yang merasa bahwa dalam hartanya itu terdapat hak orang lain atau hak
sesuatu yang lain. Hak orang lain atau sesuatu yang lain itu dirasakan ada
karena ada sesuatu kewajiban yang belum terpenuhi, atau jasa seseorang yang
telah diberikan tanpa pamrih diwaktu berusaha atau dalam usaha mengatasi hidup
dan kehidupannya dan sebagainya. Jika tidak dilakukan wasiat itu hak orang lain
itu akan terlantarkan karena tidak ada jalan lain untuk memberikannya atau akan
dirasakan sebagai hutang yang belum terbayar di dunia maupun di akhirat.
Contohnya ialah zakat yang dirasa belum dibayar, kewajiban menunaikan ibadah
haji yang belum terlaksana pada hal ia adalah orang yang mampu, amanah atau
harta orang lain yang dirasa tercampur dengan harta sendiri, jasa orang lain
yang belum diimbali atau belum sempurna diimbali dan sebagainya.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa wasiat itu haram
hukumnya bila wasiat itu menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain,
seperti memberi kemudharatan kepada ahli waris, berwasiat lebih seperti tiga
dan sebagainya. Wasiat yang menimbulkan kemudharatan itu termasuk perbuatan
dosa besar, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas RA ,yang artinya :
“Wasiat yang menimbulkan kemudharatan itu termasuk
perbuatan dosa besar. (HR. An Nisa’i)
Termasuk wasiat yang haram ialah wasiat yang ada
hubunganya dengan perbuatan maksiat, seperti wasiat untuk membangun rumah
ibadah selain rumah ibadah yang sesuai dengan ajaran islam, wasiat utnk
mendirikan pabrik menuman keras, wasiat untuk beternak babi, dan sebagainya.
Menurut mereka wasiat itu makruh hukumnya, bila orang
yang berwasiat itu mempunyai harta yang sedikit, sedang ahli warisnya
memerlukan harta itu, berwasiat memberikan harta kepada orang fasik dan ia akan
menggunakan harta itu untuk berbuat kefasikan dan sebagainya
Hukum berwasiat itu mubah bagi orang kaya. Hartanya cukup
untuk ahli warisnya dan cukup pula untuk berwasiat kepada orang lain. Bahkan
orang kaya itu sunah hukumnya bila ia berwasiat menggunakan hartanya untuk
menegakan agamanya Allah.
RUKUN (UNSUR) WASIAT
Dalam hal
wasiat, ada beberapa unsure yang memenuhinya , diantaranya :
1.
Sighat wasiat
Dalam
hal ini , sighat wasiat memiliki arti kata-kata atau pernyataan yang di ucapkan
oleh orang-orang yang berwasiat kepada penerima wasiat. Sighat wasiat terdiri
dari “ijab” dan “qabul”. Yang dimaksud ijab ialah perkataan atau pernyataan
yang di ucapkan oleh orang yang berwasiat, sedangkan qabul ialah kata-kata yang
di ucapkan oleh yang menerima wasiat sebagai tanda penerimaan dan persetujuan.
Pemberian
wasiat dapat diberikan kepada seseorang tertentu, tetapi dapat juga diberikan
untuk masjid, langgar, untuk mendirikan sekolah, untuk mendirikan rumah sakit
dan sebagainya, serta ijab dari yang berwasiat tidak memerlukan qabul.
Pemilikan
atau pemindahan harta dapat terjadi ketika orang yang berwasiat meninggal
dunia.
2.
ORANG YANG BERWASIAT
Orang
yang berwasiat hendaknya mempunyai kesanggupan melepaskan hartanya kepada orang
lain, baligh, berakal, menentukan sesuatu atas kehendaknya, sadar terhadap apa
yang dilakukannya. Menurut Imam Hanafi “jika ahli waris tidak menyetujui wasiat
itu, maka wasiat itu tetap dilakukan asalkan tidak melebihi 1/3 hartanya. Tidak
boleh melebihi 1/3 hartanya di karenakan orang yang berwasiat tidak boleh
meninggalkan ahli waris yang miskin. Orang yang berwasiat yaitu tentunya adalah
orang yang mempunyai harta lebih.
3.
ORANG YANG MENERIMA WASIAT
Selain
wasiat, orang yang menerima wasiatpun juga memiliki sayrat juga, diantaranya:
a)
Ia bukan merupakan ahli waris orang yang berwasiat .
seperti sabda NABI yang artinya “ tidak boleh berwasiat kepada ahli waris “.
b)
Orang yang menerima wasiat itu orang tertentu,
maksutnya orang yang mempunyai arti yang sebenarnya pada waktu yang di
wasiatkan.
c)
Orang yang menerima wasiat tidak pernah membunuh
oraang yang berwasiat kepadanya, kecuali pembunuhan itu di benarkan oleh ajaran
islam.
Abu hanifah dan muridnya
berpendapat bahwa kesahan wasiat itu tergantung pada ahli waris. Tidak di
syaratkan bahwa orang yang berwasiat dan penerima wasiat sama-sama beragama
islam, boleh juga berwasiat kepada berlain agama.
4.
YANG DIWASIATKAN
a)
Harta yang diwasiatkan telah ada setelah orang yang
berwasiat meninggal dunia dan telah dapat dialihmilikkan kepada oaring yng
menerima wasiat, sesuia dengan syarat yang telah di tentukan.
b)
Yang diwasiatkan haruslah harta yang suci, bias di
manfaatkan oleh orang yang menerimanya.
c)
Jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari
1/3 harta yang dimilikinya.
Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa yang di maksud dengan sepertiga disini ialah sepertiga dari jumlah harta
yang dimiliki setelah yang berwasiat meninggal. Sedangkan Imam Malik
berpendapat sepertiga itu ialah sepertiga dari jumlah harta yang berwasiat
waktu ia menyatakan wasiatnya.[1]
Syarat wasiat yang lain yaitu mumayyiz, artinya orang yang berwasiat itu dapat membedakan antara
yang baik dan yang buruk serta orang yamng bukan inkar kepada ALLAH.syarat ini
di kususkan oleh Mazdhab Maliki. Apabila
oaring yang menerima wasiat seperti anak kecil, maka dapat diterima oleh wali
atas namanya.[2]
YANG MEMBATALKAN WASIAT
1)
Orang yang berwasiat itu mendapat sakit gila sampai ia
meninggal.
2)
Orang yang menerima wasiat meninggal dulu sebelum
orang yang berwasiat.
3)
Harta yang diwasiatkan itu habis ataupun musnah
sebelum yang berwasiat itu meningal dunia.
4)
Wasiat itu di cabut oleh orang yang berwasiat.[3]
Suatu wasiat dapat
dicabut oleh pemberi wasiat tanpa memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari
yang berwasiat, seperti :
a. Yang
berwasiat menjual harta yang diwasiatkannya kepada orang lain.
b. Yang
berwasiat mengalihkan wasiatnya kepada orang lain.
c. Yang
berwasiat menambah, mengurangi atau menukar harta yang diwasiatkan.
BAB
II
Penutup
Kesimpulan
1. Jika
seseorang mempunyai harta dan ia merasa ada hak orang lain yang bukan ahli
warisnya dalam harta itu lantaran jasa atau bantuan yang pernah diberikannya,
sedang jalan lain tidak ada yang dapat membalas jasa atau budi orang itu dengan
baik, maka wajib orang itu berwasiat.
2. Wasiat
itu ada untuk kepentingan agama, untuk kepentingan umum dan ada pula untuk
kepentingan perorangan, wasiat untuk kepentingan umum termasuk sedekah.
3. Bagi
setiap orang yang akan berwasiat, hendaklah ia iangat kepentingan ahli
warisnya, karena meninggalkan ahli waris berkecukupan adalah lebih baik dari
meninggalkan ahli waris dalam keadaan miskin.
4. Harta
yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah seluruh harta
orang yang berwasiat. Bahkan berwasiat kurang dari sepertiga adalah lebih baik.
5. Wasiat
itu tidak tertentu bagi harta saja, tetapi dapat berupa pembebasan hutang atau
pemberian manfaat.
6. Wasiat
itu baru berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Karena itu
pengalihan milik dari orang yang berwasiat kepada orang yang menerima wasiat
berlangsung setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
7. Wasiat
menjadi batal bila orang yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari orang
yang berwasiat atau orang yang berwasiat mencabutnya.
8. Pada
hakekatnya wasiat itu semacam akad, karena itu hendaklah wasiat itu disaksikan
oleh dua orang saksi yang adil. Dengan adanya saksi itu diharapkan perkara
wasiat itu mudah diselesaikan kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA :
Prof, Dr Zakiah . Ilmu
fiqih jilid 3. PT DANA BHAKTI, Yogyakarta ,1995
A. Rahman.
I. Doi, Penjelasan lengkap hukukm-hukum Allah, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002
[1] Prof. Dr. Dardjad Zakiah, Ilmu Fiqh jilid 3, (Yogyakarta: 1995)
hal 168-174
[2] A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukun-hukum
ALLAH(Syariah), (Jakarta Utara:2002) hal 419
Tidak ada komentar:
Posting Komentar