BAB
I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Salah satu isu
yang populer dalam masalah kehukuman Islam pada saat ini selain dari hukum
jihad adalah hukum poligami. Ini merupakan salah satu tema yang penting
mengingat Allah SWT memberikan perhatian khusus dalam kasus ini, terlihat
dengan menempat ayat ini dipermulaan surah An-Nisa’.
Dalam memandang
kasus ini ada pihak yang begitu pro dan tidak sedikit juga yang kontra. Bagi
pihak yang pro, memandang bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 tersebut merupakan
landasan legalitas yang tidak perlu diperdebatkan kembali. Namun demikian,
apakah prespektif mereka tentang tafsir ayat tersebut sudah benar? Kebanyakan
umat khususnya para lelaki secara umum
memandang hal ini adalah biasa. Mereka melihat begitu banyak para tokoh agama
yang melakukannya. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa ini hal yang biasa tanpa
didasari oleh pengetahuan mereka tentang tafsiran dalil hukum yang sebenarnya.
Bagi pihak yang kontra, sudah jelas mereka menentang kasus yang sudah menjadi
kebiasaan ini. Bagi mereka, Islam tidak melarang adanya poligami, namun harus
sesuai dengan tafsiran hukum yang sebenarnya. Kebanyakan yang kontra adalah
wanita, karena mengganggap mereka menjadi korban ketidak adilan poligami.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
ayat yang menjadi landasan poligami?
2. Apa
asbabun Nuzul ayat tersebut?
3. Bagaimana
tafsir menurut para ahli tafsir?
4. Bagaimana
hubungan dengan ayat ayat lainyya?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Ayat
Landasan Poligami
النِّسَاءِمِنَ لَكُمْ طَابَ
مَا فَانْكِحُوا الْيَتَامَى فِي تُقْسِطُوا أَلَّا خِفْتُمْ وَإِنْ
مَلَكَتْ مَا أَوْ
فَوَاحِدَةً تَعْدِلُوا أَلَّا خِفْتُمْ فَإِنْ وَرُبَاعَ وَثُلَاثَ مَثْنَى
تَعُولُوا أَلَّا أَدْنَى
ذَلِكَ أَيْمَانُكُمْ
Dan apabila kalian takut tidak bisa berbuat adil kepada
anak-anak perempuan yang yatim (untuk kalian jadikan istri), maka nikahilah
perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat. Bila
kalian takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah satu perempuan saja atau
budak-budak kalian. Yang demikian itu lebih membuat kalian tidak berbuat zhalim.
(QS. Annisa ayat 3)
2.
Asbabun
Nuzul
Adapun sebab
nuzul dari ayat 3 surat an Nisa tentang poligami diatas, sebagaimana disebutkan
didalam ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubeir bertanya kepada Aisyah
tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى , maka Aisyah
berkata,”Wahai anak saadara perempuanku sesungguhnya anak perempuan yatim ini
berada didalam perawatan walinya—ia menyertainya didalam hartanya, lalu walinya
tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan yatim itu dan menginginkan
untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap maharnya, dia memberikan
mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar kepadanya. Maka
mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali apabila mereka
dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan kepada
anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal
mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi wanita-wanita lain yang
disenanginya selain dari anak-anak perempuan yatim itu.”
Ayat 3 dari
surat An Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah Rasulullah saw berhijrah
ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah ra pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh
kenabian dan juga setelah beliau saw menikahi seluruh istrinya dan wanita
terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7 H.
3.
Tafsir Annisa ayat 3 dari Berbagai Ahli Tafsir
a.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi
Dari ptongan
ayat ini:
النِّسَاءِمِنَ لَكُمْ طَابَ
مَا فَانْكِحُوا الْيَتَامَى فِي تُقْسِطُوا أَلَّا خِفْتُمْ وَإِنْ
وَرُبَاعَ وَثُلَاثَ مَثْنَى
Dalam bukunya dia menuliskan bahwa, jika seorang suami merasa takut
terhadap dirinya sendiri karena merasa khawatir memakan harta istrinya yang
yatim, maka janganlah dia kawin dengannya. Karena sesungguhnya Allah telah
memberikan keleluasaan terhadap dirinya untuk tidak menikahi anak yatim, yaitu
dengan menghalalkan kamu boleh nikah dengan wanita-wanita selain yatim: satu,
dua, tiga, atau empat.
فَوَاحِدَةً
تَعْدِلُوا أَلَّا خِفْتُمْ فَإِنْ
Tetapi jika suami merasa tidak akan bisa berbuat adil di antara dua orang
istri atau istri-istrinya, maka dia harus memegang satu istri saja. Perasaan
takut tidak bisa berbuat adil bisa dirasakan dengan zhan (kepastian) dan (juga) bisa dengan syak (ragu-ragu)
terhadapnya. Laki-laki yang diperbolehkan lebih dari satu hanyalah orang yang
merasa yakin dirinya bisa berbuat adil terhadap isrti-istrinya nanti. Keyakinan
dalam hal itu tidak boleh dicampuri dengan perasaan ragu-ragu.
أَيْمَانُكُمْ مَلَكَتْ مَا
أَوْ
Hendaknya kalian mencukupkan hanya
dengan seorang istri dari wanita-wanita merdeka, dan bersenang-senganglah
dengan wanita yang kamu sukai dari hamba-hamba wanita, karena tidak ada
kewajiban berbuat adil di antara mereka. Tetapi, mereka hanya berhak mendapat
kecukupan nafkah, sesuai dengan standar yang berlaku di kalangan mereka.
تَعُولُوا أَلَّا أَدْنَى
ذَلِكَ
Memilih seorang istri atau mengambil
gundik lebih menghindari perbuatan zalim dan aniaya.
Kesimpulannya, bahwa menjaudhi perbuatan
zalim adalah dasar disyariatkannya hukum perkawinan. Dalam hal ini terkandung pengertian
yang menunjukkan persyaratan adil dan wajib melaksanakannya, dan berbuat adil
memang sulit diwujudkan.
Hukum poligami itu diperboleh namun
dipersulit secara ketat. Poligami adalah suatu keadaan darurat yang hanya
diperbolehkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkannya, dengan syarat
dipercaya menegakkan keadilan, dan aman dari perbuatan yang melewati batas.
b.
Imam Asyaukani
Al Khauf (kekhawtiran)
Abu Ubaidah mengatakan, bahwa خفتم ini
bermakna ‘Aiqantum’ (kamu yakin), sementara yang lainnya mengatakan bahwa خفتم ini
bermakna ‘zhanaum’ (kamu mengira). Ibnu Athiyah berkata, “inilah yang dipilih
oleh orang-orang yang peka, karena ini termasuk kategori dugaan, bukan
keyakinan.” Maknanya: siapayang menduga bahwa ia tidak dapat berlaku adil
terhadap anak yatim (bilamana menikahinya) maka hendaklah ia meninggalkannya
(tidak menikahinya) dan menikahi wanita lainnya.
Kata
ما pada kalimat ما طاب (yang (kamu) senangi) adala maushulah,
ما
disini berfungsi sebagain من karena keduanya bisa
saling memerankan yang lainnya.makna ayat ini adalah: maka nikahilah perempuan
yang baik, yakni yang halal, karena yang haram bukanlah yang baik.kata من pada kalimat: من
النساء (wanita-wanita
[lain]) bisa sebagai keterangan dan bisa juga menunjukkan sebagian, karena yang
di maksud adalah selain perempuan-perempuan yatim.
مَثْنَى وَ ثٌلَاثَوَ رُبَاع (dua, tiga, atau empat) ayat ini dijadikan
dalil tentang haramnya menikahi perempuan lebih dari empat, para ulama
menjelaskan khithab ini berlaku untuk semua umat, dan setiap orang yang menikah
boleh memilih jumlah mana saja di antara angka-angka tersebut.
فَا اِنْ خِفْتٌمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً
(kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
[kawinilah] seorang saja), sebab,
walaupun khithab ini untuk semua orang, namun statusnya setara untuk setiap
orang per orang.
Ada juga yang mengatakan, bahwa perkiraannya: maka tetapkanlah,
atau : maka pilihlah seorang saja. Pendapat pertama lebih tepat. Maknanya: jika
kalian khawatir tiadak dapat berlaku adil di antara para istri dalam giliran
dan hal lainnya, maka nikahilah seorang saja.
ذَالك اَدْنَى اَلَّا تَعُوْلُوْا (yang demikian itu adalah lebih deka
kepada tidak berbuat aniaya), yakni: untuk tidak berbuat jahat. Makna ayat
ini: jika kalian khawatir tidak dapat bersikap adil terhadap istri, maka yang
diperintahkan kepada kalian ini adalah lebih dekat daripada bertindak lalim
(tidak adil).[1]
c.
Quraish Shihab
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil
terhadap wanita-wanita selain yang yatim itu, maka nikahilah apa yang kamu
senangi sesuai selera kamau dan halal dari wanita yang lain
itu, kalau perlu, kamu dapat menggabungkan dalam saat yang sama dua, tiga
atau empat tetapi jangan lebih, lalu jika kamu takut tidak akan dapat
berklaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriah, bukan dalam hal cinta
bila menghimpun lebih dari seorang istri, maka nikahi seorang saja,
atau nikahilah hamba sahaya wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu,
yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatka ketidak adilan, dan
mencukupkan satu orang istri adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,
yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan, atau kepada tidak memiliki
banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.
Ayat diatas menggunakan kata (تقسطوا) dan (تعدلوا) yang keduanya diterjemahkan adil.
Ada ulama yang menyamakannya dan ada yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqsithuu
adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan
keduanya senang. Sedangkan ta’diluu
adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu,
bisa saja tidak menyenagkan salah satu pihak. Kata ما bermaksud menekankan tentang sifat wanita
itu, bukan orang tertentu, nama atau keturunannya.[2]
Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah
dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip
dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan
untuk menguatkan larangan itu dikatakannya: “Jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka
habiskan saja makanan selainnya yang ada di depan Anda.” [3]
Firman-Nya ذالك ادنى الّا تعولو dipahami oleh imam syafi’i dalam arti tidak
banyak taggungan kamu. Terambil dari kata
(عال-يعولوا) yang berarti menangggung/membelanjai.[4]
d.
Menurut
buku Al-Quran dan Tafsirnya Departemen Agama RI
Menjelaskan bahwa, seandainya kamu tidak dapat berbuat adil atau
tidak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu
menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan
hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilihlah perempuan lain yang kamu
senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu melakukan
istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran),
nafkah, perumahan, serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. Islam
membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, tetapi pada dasarnya satu
isteri lebih baik.
Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka
cukuplah kamu nikah dengan seorang saja, atau memperlakukan sebagai isteri
hamba sahaya yang kamu miliki, tanpa akad nikah dalam keadaan terpaksa. Kepada
mereka telah cukup apabila kamu penuhi nafkah untuk kehidupannya.
Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan
oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat menimbulkan
banyak hal yang dapat mengganggu ketentraman rumah tangga.
Manusia dengan fitahnya memerlukan hal-hal yang dapat
menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks
semata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya
Allah memblehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhshah menurut
ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami.
Kesimpulannya :
-
Allah
membolehkan kaum laki-laki beristri paling banyak empat, dengan konsekwensi
tertentu seperti berlaku adil terhadap istri-istrinya.
-
Wajib
bagi seorang suami membayar mahar kepada istrinya baik menurut yang telah
disepakati, yaitu mahar musamma atau mahar mishil.
-
Apabila
istri rela dan mengizinkannya, suami boleh ikut memanfaatkan mahar tersebut.
4.
Hubungan
Surat An-Nisa Ayat 3 Dengan Ayat-Ayat Lain
Dalam
Masalah Poligami Ini Al-Maraghi Menghubungkan Surat An-Nisa Ayat 3 Dengan Surat
An-Nisa Ayat 129.[5]
وَ لَنْ تَسْتَطِيْعُوا اَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِلُوا كُلَّ المَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالمُعَلَّقَةِ وَ اِنْ
تُصْلِحُوا وَ تَتَّقُو فَاِنَّ اللَّه كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Ayat ini menegaskan bahwa kamu
wahai para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak
dapat mewujudkan dalam hati kamu secara terus-menerus keadilan dalam hal cinta di
antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuaut demikian,
karena cinta diluar kemampuan manusia untuk mengaturnya. Karena itu,
berlaku adillah sekuat kemampuan kamu, yakni dalam hal-hal yang bersifat
material, dan kalaupun hatimu lebih mencintai salah seorang atas yang lain,
maka aturlah sedapat mungkin perasaan kamu sehingga jangan kamu cenderung kepada istri
yang kamu cintai dan mendemonstrasikan serta menumpuhkan semua cintamu
kepadanya, sehingga kamu biarkan istrimu yang lain terkantung-kantung
tidak merasa diperlukan sebagai istri dan tidak juga dicerai sehingga bebas
menikah atau melakukan apa yang dikehendakinya. Dan jika kamu setiap
saat dan bersinambung mengadakan
perbaikan dengan menegakkan keadilan
yang diperintahkan Allah dan bertakwa,
yakni menghindari aneka kecurangan serta memelihara diri dari segala dampak
buruk, maka Allah akan mengampuni pelanggaran-pelanggaran kecil yang
kamu lakukan karena sesungguhnya Allah selalu Maha pengampun lagi
Maha penyayang.[6]
Berlaku adil dalam ayat diatas hanya
selagi masih bisa dilakukan oleh kemampuan manusia, seperti, memberi rumah yang
sama, pakaian yang sama, dan sebagainya.sedangkan hal-hal yang diluar kemampuan
manusia, seperti kecenderungan hati manusia terhadap seorang istri, tidak
terhadap istri-istrinya yang lain. Dalam hal itu, seseorang tidak tidak
diwajibkan berbuat adil.[7]
5.
Mansur, M.Ag Menghubungkan Surat An-Nisa Ayat 3 Dengan Ayat Sebelum
Dan Sesudahnya
و اتوا اليتمى اموالهم و لا تتبدلوا الخبيث بالطيب و لا تاكل اموالهم
الى اموالهم انه كان حوبا كبيرا. وان خفتم الا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب
لكم من النساء مثنى و ثلاث و ربع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة او ما ملكت ايمنكم
ذلك ادنى الا تعولو
Mansur,
M.Ag menawarkan terjemahan ayat tersebut sebagai berikut:
“
Dan berikanlah harta kepada anak-anak yatim (ketika sudah dewasa) harta mereka,
jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya tindakan
(menukar dan memakan ) itu, adalah dosa besar (2) Dan jika kamu khawatir tidak
bisa sukses (memelihara) anak-anak yatim iu, maka kawinilah yang suka terhadap
kamu dari perempuan-perempuan itu (ibu mereka); dua, tiga, dan empat, dan jika
kamu takut tidak bisa berbuat adil (antara mereka dan anak-anak kamu) maka
cukuplah dengan satu isri, atau dengan budak yang kamu miliki, hal itu akan lebih dekat dengan terbebani
(dengan banyak anak yang harus kamu pelihara). (3)”[8]
Pada ayat ke 4 yang juga sering dikaitkan dalam
pembicaraan poligami. Ayat ini, dengan pemaknaan yang perspektif perempuan,
meupakan peringatan terhadap pasangan suami istri yang sedang mengalami
persoalan. Biasanya sang suami dalam menghadapi persoalan ini cenderung kepada
perempuan lain dan ingin berpoligami. Ayat ini sebenarnya memperingatkan para
suami yang seperti itu untuk tidak berpoligami, karena ia tidak akan bisa
bebuat adil terhadap perempuan-perempuan yang akan dipoligami. Solusi yang
ditawarkan Al-Qur’an adalah mengupayakn hubungan antara suami dan isteri, kemudian saling menjaga
diri. Kalau masih susah, solusi yang paling pahit adalah bercerai.[9]
KESIMPULAN
Dari pembahasan penyusunan
makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa surah Annisa ayat 3 termasuk salah satu
ayat yang menjadi landasan hukum poligami. Jika dibandingkan dengan dalil ayat
poligami lainnya, maka tafsiran ayat ini juga berbeda. Apalagi jika dilihat
dari asbabun nuzulnya.
Kandungan dari
ayat ini lebih mengarah kepada keadilan bagi wanita yang statusnya yatim,
ketimbang dengan dalil poligami secara keseluruhan. Dari sinilah perlu
dibedakan agar tidak menjadi kesalah pahaman diantara kita tentang hukum
poligami keseluruhannya. Sehingga ayat ini tidak hanya menganjurkan poligami,
tidak pula melarangnya, namun lebih kepada keadilan terlebih kepada yatim
perempuan.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan keserasian
Al-Qur’an, vol.2, cet.II (Tangerang:
Lentera Hati, 2005) hal. 338-339
[5] Syekh Ahmad Musthafa Al Maghribi, Terjemah Tafsir al Maghribi,
jilid.4(bandung: Toha Putra, 1987) hal. 326
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan keserasian
Al-Qur’an, vol.2, cet.II (Tangerang:
Lentera Hati, 2005) hal.606-607
[7] Syekh Ahmad Musthafa Al Maghribi, Terjemah Tafsir al Maghribi,
jilid.4(bandung: Toha Putra, 1987) hal.326
[8] Mansur, M.Ag, metodologi tafsir kotemporer menimbang tawaran metodologi
tafsir emansipatoris, cet.2 (yogyakarta: interpena, 2011) hal. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar