Jumat, 06 Maret 2015

Biografi Imam Ahmad bin Hanbal



A.       Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
                Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama mujtahid mutlak dari empat ulama besar yang dianut oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Keempat imam ini yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi’i dan beliau, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Adapun kisah perjalan hidup beliau adalah sebagai berikut:
1.        Nasab dan Kelahiran Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal  bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qasath bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il bin Qasith bin Hanab bin Qushay bin Da’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazzar bin Ma’d bin Adnan.
 Ahmad bin Hambal adalah orang arab keterunan bani Syayban  dari Rabia, yang memegang peranan penting menaklukkan Irak dan Khurasan (Afganistan), dia lahir di Baghdad pada tanggal 1 Rabiwulawal 164 H, atau sekitar bulan Desember tahun 780. Kakeknya Hambal bin Hilal, Gubernur Saraks, berdiam di Merv di bawah Umayyah. Ayahnya Muhammad bin Hanbal, pegawai tentara kerajaan, kemudian pindah ke khurasan, dan wafat disana 3 tahun kemudian. Imam Ahmad menjadi yatim piatu dalam usia muda sekali, dan Mewy6arisi perkebunan keluarga dengan penghasilan yang lumayan. Ibu dan bapak beliau pada masa mudanya bertempat tinggal di Marwin wilayah Khurasan (Asia Tengah).
2.        Sifat-sifat Imam Amad bin Hanbal
Ibnu Dzuraih Al-Kabari berkata: “Aku pernah mencari Ahmad bin Hanbal, setelah bertemu dan mengucapkan salam padanya, maka aku melihat bahwa dia adalah seorang syaikh yang selalu bercelak dan berkulit sawo matang agak kemerah-merahan.
Dari Muhammad bin Abbas An-Nahwi, dia berkata: “Aku pernah melihat Ahmad bin Hanbal, dia berwajah tampan, berbadan sedang, bercelak dan jenggotnya berwana hitam. Dia mengenakan pakaian dari kain kasar yang berwarna putih dengan sorban di kepala dan selendang di pundaknya.
Al-Maimuni berkata: “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih bersih bajunya, dan lebih perhatian terhadap dirinya ketika menata rambut, kumis dan badannya daripda Imam Ahmad bin Hanbal.”
3.        Perjalanan Imam Ahmad bin Hanbal dalam Menuntut Ilmu
Al-Ulaimi berkata yang ringkasnya adalah sebagai berikut: “Sejak kecil Ahmad bin Hanbal sudah menampakkan tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai berbagai disiplin ilmu dan banyak menghafal hadist, ibunya mengambilkan baju untuknya sambil berpesan, “Tunggulah sampai terdengar adzan atau sampai orang-orang keluar diwaktu pagi.”
Dia telah menempuh rihlah (perjalanan untuk mencari ilmu) keberbagai negara, seperti: Kufah, Basrah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, daerah-daerah pesisir, Morokko, Al-Jazair, Al-Faratain, Persia, Khurasan daerah pegunungan serta kelembah-lebah dan lain sebagainya.
Yahya berkata: “Ketika kami pergi berguru kepada Abdurrazzaq di Yaman, maka terlebih dahulu kami melaksanakan ibadah haji. Disaat aku sedang thawaf, tiba-tiba aku melihat Abdurrazzaq juga sedang berthawaf sehingga aku lalu mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah aku perkenalkan Ahmad bin Hanbal kepada Abdurrazzaq, maka Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad bin hanbal, “Semoga Allah memberikan umur panjang dan menetapkan langkahmu dalam kebaikan. Sesungguhnya telah sampai kepadaku kabar tentang dirimu yang kesemuanya adalah kabar baik.
Aku (Yahya) katakan kepada Ahmad bin Hanbal. “Allah telah mendekatkan apa yang menjadi tujuan kita. Apabila kita meminta hadist riwayat Abdurrazzaq di sini, maka perbekalan kita tentu tersisa banyak daripada kita menemuinya dirumahnya yang akan menelan perjalan satu bulan.”
Ahmad bin Hanbal lalu menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan merubah niatku. Dari bahgdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadist dari abdurrazzaq di Shan’a. Kita harus menempuh perjalan untuk bertemu Abdurrazza disana.”
4.        Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal
Sebagaimana telah disebutkan Al-Khathib diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah Ismail bin Ulaiyah, Husyaim bin Busyair, Hammad bin Khalid Al-Khayyad, Mansur bin Salamah Al-Khaza’i, Al-Mudhaffar bin Mudrak, Ustman bin Umar bin Faris, Abu An-Nadhr Hasyim bin Al-Qasim, Abu Said Maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid, Yazid bin Harun Al-Wasithiyin, Muhammad bin Abi Adi, Muhammad bin Ja’far Ghundar, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi Bisyr bin Al-Mufadhdhal, dan Muhammad bin Bakar Al-Barsani.
Juga tercatat sebagai gurunya; Abu Dawud Ath-Thayyasali, Ruh bin Ubadah, Waqi’ bin Al-Jarrah, Abu Muawiyah, Adh-Dharir, Abdullah bin Numair, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Salaim, Ath-Tha’ifi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ibrahim bin Sa’ad Az-Zuhri, Abdurrazzaq bin Hammam, Abu Qurrah bin Thariq, Al-Walid bin Muslim, Abu Mashar Ad-Dimasyqi, Abul Yaman, Ali bin Ayyasy dan Basyr bin Syuib bin Abi Hamzah Al-Himsyiyin.
5.        Keilmuan dan Karya Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam Abu Zu’ah, Imam Ahmad bin Hanbal menghafal 1.000.000 (satu juta) hadist. Kemudian hadist-hadist yang beliau hafal itu sesudah disaring dan disaring lagi bermacam-macam lagi, maka yang dituliskan dalam kitab Musnadnya adalah sebanyak 40.000 (empat puluh ribu) hadist, tetapi kalau dikurangi dengan hadist-hadist yang dituliskan berulang-ulang, maka yang tinggal adalah sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu) hadist.
Dia juga mempunyai karya kitab yang lain semisal: At-Tafsir yang memuat 120.000 (seratus dua puluh ribu) hadist, An-Nasikh wa fi l-Qur’an, Jawabat Al-Qur’an, Al-Manasik, Al-Kabir wa Ash-Shaghir dan lain-lain.
6.        Dakwah dan Ujian yang Dialami Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang yang memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. beliau sangat membenci orang-orang yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad juga menyuruh kepada setiap kaum muslimin untuk tetap diatas Sunnah dan menjauhi bid’ah.
Imam Ibnu Baththah menuturkan dari Ubaidillah bin Ahmad, katanya: “Berpegang teguhlah kamu dengan Sunnah Nabi Saw. Allah akan memberikan manfaat kepadamu. Dan hidarilah perdebatan dalam masalah agama, karena orang-orang yang menyukai ilmu kalam tidak akan beruntung. Orang yang membuat perdebatan dalam kalam, ujung-ujungnya adalah membuat bid’ah, karena ilmu kalam tidak membawa kepada kebaikan. Saya tidak menyukai ilmu kalam, apalagi ikut perdebatan.
Kamu harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. pendapat-pendapat para shahabat, fiqih yang dapat kamu manfaatkan. Tinggalkanlah perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok. Orang-orang yang saya temui ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli kalam, mereka juga menjauhi para ahli kalam. Kalam itu adalah akhir-akhirnya tidak baik. Semoga Allah menjaga kita dari fitnah (ujian hati), menyelamatkan kita dari kehancuran.”
Pada pemerintahan Al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah), beliau dipenjara, karena berbeda pendapat dengan penguasa dalam hal apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan. Al-Muktasim berkata: “Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Al-Qur’an adalha firman Allah yang Qadim dan bukan makhluk. Allah berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (Q.S. At-Taubah: 6)
                Al-Ma’mun bertanya lagi, “Apakah kamu mempunyai hujjah yang lain?” Dia menjawab, “Ada, yaitu firman Allah yang berbunyi:
الرَّحْمَنُ. عَلَّمَ الْقُرْآنَ
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an.” (Q.S. Ar-Rahman: 1-2)
                Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, “(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah menciptakan Al Qur'an.” Allah juga berfirman:
يس. وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ
“Yaa Siin. Demi Al Qur'an yang penuh hikmah.”(Q.S. Yasiin: 1-2)
                Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, “Yasiin. Demi Al-Qur’an yang makhluk.”
7.        Murid-Murid Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal adalah ulama besar yang memiliki ilmu yang banyak, baik dalam ilmu hadist, ilmu fiqih dan disiplin ilmu lainnya. Orang-orang berbondong-bondong untuk menuntut ilmu kepada beliau.
Al-Mizzi menyebutkan dalam kitab Tahzib Al-Kamal bahwa terdapat 88 (delapan puluh delapan)  diantara murud Imam Ahmad bin Hanbal yang mererupakan guru-gurunya adalah, yaitu: Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Waqi’ bin Al-Jarrah, Yahya bin Adam, dan Yazid bin Harun. Orang-orang seangkatan dengan dirinya adalah; Ali Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Duhaim Asy-Syami, Ahmad bin Abi Al-Harawi dan Ahmad bin Shalih Al-Mashri.
Termasuk para muridnya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Adam, dan Abu dawud. Pengikut mazhab hanbali yang terkenal adalah: Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
8.        Detik-detik Wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
Shaleh berkata: ketika hari pertama bulan Rabiul Awal tahun 241 Hijriyah, hari sabtu ayahku merasakan demam yang tinggi sehingga ketika tidur dia susah sekali bernafas. Aku sudah mengetahui penyakit yang dikeluhkannya karena aku selalu merawatnya ketika  kambuh.
Hari ini adalah hari selasa, sementara ia meninggalnya adalah hari jum’at. Ayah berkata kepadaku, “Wahai shaleh,” lalu aku menjawabnya, “Iya. Ada apa ayah?” Dia berkata lagi, “Janganlah kamu menjadi berubah sedih baik di rumahmu maupun di rumah saudaramu.” Kemudian Al-Fath bin Sahl yang ada didepan pintu untuk menjenguknya merahasikan kedatangannya, lalu juga Ali bin Al-Ja’d datang dan juga merahasiakan kedatangannya dan akhirnya banyak orang yang datang.
Waktu itu ada seorang tetangga kami datang membesuk, lalu ayahku berkata, “Sesungguhnya aku melihatnya menghidup-hidupkan sunnah.” Ayahku gembira dengan kedatangannya sehingga dia menggerak-gerakkan bibirnya. Sampai waktu itu, ayahku masih melakukan shalat dengan berdiri dan aku membantunya. Dia melaksanakan ruku’, sujud dan juga kembali dari ruku’ dengan sadar betul, karena akalnya masih normal.
Namun pada malam jum’at, tanggal 12 rabiul awal, tepatnya selang dua jam setelah siang hari tampak, ayahku menghembuskan nafas terakhinya.
B.       Dasar Pegangan dan Metode Istimbath Imam Ahmad bin Hanbal
Sabagaimana para imam lainnya dalam berijtihad, mereka menggunakan dasar-dasar pegangan dalam berijtihad, teruma adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. karena kedua landasan ini tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan sebuah hukum syar’i. Demikian dengan Imam Ahmad bin Hanbal beliau juga memiliki dasar-dasar pegangan dan metode ijtihat tersendiri dalam menetapkan sebuah hukum syar’i.
Dasar atau sumber dalam ijtihad mazhab hanbali adalah:
1.        Al-Qur’an
2.        Sunnah, terutama yang marfu’, yaitu bersumber langsung sampai Rasulullah Saw.
3.        Qaul shahabi, yaitu pendapat shahabat yang tidak diperselisihkan, atau menurut ulama lain disebut dengan ijmak shahabat.
4.        Hadist Mursal, yaitu hadist yang lemah kualitasnya.
5.        Qiyas, sebagai alternatif terakhir jika tidak ditemukan dalil melalui sumber-sumber sebelumnya.
1.        Al-Qur’an
a.        Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, kata Al-Qur’an adalah mashdar, kata dasar, seperti halnya qira’ah. Contoh, qara’tul kitaba qira’atan wa qur’anan.  Contoh lain dalam firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Sesungguhwqnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah: 17).
                Qur’anahu artinya qira’atuhu, yaitu membaca.
Secara terminologi, Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw. sebagai wahyu, ditulis dalam mushaf, terjaga didalam dada, dibaca lisan, didengar telinga, dinukil secara mutawatir kepada kita, tidak ada keraguan di dalamnya, dan membacanya bernilai ibadah.
b.        Kedudukan Al-Qur’an menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Para ulama ijmak bahwa Al-Qur’an berkedudukan paling tinggi dalam ajaran islam, yakni menempatkannya pada sumber pertama dalam mengambil suatu hukum dari permasalahan yang ada. Tidak boleh menetapkan sebuah hukum tanpa merujuk kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bersifat universal, absolut dan fundamental. Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, dengan demikian Al-Qur’an memiliki posisi yang utama, karena tidak akan terjadi kesalahan dan pertentangan didalamnya, dan tidak boleh mengkritisi Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an bukan makhluk. Maka beliau memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum.
2.        Sunnah Rasulullah Saw.
a.        Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti jalan yang tempuh, adat kebiasaan seseorang, baik terpuji maupun tercela (الطريقة المسلوكة). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nur Al-Din ‘Athar:
السيرة والطريقة المعتادة حسنة كانت أو قبيحة
“Adat kebiasaan yang baik ataupun yang jelek”
                Sementara itu dalam ayat Al-Qur’an dinyatakan bahwa:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu.” (Q.S. Al-Anfal: 38)
                Sementara pengertian sunnah menurut para muhadditsin adalah:
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية
أو خلقية سيرة سواء أكان ذلك قبل البعثة أو بعدها
“Segala yang bersumber dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan , taqrir, perangai,budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya.”
b.        Sunnah sebagai pegangan menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa mencari apa yang ada dalam Al-Qur’an, haruslah melalui sunnah. Orang yang mencari hukum dalam Al-Qur’an tidak melalui as-sunnah adalah sesat jalannya. Hal itu disebabkan oleh:
1.        Al-Qur’an mengharuskan kita mengikuti rasul, mengikuti Rasul adalah mengikuti sunnahnya.
2.        Diantara hadist-hadist, ada hadist yang mengharuskan kita mengikuti Rasul dan melarang dan melarang kita untuk melihat Al-Qur’an saja dengan membelakangi sunnah.
3.        Hukum yang telah diijma’i oleh kaum muslimin banyak yang diambil dari sunnah, maka meninggalkan sunnah berarti menghilangkan 9/10 dari hukum islam.
Dengan demikian, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, mengikuti sunnah adalah sebuah kewajiban dalam agama ini, karena makna dari dua kalimat syahadat adalah pertama, untuk mengikuti petunjuk Allah. Kedua, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Saw. Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah, sebagaimana Allah berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
 Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisaa’: 65)
Allah Ta’ala juga berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Q.S. An-Nisaa’: 80)
                Oleh sebab itu, Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan Sunnah sebagai pegangan dalam menetapkan sebuah hukum.
c.        Kedudukan Sunnah menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Peran As-Sunnah dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1.        As-Sunnah sebagai Pentafsir Al-Qur’an
Imam Ahmad bin Hanbal menandaskan bahwa As-Sunnah adalah pentafsir Al-Qur’an. Maka tidak ada kemungkinan ada pertentangan antara dhahir Al-Qur’an dengan As-Sunnah, karena dhahir Al-Qur’an harus disesuaikan dengan kandungan As-Sunnah.
Imam Ahmad bin Hanbal telah menyusun sebuah Risalah untuk menolak pendirian sebagian orang yang hanya mengambil dhahir Al-Qur’an, dan meninggalkan As-Sunnah. Dari uraian Imam Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Risalah itu, kita dapat menanggapi hal-hal tersebut dibawah ini:
a.        Dhahir Al-Qur’an tidak didahulukan atas As-Sunnah
b.        Rasulullah adalah pentafsir Al-Qur’an, tidak boleh seseorang menafsirkan Al-Qur’an tanpa As-Sunnah.
c.        Tafsir para shahabat yang harus kita terima, dalam menafsirkan Al-Qur’an, apabila kita tidak menemukan atsar Nabi Saw., sebab mereka menyaksikan Asbab An-Nuzul Al-Qur’an dan mengetahui sunnah Rasulullah Saw. dengan baik.
2.        As-Sunnah sebagai produk hukum
Dalam menetapkan sebuah hukum, Imam Ahmad bin Hanbal sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Apabila suatu permasahalan timbul dalam masyarakat, beliau terlebih dahulu mencarinya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ditemukan, maka akan melihat kepada As-Sunnah. Seperti menetapkan hukum wajib, sunat, makruh, haram dan lain sebagainya.
d.        Macam-Macam Hadist menurut Kuantitasnya
Para ulama membagi hadist ditinjau dari sanad kepada: mutawatir, manshur atau mustafild, ahad dan hadist yang tidak muttasil.
1.        Hadist Mutawatir
Para ulama mendefinisikan hadist mutawatir adalah sebagai berikut:
مَايُرْوَى عَنْ قَوْمٍ لَا يُحصَى عَدَدُ هُمْ وَلَا يَتُوَ هَّمْ تًوَ اَطَؤُ هُمْ عًلى الكَذِبِ بِكَثْرَتِهِمْ وَعَدَا لَتِهِمْ وًتَبَا يُنِ امَا كِنِهِمْ، ويَدُوْ مُ هَذَا الحَدُّ فَيَكُوْنُ اَخِرُهُ وَأَوْ سَطُهُ كَطَرَ فَيْهِ
“Yang diriwayatkan dari segolongan orang yang tidak terbatas bilanganya dan tidak diduga mereka bersepakat membuat kedustaan, karena mereka berjumlah banyak, serta adil dan berbeda-beda tempat. Batas ini terus menerus diperoleh hingga tingkat terakhir dan tingkat pertengahan sama dengan awal dan akhirnya.”
                Hadist mutawatirbil ma’na, diakui banyak jumlahnya, sedangkan mutawatir lafadhzi sedikit sekali jumlahnya. Hadist mutawatir, memfaedahkan yakin.
2.        Hadist Masyhur (mustafidl)
ما يَكُوْنُ الطَبَقَةُ الأُوْلَى، طَبَقَةُ الصَّحَابَةِ أوِ الثَّا نِيَّةُ طَبَقَةُ التَّا بِعِيْنَ فِيْهَا أحَادًا ثُمَّ تَنْتَشِرُ بعد ذلكَ وينْقُلُهَا قَوْمٌ لَا يَتَوَهَّمُ تَوَا طَؤُ هُمْ عَلَى الكَذِبِ
“Riwayat tingkat pertamanya adalah shahabat atau yang tingkat kedua tabi’in, terdiri atas beberapa orang saja, kemudian barulah tersebar dan dinukilkan oleh segolongan orang yang tidak disangka bersepakat membuat kedustaan.”
3.        Hadist Ahad
Menurut Imam Asy-Syafi’i, hadist ahad adalah
كل خَبَرٍ يَرْوِيْهِ الوَاحِدُ أوْالإثْنَانِ أوْ أكْثَرَ مِنْ ذَالكَ ولا يَتَوَافَرُ فِيْهِ سَبَبُ الشُهْرَةِ
“Segala hadist yang diriwatkan oleh seorang saja atau dua orang atau lebih dari itu tetapi tiada sempurna padanya sebab kemasyhurannya.”
                Menyandarkan hadist ini kepada Rasul adalah atas dasar yakin. Karenanya semua para ulama menggunakan hadist ahad dalam bidang amaly, tidak dalam bidang ‘aqidah. Demikianlah pendapat jumhur terhadap hadist ahad. Imam Ahmad bin Hanbal mempergunakan hadist ahad dalam kedua bidang bidang ini, baik dalam bidang amal maupun dalam bidang i’tiqad.
                Imam Ahmad bin Hanbal dari Risalahnya kepada musaddad ibn Musarhad berkata:
المزان حقٌّ، والصراط حقٌّ، والإيمان بالحوض، والشفاعةُ حقٌّ، والإيمان بالعرشِ والكرسي، والإيمان بملكِ الموتِ وأنه يقْبضُ الأرواحَ، ثم يردُّ الأرواحَ إلى الأَ جْسادِ، والإيمان بالنفحِ فى الصورِ، والدّجّالُ خارجٌ فى هذه الأُمّةِ وينْزِلُ عيسَ ابن مريم فيقتلهُ
 “Timbangan itu benar, titian shirathal mustaqim itu benar, iman kepada kolam dan syafa’at itu benar, iman kepada arsy dan kursi dan iman kepada malaikat maut dan bahwa malaikat itu menggenggap jiwa kemudian mengembalikannya kepada tubuh, iman kepada tiupan sangka kala, dajjal akan keluar dalam kalangan ummat ini dan akan turun Nabi Isa ibn Maryam lalu membunuh dajjal itu.”
                Kebanyakan kepercayaan yang tersebut ini ditemukan dalam hadist-hadist ahad.
e.        Macam-Macam Hadist menurut Kualitasnya
1.        Hadist Shahih
Secara bahasa, arti shahih adalah sehat. Lawan dari kata saqiyun (sakit). Shahih juga berarti haq (benar), lawan dari kata bathil. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadist, hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya, dinukilkan/ diriwayatkan dari orang (perawi) yang adil dan dhabit (kuat hafalannya), selamat dari syadz dan ‘illat qhadhihah (cacat yang dapat mencela hadist itu sendiri).
2.        Hadist Hasan
Secara bahasa, hasan berarti “Yang diinginkan/ disenangi.” Sedangkan menurut terminology ilmu hadist, hadits hasan dalam pandangan ahli hadist adalah hadist yang sanadnya bersambung, para perawinya bersifat ‘adil, tetapi kurang sedikit sifat kedhabitannya (khaffif Al-Dhabit), tidak terdapat syadzudz dan ‘illat.
3.        Hadist Dha’if
Secara bahasa, dha’if artinya lemah, lawan dari kata qawy yang berarti kuat. Dalam istilah hadist, hadist dha’if adalah hadist yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat hadist shahih ataupun hadist hasan. Definisi lain mengatakan, hadist dha’if  adalah hadist yang sanadnya terputus atau diantara perawinya terdapat perawi yang cacat.
3.        Qaul Shahabi (perkataan para shahabat)
a.        Perngertian Qaul Shahabat
Qaul shahabi adalah pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh para shahabat mengenai suatu permasalahan. Sedangkan shahabat adalah orang yang hidup pada zaman Rasulullah dan beriman kepada Rasulullah sampai ia wafat masih dalam keadaan beriman.
b.        Kedudukan Qaul Shahabat Menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal mempelajari koleksi fiqh yang diriwauatkan dari Rasulullah, mempelajari hukum-hukum yang dinukilkan dari Rasul, mempelajari hukum-hukum dan keputusan-keputusan shahabat, baik yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. maupun dari ijtihad. Majmu’ah itu semuanya madrasah fiqhiyah yang dipelajari Ahmad dalam menginstimbatkan hukum, dengan ushul-ushul yang telah dipelajari dari Imam Asy-Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hanbal memperoleh sekumpulan besar dari Majmu’ah Al-Fiqhiyah yang diriwatkan dari Nabi dan dari shahabat. karenanya fatwa para shahabat dipandang hujjah yang mengiringi hadist Rasul, dan mendahulukan hadist mursal dan hadist dha’if atas qiyas. Semua ulama menerangkan Mazhab Ahmad bin Hanbal menandaskan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mangamalkan fatwa shahabat.
c.        Qaul Shahabat Menurut Imam Ahmad bin Hanbal
1.        Fatwa Shahabat
Dalam fatwa shahabat ini, Imam Ahmad bin Hanbal membagi kepada dua pembagian:
a.        Fatwa shahabat yang tidak diketahui ada yang menyalahinya
Jika ada seorang shahabat memberikan fatwa, kemudian tidak diketahui apakah ada shahabat lain yang menyelisihi shahabat ini, maka ini tidak dikatakan ijmak. Imam Ahmad bin Hanbal hanya mengatakan:
لَاأَعْلَمُ فِيْهِ شَيْئًا يَدْفَعُهُ
“Aku tidak mengetahui terhadapnya sesuatu yang menolaknya”
                Oleh karenanya, Imam Ahmad bin Hanbal menerima Shahadatul ‘abdi (persaksian seorang budak), Anas mengatakan:
لَاأَعْلَمُ اَحَدًارَدَّ شَهَاةَالعَبْدِ
“Aku tidak mengetahui ada seorang yang menolak kesaksian hamba (budak)”
b.        Pendapat salah seorang shahabat
Apabila para shahabat berbeda pendapat, maka Imam Ahmad bin hanbal memilih salah satunya yang lebih dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Jika tidak dapat memilih salah satunya, tidak dapat memilih mana pendapat yang lebih dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw., maka Imam Ahamad bin Hanbal meriwayatkan kedua-dua pedapat tersebut.
4.        Hadist Mursal dan hadist dha’if
a.        Pengertian Hadist Mursal dan hadist da’if
Hadist mursal adalah hadist yang terputus sanadnya, sanadnya hanya sampai shahabat atau tabi’in, tetapi ini dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw. Imam Ahmad bin Hanbal mengambil hadist mursal ini hanya dari orang-orang yang sudah dipercaya, bahwa ia tidak pernah berbohong, dan tidak mungkin ia berbohong.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa hadist dha’if adalah hadist yang lemah periwatannya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan hadist dhai’if disini ialah hadist dalam tingkatan hasan. Karena pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal belum ada ada istilah hadist hasan. Maka yang dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan bukan hadist dhai’if yang dianggap sekarang.
Mansur, S.Ag., M.Ag, mengatakan: istilah hadist hasan baru dikenal setelah masa Imam Turmudzi dengan kitab Sunannya. Pada masa Al-Bukhari dan Muslim hanya dikenal dua istilah katagori hadist, shahih dan dha’if. Dengan demikian, yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan ligharih, yakni hadist yang dahulunya dha’if, tetapi setelah masa Imam Ahmad bin Hanbal dikatagorikan hadist ini dalam hasan ligharih. Maka yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan bukan hadist dha’if.
b.        Kedudukan Hadist Mursal dan Hadist Dha’if menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal berlaku keras dalam menerima hadist yang berkenaan dengan halal dan haram. Dia hanya menerima hadist dha’if hanya dalam bidang targhib, fadhail, maghazi, dan tarhib. Imam Abu Dawud menuturkan:
يُعْمَلُ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ في بَابٍ حَدِيْثٌ صَخِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ
“Hadist dha’if diamalkan apabila tidak ada dalam bab yang dihadapi susuatu hadist shahih atau sesuatu hadist hasan.”
                Pendapat ini yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan sebuah hukum, apabila ia tidak menemukan pendapat para shahabiDengan demikian pendapat shahabi lebih di dahulukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketimbang hadist dha’if.
                Para ulama telah bersepakat bahwa hadist dha’if tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hadist dha’if dapat diamalkan dalam masalah nasihat, tetapi pendapat ini lemah. Jadi, yang perlu dicatat disini adalah bahwa hadist dha’if yang yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist yang telah dihukumi hasan pada zaman sekarang. Para ulama ijmak, bahwa hadist hasan dapat dijadikan hujjah, maka ini tidak bertentangan dengan yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
                Syaikhul Islam Ibnu Taimaiyah, berkata: “Hadist dha’if yang diterima oleh Imam Ahmad bin Hanbal ialah hadist yang dapat ditingkatkan ke derajat hasan.”
5.        Qiyas
a.        Pengertian Qiyas
Qiyas dalam fiqh islam adalah:
اِلحَقُ أمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَي حُكْمِهِ بِاأمْرِاخَرَ مَنْصُوْصٍ علي حُكْمِهِ لاِشْتِرَ ا كِهِ في الوَصْفِ المُجِبِ للحُكْمِ

“Menghubungkan sesuatu urusan yang tidak di nashkan hukumnya dengan urusan lain yang di nashkan hukumnya, lantaran keduanya sama pada sifat yang diwajibkan hukum itu.”
                Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
إن القياس لفظٌ مجملٌ يدخل فيه القياس الصحيحُ والقياسُ الفاسدُ، فالقياس الصحيح هوالذ ى وزن به الشريعة، وهو الجمع بين المتما ثلين والفرقُ بين المختلفين، والأول قياس الطرد، والثان قياس الع

“Qiyas adalah lafal yang mujmal, masuk kedalamnya qiyas yang benar dan qiyas yang fasid. Qiyas yang benar ialah yang dibenarkan syara’, yaitu mengumpulkan antara dua yang serupa dan memisahkan dua yang berlawanan. Pertama, dinamakan qiyasuth hardi, dan yang kedua, dinamakan dinamakan qiyasul ‘aksi.
b.        Kedudukan Qiyas menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qadamah dalam kitab Ar-Raudhah berkata:
لايستغني أحد عن قيا
“Tidak ada seorangpu yang tidak perlu kepada qiyas”
                Jika ada yang mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menggunakan qiyas, maka qiyas yang ditolak oleh beliau ialah qiyas dimana pada saat tersebut terdapat dalil yang menjelaskannya.
                Imam Ahmad bin Hanbal, walaupun tergolong kepada ulama yang menggunakan qiyas, namun ia tidak banyak menggunakannya. Ia hanya menggunakan qiyas benar-benar pada waktu darurat., tidak ada dalil-dalil lain yang menjelakannya. Dalam hal ini Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Khalil deterangkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
سألت الشافعي عن القياس، فقا: إنما يصار راليه عند الضرورة
“Saya bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang qiyas, maka beliau menjawab, hanya sanya dipegangi qiyas itu ketika darurat.
c.        Rukun-Rukun Qiyas
1.        Asl (Maqis alaih),  yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadist.
Contoh: mengeluarkan zakat fitrah dengan gandung satu sha’.
2.        Furu’ (Maqis), yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya.
Contoh: berzakat fitrah dengan jagung.
3.        Hukm Asl, yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
Contoh: zakat fitrah dengan gandung adalah boleh, berdasarkan hadist:
“Bahwasanya Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah kepada ummat islam pada bulan Ramadhan (sebanyak) satu sha’ kurma atau gandung untuk setiap orang, baik yang merdeka  atau budak, laki-laki maupu perempuan.” (H.R. Muslim).
4.        Illat, yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat sifatnya nyata dan dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Contoh: terdapat kesamaan sifat antara gandung dengan jagung, yaitu fungsinya sebagai makanan pokok bagi masyarakat. Keduanya termasuk jenis biji-bijian yang mengenyangkan.
                Selain dari lima dasar dan metode ini, ada juga beberapa dasar dan metode istimbath yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu:
6.        Istishhab
Landasan qiyas yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah istishhab. Menurut Asy-Syaukani, istishhab adalah sebagai berikut:
معني الإستصحابِ، أنّما ثبت في الزمان الماصنى فاالأصل بقاؤه في الزمان الحاضر والمستقبل
“Arti istishhab adalah bahwasanya apa yang telah ada di masa yang telah lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada di masa sekarang dan dimasa yang akan datang.”
                Ulama membagi metode istishhab kedalam lima katagori:
a.        Istishab hukmi al-ibahah al-asliyyah, yaitu menetapkan bahwa hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menyatakan keharamannya. Misalnya: tanah dihutan adalah milik bersama ummat manusia sampai ada bukti ada kepemilikannya.
b.        Istishab al-wasful tsabit li al-hukmi hatta yutsbitu khilafah, yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Musalnya: suatu benda milik seseorang sampai ada transaksi yang mengakibatkan berpindah kepada orang lain.
c.        Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sampai ada dalil yang mengkhususkannya atau menasakhnya. Misalnya: perintah wajibnya puasa (Al-Baqarah: 183), maka wajib kepada ummat islam dan sebelum islam, selama belum ada nash yang menghapusnya.
d.        Istishhab terhadap hukum akal sampai datangnya hukum syara’. Misalnya: dalam masalah gugatan. Seorang penggugat wajib mengemukakan saksi dan bukti gugatannya, jika tidak, maka tergugat akan terbebas dari gugatan.
e.        Istishhab terhadap hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijmak. Misalnya: orang yang hendak shalat namun tidak menemukan air wudhu’, kemudian dia bertayamum. Ketika sedang shalat ia melihat air, maka ulama Hanifiyah dan Hanbilah berpendapat, orang tersebut harus membatalkan shalatnya untuk berwudu’.
7.        Marsalah Mursalah
Ulama ushul menetapkan bahwa Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada maslahat. Imam Ahmad bin Hanbal melihat bahwasanya fatwa para shahabat didirikan atas dasar maslahat. Tindakan shahabat ini dituruti Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mendasarkan Siyasah Syar’iah kepada maslahat. Fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hanbal yang berdasarkan siyasah syar’iah banyak benar, seperti menambah bilangan cambukan atas si peminum arak, dan mendera orang yang mecela shahabat.
                Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan pemerintah memaksa orang yang mempunyai rumah, memberi tempat dirumahnya kepada orang yang tidak mempunyai tempat tinggal (gelandangan). Dan boleh juga mengendalikan harga barang. Maslahat yang dihargai Imam Ahmad bin Hanbal adalah maslahat yang sesuai dengan maksud syara’ dan tidak berlawanan sesuatu dasar atau dengan suatu dalil, dan maslahat itu dapat pula dijangkau oleh akal, diterima oleh ahli-ahli akal, serta tujuan mengambilnya haruslah untuk menghindarkan kesulitan magi masyarakat.
8.        Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa saddudz dzari’ah berarti melarang jalan menuju kepada sesuatu.  Para ulama mendefinisikannya dengan, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan. Jika ada suatu perbuatan baik, namun dapat terjadinya kerusakan, maka menurut metode ini perbuatan tersebut harus dicegah dan dilarang.
Beberapa contoh fatwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam menggunakan metode saddudz dzari’ah adalah:
1.        Imam Ahmad bin Hanbal tidak menyukai orang yang berbelanja pada penjual (toko) yang sengaja memurahkan harga barangnya untuk menghalangi para pembeli pergi ke toko sebelahnya.
2.        Imam Ahmad bin Hanbal melarang mejual senjata kepada kaum pembegal. Masuk kedalamnya segala penjualan yang menghasulkan maksiat, seperti menjual sentaja untuk memerangi ummat, kaum bughah (pemberontak), menyewakan (toko/rumah) untuk tempat judi, dan seperti mengadakan tempat-tempat hiburan yang diharamkan.
3.        Biografi Imam Abu Hanifah
4.                        Imam Abu Hanifah memiliki nama lengkap Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al-Taimy, namun lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Beliau lahir di Kuffah pada tahun 80 H/699 M dan wafat di Bagdad tahun 150 H/767 M. Dan beliau merupakan salah satu keturunan dari persia.
5.                        Dalam suatu riwayat, beliau di panggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena beliau mempunyai seorang putra Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah), sehinggabeliau dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Tapi menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah, karena beliau selalu berteman dengan tinta (dawat), dan kata Hanifah menurut bahasa Arab berarti tinta. Abu Hanifah senantisa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-temannya,
6.                        Imam Abu Hanifah merupakan salah satu imamyang semenjak kecilnya rajin dalam belajar. Selain itu juga, beliau sangat gemar dalam membaca dan menghafal Al-qur’an dan merupakan orang yang taat dalam beribadah kepada Allah serta selalu sungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama.
7.                        Ayah Imam Abu Hanifah bernama Tsabit, ia merupakan seorang pedagang kain sutera di Kuffah, sedangkan Imam Abu Hanifah sendiri juga sering membantu dan ikut berdagang bersama Ayahnya, namun beliau tak pernah lupa dalam belajar. Ketika baerdagang, beliau terkadang suka smabil belajar. Dan kakeknya bernama al-Zutha al-Taimy yang berpenduduk asli dari daerah Kabul. Dan ia pernah ditawan dalam suatu peperangan, lalu ia dibawa ke Kuffah sebagai budak.
8.                        Dalam suatu riwayat yang lain, bahwa ayah Imam Abu Hanifah bernama Tsabit Ibn Nu’man Ibn Marzuban. Menurut riwayat ini, keluarga Imam Abu Hanifah tidak pernah dijadikan budak akibat tawanan.
9.                        Imam abu hanifah merupakan pendiri resmi dari madzhab hanafi. Madzhab hanafi ini merupakan madzhab yang paling banyak dianut pada masa dinasti abbasiyah, terutama dalam bidang pengadilan dan dalam penentuan fatwa-fatwa. Begitu pula dengan daulah utsmaniyah, mereka menjadikan madzhab abu hanifah sebagai madzhab resmi negara. Dalam hal pengadilan dan fatwa, mereka juga merujuk pada pendapat imam abu hanifah dan hal itu masih berlangsung sampai sekarang.
10.     Riwayat hidup imam abu hanifah.        
11.     Abu Hanifah hidup pada masa peralihan pemerintahan Bani Umayyah pada tangan Bani Abbas. Kota kelahiran dan tempat kediaman beliau, Kuffah, merupakan markas yangterbesar yang hendak menggulingkan Bani Umayyah. Negeri itu pulalah tempat orang membai’at Abil Abbas asy-Syaffah.
12.                     Ayah imam abu hanifah merupakan seorang pedagang yang kaya raya, selain itu, ayah imam abu hanifah pernah bertemu dengan ali bin abi thalib. Oleh karena itu, sebelum dihadapkan kepada ilmu, beliau ikut berdagang dengan ayahnya dan tak pernah lupa belajar. Sehingga, apabila beliau sedang belajar, tampak sebagai orang yang senantiasa haus akan ilmu pengetahuan.
13.                     Pada awalnya, imam abu hanifah gemar dalam belajar ilmu qira’at, hadits, nahwu, sastra, syi’ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang diminatinya ialah ilmu teologi, sehingga beliau menjadi tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Sehingga beliau dikenal denagn imam ahlu al-ra’yi, dan ada yang mengatakan pula bahwa imam abu hanifah dikenal sebagai imam al-‘a’dham.
14.                     Sebelumnya, Kuffah pada masa itu merupakan salah satu kota yang terbesar, di tempat itu banyak tumbuh berbagai ilmu pengetahauan. Di kota itu, imam abu hanifah diajari falsafah yunani, hikmat persia dan disana pula sebelum islam timbul beberapa madzhab nasrani yang memperdebatkan masalah-masalah aqidah, serta didiami oleh berbagai aneka bangsa.
15.                     Di kota Kuffah, masalah-masalah politik, dasar-dasar ‘aqidah tumbuh, selain itu pula, di kota Kuffah inilah berbagai golongan kalam bermunculan untuk pertama kalinya seperti golongan syi’ah, golongan khawarij, golongan mu’tazilah, sebagaimana lahir pula ahli-ahli ijtihad yang tersohor.
16.                     Seperti yang telah dikatakan, bahwa imam abu hanifah, pada awalnya tidak mengerahkan tujuannya kepada ilmu, namun beliau mengerahkan pada dunia perdagangan. Akan tetapi, karena imam abu hanifah mempunyai kecerdasan otak, sehingga banyak orang yang mengenal imam abu hanifah. Sehingga suatu ketika muncul asy-sya’bi. Kemudian ketika itu, asy-sya’bi menyarankan dan menyuruh imam abu hanifah untuk mengerahkan tujuannya pada ilmu pengetahuan. Dengan saran dan anjuran asy-sya’bi tersebut, kemudian imam abu hanifah mulailah terjun dan mengerahkan segala tujuannnya terhadap ilmu pengetahuan, akan tetapi, beliau tidak melepaskan usahanya sama sekali.
17.                     Di Kuffah, kala itu terdapat tiga halaqoh ‘ulama diantaranya, Pertama, halaqah untuk bermudzhakarah dalam bidang ‘aqidah.Kedua, halaqah untuk bermudzhakarah dalam bidang hadits.Ketiga, halaqah untuk bermudzhakarah dalam bidang fiqih.
18.                     Sungguhpun, imam abu hanifah mengarahkan tujuannya kepada ilmu fiqih Namun demikian, beliau tidak menjauhi ilmu-ilmu lainnya. Beliau mempunyai ilmu dalam bidang qira’at, bidang ‘arabiyah, bidang ilmu kalam, dan pada akhirnya, abu hanifah menghadapi fiqih dan menggunakan segala daya akal untuk fiqih dan perkembangannya.
19.                     Ketika itu, imam abu hanifah diusianya yang ke 22, beliau berguru kepada hammad ibn abi sulaiman selama 18 tahun sampai hammad kembali kepada sang pencipta. Selain itu, imam abu hanifah belajar pula kepada ulama-ulama lain yang ada di mekkah dan di madinah.
20.                     Dilain hal, imam abu hanifah pernah bermudarasah dengan zaid ibn ali, denagan ja’far ash-shidiq, dengan abdullah ibn hasan ibn hasan, ayah muhammad an-nafsuzzakiyah. Selain itu pula, imam abu hanifah menghubungi para tabi’in yang berguru kepada sahabat-sahabat besar, sahabat-sahabat yang terkemuka dalam bidang fiqih dan ijtihd. Seperti umar, ali ibn mas’ud, ibn abbas dan lain sebagainya. Sesudah hammad wafat, imam abu hanifah adalah orang yang menggantikan hammad.
21.                     Dalam masalah ekonomi, abu hanifah adalah seseorang yang hidup dalam penuh kesenangan. Sebagai seorang pedagang, imam abu hanifah dikenal mempunyai beberapa sifat diantaranya;
22.                     Pertama, beliau dikenal sebagai seorang yang kaya raya, namun dari kekayaannya itu, beliau tidak mempunyai rasa tamak, selain itu, beliaua tidak memiliki rasa akan kehabisan harta yang telah diperolehnya. Kedua, beliau merupakan seorang yang besar amanatnya, dalam artian sangat memelihara dan menjaga segala amanat orang yanag dititipkan padanya, baik itu benda maupun bukan. Ketiga, beliau merupakan seseorang yang murah hati yang mempergunakan kekayaannya untuk kehidupan orang lain. Keempat, beliau amat keras agamanya, amat banyak ibadahnya, berpuasa di siang hari dan mengerjakan shalatul lail di malam harinya.
23.                     Pada masa-masa menjelang berakhirnya kekuasaan bani ummayah, yazid bin umar bin hubaira, amir di kuffah yang memihak kepada khalifah marwan bin muhammad, khalifah keturunan bani ummayah, meminta imam abu hanifah untuk menjadi seorang qodhi’. Akan tetapi, imam abu hanifah menolak permintaan tersebut. Sehingga imam abu hanifah pada akhirnya ditangkap dan dihukum dera oleh pemerintah bani ummayah karena dianggap tidak setia lagi terhadap pemerintahan bani ummayah.
24.                     Nasib serupa itu kemudian terulang kembali oleh imam abu hanifah. Namun kali ini imam abu hanifah mendapat tawaran untuk menjadi seorang qadhi’ oleh pemerintahan bani abbasiyah atas dasar perintah seorang khalifah abu ja’far al-manshur (754-775 M), yang memerintah sesudah abu abbas ash-shaffah, namun imam abu hanifah menolak menolak pula kedudukan qadhi’ yang ditawarkan pemerintah bani abbasiyah kepada beliau, sehingga beliau ditangkap, kemudian dihukum, selanjutnya dipenjara, dan hingga akhirnya wafat pada tahun ke 767 M.
A.       Riwayat Hidup
Ja’far Ash-Shadiq adalah Ja’far bin Muhammad Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad saw. Beliau dilahirkan pada tanggal 20 H (699 M). ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi saw. dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ja’far Ash-Shodiq adalah seorang yang perwakannya, dan berkulit putih bersih. Dari segi budi pekerti, jiwa dan akal ia memperoleh curahan dari langit. Ia adalah seorang yang ikhlas dalam segala perbuatannya.
Ja’far Ash-Shodiq adalah seorang yang tepat firasatnya. Mungkin karena firasatnya yang kuat maka ia tidak mau mencampuri urusan politik dan tidak mau menuruti ajakan para pengagumnya.
Firasat adalah saah satu sifat yang perlu dimiliki ahli fiqh, ahli madzhab. Dengan firasat dapat diketahui keburukan-keburukan orang yang dihadapi. Ja’far Ash-Shodiq memperoleh pula sifat kehebatan. Allah telah melimpahkan kepadanya kehebatan. Kehebatan dalam dunia ilmu menyebabkan lawan-lawannya menundukkan kepala.
Beliau berguru langsung dengan ayahnya Muhammad Al-Baqir di sekolah ayahnya, yang melahirkan tokoh-tokoh ulama besar islam. Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam beberapa bidang ilmu seperti ilmu filsafat, tasawuf, fiqh, kimia, dan ilmu kedokteran. Beliau adalah imam keenam dari 12 imam dalam madzhab syi’ah Imamiyah. Dikalangan kaum sufi beliau adalah guru dan syeikh yang besar dan dikalangan ilmiah beliau dianggap sebagai pelopor ilmu kimia. Diantaranya beiau menjadi guru Jabir bin Hayyam dalam ahli kimia dan kedokteran islam. Dalam madzhab syi’ah, fiqh ja’fariyyah sebagai fiqh mereka, karena sebelum Ja’far Ash-Shadiq dan masanya tidak ada perselisihan, perselisihan dan perbedaan pendapat baru muncul pada masa beliau.
Ahli sunnah berpendapat bahwa Ja’far Ash-Shodiq adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqh, yang mana beliau sudah mencapai tingkat laduni, beliau dianggap sebagai sufi ahli sunnah dikalangan syeikh-syeikh mereka yang besar, padanyalah tempat puncak pengetahuan dan darah Nabi saw. yang suci.
Syahrastani mengatakan bahwa Ja’far Ash-Shodiq adalah seseorang yang berpengetahuan luas dalam agama, mempunyai budi pekerti yang sempurna serta sangat bijaksana dari keduniaan jauh dari segala hawa nafsu.
Imam Abu Hanifah berkata, “Saya tidak dapati orang lebih faqih dari Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad”.
George Zaidan berkata, “Diantara muridnya adalah Abu Hanifah (w.150 H/767 M), Malik bin Anas (w.179 H/795 M), dan Wasil bin Atha’ (w.181 H/797 M)”. Abu Nu’aim mengatakan bahwa, “Diantara murid beliau juga ialah Muslim bin Hajjah, perawi hadist shahih yang masyhur”. Riwayat yang lain mengatakan bahwa di Kuffah, sedikitnya ada 900 orang syeikh yang belajar dengan beliau di masjid Kuffah.
Abu Zuhroh berkata, “Ja’far Ash-Shodiq berpandukan kitab Allah (Al-Qur’an) serta pandangan beliau sangat jelas, beliau mengeuarkan hukum-hukum fiqh dari nash-nashnya, beliau benpandukan kepada sunnah, sesungguhnya beliau tidak mengambil melainkan  hadist riwayat ahlil bait (keluarga Nabi)”.
Ja’far Ash-Shodiq meperoleh ilmunya  dengan cara belajar pada para ulama terkemuka. Kemudian Allah membuka pintu ma’rifat kepadanya lanteran kejernihan jiwanya serta menghadapi ilmu dengan seluruh perhatiannya.
B.       Karya-karya Imam Ja’far Ash-Shodiq
Ulama syi’ah mempunyai ulama-ulama besar yang menulis fiqh dan ushulnya. Yang paling menonjol diantara mereka ialah Abu Ja’far Muhammad Ibn Al-Hasan Ibn Aly AthnThusy, wafat pada tahun 466 H. beliau adalah seoarang murid al-Murtadla.
Diantara kitabnya ialah Al-Masbuth dalam bidang fiqh, kitab al khilaf , kitab An-Nihsyah yang memperkatakan segala macam bab fiqh.
Diantara kitab ushulnya ialah Al Uddah. Di dalamnya diterangkan minhaj yang ditempuh golongan syi’ah.
Ada juga Muhammad ibn ‘Aly Ar-Razy pengarang kitab Al-Mashadir fie Ushulil Fiqh, At-Tanqieh ‘anit Tahsieni wat Taqbieh.
C.       Guru-guru Imam Ja’far Ash-Shodiq
Walaupun orang-orang Imamiyah mengasumsi bahwa ilmu yang diperoleh Ja’far Ash-Shodiq merupakan ilham semata tanpa adanya guru yang mengajarinya, tetapi kenyataan sejarah membuktikan kekeliruan anggapan itu. Guru-guru yang utama ialah :
1.        Ali Zainul Abidin yang sekaligus merupakan kakeknya menjadi orang yang pertama kali menjadi guru sang Imam Ja’far Ash-Shodiq. Zainul Abidin wafat saat Ja’far Ash-Shodiq burumur 14 tahun. Ia mendapat ilmu dari para ahlul bait dan para tabi’in.
2.        Muhammad al-Baqir, ayahanda Ja’far Ash-Shodiq yang sekaligus menjadi seorang imam, guru Abu Hanifah dan guru Zain bin Zainul Abidin, yang selalu mengadakan hubungan ilmiah dengan ulama-ulama madinah.
3.        Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar (ayah ibunya). Al-Qasim merupakan seorang mujtahid yang mempunyai pendapat sendiri. Wafat pada tahun108 saat Ja’far Ash-Shodiq berumur 28 tahun.
D.       Murid-murid Imam Ja’far Ash-Shodiq
Sebagai seorang pendiri madzhab imam Ja’far Ash-Shodiq tentunya memiliki murid-murid yang menjadi tokoh besar setelah wafatnya imam Ja’far Ash-Shodiq. Berikut ini kami sampaikan beberapa nama murid-murid beliau yang kami kutip dari buku Perbandingan Madzhab Syi’ah karya Abu Bakar Aceh , diantaranya :
1.         Abu Hanifah
Yang lahir di tahun 80H dan meninggal pada tahun 150H, juga seorang murid yang dicintainya kemudian menjadi imam madzhab hanafi. Banyak sekali orang yang mengambil riwayat darinya dan dia sendiri mngambil banyak ilmu dari Ja’far Ash-Shodiq. Abu Hanifah mengatakan, “Jika tidak 2 tahun bersama Ja’far Ash-Shodiq akan binasalah Nu’man, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih ahli dalam bidang ilmu fiqh dari pada Ja’far Ash-Shodiq”.
2.        Sufyan bin Sa’id bin Masruq as-Sauri
Berasal dari Kuffah. Mempunyai madzhab tersendiri, diantara pengikutnya Muhammad bin Ajlan, Auzai, Ummat bin Salmah, Yahya bin Said al-Qattan, Futhail bin Iyyadh. Ia banyak sekali mengambil dari Ja’far Ash-Shodiq ilmu-ilmu terutama mengenai adab, akhlak, dan pelajaran-pelajaran lain.
3.        Sufyan bin Uyainah bin  Abi Imron
Meninggal pada tahun 198 H. banyak orang meriwayatkan dari padanya contohnya seperti, A’masy, Asyani, Humam, Yahya bin Said, Asy-Syafi’I, dan Ibnu Madini. Asy-Syafi’I berkata,”Jika tidak ada Malik dan Sufyan akan lenyaplah ilmu di Hijaz”.
4.        Syu’bah bin al-Hajjaj
Dilahirkan tahun 80 H wafat 160 H. diantara pengikutnya yang terkenal ialah Ayyub dan Ibnu Mubarok
5.        Fudhil bin Iyaj at-Tamimi
Wafat tahun 197 H. al-Jazari mengatakn, “Bahwa ia adalah seorang imam sunnah yang baik. Nasa’I, Bukhori, Turmudzi, Muslim, dll banyak mengambil hadist dari padanya”.
6.        Hatim bin Ismail
Wafat tahun 180 H berasa dari Kuffah adalah tempat Bukhori, Muslim, dan imam at-Turmudzi mengambil hadistnya yang dipelajari dari Ja’far Ash-Shodiq.
7.         Haffas bin Giyas al-Kahfi
Banyak pengikutnya diantara lain Ahmad, Isaq, Abu Nu’aim, Yahya bin Mu’in, dll. Ulama besar yang pernah menjadi qadhi di Baghdad dan Kuffah. Penghfal hadist yang banyak yang pernah ditulis dari padanya lebih dari 4000 buah.
8.        Zubair ibnu Muhammad at-Tamimi
Bergelar Abu Mundzir, berasal dari Khurosan meninggal tahun 162 H. beliau menerima banyak ilmu dari imam Ja’far Ash-Shodiq, dan oleh karena itu banyak yang meriwayatkan kembali dari padanya diantaranya, Abu Daud at-tiyalisi, Ruh bin Ubaddah, Abu Amir al-Aqli, Abdurrahman bin Mahdi, al-Waid bin Muslim, dll
         I.            KELEBIHAN MADZHABNYA
Ulama-ulama Syiah Imamiyah atau Ja’fariyaah atau Itsna Asy-‘Ariyyah mempunyai manhaj sendiri tidak mengekor kepada manhaj jumhur bahkan mereka mengatakan bahwa Muhammad a-Baqir lah yang mula-mula mentadwinkan ushul fiqh bukan asy-Syafi’i Permualan ulama yang menyusun kitab ushul dalam kalangan mereka adalah dari ulama kalam syeikh Mutakallimin telah menyusun sebuah kitab yaitu al-alfadh wa ma’fiyah. Yunus Ibn Abdurrahman menyusun kitab Ikhtilaful HadistKedua ulama ini adalah ulama abad kedua hijriah semasa dengan Abu Hanifah.
Ushul fiqh dalam abad kedua dibuat untuk menjadi dasar istimbat bukan dibuat untuk mempertahankan furu’-furu’ yang telah ada sebelumnya. Usaha membela furu’ timbul sesudah timbul perdebatan (jiddah) antara madzhab pada akhir abad ketiga awal abad keempat antara uama-ulama madzhab.
Kebanyakan penulis ushul dalam kalangan syiah adalah dari golongan mutakallimin yakni para ahli dalam ilmu kalam. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan kebanyakan fuqaha jumhur, yakni jalan Asy-Syafi’I yang terkenal dengan nama Thariqatul Mutakallimin alhasil walaupun mereka membuat ushul untuk menghasilkan furu’ namun mereka pada garis besarnya dipengaruhi oleh furu’, dengan demikian dapatlah kita menetapkan bahwa ushul fiqh syiah menempuh jalan Syafi’iyyah dan jalan Hanafiyyah. Diantara yang nampak pula bagi kita ialah bahwa di dalam abad ketiga hijriah banyak ulama yang juga menolak qiyas, di samping ulama syiah seperti Daud ibn Ali karena para ulama telah menghadapi hadist dan atsar dengan sempurna lantaran telah dibukukan. Hampir semua buku dapat ditemukan dalam hadits Rasululah, fatwa sahabat,  fiqhut tabin, walaupun mereka tidak tegas-tegas menolak qiyas syiah imam dalam kedudukan rasul tidak memerlukan qiyas. Imam mereka yang terakhir meninggal pada tahun 261 H karena itu mereka tidak memerlukan qiyas .
Pada abad IV H syiah mengalami kemajuan yang pesat disebabkan oleh kepergian imam dan menghilangnya imam sehingga mereka terpaksa membuat qaidah-qaidah istimbat dan neraca-neraca pertimbangan, agar mereka mempunyai pelita dalam menempuh jalan ijtihad. Dan menurut mereka pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Ada tiga hal yang dapat kita tanggapi dari perkembangan ushul fiqh dalam kalangan syia:
1.        Ilmu ushul sangat subur tumbuhnya dikalangan mereka. Kebanyakan ahli-ahli ushul mereka adalah ulama-ulama kalam yang mempertemukan antara dirasah nadhariyah dengan dirasah fiqhiyyah, karena mereka mempunyai dasar dan mempunyai alat pembela madzhab
2.        Mereka menjalani jalan yang ditempuh umum ulama kalam.
3.        Di antara mereka ada yang mempunyai kecakapan dalam bidang fiqh dan ushul, seperti : Ath-Thusy. Ath-Thusy mempunyai keahlian pula dalam bidang ilmu tafsir dan ilmu kalam.
Kedudukan al-kitab dan as-sunnah dalam madzhab Ja’fari yang pertama yaitu Al-Qur’an, yang perlu ditanggapi adalah dari pendapat  Ja’far Ash-Shodiq bahwa, “ al-Qur’an adalah kitab yang mencakup segala hokum, sedang as-sunnah tidak mendatangkan sesuatu yang baru. As-sunnah tidak diterima dan diamalkan sebelum dirujuk kepada al-Qur’an”. Dalam kitab syi’ah Al-qur’n adalah Kulliyatusy Syari’ah sedang as-sunnah adalah masdar yang kedua yang berdiri sendiri, walaupun dia memperoleh kekuatannya dari al-kitab. Pandangan yang kedua inilah yang kita anggap lebih benar. Allah berfirman:
 شيء لكل تبينا ب الكتاعليكلناونز
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan al-Kitab kepada engkau untuk menjadi penjelasan bagi segala sesuatu.”
1.        Ulumul Qur’an
Diantara ulumul qur’an yang harus dipelajari syi’ah ialah Ilmun Nasikh wal Mansukh, ‘am dan Khas, Uslubul Bayaanil ‘Araby.
        Mereka berpendapat al-Qur’an mempunyai bathin dan zahir. Manusia biasa hanya mengetahui zahirnya saja. Sedang yang bathin hanya diketahui para imam.
2.        Penafsiran al-Qur’an dengan ar-Ra’yu
3.        Pendapat syia’ah Imamiyah terhadap isi al-Qur’an
Ada tuduhan-tuduhan yang menyebut isi al-Qur’an ada yang ditambah dan ada yang dibuang atau dikurangi dari aslinya.
4.        ‘Am dan Khash menurut ulama Syi’ah
Ja’far Ash-Shodiq mengharuskan ulama mengetahui dengan  baik perbedaan ‘am dank hash : tentang ‘am yang dimaksudkan dengan  khash dan khash yang dimaksudkan dengan ‘am.
Hakikat ‘am menurut syi’ah : Lafal yang mencakup semua pengertian yang dapat dicakupnya sejak dari semula dibuat lafal itu.
Hakikat khash menurut syi’ah : Lafal yang menunjuk kepada suatu makna.
5.        Qiyas dan ‘Am
Golongan syi’ah tidak memandang qiyas sebagai dasar.
6.        Ta’arudlul ‘aam alal khash
7.        Penjelasan al-Qur’an
Ja’far Ash-Shodiq berkata, “Tidak ada sesuatu pun dari urusan syari’at, melainkan ada di dalam al-Qur’an.
Syi’ah yang membolehkan ijtihad sesudah tidak ada lagi imam, atau sesudah imam yang ke-12 pergi, menetapkan bahwa ushul fiqh hanyalah ada empat : al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Aql.
Di dalam al-musnad, kitab yang mengumpulkan keempat-empat hadits golongan Imamiyah, ditegaskan bahwa Ja’far Ash-Shodiq memakai dasar ijma’.
Golongan Ja’fari terbagi atas dua golongan.
1.        Golongan yang tidak mau berijtihad, mencukupi dengan nash-nash yang diterima dari para imam. Mereka dinamakan Waqifiyyah.
2.        Golongan Ushuliyyah. Golongan ini mengatakan bahwa Ushulut Tasyri, ialah : al-Kitab dan as-Sunnah. Seudah la a’ dalam masalah selain dari yang telah diketahui dengan mudah. Sesudahnya hokum aql.
Akal merupakan kedudukan dalam pandangan Ja’fari. Segala yang diperintah akal harus dikerjakan. Segaa yang dilarang akal harus ditinggalkan.
Golongan Ja’fari mempergunakan akal :
1.        Untuk mengetahui mana yang bagus dan mana yang buruk. Yang baik dituntut syara’, yang buruk dilarang syara’.
2.        Untuk mentakhrijkan hokum dari kitabullah, as-Sunnah dari ijma’. Ke dalam ini masuk sebagian qiyas.
Istishhab menurut golongan Ja’fari ialah : terus menerus tetapnya sesuatu hokum , atau sesuatu sifat yang telah ada di masa yang telah lalu, di masa yang sedang dilalui.
Golongan Ja’fari yang menutup pintu qiyas, menggunakan mashlahah, banyak menggunakan istishhab.
Madzhab Ja’fari adalah madzhab yang besar, baik ditinjau dari segi ahlus sunnah. Fiqh mereka adalah kumpulan pendapat imam 12.
Mujtahid dalam imamiyah terbagi menjadi empat : Mujtahid mutlak mujtahil fil furu’. Berijtihad dengan dasar mengikuti imam dalam masalah ushul. Mujtahid mukharrij. Mengeluarkan ilat-iat hokum dan mengqiyaskan sesuatu serta mendatangkan dalil bagi hokum-hukum yang terbentuk daam maadzhab. Mukharrij, yaitu mereka yang menerapkan kaidah –kaidah madzhab atas kejadian-kejadian yang tumbuh dalam masyarakat.
Madzhab Ja’fari adalah madzhab yang berkembang subur, Karena dia membuka pintu studi bagi segala kemuskilan yang tumbuh, baik daam bidang kemasyarakatan, maupun dalam bidang ekonomi dan falsafah. Dalam madzhab Ja’fari banyak pendapat yang telah tumbuh. Dengan demikian mudahlah kita untuk memilih salah satu pendapat untuk diterapkan di masyarakat.
Madzhab Ja’fari berkembang di Iran (Persia dan Khurasan), di Irak yang berpusat di Karbala, dan daerah-daerah sebelah timurnya, di India, Pakistan, Nigeria, Shamalia, dan beberapa daerah lai
Riwayat Malik Ibn Anas
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat serangkaidalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di Negeri Hijjaz tahun 93 H/12 M, dan wafat pada hari Ahaad, 10 Rabi’ul Awal 179 H / 798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn al-Harits. Ada riwayat yang mengatakan Imam Malik berada di dalam kandugan selama dua tahun, ada pula yang mengatakan selama tiga tahun.
Ketika dewasa, Imam Malik memiliki tubuh yang tinggi nan gagah dengan postur cenderung gemuk, lengkap dengan ciri kepala yang botak, bahu lebar, kulit putih, mata biru, serta jenggot yang lebat dan melebar. Sengaja beliau biarkan bagian pinggir kumis sehingga tampak tebal akibat tidak ditipiskan. Rambut yang tersisa bahkan sama sekali tidak diinai. Mengenai hal ini, sang Imam berpegang pada riwayat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu yang juga sama sekali tidak memakai inai. Sebagai seorang ulama,Imam Malik berpakaian bersih, rapi dan necis untuk menjaga wibawa seorang ulama. Beliau tidak suka seorang pencari ilmu berpakaian compang-camping demi kezuhudan.
Imam Malik yang lahir di Madinah yang merupakan salah satu kota suci sekaligus pusat keilmuan yang tentunya mempengaruhi perkembangan sang Imam. Sang Imam kecil pun telah hafal Al-Qur’an dan kemudian menghafal hadits. Imam Malik sangat menghargai ilmu, ketika hendak menghafal hadis, beliau selalu berwudhu’ dan duduk. Beliau tidak suka dalam mengajarkan hadits dalam keadaan berdiri dan belum bersuci.
Imam Malik berguru kepada Ibn Hurmuz, salah seorang tabi’in. Guru besar kali ini memiliki nama ali Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raf Abu Daud Al-Madany. Ia dahulu adalah budak yang dimerdekakan oleh Rabi’ah bin Al-Harits bin Abdul Mutthalib. Setelah dimerdekakan, sang Guru banyak belajar dan meriwayatkan dari para sahabat seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abu Said Al-Khudry, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan masih banyak lagi. Kemudian beliau belajar fiqh kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi (wafat tahun 136 H). Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu hadits kepada Imam Nafi’ Maulana ibn Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab Al-Zuhry. Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa di antara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang yang tergolong ulama tani’in.
1.        Karya-Karya Malik Ibn Anas
Di antara karya-karya Imam Malik adalah kitab al-Muwaththa’. Kitab tersebut ditulis tahun 144 H. Atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abu Bakar al-Abhary, atsar Rasulullah SAW. sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab al-muwaththa’ sejumlah 2.720 buah. Pendapat Imam Malik ibn Anas dpat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al-Muwaththa’ dan al-Mudawwanah al-Kubra.
Hadists-hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’ ada yang bersanad lengkap, ada pula yang mursal, ada pula yang muttashil dan ada pula yang munqathi’, bahkan ada yang disebut balaghat yaitu suatu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerima hadits tersebut. tegasnya yang dimaksud dengan istilah balaghat itu adalah hadits yang memuat kata-kata Imam Malik yang berbunyi, “balaghani” atau sebangsanya yang artinya “telah sampai kepada saya”.
Kitab al-Mudawwanah al-Kubra merupakan risalah yang memuat tidak kurang dari 1.036 masalah fatwa Imam Malik yang dikumpulkan Asad ibn al-Furat al-Naisabury yang berasal dari Tunis. Risalah yang pernah ditulis Imam Malik, Risalah fi Al-Qadar, risalah fi An-Nujum wa Manazili Al-Qamar, risalah fi Al-Aqdliyyah, risalah ila Abi GhassanMuhammad bin Mutharrif, risalah ila Al-Laitsbin Sa’d fi ijma’i ahli Al-Madinah, risalah Juz’un fi At-Tafsir, risalah Kitabu As-Sirr dan risalatu ila Ar-Rasyid.
2.        Murid-Murid Malik Ibn Anas
a.        Abdulash bin Wahab (125 H-197 H)
Semasa hidup, ia telah menghasilkan lebih dari 30 judul buku. Tatkala Imam Malik meninggal, ia rujukan pertama untuk mempelajari Mazhab Malik. Imam Malik pun diriwayatkan sangat mencintai, menghormati, dan memuliakannya. Ibn Wahab banyak menyebarkan mazhab Imam Malik dikalangan penduduk Mesir
b.        Abdurrahman Ibn Al-Qasim (128 H-191 H)
Ibn Al-Qasim memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Mazhab Malik, terutama dalam hal penyusunan buku sekaligus penyebarannya. Kedudukannya dalam Mazhab Malik mirip dengan Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dalam Mazhab Abu Hanifah.
c.        Asyhab Ibn Abdul Aziz Ibn Al-Qaisy Al-Amiry (140 H-204 H)
Ia menjadi salah-satu murid  Imam Malik yang meriwayatkan Fikih sang Im Salah satu karyanya adalah Kutub Al-Asyhab atau Mudawwanah Asyhab.
d.        Asad Ibn Al-Furat Ibn As-Sinan (145 H-213 H)
Ia tumbuh sebagai anak yang pada usia dini telah hafal Al-Qur’an dan memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Menginjak usia remaja, Asad meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Madinah dan belajar kepada Imam Malik, khususnya mengenai Al-Muwaththa dan Fikih. Setelah merasa cukup, ihijrah ke Baghdad dan belajar Fikih kepada Abu Yusuf yang sebelumnya pernah belajar Al-Muwaththa kepada sang Imam. Hasilnya, Asad berhasil menggabungkan Fikih Atsar dan Fikih Ra’yi
e.        Abdul Malik Ibn Al-Majisyun
Putra dari Abdul Aziz bin Al-Majisyun ini sesungguhnya adalah kawan sang Imam yang menurut sebuah riwayat pernah menulis Al-Muwaththa sebelum Imam Malik
f.         Abdullah Ibn Abdul Hakam Ibn A’yun
g.        Abdul Salam Ibn Said Sahnun At-Tanukhy Al-Araby
h.        Abdul Malil Ibn Habib
i.         Al-Ataby
j.         Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i
k.         Syabthun
l.         Utsman Ibn Al-Ahkam
m.      Ashbagh Ibn Al-Faraj
n.        Ibrahim Ibn Salamah
3.        Pujian yang di sanjungkan kepadanya
a.        Al imam Muhammad idris asyafi’i
Apabila dating kepada mu dari imam malik, maka peganglah sungguh-sungguh dengan kedua tangan mu, karna dia menjadi alas an untuk mu.
“apabila di sebut ulama ahli hadist maka imam malik lah bintang nya, maka tiada yang lebih kupercayai tentang hadist selain daripada imam malik”
b.        Imam yahya bin mu’in
Imam malik adalah seorang raja bagi orang-orang yang beriman dan bagi orang-orang yang belajar ilmu hadist.beliau adalah seseorang yang tinggi ilmu hadist nya
Dari kata-kata ini dapat kita yakini keilmuan imam malik dalam menetapkan hukum khususnya dalam ilmu hadist dan bnyak lagi ungkapan yang tidak bisa kami tulisakan di sini
A.      KEKHASAN MAZHAB/ METODE ISTIMBAT HUKUM
Imam malik rahimahullah memiliki kehasan tersendiri dalam mengeluarkan pednpatnya dalam hukum islam. Berikut ini adalah motode yang di gunakan imam malik dalam mengistimbathkan hukum.
1.        Al kitab, as sunnah dan fatwa shohabi
Imam Malik dan imam Hanafi tidak membukukan dasar-dasar mazhabnya, akan tetapi biarpun imam Malik tidak menjelaskan dasar-dasar yang di pegangnya, imam Malik membukukan fatwa-fatwanya, masalah-masalahnya dan hadist-hadistnya dalam al muwatha’
ketika kita tidak menemukan dasar-dasar pengambilan hukum imam Malik lantas kita akan merujuk kepada ulama Malikiyah. Usul fiqh mazhab maliki telah di terangkan oleh pengarang kitab al-madharik yaitu:
pertama           :     al qur’an baik nashnya, dzahirnya dan mafhum nya
kedua              :     as sunnah, baik masyurnya,, baik mutawatirnya,baik dzahirnya dan baik pula mafhumnya
ketiga               :     ijma’
keemmpat        :     qias
2.        Al kitab
Malik memandang al qur’an sebagai pokok dari hukum islam dengan al qur’an kita mengetahui hukum allah dan as sunnah sebagai pentafsirnya makan selain harus mempelajari al qur’an kita juga di tuntut untuk mempelajari sunnah dan harus mengambil hukum dari keduanya
Imam malik dan ulama malikiyah membedakan nash dengan pengertian dhazhir nash
Nash menurut malikiyah ialah “apa yang tidak mungkin menerima ta’wil”
Dan zhahir menurut malikiyah adalah “yang mungkin menerima ta’wil” Berbeda dengan syafi’I yang tidak mengatakana tentang perbedaan antara nash dan dzahir. Nash dan dzahir menurut syafi’I adalah satu
3.        As-Sunnah
Imam malik di kenal sebagai seorang ahli hadist dan ahli dalam masalah fiqh ini terbukti dengan keberadaan kitab beliau yakni muwatta’
Imam malik membagi sunnah kepada tiga hukum yakni
a.        Menguatkan hukum yang ada dalam al qur’an bukan mentaksiskan
Contohnya :
Berpuasalah sesudah melihat bulan dan berbukalah sesudah meilhat bulan
Hadist ini menguatkan ayat
Bulan ramadahn ialah bulan yang allah turunkan al qur’an
b.        Menerangkan apa yang di kehendaki al qur’an
Seperti hadist yang menerangkan makna dzulumun dalam ayat :
Dan orang-orang beriman tidak mencampurkan iman mereka dengan ke dzaliman
c.        Mendatangkan hukum baru yang tidak ada dalam al qur’an
Seperti memutuskan perkara dengan saksi dan sumpah apa bila tidak memiliki 2 orang saksi
Ibnu rusyd membagi sunnah menurut pandangan malik kepada 4 bagian yakni
Pertama : sunnah yang tidak boleh tolak.orang yang menolaknya dihukum kafir
Kedua : sunnah yang diakui keshohihan nya dan pentakwilannya oleh ulama hadist
Ketiga : sunnah yang diharuskan kita meyakinkannya dan mengamalkan walaupun tidak di terima sebagian ahlul hadist
Keemmpat : sunnah yang harus diamalkan tanpa harus di yakini.
Imam malik menetapkan syarat-syarat perawi hadist yaitu:  
1.        Harus orang yang adil
2.        Harus orang yang memiliki keseimbangan dalam akalnya, tidak menganut bid’ah yang pada masa itu di istilahkan dengan ahlul ahwa’atau ashabul firaq
3.        Harus dhabit hapalan nya
4.        Mempunyai pemahaman tentang apa yang di riwayatkan
Dalam berpegang kepada sunnah sebgaai dasar hukum imam malik mengikuti cara yang dilakukan dalam berpegang kepada al qur’an. Apabila di kehendaki adanya takwil maka yang menjadi pegangan adalah arti takwilnya tersebut.apabila terjadi petentangan antara nash dzahir dengan makna yang terkandung dalam sunnah.namun apa bila sunnah di kuatkan dengan ijma’ ahlul madinah maka beliau mengutamakan sunnah daripada makna dzahir al qur’an
4.        Fatwa shohabi
Di dalam buku hasby ash siddieqy fatwa sahabat di letakkan setelah sunnah sedangkan khuzaimah tahido yanggo meletakannya pada urut ke empat setelah ijma’ urutan ini nantinya akan menjadi perbedaan dalam hasil hukum yang di lahirkan
Imam malik seoang imam yang mempelajari fatwa-fatwa shabat dan mengumpulkannya serta menjadikannya sebagai dasar mazhab nya Sahabat yang dimaksud di sini adalah sahaba besar , yang berpengatahuan mereka terhadap sesuatu masalah itu di dasarkan kepada naqly, menurut imam malik sahabat besar tersebut tidak akan memberikan memberi fatwa , kecuali atas dasar apa yang di pahami nya dari rasulullah saw
Dengan tegas imam malik mengharus mufti mengambil fatwa shohabat
Imam malik dan imam ahmad adalah dua imam yang sangat berpegang teguh dalam fatwa sahabat. walau pun dasar ini diambil oleh semua mujtahid namun dalam pengambilan nya berbeda. Ada yang hanya mengambil pendapat abu bakar dan umar saja, ada yang mengambil pendapat khulafa’ur rasyiddin. Rinkasnya semua mujtahid menghargai pendapat para sahabat.
Perbedaan antara pemakaian fatwa sahabat antara imam syafi’i. abu hanifah dan imam malik . syafi’I berpendapat bahwa fatwa shabat boleh menjadi ketetapan hukum apabila mereka bersepakat dalam menetapkan sesuatu sebagai suatu ijma’. Apabila mereka berselisih imam syafi’I mengambil yang lebih dekat dengan sunnah
Sedangkan abu hanifah menurut al barda’I mewajibkan kita bertaqlid kepada sahabat dan meninggalkan qias. Dalam hal ini imam syafi’I terkadang meninggalkan hadis ahad jika bertentangan dengan fatwa sahabat
5.        Ijma’
Imam malik adalah imam yang sangat banyak menyandarkan pendapatnya pada ijma’. Sebagai mana sering di temui dalam muwathatha’ kalimat
“urusan yang telah diijma’I terhadapnya
Al qaraki dalam tanqihul usul berkata
Ijma’ ialah persetujuan pendapat ahlul halli wal aqdi dari ummat ini terhadap suatu urusan dari urusan itu”
Yang dimaksud dengan persetujuan ialah sama-sama mengeluarkan atau sama-sama mengerjakan sedangkan ahlul hlli wal aqdi adalah para ahli atau mujtahid dalam bidang hukum syari’at
Imam malik berpegang dengan ijma’ yang seperti ini yang sering beliau ungkapkan dalam muwathatha’
Sedangkan di buku yang lain ijma’ yang di pakai imam malik adalah ijma’ ahlul madinah.
a.        Sandaran ijma’ atau sanadul ijma’
Para ulama bersepakat bahwa yang menjadi sandaran ijma’ adalah al qur’an, sunnah mutawatirah, dhahir al al qur’an atau dhahir hadis ahad. Dan imam malik sendiri menurut al qorafi membolehkan qiyas menjadi sandaran ijma’dan yang berhak untuk mengadakan ijma’adalah mereka yang ahli ijtihad
Al ghozali mengatakan bahwa ijma’ ulama madinah juga dianggap ijma’ oleh imam malik. Dikalangan mazhab maliki, ijma’ ahlul madinah lebih di utamakan dari hadist ahad. Dikarna kan ijma’ ahlul madinah di kabarkan kepada jama’ah sedangkan hadist atau khabar ahad hanya di beritakan kepada perorangan
Ijma’ ahlul madinah ini ada beberapa tingkatan yakni
1.        Kesepakatan ahl madinah yang asalnya dari naqly
2.        Amalan ahl madinah sebelum terbunuhnya khilafah ustman ibnu affan. Karna sebagaimana di ketahui bahwa ijma’ ahl madinah sebelum itu tidak pernah bertentangan dengan sunnah nabi saw
3.        Amalan ahlul madinah itu menjadi pentarjih diantar dua dalil yang saling bertentangan. Apabila ada dua tau dalil dalam masalah yang sama maka amal ahl madinah di jadikan pentarjih. Dalil yang di perkuat dengan amal ahlul madinah maka itulah yang diambil atau di jadikan hujjah menurut mazhab maliki
4.        Amalan ahlu madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan nabi saw. Amalan ahl yang seperti ini bukan hujjah menurut syafi’i , hanafi, hambali maupun menurut ulama maliki
Amal ahlul madinah
Imam malik rahimahullah menggunakan amal ahlul madinah sebagai hujjah.sebenar nya manhaj ini bukan di pegangi oleh imam malik akan tetapi gurunya imam malik rabi’ah juga berpendapat demikian
Al qodly iyadl telah menerangkan keadaan ijma’ ini. Dia berkada ijma’ ahl madinah terbagi dua yakni
Pertama di nukil atau diambil dari rasulullah saw sendiri
Hal ini juga terbagi menjadi empat bagian yakni
a.        Perintah yang dinukil dari nabi saw. Seperti azan, iqomat ,tidak menjaharkan bismillah
b.        Perbuatan yang dinukil dari nabi saw. Seperti sifat sholat
c.        Taqrir nabi yang dinukil daripadanya
d.          Perbuatan yang tidak dikerjakan nabi saw. Sepeti mengambil zakat dari sayur-sayuran
Kedua yang di ijtihadkan
6.        Khabar ahad dan qiyas
Imam malik rahimahullah tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang dating dari nabi Muhammad saw. Jika khabar ahad ini betentangan dengan amal ahlul madinah walaupun hanya dari hasil istimbath kecuali khabar ahad itu di dukung oleh dalil dalil lain yang qod’i
Imam malik tidak tetap menggunkan khabar ahad. Terkadang beliau mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Apabila khabar ahad itu tidak masyhur atau tidak di kenal di kalangan ahlul madinah maka ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar itu tidak berasal dari nabi Muhammad saw.
Imam malik mengqiaskan hukum, kepada hukum yang nashnya terdapat dalam al qur’an dan sunnah. Dalam muwathatah’ nya imam malik bahkan mengiaskan hukum kepada fatwa-fatwa sahabat. Sebagian qiyas di sisi imam malik terkadang posisinya hampir mengalahkan yang zhanni. Karna qiyas-qiyas itu di perkuat dengan qoidah-qoidah yang umum.qiyas yang seperti inilah yang di dahulukan atas khabar ahad
7.        Ihtihsan
Ulama malikiah menghindari penggunaan qiyas secara berlebihan . dharurat dan uruf dapat menghalangi kita untuk menggunakan qiyas, maka yang kita pakai itulah yang di sebut dengan ihtihsan
Ibnu al farabi salah seorang ulama maliki memberikan komentar. Bahwa ihtihsan menurut mazhab maliki bukan berarti meninggalkan dalil dan menetapkan hukum berdasarkan ra’yu semata . melaikan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda dari dalil lain yan di tinggalkan tersebut
Akan tetapi bertolak belakang dengan imam syafi’I yang menolak ihtihsan dalam kitab al umm. Karna itu imam syafi’I mengatakan bahwa “barangsiapa ynag menggunkan ihtihsan sebgaai dasar hukum, maka berarti ia telah membuat syari’at batu akan tetapi syafi’I hanya menolak ihtihsan yang tidak ada dasarnya sama sekali
8.        Istishab
imam malik menggunakan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. istishab adalah sesuatu ketentuan hukum untuk masa sekarang dan masa mendang, berdasarkan ketentuan hukum yang telah lampau. Misalnya seperti seseroang berwudhu yang dikuatkan dengan dia selesai sholat shubuh kemudian datang keraguan bahwa dia sudah batal taukah belum maka hukum yang ada padanya adalah belum batal wudhunya
9.        Al-Malahah Al-Mursalah
               Al-Mashlahah Al-Mursalah adalah mashlahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka mashlahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan Imam Malik menggunakan mashlahah mursalah dengan mempertimbangkan kemudharatannya. Bila mashlahah tersebut tidak bertentangan dengan syari’ah, maka boleh dilakukan. Dan bila mashlahah tersebut bertentangan dengan syari’ah, maka tidak boleh dilakukan. Dengan ini, syari’ah bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman.
10.     Dzara’i
Secara etimologis, dzari’ah berarti sarana. Menurut Imam Malik, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atu terlarang. Dan semua jalan sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya. Perkara ini adalah dampak perbuatannya bukan masalah niat. Misalnya, berhaji itu wajib, maka perjalanan menuju kota suci juga wajib.

Setiap urusan yang kita hadapi terbagi kepada dua yakni maqosid dan wasil.maqosid adalah pekerjaan yang menghasilkan maslahat sedangkan wasil adalah jalan nya untuk mencapai maqosid tersebut
11.       Kebiasaan dan Urf
Uruf ialah sebuah urusan yang di sepakati oleh sekelompok manusia dalam perkembangan hidupnya
Sedangkan adat adalah pekerjaan yang berulang-ulang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu
Suatu kelompok apabila biasa mengerjakan seseuatu menjadi uruflah bagi mereka. Sebenarnya uruf dan adat satu makna. Golongan mailikiah akan meninggalkan qiyas apa bila bertentangan dengan uruf. Golongan malikiah mengtaksiskan yang umum dan memuqoyyidkan yang mutlak dengan uruf. Dan menurut ibnu hajar ashqollani menyebutkan bahwa uruf bisa menjadi landasaan hukum atau diamalkan bila tidak bertentangan dengan nash.
Ulama malikiah memabagi adat menjadi 3 bahagian
Pertama uruf yang diambil oleh semua ulama yakni uruf yang di tunjuki nash
Kedua uruf yang jika kita ambil berarti kita mengambil seseuatu yang dilarnag hukum syara’(uruf ini tidak ada harga nya)
Ketiga uruf yang tidak di larang syara’ yang tidak di anjurkan untuk mengamalkan nya
  Sejarah keberadaan Bahtsul Masail sebagai sebuah lembaga fatwa, sebenarnya sudah sangat lama. Bahkan lembaga ini eksis sebelum kelahiran N yang membawahi lembaga Bhatsul Masail  itu sendiri. Keberadaan Bahtsul Masail ini juga dilandasi karena tuntutan akan perlunya memberikan tuntutan kepada masyarakat dalam megamalkan ajaran agama islam. Dan adanya kebutuhan masyarakat akan hukum islam yang praktis (‘amaly) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencarikan solusinya,yaitu dengan melakukan Bahtsul Masa). Ini adalah kegiatan suatu forum di pesantren  yang  membahas permasalahan masyarakat guna mencarikan solusinya kemudian diterapkan kepada masyarakat dalam mengamalkan ajaran islam3). Dokumen-dokumen yang menginformasikan kelahiran dan perkembangan Bahtsul Masail, baik latar belakang,metode,objek,maupun pelaku sejarahnya masih sangat sedikit. K.H.A. Aziz Masyhuri sendiri,pimpinan PP. Al-Aziziyyah Manba’ul ‘Ulum Denanyar, Jombang, salah seorang tokoh pelaku dan yang membukukan hasil sebagian hasil keputusan Bahtsul Masail, juga mengakui masih minim atau jarangnya warga Nahdliyyin yang mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas NU.
Hal ini karena adanya sikap pragmatis warga Nahdliyyin,dalam arti yang dipentingkan adalah hasilnya, sedangkan dokumen lain seperi latar belakng lahirnya, perdebatan yang terjadi di forum itu,serta para ulama yang berperan didalamnya tidak di arsipkan, sehingga yang ada sampai sekarang hanyalah hasil keputusan Bahtsul Masail
Sebagai sebuah forum yang bertugas membahas masalah-masalah kegamaan yang menjadi polemik di masyarakat,Bahtsul Masail telah muncul  bersamaan dengan kemunculan NU sebagai jam’iyyah diniyyah(masalah keagamaan yang umum). Dengan demikian secara formal substansial,usia forum Bahtsul Masail sudah setua NU. Forum ini mulai diselenggarakan sejak Muktamar NU di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1926 (13 Rob’iul Tsani 1345 H). Akan tetapi, sebagai sebuah tradisi,forum Bahtsul Masail sudah sejak ada jauh sebelumNU berdiri.Karena tradisi musyawarah untuk penggaliam hukum sudah menjadi bagian dari integral dari mekanisme pemecahan masalah ala pondok pesantren yang melibatkan kyai,ustadz,dan santri (terutama santri senior).
   Terlepas dari perdebatan awal praktek Bahtsul Masail,ternyata forum Bhatsul Masail yang ada belum menjadi sebuah lembaga yang secara resmi menangani masalah-masalah keagamaan sebab selama bertahun-tahun masalah-masalah keagamaan dibicarakan dan dipecahkan dalam dewan Syuriah4).

   Kemudian pada muktamar yang ke XXVIII pada tahun 1989 di PP. Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Para ulama yang tergabung dalam forum Bahtsul Masail mengusulkan kepada PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) agar membentuk Lajnah (Majelis) Bahtsul Masail yang bertugas menangani persoalan keagamaan  yang muncul dalam organisasi dikalangan masyarakat.

  Tetapi pada saat itu PBNU belum memberikan keputusan. Usulan ini kemudian diperkuat oleh hasil keputusan halaqah (sarasehan) NU di PP. Manba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang pada tanggal 26-28 Januari pada tahun 1990 yang antara lain merekomendasikan dibentuknya ”Lajnah Bahtsul Masail” dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan Istinbat Ijtima’i (Penggalian Hukum Secara Kolektif)
andalan dalam menetapkan suatu hukum, segala perosalan diusahakan agar dicarikan solusi hukumnya melalui rujukan tersebut. Bahtsul masail sendiri memiliki mekanisme tersendiri yang dilakukan dalam proses penetapan hukum, dan dalam pada suatu persoalan  itu dilakukan setelah melalui bebrapa langkah. Pertama dengan menginventarisasi persoalan terlebih dahulu, kedua kemudian disosialisasikan kepada anggota Bahtsul Masail. Yang ketiga setelah itu barulah anggota Bahtsul Masail mencari solusi hukum tersebut dengan mengacu kitab-kitab mazhab terlebih dahulu, seperti halnya yang telah diputuskan dalam Munas (Musyawarah Nasional) dan Konbes (Konferensi Besar) NU di  Bandar Lampung:
     “Keputusan Bahtsul Masail dibuat dalam kerangka bemazhab kepada salah satu dari empat mazhab yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli, dan apabila dalam beristinbath hukum secara qauli  tidak ditemukan dalam pendapat para ulama, maka dilakukan Istinbath dengan mencari jawaban yang digunakan oleh imam mazhab”
      Dari hasil keputusan tersebut dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar Lampung pada tanggal 21-25 januari 1992 bertepatan dengan tanggal 16-20 Rajab 1412 H7)  ini memberikan peluang untuk mengeluarkan keputusan hukum dengan  jalan  “mazhab secara manhaji”. Hal ini dilakukan karena adanya kelemahan-kelemahan yang ada pada sistem lama atau sebelum Munas Lampun   Selain itu, hasil Munas Lampung juga merupakan suatu terobosan baru dalam pengembangan pemikiran NU. Pasalnya ditangan Ulama NU, Istinbat mengalami pengerutan dan pendagkalan makna Istinbath tidak dimaknakan pengambilan hukum secara langsung dari sumber asli, melainkan sekedar mentahqiq (mencocokkan)kasus yang terjadi dengan referensi tertentu saja. Metodologi Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqhiyyah dalam Bahtsul Masail hanya digunakan sebagai penguat atas keputusan yang diambil, bukan sebagai Manhaj Al-Istinbath dari sumber primer.
 Adapun dalam penggunan mazhab secara Manhaji ini sebagai penyelesaian dari masalah-masalah hukum kontemporer disebut suatu terobosan baru, mengingat Bahtsul Masail NU tidak lagi memaksakan diri unutk mencari rujukan kepada pendapat (aqwal) yang sudah jadi dalam masalah tertentu saja, melainkan dengan menggunakan jalan berpikirnya imam mazhab ketika memcahkan persoalan hukum.
Penggunaan bermazhab secara manhaji ini dilakukan apabila dalam bermazhab secara qauli tidak ditemukan qaul atau wajh, yang bisa dijadikan pijakan untuk menjawab suatu masalah baru dan dengan manhaj ini pula, aqwal-aqwal yang bertebaran dalam kitab fiqh dapat ditimbang denagn menelusuri jalan berpikir yang digunakan ketika imam mazhab memutuskan suatu masalah hukum, yang mana mereka (imam mazhab) tersebut tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan atau sosio-kultural masa itu.
Dari pernyataan ini akan kami jelaskan secara rinci istilah-istilah dalam metode Istinbath hukum Bahtsul Masail:
a)        Metode Qauly
  Metode Qauly tersebut merupakan prosedur pertama yang harus   dijalani oleh ulama NU dalam istinbath al-ahkam. Metode ini merupakan metode yang menggunakan qaul atau pendapat ulama masa lalu. Adapun dalam hukum postif metode ini bisa di istilahkan dengan  jurisprudensi, yaitu memutuskan perkara berdasarkan keputusan hakim sebelumnya pada perkara yang dianggap sama. Metode ini juga suatu cara yang digunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Bahtsul Masail dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pda kitab-kitab fiqh yang empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah” jadi” dalam lingkup mazhab tertentu. 
  Pengambilan qaul atau wajh7­) dari teks-teks kitab mazhab merupakan cara yang lebih banyak dipakai dan diutamakan oleh NU, baik ketika menghadapi masalah-masalah khilafiyah maupun ketika menghadapi kasus-kasus baru. Dari 438 fatwa yang dikeluarkan oleh Batsul Masail NU, sebagian besar kasus diselesaikan dengan mengambil ‘ibarat kitab atau dengan menggunakan metode qauly.
  Ulama-ulama NU beralasan bahwa penggunaan metode qauly dengan mengutip pendapat mazhab ini bukan berarti tidak berdasarkan keputusan fatwa kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi semata-mata karena berhati-hati8).  Mereka beralasan bahwa para ulama dalam setiap fatwanya selalu mendasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidaklah mungkin para ulama itu berpendapat dengan berdasarkan nafsunya. Jadi qaul yang diambil NU juga berasal dari nash yang digali oleh para ulama mazhab tersebut.  Meskipun nash-nash yang dijadikan landasan tidak dicantumkan dalam yang mereka tulis.
7) Qaul adalah pendapat imam mazhab sedangkan Wajh adalah pendapat ulama   mazhab.
8) Berhati-hati disini dalam konteks bisa berarti tawadhu’ (rendah hati) yang sering didengung-dengungkan oleh ulama NU. Tidak ada salah dengan tawadhu’ tersebut. Namun bila dikaitkan dengan pengambilan hukum, ketawadhu’an bisa menjadi ketidakmauan untuk berpikir dan penuhanan produk pemikiran masa lalu yang seharusnya tidak anti kritik.
  Konteks inilah yang sering dijadikan dasar untuk mengklaim bahwa ulama NU selalu bertaqlid. Pada titik ini bisa saja imbasnya kepada warga nahdliyyin yang kenyataan nya (menurut penulis) terjebak kepada taqlid buta, karena taqlid yang benar bagi orang yang mengerti ilmu agama (ulama) haruslah disertai dengan pemahaman dalil yang dpergunakan oleh muqallad (atau dengan kata lain ittiba’).
 Meskipun penerapan metode ini sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak  pelaksanaan Bahtsul Masail, namun hal ini baru secara impilisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992):
        Adapun prosedur pelaksanaan metode qauli adalah sebagaimana dijelaskan dalam keputusan Munas Bandar Lampung, bahwa pemilihan qaul/wajh ketika dalam suatu masalah dijumpai beberapa qaul/wajh dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan ketentuan
9) ‘Ibarah kitab adalah ungkapan atau bunyi tekstual yang ada pada kitab-kitab rujukan Bahtsul Masail.
10) Taqrir jama’iy adalah upaya bersama untuk mentapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajh.
1) Mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat(rajih).
  2) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Mukatamar NU I (1926), bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
a)        Pendapat yang disepakati Asy-Syaikhan (Imam An-Nawawi   dan Imam Ar-Rafi’i)
b)       Pendapat yang dipegang oleh An-Nawawi saja
c)        Pendapat yang dipegang oleh Ar-Rafi’i saja
d)       Pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama saja
e)        Pendapat ulama yang terpandai saja
f)        Pendapat ulama yang paling wara’
 Untuk melaksanakan ketentuan Muktamar NU I tersebut tentunya terdapat prioritas-prioritas lebih lanjut ketika qaul atau wajh yang ada ingin dijadikan sandaran dalam penetapan hukum. Prioritas tersebut diantaranya:
a)        Berdasarkan shahib qaul atau wajh, misalnya pendapat yang dipegangi oleh Imam An-Nawawi lebih didahulukan atas pendapat yang dipegangi oleh Imam Ar-Rafi’i.
b)       Berdasarkan dimana qaul atau wajh itu dimuat. Pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Tahqiq lebih didahulukan atas pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ kemudian Al-Tankih, Ar-Raudlah dan Minhaj.
3) Dalam kasus tidak ada qaul atau wajh sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail binaizairiha11),secara jama’i oleh ahlinya
12)Ilhaqul masa’il binazairiha adalah menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus yang serupa yang telah dijawab oleh kitab.
Untuk memudahkan dalam memahami metode tersebut kami akan memberikan sebuah contoh:
   Soal (S): Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, atau madrasah atau pondok (asrama) karena itu semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam Al-Qaffal?
    Jawab(J): Tidak boleh. Karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam Al-Qaffal itu adalah dha’if  (lemah).
    Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir Al-Munir.juz 1.
والتفقوا على منع الإخراج لبناء مسجد أو تكفين ميّة ا.ه (رحمة الأمّة)
“Dan mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan masjid atau mengkafani mayit” (Rahmatul Ummah).
ونقل القفال عن بعض الفقهاء أنهم اجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير
من تكفين الموتى وبناء الخصون وعمارة المسجد لأن قوله تعالى فى سبيل الّله علم فى الكل ا.ه (تفسير المنير)
”Dan Al-Qaffal mengutip dari sebagian fuqaha’, bahwa mereka memperbolehkan belanja harta zakat untuk semua segi kebaikan, seperti mengkafani mayat, membangun benteng, dan memakmurkan masjid karena firman-Nya SWT. fi sabilillah (di jalan Allah) mencakup semuanya. (Tafsir Al-Munir
Jadi secara ringkasnya dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Bahtsul Masail dengan mengacu pada bunyi teks (qaul) dari kitab-kitab mazhab empat, dan karenanya disebut metode qauly yang dalam tataran ijtihad dapat di samakan dengan metode bayaniy. Akibatnya proses Bahtsul Masail ini mirip dengan apa yang terjadi dalam gudang tempat persediaan kebuthan masyarakat. Bila ada masyarakat yang membutuhkan kebutuhan hidup, maka tinggal memesan kepada pemilik gudang, maka pemilik gudanglah yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat, dari hal ini masyarakat dan penilik gudang sama-sama berasumsi bahwa gudang yang ada tersebut akan memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari, sehingga tidak memerlukan lagi sebuah pabrik yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri.
 Begitulah juga dengan para ulama dan warga NU berpendapat bahwa metode Bahtsul Masail dengan mengacu pada kitab-kitab mazhab empat (cenderung syafi’iyyah) secara qauli masih representatif (pilihan) untuk menjawab segala kebutuhan masyarakat dalam segala zaman dan berilkut tantangannya. Dalam prakteknya metode ini paling dominan dipergunakan dalam Bahtsul Masail dengan setidaknya 362 keputusan yang diambil berdasarkan metode ini.
b) Metode Ilhaq
        Ilhaq berasal dari kata “الحق-يلحق-الحاق” Yang memiliki arti menghubungkan, kata الحاق"” jika dirunut berasal dari kata “لحق” yang memiliki arti mengikuti. Ilhaq yang lengkapnya adalah ilhaq al-masail bi-nazairiha secara bahasa berarti menyamakan beberapa masalah yang memiliki keserupaan dengan masalah serupa yang pernah ada.
      Secara istilahi al-masail bi-nazairiha , dirumuskan oleh ulama nu dalam munas alim ulama nu di bandar lampung yaitu menyamakan hukum sesuatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab, atau dengan kata lain menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi. metode ilhaq merupakan upaya perluasan hukum terhadap kasus-kasus yang belum terjawab oleh ulama masa lalu. Dan merupakan metode alternatif ketika suatu kasus, tidak atau belum ada nash kitab yang membahasnya. Dalam prakteknya metode ini menggunakan prosedur mirip dengan qiyas.
     Metode ilhaq yang dirumuskan oleh ulama NU bukan satu metode yang merupakan murni produk pemikiran ulama NU sendiri, karena sebenarnya penggunaan ilhaq telah dipraktekkan jauh sebelum ulama-ulama NU. Yaitu pada periode ulama mazhab, golongan ini lebih dikenal (dalam tingkatan mujtahid) sebagai mujtahid mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab sebagai tempat ia bernaung, baik dalam ushul maupun furu’. Fungsi dan peran mujtahid mazhab pada hakekatnya adalah mengambil kaidah-kaidah yang telah dipakai para imam pendahulunya, serta semua kaidah fiqhiyah yang bersifat umum yang termasuk dari ‘illat-‘llat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar tersebut.
Mereka memahami dasar-dasar pemikiran para imam mereka, bahkan mampu menguraikannya dengan sangat cermat dan mendalam, mampu membedakan pendapat sahabat-sahabatnya. Dalam beberapa kasus yang tidak diriwayatkan atau belum dikaji dan ditetapkan hukumnya oleh imamnya, mereka melakukan analogi kepada kasus-kasus yang sudah diputuskan oleh imam mazhabnya. Metode ini disebut qiyas ‘ala al-amsal atau ilhaq al-masa’il bi nazairiha. Termasuk ulama dalam kategori ini adalah al-khassaf (w. 261 h), abu al-hasan al-karkhi (260-340 h), al-jassas (305-370 h) dari golongan hanafi, muhammad bin yahya bin lubbah (w. 326 h), al-lakhami (w. 498 h), ibn rusyd (w. 595 h) pengikut mazhab maliki, abu ishaq ibrahim al-isfarani (w. 418 h) dari mazhab syafi’i.
 Ilhaq secara teknis persis dengan qiyas. Yang membedakan dalam hal ini adalah ilhaq merupakan penyamaan kasus hukum yang belum ditentukan nashnya dalam kitab pada kasus hukum yang telah ditemukan ketentuan dan ketetapan hukumnya, sedang qiyas merupakan penyamaan hukum pada kasus yang belum terdapat nass (al-qur’an dan as-sunnah) membicarakan hukumnya lansung pada ketetapan kasus yang telah ditetapkan dalam nass baik al-qur’an dan as-sunnah.
 Jika dalam qiyas terdapat elemen pokok sebagai prosedur operasionalisasi penggalian dan penetapan (istinbat) hukum yaitu al-asl, al-far’, hukm al-asl, dan ‘illat.
   Adapun ilhaq memiliki rukun-rukun sebagai berikut :
1.        Mulhaq bih adalah sesuatu yang telah mendapatkan ketetapan hukum atau sesuatu yang menjadi pertimbangan hukum (masalah yang diikuti).
2.        Mulhaq adalah sesuatu yang belum mendapat ketetapan hukum (furu’) atau kasus baru yang dihukumi.
3.        Wajhu al-ilhaq adalah segi-segi kemiripan atau kesamaan ‘illat hukum.
Ilhaq ini boleh dilakukan oleh mulhiq yang ahli yaitu ulama yang mampu memahami isi kandungan kitab baik itu yang terkait dengan alasan rasional-logis seorang ulama yang menelorkan pendapat dalam kitabnya yang akan dijadikan rujukan hukum dan secara jama’i, hal ini dimaksudkan agar memperoleh ketetapan hukum yang bisa dipertanggung jawabkan dan selaras dengan maksud dan tujuan hukum itu. 
untuk lebih jelas operasionalisasi metode ilhaq dalam bahtsul masail nu, akan dikutip beberapa kesepakatan hukum yang telah diputuskan. misalnya permasalahan tentang kedudukan hak cipta dalam hukum waris.
   S: apabila hak cipta menghasilkan uang atau nilai ekonomi selama dalam waktu yang ditetapkan menurut undang-undang hak cipta. bagaimanakah kedudukannya dalam hukum waris, sedangkan harta mayit yang lain sudah lama dibagi waris, dan bagaimana pula kaitannya dengan zakat ?
   J : kedudukan hak cipta dalam hukum waris adalah termasuk tirkah(harta warisan) sekalipun harta almarhum yang lain sudah lama dibagi, adapun kaitannya dengan zakat adalah seperti halnya mal biasa.
contoh permasalahan hukum di atas merupakan kasus hukum yang ditetapkan dengan menggunakan metode ilhaq, karena dari uraian di atas jelas kedudukan hak cipta dalam hukum waris itu merupakan fenomena yang belum ada. ulama nu menyikapi kasus hukum ini dengan cara menyamakan atau mengikuti hukum hak cipta dengan perankap burung yang memiliki kesamaan (keserupaan) ‘illat hukum yaitu pada hak cipta dan perangkap  burung mempunyai nilai ekonomis yang bisa diambil keuntungannya.
Contoh ilustrasi metode ilhaq
Mulhaq bih : perangkap burung
Mulhaq : hak cipta
Wajh al-ilhaq (segi kesamaan) : menghasilkan nilai ekonomis
Hukum fiqh : tirkah (harta warisan )
 Dari ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa suatu kasus baru yang belum ditemukan nassnya dalam kitab fiqh, ia dapat diselesaikan dengan melihat kesamaan-kesamaan dalam suatu kitab fiqh, kemudian dianalisis, apakah paralelnya dekat atau bahkan hampir indentik dalam esensinya dengan masalah yang dijadikan pedoman ilhaq (mulhaq bih). selain itu dengan cara melihat kesamaan ‘illat antara dua kasus, sehingga bisa ditetakan suatu hukum. meskipun dalam operasionalisasinya ilhaq memiliki rukun-rukun seperti disebutkan di atas namun ulama nahdliyyin tidak mempraktekkan secara ketat, karena penjawaban atas suatu masalah dalam bahtsul masail NU hanya merupakan upaya pencarian jawaban-jawaban yang cocok dengan ibarat kitab atau disamakan dengan kasus yang sudah ada.
 Meskipun keputusan NU untuk menggunakan metode ilhaq ini boleh dikata cukup maju-karena berilhaq termasuk juga dalam berijtihad-, akan tetapi masih menyisakan status kemusykilan. Sebab, dalam konsep ilhaq yang dijadikan mulhaq bih adalah aqwal al-‘ulama’, sementara aqwal al-‘ulama’ mestilah terkait dengan konstruk sosial budaya masyarakat dimana ia dirumuskan.
 Karenanya ia rentan terhadap perubahan. Bagaimana mungkin menganalogikan sesuatu yang baru kepada sesuatu yang rentan terhadap perubahan (mutaghayyir), sementara yang dikehendaki adalah mendapatkan kepastian hukum.Bagaimana sesuatu yang berubah dapat dijadikan patokan hukum. Karena itu, dari sisi metodologis, konsep ilhaq itu rapuh. Jadi kepada NU perlu dikembangkan lagi kedepannya.
c) Metode Manhajiy
  Metode Manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Batsul Masail dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab.
  Metode ini ditegaskan penggunaannya oleh Lajnah Bahtsul Masail NU dalam Sistem Pengambilan Hukum dan Hierarki Hasil Keputusan Bahtsul Masail Munas Alim Ulama NU pada tahun 1992 di Bandar Lampung pada butir 4 sistem pengambilan keputusan, yaitu:
 “Dalam kasus tidak ada qaul atau wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka harus dilakukan istinbath jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhajiy”
     Yang dimaksud istinbath jama’i adalah usaha maksimal para ulama dalam mengeluarkan hukum syara’dengan kaidah-kaidah fiqh dan kaidah ushul fiqh, yang dilakukan secara kolektif melalui musyawarah ulama. Sehingga kalau dipetakan, metode manhajiy ini dilakukan dengan mendasarkan jawaban yang pada mulanya adalah Al-Qur’an, kalau tidak ditemukan maka kepada Hadist, dan begitulah seterusnya, sampai seterusnya yang akhirnya sampai pada kaidah fiqhiyyah:
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada upaya memperoleh kemashlahatan”

   Prosedur bermazhab secara manhajiy ini dilakukan apabila persoalan keagamaaan yang ada tidak mampu dijawab, baik dengan menggali ibarah kitab (tekstual) maupun dengan ilhaq. Bisa dikata bahwa yang dimaksud adalah persoalan-persoalan kontemporer yang ulama masa lalu tidak sampai berpikir sedemikan jauh.
 Contoh penerapan metode manhajiy adalah keputusan Kongres/Muktamar I (1926):
   S: dapatpahalakah sedekah kepada mayit
   J: Dapat !
   Keterangan:dalam kitab al-Bukhoriy bab ”janazah” dan kitab al-Muhadzdzab bab “wasiyat”
روى ان عباس ان رجلا لرسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم أن أمي قد توفيت أينفعها أن اتصدق عنها؟ فقال:نعم. قال فإن لى مخرفا فأشهدك أني قد تصدقت بها عنها. ا.ه
  
“Ibn Abbas meriwayatkan bahwasannya ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW. Sungguh ibuku telah meninggal dunia. Apakah dia dapat memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya. Maka beliau menjawab: Ya. Dapat! Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu. Bahwasannya aku bersedekah untuk dia
 Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy, karena langsung merujuk kepada Hadist  yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh ke empat imam mazhab setelah Al-Qur’an.
  
No.
Methode
Frekuensi
%
1
Qauliy
362
84.6
2
Ilhaqiy
33
7.7
3
Manhajiy
8
1.9
4
Tidak Jelas
25
5.8
Jumlah
426
100
Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Ustman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin’Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Abu ‘Abdilla al-Qurasyi asy-Syafi’I al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putra pamannya.
    Al-Muthathalib adalah saudara Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muththalib. Kakek Rasulullah SAW dan kakek Imam asy-Syafi’I berkumpul ( bertemu nasabnya) pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah SAW yang ketiga.
    Imam an-Nawawi rahimahullah berkata; “ Imam Syafi’I rahimahulllah adalah Qurasyi ( berasal dari suku Quraisy ) dan Muththalibi (keturunan Muththalib) berdasarkan ijma’ ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku Azdiyah.
    Para sejarawan sepakat bahwa Imam asy-Syafi’I lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah rahimahullahImam al-Hakim rahimahullah berkata; “ Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat bahwa Imam asy-Syafi’I rahimahullah lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Hal ini mengisyaratkan bahwa Imam asy Syafi’i rahimahullah menggantikan Imam Abu Hanifah rahimahullah dalam bidang yang digelutinya.”
    Ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’I rahimahullah lahir pada hari meninggalnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini disinyalir tidak benar, tetapi pendapat ini bukan pendapat yang sangat lemah karena Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim rahimahullah dalam Manaaqibusy Syafi’i meriwayatkan dengan sanad jayyid bahwa Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah berkata; “ Imam asy-Syafi’i rahimahullah lahir pada hari kematian Abu Hanifah rahimahullah. “Namun, kata yaum pada kalimat ini dapat diartikan lain[1] karena secara umum, kata itu bisa diartikan masa atau zaman. Menurut pendapat yang shahih, Imam Abu Hanifah rahimahullah wafat pada tahun 150 H. Akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 151 H. Pendapat lainnya lagi menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 153 H. Hanya saja, saya tidak menemukan dalam buku-buku tarikh (sejarah) yang menyebutkan bulannya secara pasti. Dengan demikian, para sejarawan tidak ada yang berselisih-sebagaimana yang telah dikemukakan-bahwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah lahir pada tahun 150 H, namun tidak ada yang memastikan bulannya. Inilah yang menjadikan penuturan Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman tersebut lebih mungkin dapat dipahami jika dilihat tidak secara lahiriyahnya, melainkan dengan cara ditakwil, yaitu kata yaum yang dimaksutkan adalah masa atau zaman. Wallahu a’lam.
    Ada banyak riwayat  yang menyebutkan tentang tempat kelahiran Imam asy- Syafi’i rahimahullah. Yang paling populer adalah beliau dilahirkan di kota Ghazzah. Pendapat lain mengatakan di kota ‘Asqalan, sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim rahimahullah dari ‘Amr bin Sawad, ia berkata:” Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepadaku :’ Aku dulahirkan di negeri ‘Asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Mekkah.’
Sementara Imam al-Baihaqi menyebutkan dengan sanadnya, dari Muhammad bin ‘Abdillah bin “Abdul Hakim, ia berkata: “Aku mendengar Imam Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata ;” Aku dilahirkan di negeri Ghazzah. Kemudian, aku dibawa oleh ibuku ke ‘Asqalan.’”
    Dalam riwayat lain, Ibnu Abi Abi Hatim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada putra saudaranya, ‘Abdullah bin Wahab rahimahullah, ia berkata: “Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ‘ Aku dilahirkan di Yaman. Karena ibuku khwatir aku terlantar, ia pun berkata:” Temuilah keluargamu agar engkau menjadi seperti mereka sebab aku khawatir nasabmu terkalahkan. Maka ibuku membawaku ke Mekkah ketika aku berusia sepuluh tahun.’”6
    Imam al-Baihaqi rahimahullah memadukan riwayat-riwayat ini. Setelah menyebutkan riwayat putra saudaranya, ‘Abdullah bin Wahab, ia berkata: “Begitulah yang terdapat dalam riwayat, yaitu bahwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah dilahirkan di Yaman. Akan tetapi, menurut pendapat yang shahih, ia dilahirkan di kota Ghazzah.” Selanjutkan al-Baihaqi berkata: “Ada kemungkinan yang ia maksudkan adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghazzah.” Lebih lanjut, al-Baihaqi rahimahullah berkata: “ Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah kemudian ia dibawa ke ‘Asqalan lalu ke Mekkah. Wallahu a’lam.”7
    Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “ Tidak ada pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. ‘Asqalan adalah kota yang sejak dahulu telah dikenal, sementara Ghazzah berdekatan dengannya. Jadi, bila Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa ia dilahirkan di ‘Asqalan, berarti maksudnya adalah kotanya, sedangkan Ghazzah adalah kampungnya.”
    Imam asy-Syafi’i tumbuh di negeri Ghazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal. Oleh karena itu, berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarga. Namun, kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam menghadapi kehidupan setelah Allah SWT memberinya taufik untuk menempuh jalan yang benar. Setelah sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yakni kota Makkah, menurut riwayat terbanyak atau tempat dekat Makkah, mulailah Imam asy-Syafi’i menghafal al-Qur’an sehingga ia berhasil merampungkan hafalannya pada usia 7 tahun. Imam asy-Syafi’I begitu tekun belajar sehingga ia dapat menghafal al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan hafal kitab al- Muwaththa’ (karya Imam Malik rahimahullah, pen) dalam usia 10 tahun. Pada saat ia berusia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun), Imam asy-Syafi’i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji rahimahullah. Imam asy- syafi’i menaruh perhatian yang besar terhadap sya’ir dan bahasa sehingga ia hafal sya’ir dari suku Hudzail. Bahkan, ia hidup bergaul bersama mereka selama sepuluh atau dua puluh tahun menurut satu riwayat. Kepada merekalah Imam asy-Syafi’i belajar bahasa arab dan balaghah. Imam asy-Syafi’i belajar banyak hadits kepada para syaikh dan imam. Dia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’ dihadapan Imam Malik bin Annas rahimahullah dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum terhadap bacaan dan kemauannya. Imam asy-Syafi’i juga menimba dari Imam Malik ilmu para ulama Hijaz setelah ia mengambil banyak ilmu dari syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji. Selain itu, Imam asy-Syafi’i uga mengambil banyak riwayat dari banyak ulama, juga belajar al-Qur’an kepada Ismail bin Quthanthin ( yang diriwayatkan,) dari Syibl, dari Ibnu Katsir al-Makki, dari Mujahid rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas, dari Ubay bin Ka’ab, dari Rasulullah Saw.
    Setelah Imam asy-Syafi’i hafal al-Qur’anul al- Karim di Makkah, belia pun senang akan sya’ir dan bahasa sehingga ia selalu bolak-balik ke suku Hudzail untuk menghafal sya’ir-sya’ir mereka. Yang tampak adalah bahwa ia telah hafal banyak dari sya’ir-sya’ir mereka sejak kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh aal-Abarrirahimahullah melalui jalur ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah, ia berkata: “Aku mendengar Imam asy-Syafi’i berkata: ‘ Ketika aku berada di sebuah tempat belajar aku mendengar seorang guru mengajarkan suatu kalimat lalu aku menghafalnya.’ Katanya lagi: ‘Aku keluar dari Makkah sesudah menginjak usia baligh. Setelah itu, aku menetap di tengah-tengah suku Hudzail di pedusunan. Aku mempelajari bahasa dan mengambil ucapan-ucapan mereka. Sungguh, mereka adalah kabilah Arab yang paling fasih bahasanya.”
    Imam al-Hakim rahimahullah meriwayatkan melalui jalur Mush’ab az-Zubairi, ia berkata: “ Imam asy-Syafi’i membaca sya’ir-sya’ir Hudzail dengan cara dihafal. Kemudian, ia berkata kepadaku: ‘ Jangan kamu ceritakan ini kepada siapapun.’ Dipermulaan malam, ia mengulang-ulang pelajarannya bersama ayahku hingga subuh.” Pada awalnya, Imam asy-Syafi’i belajar sya’ir, sejarah, dan peperangan bangsa Arab, juga sastra, dan setelah itu baru belajar fiqih. Yang mendorongnya mendalami ilmu fiqih adalah karena ketika Imam asy-Syafi’i pergi menaiki seekor binatang, iapun membaca bait-bait sya’ir. Mendengar bacaan itu, berkata kepadanya sekretaris orang tuanya, Mush’ab bin ‘Abdullah az-Zubairi: “Orang seperti kamu jika menjadi penyair akan hilang perangainya sebagai manusia, kecuali engkau belajar fiqih.” Dari kejadian tersebut tergugahlah hati Imam asy-Syafi’i rahimahullah untuk mendalami fiqih. Sesudah itu, ia pun mendatangi Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Makkah, dan berguru kepadanya. Selanjutnya, Imam asy-Syafi’i pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik rahimahullah.10 Sebelum pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik, Imam asy-Syafi’i rahimahullah terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-muwathta’. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia hafal kitab tersebut dalam usia sepuluh tahun. Riwayat lain menyebutkan ia hafal pada usia tiga belas tahun.11 Tentang perjalannya untuk bertemu dengan Imam Malik, Imam asy-Syafi’i becerita sebagai berikut: “ Aku keluar dari Makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku Hudzail di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya. Mereka adalah suku Arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama mereka, aku pun kembali ke Makkah. Yang jelas, tinggalnya Imam asy- syafi’i di Madinah tidak terus- menerus, melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk menengok ibunya. Dalam kepulangannya itu, ia menyempatkan diri untuk mendengarkan sya’ir-sya’ir suku Hudzail dan belajar kepada ulama’ Makkah. Sejumlah riwayat dan keterangan menyebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i pergi ke Madinah dalam usia tiga belas tahun, yakni sekitar tahun 163 H. kemudian, ia pulang pergi antara Madinah, Makkah, dan perkampungan Hudzail meskipun kebanyakannya ia menetap di Madinah mendampingi Imam Malik bin Anashingga beliau wafat pada tahun 179 H. setelah itu, barulah Imam asy-Syafi’i pulang ke Makkah sesudah memperoleh banyak ilmu dari Imam Malik. Maka mulailah nama dan keilmuannya terkenal, padahal umurnya pada saat itu baru 29 tahun. Pada fase ini Imam asy-Syafi’i telah berguru kepada Sufyan bin ‘Uyainah, Muslim bin Khalid az-Zanji, Ibrahim bin Abu Yahya, dan Malik bin Anas rahimahullah di Madinah. Selain itu, ia pun belajar kepada ulama lainnya, sebagaimana dituturkan oleh Mush’ab az-Zubairi: “Imam asy-Syafi’i telah mengambil hampir semua ilmu yang dimiliki oleh Imam Malik bin Anas dan menghimpun ilmu para syaikh yang ada di Madinah.”12
    Sekembalinya dari Madinah ke Mekkah, Imam asy-Syafi’i sibuk dengan ilmunya. Sementara itu, jiwanya sangat gandrung terhadap ilmu sekalipun ia tidak mampu membeli kitab-kitab karena miskin. Begitulah sifat para ulama yang di anugerahi oleh Allah SWT kelezatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah merasa puas dengan ilmu yang di milikinya. Rasulullah SAW pun telah menyatakan hal itu dalam haditsnya yang berarti :
“ Dua orang yang rakus yang tidak pernah merasa kenyang: pencari ilmu dan pencari dunia.”13
    Jiwa Imam asy-Syafi’i sangat haus akan ilmu ulama Yaman, sementara yang tersisa dari para ulama Yaman yang merupakan pemuka ulama adalah sahabat Ibnu Juraij,yaitu Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif bin Mazin.Ibnu Juraij sendiri memgambil ilmu dari Imam ‘Atha.Namun, karena tidak memiliki biyaya cukup, Imam asy-Syafi’i tidak dapat pergi ke Yaman. Ia endiri telah mendengar dari teman-teman dekatnya bahwa Yaman adalah gudang ilmu, baik ilmu firasat maupun ilmu lainnya sehingga ia berminat untuk berangkat ke negeri tersebut. Hal ini di ketahui oleh para sahabat dekatnya dan orang-orang yang bergaul dengannya.
    Diakhir hayatnya, Imam asy-Syafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam asy-Syafi’i tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak memerdulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan rajab tahun 204 H –semoga Allah SWT memberikan rahmat yang luas kepadanya.17  Al-Muzani rahimahullah berkata:” Tatkala aku menjenguk Imam asy-Syafi’i pada sakit yang membawa kepada kematiannya, aku bertanya kepadanya: ‘ Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?’ Imam asy-Syafi’I menjawab: ‘Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku akan meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan amal jelekku. Demi Allah, aku tidak tau ruhku akan kembali: ke Surga yang dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka.’ Kemudian, Imam asy-Syafi’i mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang bercucuran, seraya mengucapkan bait-bait sya’ir:
    Wahai, Ilah, Rabb makhluk semesta
    Kepada Engkau aku ajukan pengharapan
    Sekalipun aku orang yang banyak melakukan dosa
    Wahai, Dzat pemilik karunia dan kemurahan
    Tatkala kalbuku keras dan jalan-jalanku sempit
    Aku jadikan pengharapan dari-Mu sebagai tangga
    Dosa-dosaku menguasai diriku,
    Tetapi ketika aku bandingkan dengan pengampunan-Mu
    Wahai, Rabbku,jauh lebih besar pengampunan-Mu
    Engkau senantiasa pengampun segala dosa dan kesalahan
    Engkau tetap Pemurah dan Pemberi karunia dan kemuliaan
    Maka andai tidak karena kemurahan-Mu
    Tidaklah bertahan si penyembah iblis
    Betapa tidak?
    Ia telah memperdaya kekasih-Mu Adam
    Bila Engkau memaafkan aku ,
    Berarti Engkau memgampuni si pelaku kedzaliman
    Yang penuh gelimang dosa dan kesalahan
    Dan andai Engkau murka kepadaku,
    Aku tidak akan putus harapan
    Sekalipun diriku dimasukkan ke Jahannam
    Karena dosa-dosa yang aku lakukan
    Sungguh besar dosaku,
    Baik yang sekarang maupun yang dahulu
    Namun, ampunan-Mu lebih besar dan lebih banyak
    Wahai, dzat Pemberi maaf
2.Karya
    Mungkin  banyak kitab yang telah dikarang oleh Imam Syafi`i ketika berada di Makkah, tetapi tidak risalah pertama yang dibuat oleh Imam Syafi`i atas permintaan Abdur Rahman ibn Mahdi, ini merupakan sebuah karya di bidang ushul fiqh yang kemudian terkenal dengan nama Ar-Risalah. Baru setelah perjalanannya yang kedua yakni ke Irak mulai tersohor banyak karangannya. Kitab-kitab yang disusun di Baghdad dinamakan al-Hujah, atau al-Mabsut.[2]Kitab ini sesudah Imam Syafi`i bermukim di Mesir diperbaiki, disempurnakan lalu dinamakan al-Umm. Diantara kitab-kitabnya yang ditulis di Mesir ialah al-Amali dan al-Imlak. Namun sebernarnya kitab-kitab yang ditulis di Mesir tersebut bukanlah kitab yang baru, tetapi hasil penyempurnaan dari kitab-kitabnya yang disusun ketika di Baghdad berdasarkan kepada pengalaman- pengalaman baru. Ada juga muridnya, Al-Buwaithi, yang menikhtisarkan kitab-kitab dari Sang Imam dan dinamakan al-Muhktasar. Begitupun al-Muzani.
3.Murid
        Karena pengembaraannya yang luas sehingga muncullah murid-murid dari berbagai wilayah terutama yang dulu pernah disinggahi oleh Imam Syafi`i dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmunya diantaranya dari Mekkah yaitu Abu Bakar al-Humaidi yang ikut dalam perjalanan Imam Syafi`i ke Mesir, Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad, Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul Walid, Musa ibn Abi Jarud. Adapun murid-muridnya di Baghdad ialah Abu Ali al-Hasan Az-Za`farani, Abu Ali al-Husin ibn Ali al-Karabisi, AbuTsaur al-Kalbi, Abu Abdur Rahman, Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya al-Asy`ari. Diantara yang mengembangkan mazhab sendiri yaitu Ahmad ibn Hanbal serta Ishak. Selain itu adajuga beberapa muridnya di Mesir yaitu: Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah, ia telah meriwayatkan kitab Imam Syafi`i yang tidak diriwayatkan oleh Ar-Rabi`, Abu Ya`kub Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, ia dijadikan pengganti oleh Imam Syafi`i karena penghargaannya, ia wafat dalam penjara karena tak mau mengakui bahwa Al-Qur`an itu makhluk, Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzani, yang menulis al-Mabsut dan al-Mukhtasar, Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam, Ar-Rabi` ibn Sulaiman ibn Daud al-Izzi, Ar-Rabi` ibn Abdul Jabbar ibn Kamil al-Muradi, yang merupakan periwayat kitab-kitab Imam Syafi`i.
C. CIRI KHAS ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI’I
1. Komitmen Terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah dan Mendahulukan keduanya daripada Akal
    Mengambil lahiriyah al-Qur’an dan sunnah merupakan dasar pertama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka menjadikan keduanya ini sebagai dasar pertama mereka karena al-Qur’an dan as-sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil/ mempelajari ‘aqidah islam. Seorang Muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah wajib diterima dan di tetapkan ( tidak ditolak ) oleh seorang Muslim. Demikian pula apa yang di nafikan ( ditolak) oleh keduanya,maka wajib bagi seorang Muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan, melainkan dengan cara berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-sunnnah.
2. Mengakui Hadist Ahad
a.)Pandangan Imam asy-Syafi’i tentang Hadist Ahad
Para ulama hadist dan ushul fiqih membagi hadits Rasulullah Saw menjadi dua bagian: mutawatir dan ahad.
1.        Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika, mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Hadits ini diriwayatkan dari orang banyak seperti mereka menyandarkan hadits ini kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.
2.        Hadits ahadialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syaratnya.
Dari segi diterima dan ditolaknya, hadits ahad terbagi menjadi bebeapa bagian, diantaranya ada yang maqbul ( diterima) dan ada yang mardud (ditolak) sesuai dengan keadaan perawinya baik berkenaan dengan keadilannya, hafalannya dan hal-hal lain yang menjadi syarat diterimanya hadits.
b.) Syarat-syarat sah dan diterimanya hadits menurut imam asy-Syafi’i
                1. Sanadnya muttashil (tersambung), tidak putus
                2. Para Perawinya adil
3. Selamat dari syudzudz. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah riwayatnya          bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah darinya.
4. selamat dari ‘illat atau cacat yang membuatnya cela.
                c.) Apa yang ditunjukkan oleh hadist ahad
                                              Terjadi ikhtilafantar ulama tentang apakah hadits ahad itu menunjukkan kepada ilmu ( suatu keyakinan) atau hanya menunjukkan kepada zhann (dugaan)? Ada tiga pendapat tentang masalah ini:
1.        Hadits ahad menunjukkan ilmu (yang yakin) secara mutlak. Baik didukung oleh beberapa qarinah (indikasi) maupun tidak.
2.        Hadist ahad menunjukkan dzann secara mutlak, baik ditopang oleh beberapa indikasi maupun tidak. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul fiqih secara umum yang diikuti oleh sebagian ahli hadits mutaakhhkirin , seperti an-Nawawi rahimahullah.21
3.        Hadits ahad menunjukkan ilmu (yang yakin) apabila ditunjang oleh beberapa syahid (penguat). Pendapat ketiga ini adalah, pendapat sekelompok penganut berbagai madzhab dan ahli ushul fiqih. Inilah pendapat yang didukung oleh Imam al-Amidi.
d.) Mengambil dan Mengamalkan hadits ahad
  Para sahabat ra. Dan orang-orang sesudahnya yang terdiri dari para Tabi’in dan generasi salaf ummat ini, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad itu menunjukkan ilmu yang yakin maupun yang berpendapat hadits ahad menunjukkan dzann , berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih diantara mereka, kecuali kelompok yang tidak masuk hitungan, seperti sebagian Mu’tazilah dan Rafidhah23.
          Al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata dalam kaitan ini: “ Keharusan mengamalkan hadits ahad itu adalah pendapat seluruh Tabi’in dan fuqaha sesudahnya diseluruh negeri hingga kini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang dari mereka yang menentang atau menyalahinya.”
e.) Hukum Menolak Hadits Ahad
          Imam Syafi’i berkata: “ Menurut hemat saya, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad lalu ia menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengan akalnya.
3.Masa Studi dan Pelawatannya
        Meskipun Imam Syafi`i merupakan murid dari Imam Malik namun beliau tidak serta merta menerima sepenuhnya menjadi pengikutnya, ia melepaskan diri dari Imam Malik dan mendirikan mazhabnya sendiri setelh meninggalkan Baghdad. Sebelum itu ia terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Malik dan mempertahankan Mazhab Madinah hingga ia dinamai Nashirus SunnahSetelah bermukim di Irak dan mempelajari fiqh disana ia merasa perlunya fiqh baru yang menggabungkan antara fiqh Irak dan Madinah. Iapun menemukan kelemahan-kelemahan dari mazhab malik dan juga dari mazhab Irak. Sehingga lahirlah qoul qadimnya yang dibentuk ketika di Irak. Pada saat melawat ke Mesir ia banyak menemukan kebudayaan baru dan iapun memperbaiki risalah-risalahnya dan terbentuklah qoul jadid dan melepaskan qoul qadim. Sebagai contoh tentang perihal berurutan (muwaalah) dalam wudhu, qoul qadim mewajibkan hal tersebutdengan alasan huruf wawu yang gerdapat dalam surat al-Maidah ayat 6 menunjukkan arti berurutan, sedangkan dalam qoul jadiddihukumi sunnat dengan dasar Rasulullah SAW. Pernah berwudhu dan menunda dalam membasuh kaki beliau SAW.
4.Dalil-dalil hukum
Diantara dalil-dalil hukumnya Imam Syafi`i membagi menjadi 5 martabat yaitu:
 Martabat pertama, Kitab dan Sunnah dalam hal ini ia menempatkan as-Sunnah semartabat al-Kitab ketika mengistimbath tentang hukum khususnya hukum furu`, sebab as-Sunnah adalah penjelasan dari al-Kitab. Ia berpendapat bahwa keduanya bersumber dari Allah dan dijadikan sebagai sumber syari`at islam.
Martabat kedua, ijma`. Menurutnya ijma` adalah hujjah, ia menempatkannya dibawah al-Kitab dan as-Sunnah dan diatas qiyas.
Martabat ketiga, pendapat sebagian sahabat.
Martabat keempat, pendapat-pandapat sahabat yang ditolak oleh sahabat-sahabat juga. Dalam pengertian Imam Syafi`i mengambil salah satunya yang dipandang dekat dengan qiyas.
Martabat kelima, qiyas.

5. Istihsan dan Maslahah Mursalah
Istihsan yaitu meninggalkan qiyas dengan memenuhi syarat dan berpegang pada dalil yang lebih kuat. Menurut Imam Syafi`i ijtihad yang menggunakan istihsan ialah batal dan berarti menciptakan hukumnya sendiri. Sedangkan mengenai bab Maslahat Mursalat Imam Syafi`i mempergunakannya dengan mengategorikannnya ke dalam bab qiyas.
6. Istishab
Istishab ialah menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain yaitu adat kebiasaan dan undang-undang sebelum islam. Imam syafi`i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Quran. merupakan akhir dalil syar`i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar