Kamis, 19 Maret 2015

Poligami

BAB I
PENDAHULUAN
I.              LATAR BELAKANG

Salah satu isu yang populer dalam masalah kehukuman Islam pada saat ini selain dari hukum jihad adalah hukum poligami. Ini merupakan salah satu tema yang penting mengingat Allah SWT memberikan perhatian khusus dalam kasus ini, terlihat dengan menempat ayat ini dipermulaan surah An-Nisa’.
Dalam memandang kasus ini ada pihak yang begitu pro dan tidak sedikit juga yang kontra. Bagi pihak yang pro, memandang bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 tersebut merupakan landasan legalitas yang tidak perlu diperdebatkan kembali. Namun demikian, apakah prespektif mereka tentang tafsir ayat tersebut sudah benar? Kebanyakan umat khususnya para lelaki  secara umum memandang hal ini adalah biasa. Mereka melihat begitu banyak para tokoh agama yang melakukannya. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa ini hal yang biasa tanpa didasari oleh pengetahuan mereka tentang tafsiran dalil hukum yang sebenarnya. Bagi pihak yang kontra, sudah jelas mereka menentang kasus yang sudah menjadi kebiasaan ini. Bagi mereka, Islam tidak melarang adanya poligami, namun harus sesuai dengan tafsiran hukum yang sebenarnya. Kebanyakan yang kontra adalah wanita, karena mengganggap mereka menjadi korban ketidak adilan poligami.

II.           RUMUSAN MASALAH
1.      Apa ayat yang menjadi landasan poligami?
2.      Apa asbabun Nuzul ayat tersebut?
3.      Bagaimana tafsir menurut para ahli tafsir?
4.      Bagaimana hubungan dengan ayat ayat lainyya?







BAB II
PEMBAHASAN


1.             Ayat Landasan Poligami

النِّسَاءِمِنَ لَكُمْ طَابَ مَا فَانْكِحُوا الْيَتَامَى فِي تُقْسِطُوا أَلَّا خِفْتُمْ وَإِنْ
مَلَكَتْ مَا أَوْ فَوَاحِدَةً تَعْدِلُوا أَلَّا خِفْتُمْ فَإِنْ وَرُبَاعَ وَثُلَاثَ مَثْنَى
تَعُولُوا أَلَّا أَدْنَى ذَلِكَ أَيْمَانُكُمْ
Dan apabila kalian takut tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak perempuan yang yatim (untuk kalian jadikan istri), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat. Bila kalian takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah satu perempuan saja atau budak-budak kalian. Yang demikian itu lebih membuat kalian tidak berbuat zhalim. (QS. Annisa ayat 3)


2.             Asbabun Nuzul
Adapun sebab nuzul dari ayat 3 surat an Nisa tentang poligami diatas, sebagaimana disebutkan didalam ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubeir bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى , maka Aisyah berkata,”Wahai anak saadara perempuanku sesungguhnya anak perempuan yatim ini berada didalam perawatan walinya—ia menyertainya didalam hartanya, lalu walinya tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan yatim itu dan menginginkan untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap maharnya, dia memberikan mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar kepadanya. Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali apabila mereka dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan kepada anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal mahar. Maka para wali itu pun disuruh untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenanginya selain dari anak-anak perempuan yatim itu.”
Ayat 3 dari surat An Nisa ini turun pada tahun kedelapan setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah setelah meninggalnya Khodijah ra pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan juga setelah beliau saw menikahi seluruh istrinya dan wanita terakhir yang dinikahinya adalah Maimunah pada tahun ke-7 H.
3.             Tafsir Annisa ayat 3 dari Berbagai Ahli Tafsir
a.         Ahmad Musthafa Al-Maraghi
Dari ptongan ayat ini:
النِّسَاءِمِنَ لَكُمْ طَابَ مَا فَانْكِحُوا الْيَتَامَى فِي تُقْسِطُوا أَلَّا خِفْتُمْ وَإِنْ
وَرُبَاعَ وَثُلَاثَ مَثْنَى
Dalam bukunya dia menuliskan bahwa, jika seorang suami merasa takut terhadap dirinya sendiri karena merasa khawatir memakan harta istrinya yang yatim, maka janganlah dia kawin dengannya. Karena sesungguhnya Allah telah memberikan keleluasaan terhadap dirinya untuk tidak menikahi anak yatim, yaitu dengan menghalalkan kamu boleh nikah dengan wanita-wanita selain yatim: satu, dua, tiga, atau empat.
فَوَاحِدَةً تَعْدِلُوا أَلَّا خِفْتُمْ فَإِنْ
Tetapi jika suami merasa tidak akan bisa berbuat adil di antara dua orang istri atau istri-istrinya, maka dia harus memegang satu istri saja. Perasaan takut tidak bisa berbuat adil bisa dirasakan dengan zhan (kepastian) dan (juga) bisa dengan syak (ragu-ragu) terhadapnya. Laki-laki yang diperbolehkan lebih dari satu hanyalah orang yang merasa yakin dirinya bisa berbuat adil terhadap isrti-istrinya nanti. Keyakinan dalam hal itu tidak boleh dicampuri dengan perasaan ragu-ragu.


أَيْمَانُكُمْ مَلَكَتْ مَا أَوْ
Hendaknya kalian mencukupkan hanya dengan seorang istri dari wanita-wanita merdeka, dan bersenang-senganglah dengan wanita yang kamu sukai dari hamba-hamba wanita, karena tidak ada kewajiban berbuat adil di antara mereka. Tetapi, mereka hanya berhak mendapat kecukupan nafkah, sesuai dengan standar yang berlaku di kalangan mereka.
تَعُولُوا أَلَّا أَدْنَى ذَلِكَ
Memilih seorang istri atau mengambil gundik lebih menghindari perbuatan zalim dan aniaya.
Kesimpulannya, bahwa menjaudhi perbuatan zalim adalah dasar disyariatkannya hukum perkawinan. Dalam hal ini terkandung pengertian yang menunjukkan persyaratan adil dan wajib melaksanakannya, dan berbuat adil memang sulit diwujudkan.
Hukum poligami itu diperboleh namun dipersulit secara ketat. Poligami adalah suatu keadaan darurat yang hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkannya, dengan syarat dipercaya menegakkan keadilan, dan aman dari perbuatan yang melewati batas.
b.             Imam Asyaukani
Al Khauf (kekhawtiran) Abu Ubaidah mengatakan, bahwa خفتم  ini bermakna ‘Aiqantum’ (kamu yakin), sementara yang lainnya mengatakan bahwa خفتم ini bermakna ‘zhanaum’ (kamu mengira). Ibnu Athiyah berkata, “inilah yang dipilih oleh orang-orang yang peka, karena ini termasuk kategori dugaan, bukan keyakinan.” Maknanya: siapayang menduga bahwa ia tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim (bilamana menikahinya) maka hendaklah ia meninggalkannya (tidak menikahinya) dan menikahi wanita lainnya.
Kata ما  pada kalimat ما طاب (yang (kamu) senangi) adala maushulah, ما disini berfungsi sebagain من   karena keduanya bisa saling memerankan yang lainnya.makna ayat ini adalah: maka nikahilah perempuan yang baik, yakni yang halal, karena yang haram bukanlah yang baik.kata  من pada kalimat: من النساء (wanita-wanita [lain]) bisa sebagai keterangan dan bisa juga menunjukkan sebagian, karena yang di maksud adalah selain perempuan-perempuan yatim.
  مَثْنَى وَ ثٌلَاثَوَ رُبَاع (dua, tiga, atau empat) ayat ini dijadikan dalil tentang haramnya menikahi perempuan lebih dari empat, para ulama menjelaskan khithab ini berlaku untuk semua umat, dan setiap orang yang menikah boleh memilih jumlah mana saja di antara angka-angka tersebut.
فَا اِنْ خِفْتٌمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً (kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka [kawinilah] seorang saja), sebab, walaupun khithab ini untuk semua orang, namun statusnya setara untuk setiap orang per orang.
Ada juga yang mengatakan, bahwa perkiraannya: maka tetapkanlah, atau : maka pilihlah seorang saja. Pendapat pertama lebih tepat. Maknanya: jika kalian khawatir tiadak dapat berlaku adil di antara para istri dalam giliran dan hal lainnya, maka nikahilah seorang saja.
ذَالك اَدْنَى اَلَّا تَعُوْلُوْا (yang demikian itu adalah lebih deka kepada tidak berbuat aniaya), yakni: untuk tidak berbuat jahat. Makna ayat ini: jika kalian khawatir tidak dapat bersikap adil terhadap istri, maka yang diperintahkan kepada kalian ini adalah lebih dekat daripada bertindak lalim (tidak adil).[1]

c.              Quraish Shihab
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap wanita-wanita selain yang yatim itu, maka nikahilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamau dan halal dari wanita yang lain itu, kalau perlu, kamu dapat menggabungkan dalam saat yang sama dua, tiga atau empat tetapi jangan lebih, lalu jika kamu takut tidak akan dapat berklaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriah, bukan dalam hal cinta bila menghimpun lebih dari seorang istri, maka nikahi seorang saja, atau nikahilah hamba sahaya wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatka ketidak adilan, dan mencukupkan satu orang istri adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan, atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.
Ayat diatas menggunakan kata (تقسطوا) dan (تعدلوا) yang keduanya diterjemahkan adil. Ada ulama yang menyamakannya dan ada yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqsithuu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedangkan  ta’diluu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu, bisa saja tidak menyenagkan salah satu pihak. Kata ما bermaksud menekankan tentang sifat wanita itu, bukan orang tertentu, nama atau keturunannya.[2]
Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya: “Jika Anda khawatir  akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di depan Anda.” [3]
Firman-Nya      ذالك ادنى الّا تعولو  dipahami oleh imam syafi’i dalam arti tidak banyak taggungan kamu. Terambil dari kata  (عال-يعولوا) yang berarti menangggung/membelanjai.[4]

d.             Menurut buku Al-Quran dan Tafsirnya Departemen Agama RI
Menjelaskan bahwa, seandainya kamu tidak dapat berbuat adil atau tidak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain.  Dan kamu pilihlah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu melakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan, serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, tetapi pada dasarnya satu isteri lebih baik.
Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka cukuplah kamu nikah dengan seorang saja, atau memperlakukan sebagai isteri hamba sahaya yang kamu miliki, tanpa akad nikah dalam keadaan terpaksa. Kepada mereka telah cukup apabila kamu penuhi nafkah untuk kehidupannya.
Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat menimbulkan banyak hal yang dapat mengganggu ketentraman rumah tangga.
Manusia dengan fitahnya memerlukan hal-hal yang dapat menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks semata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya Allah memblehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhshah menurut ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami.
Kesimpulannya :
-       Allah membolehkan kaum laki-laki beristri paling banyak empat, dengan konsekwensi tertentu seperti berlaku adil terhadap istri-istrinya.
-       Wajib bagi seorang suami membayar mahar kepada istrinya baik menurut yang telah disepakati, yaitu mahar musamma atau mahar mishil.
-       Apabila istri rela dan mengizinkannya, suami boleh ikut memanfaatkan mahar tersebut.

4.             Hubungan Surat An-Nisa Ayat 3 Dengan Ayat-Ayat Lain

Dalam Masalah Poligami Ini Al-Maraghi Menghubungkan Surat An-Nisa Ayat 3 Dengan Surat An-Nisa Ayat 129.[5]
وَ لَنْ تَسْتَطِيْعُوا اَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِلُوا كُلَّ المَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالمُعَلَّقَةِ وَ اِنْ تُصْلِحُوا وَ تَتَّقُو فَاِنَّ اللَّه كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Ayat ini menegaskan bahwa kamu wahai para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat mewujudkan dalam hati kamu secara terus-menerus keadilan dalam hal cinta di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuaut demikian, karena cinta diluar kemampuan manusia untuk mengaturnya. Karena itu, berlaku adillah sekuat kemampuan kamu, yakni dalam hal-hal yang bersifat material, dan kalaupun hatimu lebih mencintai salah seorang atas yang lain, maka aturlah sedapat mungkin perasaan kamu sehingga  jangan kamu cenderung kepada istri yang kamu cintai dan mendemonstrasikan serta menumpuhkan semua cintamu kepadanya, sehingga kamu biarkan istrimu yang lain terkantung-kantung tidak merasa diperlukan sebagai istri dan tidak juga dicerai sehingga bebas menikah atau melakukan apa yang dikehendakinya. Dan jika kamu setiap saat dan bersinambung  mengadakan perbaikan  dengan menegakkan keadilan yang diperintahkan Allah  dan bertakwa, yakni menghindari aneka kecurangan serta memelihara diri dari segala dampak buruk, maka Allah akan mengampuni pelanggaran-pelanggaran kecil yang kamu lakukan karena sesungguhnya Allah selalu Maha pengampun lagi Maha penyayang.[6]
Berlaku adil dalam ayat diatas hanya selagi masih bisa dilakukan oleh kemampuan manusia, seperti, memberi rumah yang sama, pakaian yang sama, dan sebagainya.sedangkan hal-hal yang diluar kemampuan manusia, seperti kecenderungan hati manusia terhadap seorang istri, tidak terhadap istri-istrinya yang lain. Dalam hal itu, seseorang tidak tidak diwajibkan berbuat adil.[7]   

5.      Mansur, M.Ag Menghubungkan Surat An-Nisa Ayat 3 Dengan Ayat Sebelum Dan Sesudahnya
و اتوا اليتمى اموالهم و لا تتبدلوا الخبيث بالطيب و لا تاكل اموالهم الى اموالهم انه كان حوبا كبيرا. وان خفتم الا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى و ثلاث و ربع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة او ما ملكت ايمنكم ذلك ادنى الا تعولو

Mansur, M.Ag menawarkan terjemahan ayat tersebut sebagai berikut:
“ Dan berikanlah harta kepada anak-anak yatim (ketika sudah dewasa) harta mereka, jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya tindakan (menukar dan memakan ) itu, adalah dosa besar (2) Dan jika kamu khawatir tidak bisa sukses (memelihara) anak-anak yatim iu, maka kawinilah yang suka terhadap kamu dari perempuan-perempuan itu (ibu mereka); dua, tiga, dan empat, dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil (antara mereka dan anak-anak kamu) maka cukuplah dengan satu isri, atau dengan budak yang kamu miliki, hal itu             akan lebih dekat dengan terbebani (dengan banyak anak yang harus kamu pelihara). (3)”[8]
Pada  ayat ke 4 yang juga sering dikaitkan dalam pembicaraan poligami. Ayat ini, dengan pemaknaan yang perspektif perempuan, meupakan peringatan terhadap pasangan suami istri yang sedang mengalami persoalan. Biasanya sang suami dalam menghadapi persoalan ini cenderung kepada perempuan lain dan ingin berpoligami. Ayat ini sebenarnya memperingatkan para suami yang seperti itu untuk tidak berpoligami, karena ia tidak akan bisa bebuat adil terhadap perempuan-perempuan yang akan dipoligami. Solusi yang ditawarkan Al-Qur’an adalah mengupayakn hubungan antara  suami dan isteri, kemudian saling menjaga diri. Kalau masih susah, solusi yang paling pahit adalah bercerai.[9]



















KESIMPULAN


Dari pembahasan penyusunan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa surah Annisa ayat 3 termasuk salah satu ayat yang menjadi landasan hukum poligami. Jika dibandingkan dengan dalil ayat poligami lainnya, maka tafsiran ayat ini juga berbeda. Apalagi jika dilihat dari asbabun nuzulnya.
Kandungan dari ayat ini lebih mengarah kepada keadilan bagi wanita yang statusnya yatim, ketimbang dengan dalil poligami secara keseluruhan. Dari sinilah perlu dibedakan agar tidak menjadi kesalah pahaman diantara kita tentang hukum poligami keseluruhannya. Sehingga ayat ini tidak hanya menganjurkan poligami, tidak pula melarangnya, namun lebih kepada keadilan terlebih kepada yatim perempuan.



[1] Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, jilid 2 (Jak-Sel: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 669-675
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an,  vol.2, cet.II (Tangerang: Lentera Hati, 2005) hal. 338-339
[3] Ibid, hal. 341
[4] Ibid, hal. 345
[5] Syekh Ahmad Musthafa Al Maghribi, Terjemah Tafsir al Maghribi, jilid.4(bandung: Toha Putra, 1987) hal. 326
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an,  vol.2, cet.II (Tangerang: Lentera Hati, 2005) hal.606-607
[7] Syekh Ahmad Musthafa Al Maghribi, Terjemah Tafsir al Maghribi, jilid.4(bandung: Toha Putra, 1987) hal.326
[8] Mansur, M.Ag, metodologi tafsir kotemporer menimbang tawaran metodologi tafsir emansipatoris, cet.2 (yogyakarta: interpena, 2011) hal. 40
[9] Ibid, hal.42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar