Kamis, 19 Maret 2015

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pendahuluan
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama mujtahid mutlak yang memiliki metode-metode istimbath hukum tersendiri. Beliau juga ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi panutan dan sebagai referensi bagi para pengikutnya. Para pengikut beliau, menjadikan beliau sebagai Imam Mazhab, baik dalam masalah fiqh maupun dalam masalah ushul fiqh. Dengan demikian, tidak salahnya jika kita memperdalam bagaimana dasar-dasar dan metode yang beliau gunakan dalam membina hukum fiqhnya. Sehingga beliau diikuti oleh ulama-ulama dari berbagai pelosok dunia dari zaman-kezaman.
Oleh karena itu, sebenarnya ada apa di balik Imam Ahmad bin Hanbal? Karena masih banyak imam-imam mazhab yang lain yang memiliki dasar-dasar dan metode istimbath tersendiri, namun hanya tinggal nama dan sejarahnya saja. Bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dalam membangun metode istimbathnya sehingga para ulama masih tetap teguh dalam berpegang dengannya?
Insya allah, kami akan mengupasnya dalam makalah ini dengan detail dan disertai dengan biografi beliau.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.      Bagaimana dasar pegangan dan metode istimbath Imam Ahmad bin Hanbal?
3.      Apa yang menjadi kekhasan Imam Ahmad bin Hanbal dalam berijtihad?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
            Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama mujtahid mutlak dari empat ulama besar yang dianut oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Keempat imam ini yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi’i dan beliau, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Adapun kisah perjalan hidup beliau adalah sebagai berikut:
1.      Nasab dan Kelahiran Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal  bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qasath bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il bin Qasith bin Hanab bin Qushay bin Da’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazzar bin Ma’d bin Adnan.[1]
 Ahmad bin Hambal adalah orang arab keterunan bani Syayban  dari Rabia, yang memegang peranan penting menaklukkan Irak dan Khurasan (Afganistan), dia lahir di Baghdad pada tanggal 1 Rabiwulawal 164 H, atau sekitar bulan Desember tahun 780. Kakeknya Hambal bin Hilal, Gubernur Saraks, berdiam di Merv di bawah Umayyah. Ayahnya Muhammad bin Hanbal, pegawai tentara kerajaan, kemudian pindah ke khurasan, dan wafat disana 3 tahun kemudian. Imam Ahmad menjadi yatim piatu dalam usia muda sekali, dan Mewy6arisi perkebunan keluarga dengan penghasilan yang lumayan.[2] Ibu dan bapak beliau pada masa mudanya bertempat tinggal di Marwin wilayah Khurasan (Asia Tengah).[3]
2.      Sifat-sifat Imam Amad bin Hanbal
Ibnu Dzuraih Al-Kabari berkata: “Aku pernah mencari Ahmad bin Hanbal, setelah bertemu dan mengucapkan salam padanya, maka aku melihat bahwa dia adalah seorang syaikh yang selalu bercelak dan berkulit sawo matang agak kemerah-merahan.
Dari Muhammad bin Abbas An-Nahwi, dia berkata: “Aku pernah melihat Ahmad bin Hanbal, dia berwajah tampan, berbadan sedang, bercelak dan jenggotnya berwana hitam. Dia mengenakan pakaian dari kain kasar yang berwarna putih dengan sorban di kepala dan selendang di pundaknya.
Al-Maimuni berkata: “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih bersih bajunya, dan lebih perhatian terhadap dirinya ketika menata rambut, kumis dan badannya daripda Imam Ahmad bin Hanbal.”[4]
3.      Perjalanan Imam Ahmad bin Hanbal dalam Menuntut Ilmu
Al-Ulaimi berkata yang ringkasnya adalah sebagai berikut: “Sejak kecil Ahmad bin Hanbal sudah menampakkan tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai berbagai disiplin ilmu dan banyak menghafal hadist, ibunya mengambilkan baju untuknya sambil berpesan, “Tunggulah sampai terdengar adzan atau sampai orang-orang keluar diwaktu pagi.”
Dia telah menempuh rihlah (perjalanan untuk mencari ilmu) keberbagai negara, seperti: Kufah, Basrah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, daerah-daerah pesisir, Morokko, Al-Jazair, Al-Faratain, Persia, Khurasan daerah pegunungan serta kelembah-lebah dan lain sebagainya.
Yahya berkata: “Ketika kami pergi berguru kepada Abdurrazzaq di Yaman, maka terlebih dahulu kami melaksanakan ibadah haji. Disaat aku sedang thawaf, tiba-tiba aku melihat Abdurrazzaq juga sedang berthawaf sehingga aku lalu mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah aku perkenalkan Ahmad bin Hanbal kepada Abdurrazzaq, maka Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad bin hanbal, “Semoga Allah memberikan umur panjang dan menetapkan langkahmu dalam kebaikan. Sesungguhnya telah sampai kepadaku kabar tentang dirimu yang kesemuanya adalah kabar baik.
Aku (Yahya) katakan kepada Ahmad bin Hanbal. “Allah telah mendekatkan apa yang menjadi tujuan kita. Apabila kita meminta hadist riwayat Abdurrazzaq di sini, maka perbekalan kita tentu tersisa banyak daripada kita menemuinya dirumahnya yang akan menelan perjalan satu bulan.”
Ahmad bin Hanbal lalu menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan merubah niatku. Dari bahgdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadist dari abdurrazzaq di Shan’a. Kita harus menempuh perjalan untuk bertemu Abdurrazza disana.”[5]
4.      Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal
Sebagaimana telah disebutkan Al-Khathib diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah Ismail bin Ulaiyah, Husyaim bin Busyair, Hammad bin Khalid Al-Khayyad, Mansur bin Salamah Al-Khaza’i, Al-Mudhaffar bin Mudrak, Ustman bin Umar bin Faris, Abu An-Nadhr Hasyim bin Al-Qasim, Abu Said Maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid, Yazid bin Harun Al-Wasithiyin, Muhammad bin Abi Adi, Muhammad bin Ja’far Ghundar, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi Bisyr bin Al-Mufadhdhal, dan Muhammad bin Bakar Al-Barsani.
Juga tercatat sebagai gurunya; Abu Dawud Ath-Thayyasali, Ruh bin Ubadah, Waqi’ bin Al-Jarrah, Abu Muawiyah, Adh-Dharir, Abdullah bin Numair, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Salaim, Ath-Tha’ifi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ibrahim bin Sa’ad Az-Zuhri, Abdurrazzaq bin Hammam, Abu Qurrah bin Thariq, Al-Walid bin Muslim, Abu Mashar Ad-Dimasyqi, Abul Yaman, Ali bin Ayyasy dan Basyr bin Syuib bin Abi Hamzah Al-Himsyiyin.[6]
5.      Keilmuan dan Karya Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam Abu Zu’ah, Imam Ahmad bin Hanbal menghafal 1.000.000 (satu juta) hadist. Kemudian hadist-hadist yang beliau hafal itu sesudah disaring dan disaring lagi bermacam-macam lagi, maka yang dituliskan dalam kitab Musnadnya adalah sebanyak 40.000 (empat puluh ribu) hadist, tetapi kalau dikurangi dengan hadist-hadist yang dituliskan berulang-ulang, maka yang tinggal adalah sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu) hadist.[7]
Dia juga mempunyai karya kitab yang lain semisal: At-Tafsir yang memuat 120.000 (seratus dua puluh ribu) hadist, An-Nasikh wa fi Al-Qur’an, Jawabat Al-Qur’an, Al-Manasik, Al-Kabir wa Ash-Shaghir dan lain-lain.[8]
6.      Dakwah dan Ujian yang Dialami Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang yang memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. beliau sangat membenci orang-orang yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad juga menyuruh kepada setiap kaum muslimin untuk tetap diatas Sunnah dan menjauhi bid’ah.
Imam Ibnu Baththah menuturkan dari Ubaidillah bin Ahmad, katanya: “Berpegang teguhlah kamu dengan Sunnah Nabi Saw. Allah akan memberikan manfaat kepadamu. Dan hidarilah perdebatan dalam masalah agama, karena orang-orang yang menyukai ilmu kalam tidak akan beruntung. Orang yang membuat perdebatan dalam kalam, ujung-ujungnya adalah membuat bid’ah, karena ilmu kalam tidak membawa kepada kebaikan. Saya tidak menyukai ilmu kalam, apalagi ikut perdebatan.
Kamu harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. pendapat-pendapat para shahabat, fiqih yang dapat kamu manfaatkan. Tinggalkanlah perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok. Orang-orang yang saya temui ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli kalam, mereka juga menjauhi para ahli kalam. Kalam itu adalah akhir-akhirnya tidak baik. Semoga Allah menjaga kita dari fitnah (ujian hati), menyelamatkan kita dari kehancuran.”[9]
Pada pemerintahan Al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah), beliau dipenjara, karena berbeda pendapat dengan penguasa dalam hal apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan.[10] Al-Muktasim berkata: “Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Al-Qur’an adalha firman Allah yang Qadim dan bukan makhluk. Allah berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (Q.S. At-Taubah: 6)
            Al-Ma’mun bertanya lagi, “Apakah kamu mempunyai hujjah yang lain?” Dia menjawab, “Ada, yaitu firman Allah yang berbunyi:
الرَّحْمَنُ. عَلَّمَ الْقُرْآنَ
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an.” (Q.S. Ar-Rahman: 1-2)
            Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, “(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah menciptakan Al Qur'an.” Allah juga berfirman:
يس. وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ
“Yaa Siin. Demi Al Qur'an yang penuh hikmah.”(Q.S. Yasiin: 1-2)
            Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, “Yasiin. Demi Al-Qur’an yang makhluk.”[11]
7.      Murid-Murid Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal adalah ulama besar yang memiliki ilmu yang banyak, baik dalam ilmu hadist, ilmu fiqih dan disiplin ilmu lainnya. Orang-orang berbondong-bondong untuk menuntut ilmu kepada beliau.
Al-Mizzi menyebutkan dalam kitab Tahzib Al-Kamal bahwa terdapat 88 (delapan puluh delapan)  diantara murud Imam Ahmad bin Hanbal yang mererupakan guru-gurunya adalah, yaitu: Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Waqi’ bin Al-Jarrah, Yahya bin Adam, dan Yazid bin Harun. Orang-orang seangkatan dengan dirinya adalah; Ali Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Duhaim Asy-Syami, Ahmad bin Abi Al-Harawi dan Ahmad bin Shalih Al-Mashri.[12]
Termasuk para muridnya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Adam, dan Abu dawud. Pengikut mazhab hanbali yang terkenal adalah: Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.[13]
8.      Detik-detik Wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
Shaleh berkata: ketika hari pertama bulan Rabiul Awal tahun 241 Hijriyah, hari sabtu ayahku merasakan demam yang tinggi sehingga ketika tidur dia susah sekali bernafas. Aku sudah mengetahui penyakit yang dikeluhkannya karena aku selalu merawatnya ketika  kambuh.
Hari ini adalah hari selasa, sementara ia meninggalnya adalah hari jum’at. Ayah berkata kepadaku, “Wahai shaleh,” lalu aku menjawabnya, “Iya. Ada apa ayah?” Dia berkata lagi, “Janganlah kamu menjadi berubah sedih baik di rumahmu maupun di rumah saudaramu.” Kemudian Al-Fath bin Sahl yang ada didepan pintu untuk menjenguknya merahasikan kedatangannya, lalu juga Ali bin Al-Ja’d datang dan juga merahasiakan kedatangannya dan akhirnya banyak orang yang datang.
Waktu itu ada seorang tetangga kami datang membesuk, lalu ayahku berkata, “Sesungguhnya aku melihatnya menghidup-hidupkan sunnah.” Ayahku gembira dengan kedatangannya sehingga dia menggerak-gerakkan bibirnya. Sampai waktu itu, ayahku masih melakukan shalat dengan berdiri dan aku membantunya. Dia melaksanakan ruku’, sujud dan juga kembali dari ruku’ dengan sadar betul, karena akalnya masih normal.
Namun pada malam jum’at, tanggal 12 rabiul awal, tepatnya selang dua jam setelah siang hari tampak, ayahku menghembuskan nafas terakhinya.[14]
B.     Dasar Pegangan dan Metode Istimbath Imam Ahmad bin Hanbal
Sabagaimana para imam lainnya dalam berijtihad, mereka menggunakan dasar-dasar pegangan dalam berijtihad, teruma adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. karena kedua landasan ini tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan sebuah hukum syar’i. Demikian dengan Imam Ahmad bin Hanbal beliau juga memiliki dasar-dasar pegangan dan metode ijtihat tersendiri dalam menetapkan sebuah hukum syar’i.
Dasar atau sumber dalam ijtihad mazhab hanbali adalah:
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah, terutama yang marfu’, yaitu bersumber langsung sampai Rasulullah Saw.
3.      Qaul shahabi, yaitu pendapat shahabat yang tidak diperselisihkan, atau menurut ulama lain disebut dengan ijmak shahabat.
4.      Hadist Mursal, yaitu hadist yang lemah kualitasnya.
5.      Qiyas, sebagai alternatif terakhir jika tidak ditemukan dalil melalui sumber-sumber sebelumnya.[15]
1.      Al-Qur’an
a.      Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, kata Al-Qur’an adalah mashdar, kata dasar, seperti halnya qira’ah. Contoh, qara’tul kitaba qira’atan wa qur’anan.  Contoh lain dalam firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Sesungguhwqnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah: 17).
            Qur’anahu artinya qira’atuhu, yaitu membaca.
Secara terminologi, Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw. sebagai wahyu, ditulis dalam mushaf, terjaga didalam dada, dibaca lisan, didengar telinga, dinukil secara mutawatir kepada kita, tidak ada keraguan di dalamnya, dan membacanya bernilai ibadah.[16]
b.      Kedudukan Al-Qur’an menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Para ulama ijmak bahwa Al-Qur’an berkedudukan paling tinggi dalam ajaran islam, yakni menempatkannya pada sumber pertama dalam mengambil suatu hukum dari permasalahan yang ada. Tidak boleh menetapkan sebuah hukum tanpa merujuk kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bersifat universal, absolut dan fundamental. Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, dengan demikian Al-Qur’an memiliki posisi yang utama, karena tidak akan terjadi kesalahan dan pertentangan didalamnya, dan tidak boleh mengkritisi Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an bukan makhluk. Maka beliau memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum.
2.      Sunnah Rasulullah Saw.
a.      Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti jalan yang tempuh, adat kebiasaan seseorang, baik terpuji maupun tercela (الطريقة المسلوكة). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nur Al-Din ‘Athar:
السيرة والطريقة المعتادة حسنة كانت أو قبيحة
“Adat kebiasaan yang baik ataupun yang jelek”
            Sementara itu dalam ayat Al-Qur’an dinyatakan bahwa:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu.” (Q.S. Al-Anfal: 38)
            Sementara pengertian sunnah menurut para muhadditsin adalah:
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية
أو خلقية سيرة سواء أكان ذلك قبل البعثة أو بعدها
“Segala yang bersumber dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan , taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya.”[17]
b.      Sunnah sebagai pegangan menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa mencari apa yang ada dalam Al-Qur’an, haruslah melalui sunnah. Orang yang mencari hukum dalam Al-Qur’an tidak melalui as-sunnah adalah sesat jalannya. Hal itu disebabkan oleh:
1.      Al-Qur’an mengharuskan kita mengikuti rasul, mengikuti Rasul adalah mengikuti sunnahnya.
2.      Diantara hadist-hadist, ada hadist yang mengharuskan kita mengikuti Rasul dan melarang dan melarang kita untuk melihat Al-Qur’an saja dengan membelakangi sunnah.
3.      Hukum yang telah diijma’i oleh kaum muslimin banyak yang diambil dari sunnah, maka meninggalkan sunnah berarti menghilangkan 9/10 dari hukum islam.[18]
Dengan demikian, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, mengikuti sunnah adalah sebuah kewajiban dalam agama ini, karena makna dari dua kalimat syahadat adalah pertama, untuk mengikuti petunjuk Allah. Kedua, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Saw. Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah, sebagaimana Allah berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisaa’: 65)
Allah Ta’ala juga berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Q.S. An-Nisaa’: 80)
            Oleh sebab itu, Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan Sunnah sebagai pegangan dalam menetapkan sebuah hukum.
c.       Kedudukan Sunnah menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Peran As-Sunnah dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1.      As-Sunnah sebagai Pentafsir Al-Qur’an
Imam Ahmad bin Hanbal menandaskan bahwa As-Sunnah adalah pentafsir Al-Qur’an. Maka tidak ada kemungkinan ada pertentangan antara dhahir Al-Qur’an dengan As-Sunnah, karena dhahir Al-Qur’an harus disesuaikan dengan kandungan As-Sunnah.
Imam Ahmad bin Hanbal telah menyusun sebuah Risalah untuk menolak pendirian sebagian orang yang hanya mengambil dhahir Al-Qur’an, dan meninggalkan As-Sunnah. Dari uraian Imam Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Risalah itu, kita dapat menanggapi hal-hal tersebut dibawah ini:
a.       Dhahir Al-Qur’an tidak didahulukan atas As-Sunnah
b.      Rasulullah adalah pentafsir Al-Qur’an, tidak boleh seseorang menafsirkan Al-Qur’an tanpa As-Sunnah.
c.       Tafsir para shahabat yang harus kita terima, dalam menafsirkan Al-Qur’an, apabila kita tidak menemukan atsar Nabi Saw., sebab mereka menyaksikan Asbab An-Nuzul Al-Qur’an dan mengetahui sunnah Rasulullah Saw. dengan baik.[19]

2.      As-Sunnah sebagai produk hukum
Dalam menetapkan sebuah hukum, Imam Ahmad bin Hanbal sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Apabila suatu permasahalan timbul dalam masyarakat, beliau terlebih dahulu mencarinya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ditemukan, maka akan melihat kepada As-Sunnah. Seperti menetapkan hukum wajib, sunat, makruh, haram dan lain sebagainya.
d.      Macam-Macam Hadist menurut Kuantitasnya
Para ulama membagi hadist ditinjau dari sanad kepada: mutawatir, manshur atau mustafild, ahad dan hadist yang tidak muttasil.
1.      Hadist Mutawatir
Para ulama mendefinisikan hadist mutawatir adalah sebagai berikut:
مَايُرْوَى عَنْ قَوْمٍ لَا يُحصَى عَدَدُ هُمْ وَلَا يَتُوَ هَّمْ تًوَ اَطَؤُ هُمْ عًلى الكَذِبِ بِكَثْرَتِهِمْ وَعَدَا لَتِهِمْ وًتَبَا يُنِ امَا كِنِهِمْ، ويَدُوْ مُ هَذَا الحَدُّ فَيَكُوْنُ اَخِرُهُ وَأَوْ سَطُهُ كَطَرَ فَيْهِ
“Yang diriwayatkan dari segolongan orang yang tidak terbatas bilanganya dan tidak diduga mereka bersepakat membuat kedustaan, karena mereka berjumlah banyak, serta adil dan berbeda-beda tempat. Batas ini terus menerus diperoleh hingga tingkat terakhir dan tingkat pertengahan sama dengan awal dan akhirnya.”
            Hadist mutawatirbil ma’na, diakui banyak jumlahnya, sedangkan mutawatir lafadhzi sedikit sekali jumlahnya. Hadist mutawatir, memfaedahkan yakin.
2.      Hadist Masyhur (mustafidl)
ما يَكُوْنُ الطَبَقَةُ الأُوْلَى، طَبَقَةُ الصَّحَابَةِ أوِ الثَّا نِيَّةُ طَبَقَةُ التَّا بِعِيْنَ فِيْهَا أحَادًا ثُمَّ تَنْتَشِرُ بعد ذلكَ وينْقُلُهَا قَوْمٌ لَا يَتَوَهَّمُ تَوَا طَؤُ هُمْ عَلَى الكَذِبِ
“Riwayat tingkat pertamanya adalah shahabat atau yang tingkat kedua tabi’in, terdiri atas beberapa orang saja, kemudian barulah tersebar dan dinukilkan oleh segolongan orang yang tidak disangka bersepakat membuat kedustaan.”
3.      Hadist Ahad
Menurut Imam Asy-Syafi’i, hadist ahad adalah
كل خَبَرٍ يَرْوِيْهِ الوَاحِدُ أوْالإثْنَانِ أوْ أكْثَرَ مِنْ ذَالكَ ولا يَتَوَافَرُ فِيْهِ سَبَبُ الشُهْرَةِ
“Segala hadist yang diriwatkan oleh seorang saja atau dua orang atau lebih dari itu tetapi tiada sempurna padanya sebab kemasyhurannya.”
            Menyandarkan hadist ini kepada Rasul adalah atas dasar yakin. Karenanya semua para ulama menggunakan hadist ahad dalam bidang amaly, tidak dalam bidang ‘aqidah. Demikianlah pendapat jumhur terhadap hadist ahad. Imam Ahmad bin Hanbal mempergunakan hadist ahad dalam kedua bidang bidang ini, baik dalam bidang amal maupun dalam bidang i’tiqad.
            Imam Ahmad bin Hanbal dari Risalahnya kepada musaddad ibn Musarhad berkata:
المزان حقٌّ، والصراط حقٌّ، والإيمان بالحوض، والشفاعةُ حقٌّ، والإيمان بالعرشِ والكرسي، والإيمان بملكِ الموتِ وأنه يقْبضُ الأرواحَ، ثم يردُّ الأرواحَ إلى الأَ جْسادِ، والإيمان بالنفحِ فى الصورِ، والدّجّالُ خارجٌ فى هذه الأُمّةِ وينْزِلُ عيسَ ابن مريم فيقتلهُ
 “Timbangan itu benar, titian shirathal mustaqim itu benar, iman kepada kolam dan syafa’at itu benar, iman kepada arsy dan kursi dan iman kepada malaikat maut dan bahwa malaikat itu menggenggap jiwa kemudian mengembalikannya kepada tubuh, iman kepada tiupan sangka kala, dajjal akan keluar dalam kalangan ummat ini dan akan turun Nabi Isa ibn Maryam lalu membunuh dajjal itu.”
            Kebanyakan kepercayaan yang tersebut ini ditemukan dalam hadist-hadist ahad.[20]
e.       Macam-Macam Hadist menurut Kualitasnya
1.      Hadist Shahih
Secara bahasa, arti shahih adalah sehat. Lawan dari kata saqiyun (sakit). Shahih juga berarti haq (benar), lawan dari kata bathil. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadist, hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya, dinukilkan/ diriwayatkan dari orang (perawi) yang adil dan dhabit (kuat hafalannya), selamat dari syadz dan ‘illat qhadhihah (cacat yang dapat mencela hadist itu sendiri).
2.      Hadist Hasan
Secara bahasa, hasan berarti “Yang diinginkan/ disenangi.” Sedangkan menurut terminology ilmu hadist, hadits hasan dalam pandangan ahli hadist adalah hadist yang sanadnya bersambung, para perawinya bersifat ‘adil, tetapi kurang sedikit sifat kedhabitannya (khaffif Al-Dhabit), tidak terdapat syadzudz dan ‘illat.
3.      Hadist Dha’if
Secara bahasa, dha’if artinya lemah, lawan dari kata qawy yang berarti kuat. Dalam istilah hadist, hadist dha’if adalah hadist yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat hadist shahih ataupun hadist hasan. Definisi lain mengatakan, hadist dha’if  adalah hadist yang sanadnya terputus atau diantara perawinya terdapat perawi yang cacat.[21]
3.      Qaul Shahabi (perkataan para shahabat)
a.      Perngertian Qaul Shahabat
Qaul shahabi adalah pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh para shahabat mengenai suatu permasalahan. Sedangkan shahabat adalah orang yang hidup pada zaman Rasulullah dan beriman kepada Rasulullah sampai ia wafat masih dalam keadaan beriman.
b.      Kedudukan Qaul Shahabat Menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal mempelajari koleksi fiqh yang diriwauatkan dari Rasulullah, mempelajari hukum-hukum yang dinukilkan dari Rasul, mempelajari hukum-hukum dan keputusan-keputusan shahabat, baik yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. maupun dari ijtihad. Majmu’ah itu semuanya madrasah fiqhiyah yang dipelajari Ahmad dalam menginstimbatkan hukum, dengan ushul-ushul yang telah dipelajari dari Imam Asy-Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hanbal memperoleh sekumpulan besar dari Majmu’ah Al-Fiqhiyah yang diriwatkan dari Nabi dan dari shahabat. karenanya fatwa para shahabat dipandang hujjah yang mengiringi hadist Rasul, dan mendahulukan hadist mursal dan hadist dha’if atas qiyas. Semua ulama menerangkan Mazhab Ahmad bin Hanbal menandaskan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mangamalkan fatwa shahabat.[22]
c.       Qaul Shahabat Menurut Imam Ahmad bin Hanbal
1.      Fatwa Shahabat
Dalam fatwa shahabat ini, Imam Ahmad bin Hanbal membagi kepada dua pembagian:
a.       Fatwa shahabat yang tidak diketahui ada yang menyalahinya
Jika ada seorang shahabat memberikan fatwa, kemudian tidak diketahui apakah ada shahabat lain yang menyelisihi shahabat ini, maka ini tidak dikatakan ijmak. Imam Ahmad bin Hanbal hanya mengatakan:
لَاأَعْلَمُ فِيْهِ شَيْئًا يَدْفَعُهُ
“Aku tidak mengetahui terhadapnya sesuatu yang menolaknya”
            Oleh karenanya, Imam Ahmad bin Hanbal menerima Shahadatul ‘abdi (persaksian seorang budak), Anas mengatakan:
لَاأَعْلَمُ اَحَدًارَدَّ شَهَاةَالعَبْدِ
“Aku tidak mengetahui ada seorang yang menolak kesaksian hamba (budak)”
b.      Pendapat salah seorang shahabat
Apabila para shahabat berbeda pendapat, maka Imam Ahmad bin hanbal memilih salah satunya yang lebih dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Jika tidak dapat memilih salah satunya, tidak dapat memilih mana pendapat yang lebih dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw., maka Imam Ahamad bin Hanbal meriwayatkan kedua-dua pedapat tersebut.[23]
4.      Hadist Mursal dan hadist dha’if
a.      Pengertian Hadist Mursal dan hadist da’if
Hadist mursal adalah hadist yang terputus sanadnya, sanadnya hanya sampai shahabat atau tabi’in, tetapi ini dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw. Imam Ahmad bin Hanbal mengambil hadist mursal ini hanya dari orang-orang yang sudah dipercaya, bahwa ia tidak pernah berbohong, dan tidak mungkin ia berbohong.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa hadist dha’if adalah hadist yang lemah periwatannya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan hadist dhai’if disini ialah hadist dalam tingkatan hasan. Karena pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal belum ada ada istilah hadist hasan. Maka yang dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan bukan hadist dhai’if yang dianggap sekarang.
Mansur, S.Ag., M.Ag, mengatakan: istilah hadist hasan baru dikenal setelah masa Imam Turmudzi dengan kitab Sunannya. Pada masa Al-Bukhari dan Muslim hanya dikenal dua istilah katagori hadist, shahih dan dha’if.[24] Dengan demikian, yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan ligharih, yakni hadist yang dahulunya dha’if, tetapi setelah masa Imam Ahmad bin Hanbal dikatagorikan hadist ini dalam hasan ligharih. Maka yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan bukan hadist dha’if.
b.      Kedudukan Hadist Mursal dan Hadist Dha’if menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal berlaku keras dalam menerima hadist yang berkenaan dengan halal dan haram. Dia hanya menerima hadist dha’if hanya dalam bidang targhib, fadhail, maghazi, dan tarhib. Imam Abu Dawud menuturkan:
يُعْمَلُ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ في بَابٍ حَدِيْثٌ صَخِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ
“Hadist dha’if diamalkan apabila tidak ada dalam bab yang dihadapi susuatu hadist shahih atau sesuatu hadist hasan.”
            Pendapat ini yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan sebuah hukum, apabila ia tidak menemukan pendapat para shahabi.[25] Dengan demikian pendapat shahabi lebih di dahulukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketimbang hadist dha’if.
            Para ulama telah bersepakat bahwa hadist dha’if tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hadist dha’if dapat diamalkan dalam masalah nasihat, tetapi pendapat ini lemah. Jadi, yang perlu dicatat disini adalah bahwa hadist dha’if yang yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist yang telah dihukumi hasan pada zaman sekarang. Para ulama ijmak, bahwa hadist hasan dapat dijadikan hujjah, maka ini tidak bertentangan dengan yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
            Syaikhul Islam Ibnu Taimaiyah, berkata: “Hadist dha’if yang diterima oleh Imam Ahmad bin Hanbal ialah hadist yang dapat ditingkatkan ke derajat hasan.”[26]
5.      Qiyas
a.      Pengertian Qiyas
Qiyas dalam fiqh islam adalah:
اِلحَقُ أمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَي حُكْمِهِ بِاأمْرِاخَرَ مَنْصُوْصٍ علي حُكْمِهِ لاِشْتِرَ ا كِهِ في الوَصْفِ المُجِبِ للحُكْمِ

“Menghubungkan sesuatu urusan yang tidak di nashkan hukumnya dengan urusan lain yang di nashkan hukumnya, lantaran keduanya sama pada sifat yang diwajibkan hukum itu.”
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
إن القياس لفظٌ مجملٌ يدخل فيه القياس الصحيحُ والقياسُ الفاسدُ، فالقياس الصحيح هوالذ ى وزن به الشريعة، وهو الجمع بين المتما ثلين والفرقُ بين المختلفين، والأول قياس الطرد، والثان قياس العكس

“Qiyas adalah lafal yang mujmal, masuk kedalamnya qiyas yang benar dan qiyas yang fasid. Qiyas yang benar ialah yang dibenarkan syara’, yaitu mengumpulkan antara dua yang serupa dan memisahkan dua yang berlawanan. Pertama, dinamakan qiyasuth hardi, dan yang kedua, dinamakan dinamakan qiyasul ‘aksi.”[27]
b.      Kedudukan Qiyas menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qadamah dalam kitab Ar-Raudhah berkata:
لايستغني أحد عن قياس
“Tidak ada seorangpu yang tidak perlu kepada qiyas”
            Jika ada yang mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menggunakan qiyas, maka qiyas yang ditolak oleh beliau ialah qiyas dimana pada saat tersebut terdapat dalil yang menjelaskannya.
            Imam Ahmad bin Hanbal, walaupun tergolong kepada ulama yang menggunakan qiyas, namun ia tidak banyak menggunakannya. Ia hanya menggunakan qiyas benar-benar pada waktu darurat., tidak ada dalil-dalil lain yang menjelakannya. Dalam hal ini Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Khalil deterangkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
سألت الشافعي عن القياس، فقا: إنما يصار راليه عند الضرورة
“Saya bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang qiyas, maka beliau menjawab, hanya sanya dipegangi qiyas itu ketika darurat.”[28]
c.       Rukun-Rukun Qiyas
1.      Asl (Maqis alaih),  yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadist.
Contoh: mengeluarkan zakat fitrah dengan gandung satu sha’.
2.      Furu’ (Maqis), yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya.
Contoh: berzakat fitrah dengan jagung.
3.      Hukm Asl, yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
Contoh: zakat fitrah dengan gandung adalah boleh, berdasarkan hadist:
“Bahwasanya Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah kepada ummat islam pada bulan Ramadhan (sebanyak) satu sha’ kurma atau gandung untuk setiap orang, baik yang merdeka  atau budak, laki-laki maupu perempuan.” (H.R. Muslim).
4.      Illat, yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat sifatnya nyata dan dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Contoh: terdapat kesamaan sifat antara gandung dengan jagung, yaitu fungsinya sebagai makanan pokok bagi masyarakat. Keduanya termasuk jenis biji-bijian yang mengenyangkan.[29]
            Selain dari lima dasar dan metode ini, ada juga beberapa dasar dan metode istimbath yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu:
6.      Istishhab
Landasan qiyas yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah istishhab. Menurut Asy-Syaukani, istishhab adalah sebagai berikut:
معني الإستصحابِ، أنّما ثبت في الزمان الماصنى فاالأصل بقاؤه في الزمان الحاضر والمستقبل
“Arti istishhab adalah bahwasanya apa yang telah ada di masa yang telah lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada di masa sekarang dan dimasa yang akan datang.”[30]
            Ulama membagi metode istishhab kedalam lima katagori:
a.       Istishab hukmi al-ibahah al-asliyyah, yaitu menetapkan bahwa hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menyatakan keharamannya. Misalnya: tanah dihutan adalah milik bersama ummat manusia sampai ada bukti ada kepemilikannya.
b.      Istishab al-wasful tsabit li al-hukmi hatta yutsbitu khilafah, yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Musalnya: suatu benda milik seseorang sampai ada transaksi yang mengakibatkan berpindah kepada orang lain.
c.       Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sampai ada dalil yang mengkhususkannya atau menasakhnya. Misalnya: perintah wajibnya puasa (Al-Baqarah: 183), maka wajib kepada ummat islam dan sebelum islam, selama belum ada nash yang menghapusnya.
d.      Istishhab terhadap hukum akal sampai datangnya hukum syara’. Misalnya: dalam masalah gugatan. Seorang penggugat wajib mengemukakan saksi dan bukti gugatannya, jika tidak, maka tergugat akan terbebas dari gugatan.
e.       Istishhab terhadap hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijmak. Misalnya: orang yang hendak shalat namun tidak menemukan air wudhu’, kemudian dia bertayamum. Ketika sedang shalat ia melihat air, maka ulama Hanifiyah dan Hanbilah berpendapat, orang tersebut harus membatalkan shalatnya untuk berwudu’.[31]
7.      Marsalah Mursalah
Ulama ushul menetapkan bahwa Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada maslahat. Imam Ahmad bin Hanbal melihat bahwasanya fatwa para shahabat didirikan atas dasar maslahat. Tindakan shahabat ini dituruti Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mendasarkan Siyasah Syar’iah kepada maslahat. Fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hanbal yang berdasarkan siyasah syar’iah banyak benar, seperti menambah bilangan cambukan atas si peminum arak, dan mendera orang yang mecela shahabat.
            Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan pemerintah memaksa orang yang mempunyai rumah, memberi tempat dirumahnya kepada orang yang tidak mempunyai tempat tinggal (gelandangan). Dan boleh juga mengendalikan harga barang. Maslahat yang dihargai Imam Ahmad bin Hanbal adalah maslahat yang sesuai dengan maksud syara’ dan tidak berlawanan sesuatu dasar atau dengan suatu dalil, dan maslahat itu dapat pula dijangkau oleh akal, diterima oleh ahli-ahli akal, serta tujuan mengambilnya haruslah untuk menghindarkan kesulitan magi masyarakat.[32]
8.      Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa saddudz dzari’ah berarti melarang jalan menuju kepada sesuatu.  Para ulama mendefinisikannya dengan, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan. Jika ada suatu perbuatan baik, namun dapat terjadinya kerusakan, maka menurut metode ini perbuatan tersebut harus dicegah dan dilarang.[33]
Beberapa contoh fatwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam menggunakan metode saddudz dzari’ah adalah:
1.      Imam Ahmad bin Hanbal tidak menyukai orang yang berbelanja pada penjual (toko) yang sengaja memurahkan harga barangnya untuk menghalangi para pembeli pergi ke toko sebelahnya.
2.      Imam Ahmad bin Hanbal melarang mejual senjata kepada kaum pembegal. Masuk kedalamnya segala penjualan yang menghasulkan maksiat, seperti menjual sentaja untuk memerangi ummat, kaum bughah (pemberontak), menyewakan (toko/rumah) untuk tempat judi, dan seperti mengadakan tempat-tempat hiburan yang diharamkan.[34]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Imam Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad pada tangga l1 Rabiwulawal 164 H. Beliau berangkat ke Kufah, Basrah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, daerah-daerah pesisir, Morokko, Al-Jazair, Al-Faratain, Persia, Khurasan daerah pegunungan serta kelembah-lebah dalam rangka menuntut ilmu. Guru-guru beliau adalah Ismail bin Ulaiyah, Husyaim bin Busyair, Hammad bin Khalid Al-Khayyad, Mansur bin Salamah Al-Khaza’i, Imam Asy-Syafi’i dan lain-lain.
Dia juga mempunyai karya-karya terkenal, seperti: At-Tafsir yang memuat 120.000 (seratus dua puluh ribu) hadist, An-Nasikh wa fi Al-Qur’an, Jawabat Al-Qur’an, Al-Manasik, Al-Kabir wa Ash-Shaghir dan lain-lain.
            Murid-murid beliau adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Adam, dan Abu dawud. Pengikut mazhab hanbali yang terkenal adalah: Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Imam Ahmad bin Hanbal wafat pada malam jum’at, tanggal 12 rabiul awal.
Adapun Dasar dan metode yang beliau gunakan dalam mengistimbathkan adalah:
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah, terutama yang marfu’, yaitu bersumber langsung sampai Rasulullah Saw.
3.      Qaul shahabi, yaitu pendapat shahabat yang tidak diperselisihkan, atau menurut ulama lain disebut dengan ijmak shahabat.
4.      Hadist Mursal, yaitu hadist yang lemah kualitasnya.
5.      Qiyas, sebagai alternatif terakhir jika tidak ditemukan dalil melalui sumber-sumber sebelumnya.
6.      Istishhab.
7.      Marsalah Mursalah.
8.      Saddudz Dzari’ah.

B.     Saran dan Kritik
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak sekali kesalahan, baik dari penulisan dan tata bahasa yang digunakan. Maka kami meminta kepada seluruh para pembaca agar mengkritisi dan memberikan saran-saran yang membangun guna untuk memperbaiki, sehingga kedepan menghasilkan makalah yang lebih ilmiah.












DAFTAR ISI

Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Irham, Lc, dkk, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jilid I, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006.
DR. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais, Aqidah Imam Empat, terj. Ali Musatafa Yaqub, MA, Riyadh: Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Saudi Arabia, 1430 H.
DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.
Syaikh. DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Kitab Tauhid, terj. Syahirul Alim Al-Adib, Lc, Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Mansur, S.Ag.,M.Ag, Takhrij Al- Hadist: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Press, 2011.
Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.




[1] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Irham, Lc, dkk (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 434.
[2] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 110.
[3] K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jilid I (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), hlm. 23.
[4] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. 435.
[5] Ibid., hlm. 435-436.
[6] Ibid., hlm. 459.
[7] K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, hlm. 23.
[8] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm.460.
[9] DR. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais, Aqidah Imam Empat, terj. Ali Musatafa Yaqub, MA (Riyadh: Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Saudi Arabia, 1430 H), hlm. 137-138.
[10] DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hlm. 162.
[11] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm.452.
[12] Ibid. 460.
[13] DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 162.
[14] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm.463-464.
[15] DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 162.
[16] Syaikh. DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Kitab Tauhid, terj. Syahirul Alim Al-Adib, Lc (Jakarta: Ummul Qura, 2014), hlm. 205-206.
[17] Mansur, S.Ag.,M.Ag, Takhrij Al- Hadist: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Press, 2011), hlm. 27-28.
[18] Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997), hlm. 281.
[19] Ibid. 277-278.
[20] Ibid., hlm. 281-284.
[21] Mansur, Takhrij Al- Hadist, hlm. 46-48.
[22] Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 288-289.
[23] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum Islam, jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 46-47.
[24] Mansur, Takhrij Al- Hadist, 47.
[25] Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm.287.
[26] Ibid., hlm. 288.
[27] Ibid., hlm. 297-298.
[28] Ibid., hlm.299-300.
[29] DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 88-89.
[30] Ibid., hlm. 301.
[31] DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 94.
[32] Ibid., hlm. 305-307.
[33] DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 97.
[34] Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 311.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar