A.
Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin
Hanbal adalah seorang ulama mujtahid mutlak dari empat ulama besar yang dianut
oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Keempat imam ini yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam
Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi’i dan beliau, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal.
Adapun kisah perjalan hidup beliau adalah sebagai berikut:
1.
Nasab dan Kelahiran Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap
Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin
Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qasath bin Mazin bin Syaiban bin
Dzahl bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il bin Qasith
bin Hanab bin Qushay bin Da’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazzar bin
Ma’d bin Adnan.
Ahmad bin Hambal adalah orang arab keterunan
bani Syayban dari Rabia, yang memegang
peranan penting menaklukkan Irak dan Khurasan (Afganistan), dia lahir di
Baghdad pada tanggal 1 Rabiwulawal 164 H, atau sekitar bulan Desember tahun
780. Kakeknya Hambal bin Hilal, Gubernur Saraks, berdiam di Merv di bawah
Umayyah. Ayahnya Muhammad bin Hanbal, pegawai tentara kerajaan, kemudian pindah
ke khurasan, dan wafat disana 3 tahun kemudian. Imam Ahmad menjadi yatim piatu
dalam usia muda sekali, dan Mewy6arisi perkebunan keluarga dengan penghasilan yang lumayan. Ibu dan
bapak beliau pada masa mudanya bertempat tinggal di Marwin wilayah Khurasan
(Asia Tengah).
2.
Sifat-sifat Imam Amad bin Hanbal
Ibnu Dzuraih
Al-Kabari berkata: “Aku pernah mencari Ahmad bin Hanbal, setelah bertemu dan
mengucapkan salam padanya, maka aku melihat bahwa dia adalah seorang syaikh
yang selalu bercelak dan berkulit sawo matang agak kemerah-merahan.”
Dari Muhammad
bin Abbas An-Nahwi, dia berkata: “Aku pernah melihat Ahmad bin Hanbal, dia
berwajah tampan, berbadan sedang, bercelak dan jenggotnya berwana hitam. Dia
mengenakan pakaian dari kain kasar yang berwarna putih dengan sorban di kepala
dan selendang di pundaknya.”
Al-Maimuni
berkata: “Aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih bersih bajunya, dan
lebih perhatian terhadap dirinya ketika menata rambut, kumis dan badannya
daripda Imam Ahmad bin Hanbal.”
3.
Perjalanan Imam Ahmad bin Hanbal dalam Menuntut Ilmu
Al-Ulaimi
berkata yang ringkasnya adalah sebagai berikut: “Sejak kecil Ahmad bin Hanbal
sudah menampakkan tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai berbagai disiplin
ilmu dan banyak menghafal hadist, ibunya mengambilkan baju untuknya sambil
berpesan, “Tunggulah sampai terdengar adzan atau sampai orang-orang keluar
diwaktu pagi.”
Dia telah
menempuh rihlah (perjalanan untuk mencari ilmu) keberbagai negara,
seperti: Kufah, Basrah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur,
daerah-daerah pesisir, Morokko, Al-Jazair, Al-Faratain, Persia, Khurasan daerah
pegunungan serta kelembah-lebah dan lain sebagainya.
Yahya berkata:
“Ketika kami pergi berguru kepada Abdurrazzaq di Yaman, maka terlebih dahulu
kami melaksanakan ibadah haji. Disaat aku sedang thawaf, tiba-tiba aku melihat
Abdurrazzaq juga sedang berthawaf sehingga aku lalu mendekatinya dan
mengucapkan salam kepadanya. Setelah aku perkenalkan Ahmad bin Hanbal kepada
Abdurrazzaq, maka Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad bin hanbal, “Semoga Allah
memberikan umur panjang dan menetapkan langkahmu dalam kebaikan. Sesungguhnya
telah sampai kepadaku kabar tentang dirimu yang kesemuanya adalah kabar baik.”
Aku (Yahya)
katakan kepada Ahmad bin Hanbal. “Allah telah mendekatkan apa yang menjadi
tujuan kita. Apabila kita meminta hadist riwayat Abdurrazzaq di sini, maka
perbekalan kita tentu tersisa banyak daripada kita menemuinya dirumahnya yang
akan menelan perjalan satu bulan.”
Ahmad bin
Hanbal lalu menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan merubah niatku. Dari
bahgdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadist dari abdurrazzaq di Shan’a.
Kita harus menempuh perjalan untuk bertemu Abdurrazza disana.”
4.
Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal
Sebagaimana
telah disebutkan Al-Khathib diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah
Ismail bin Ulaiyah, Husyaim bin Busyair, Hammad bin Khalid Al-Khayyad, Mansur
bin Salamah Al-Khaza’i, Al-Mudhaffar bin Mudrak, Ustman bin Umar bin Faris, Abu
An-Nadhr Hasyim bin Al-Qasim, Abu Said Maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid,
Yazid bin Harun Al-Wasithiyin, Muhammad bin Abi Adi, Muhammad bin Ja’far
Ghundar, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi Bisyr bin
Al-Mufadhdhal, dan Muhammad bin Bakar Al-Barsani.
Juga tercatat
sebagai gurunya; Abu Dawud Ath-Thayyasali, Ruh bin Ubadah, Waqi’ bin Al-Jarrah,
Abu Muawiyah, Adh-Dharir, Abdullah bin Numair, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah,
Yahya bin Salaim, Ath-Tha’ifi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ibrahim bin
Sa’ad Az-Zuhri, Abdurrazzaq bin Hammam, Abu Qurrah bin Thariq, Al-Walid bin
Muslim, Abu Mashar Ad-Dimasyqi, Abul Yaman, Ali bin Ayyasy dan Basyr bin Syuib
bin Abi Hamzah Al-Himsyiyin.
5.
Keilmuan dan Karya Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam
Abu Zu’ah, Imam Ahmad bin Hanbal menghafal 1.000.000 (satu juta) hadist.
Kemudian hadist-hadist yang beliau hafal itu sesudah disaring dan disaring lagi
bermacam-macam lagi, maka yang dituliskan dalam kitab Musnadnya adalah
sebanyak 40.000 (empat puluh ribu) hadist, tetapi kalau dikurangi dengan
hadist-hadist yang dituliskan berulang-ulang, maka yang tinggal adalah sebanyak
30.000 (tiga puluh ribu) hadist.
Dia juga
mempunyai karya kitab yang lain semisal: At-Tafsir yang memuat 120.000
(seratus dua puluh ribu) hadist, An-Nasikh wa fi l-Qur’an, Jawabat
Al-Qur’an, Al-Manasik, Al-Kabir wa Ash-Shaghir dan lain-lain.
6.
Dakwah dan Ujian yang Dialami Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin
Hanbal adalah seorang yang memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Saw. beliau sangat membenci orang-orang yang menyimpang dari
Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad juga menyuruh kepada setiap kaum muslimin
untuk tetap diatas Sunnah dan menjauhi bid’ah.
Imam Ibnu
Baththah menuturkan dari Ubaidillah bin Ahmad, katanya: “Berpegang teguhlah
kamu dengan Sunnah Nabi Saw. Allah akan memberikan manfaat kepadamu. Dan
hidarilah perdebatan dalam masalah agama, karena orang-orang yang menyukai ilmu
kalam tidak akan beruntung. Orang yang membuat perdebatan dalam kalam,
ujung-ujungnya adalah membuat bid’ah, karena ilmu kalam tidak membawa kepada
kebaikan. Saya tidak menyukai ilmu kalam, apalagi ikut perdebatan.
Kamu harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.
pendapat-pendapat para shahabat, fiqih yang dapat kamu manfaatkan.
Tinggalkanlah perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok.
Orang-orang yang saya temui ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli
kalam, mereka juga menjauhi para ahli kalam. Kalam itu adalah akhir-akhirnya
tidak baik. Semoga Allah menjaga kita dari fitnah (ujian hati), menyelamatkan
kita dari kehancuran.”
Pada
pemerintahan Al-Ma’mun (Dinasti
Abbasiyah), beliau dipenjara, karena berbeda pendapat dengan penguasa dalam hal
apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan. Al-Muktasim berkata: “Apa
pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Al-Qur’an adalha firman
Allah yang Qadim dan bukan makhluk. Allah berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah.” (Q.S. At-Taubah: 6)
Al-Ma’mun bertanya lagi, “Apakah kamu mempunyai hujjah yang lain?”
Dia menjawab, “Ada, yaitu firman Allah yang berbunyi:
الرَّحْمَنُ. عَلَّمَ الْقُرْآنَ
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an.” (Q.S. Ar-Rahman: 1-2)
Dalam ayat
ini Allah tidak berfirman, “(Tuhan) Yang Maha
Pemurah, Yang telah menciptakan Al Qur'an.” Allah juga berfirman:
يس. وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ
“Yaa Siin. Demi Al Qur'an yang penuh hikmah.”(Q.S. Yasiin: 1-2)
Dalam
ayat ini Allah tidak berfirman, “Yasiin. Demi Al-Qur’an yang makhluk.”
7.
Murid-Murid Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin
Hanbal adalah ulama besar yang memiliki ilmu yang banyak, baik dalam ilmu
hadist, ilmu fiqih dan disiplin ilmu lainnya. Orang-orang berbondong-bondong
untuk menuntut ilmu kepada beliau.
Al-Mizzi
menyebutkan dalam kitab Tahzib Al-Kamal bahwa terdapat 88 (delapan puluh
delapan) diantara murud Imam Ahmad bin
Hanbal yang mererupakan guru-gurunya adalah, yaitu: Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’I, Waqi’ bin Al-Jarrah, Yahya bin Adam, dan Yazid bin Harun. Orang-orang
seangkatan dengan dirinya adalah; Ali Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Duhaim
Asy-Syami, Ahmad bin Abi Al-Harawi dan Ahmad bin Shalih Al-Mashri.
Termasuk para
muridnya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Adam, dan Abu dawud.
Pengikut mazhab hanbali yang terkenal adalah: Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, dan
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
8.
Detik-detik Wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
Shaleh berkata:
ketika hari pertama bulan Rabiul Awal tahun 241 Hijriyah, hari sabtu ayahku
merasakan demam yang tinggi sehingga ketika tidur dia susah sekali bernafas.
Aku sudah mengetahui penyakit yang dikeluhkannya karena aku selalu merawatnya
ketika kambuh.
Hari ini adalah
hari selasa, sementara ia meninggalnya adalah hari jum’at. Ayah berkata
kepadaku, “Wahai shaleh,” lalu aku menjawabnya, “Iya. Ada apa ayah?”
Dia berkata lagi, “Janganlah kamu menjadi berubah sedih baik di rumahmu
maupun di rumah saudaramu.” Kemudian Al-Fath bin Sahl yang ada didepan
pintu untuk menjenguknya merahasikan kedatangannya, lalu juga Ali bin Al-Ja’d
datang dan juga merahasiakan kedatangannya dan akhirnya banyak orang yang
datang.
Waktu itu ada
seorang tetangga kami datang membesuk, lalu ayahku berkata, “Sesungguhnya
aku melihatnya menghidup-hidupkan sunnah.” Ayahku gembira dengan
kedatangannya sehingga dia menggerak-gerakkan bibirnya. Sampai waktu itu,
ayahku masih melakukan shalat dengan berdiri dan aku membantunya. Dia
melaksanakan ruku’, sujud dan juga kembali dari ruku’ dengan sadar betul,
karena akalnya masih normal.
Namun pada
malam jum’at, tanggal 12 rabiul awal, tepatnya selang dua jam setelah siang
hari tampak, ayahku menghembuskan nafas terakhinya.
B.
Dasar Pegangan dan Metode Istimbath
Imam Ahmad bin Hanbal
Sabagaimana
para imam lainnya dalam berijtihad, mereka menggunakan dasar-dasar pegangan
dalam berijtihad, teruma adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. karena
kedua landasan ini tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan sebuah hukum syar’i.
Demikian dengan Imam Ahmad bin Hanbal beliau juga memiliki dasar-dasar pegangan
dan metode ijtihat tersendiri dalam menetapkan sebuah hukum syar’i.
Dasar atau
sumber dalam ijtihad mazhab hanbali adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah, terutama yang marfu’, yaitu bersumber langsung
sampai Rasulullah Saw.
3.
Qaul shahabi,
yaitu pendapat shahabat yang tidak diperselisihkan, atau menurut ulama lain
disebut dengan ijmak shahabat.
4.
Hadist Mursal, yaitu
hadist yang lemah kualitasnya.
5.
Qiyas, sebagai
alternatif terakhir jika tidak ditemukan dalil melalui sumber-sumber
sebelumnya.
1.
Al-Qur’an
a.
Pengertian Al-Qur’an
Secara
etimologi, kata Al-Qur’an adalah mashdar, kata dasar, seperti halnya qira’ah.
Contoh, qara’tul kitaba qira’atan wa qur’anan. Contoh lain dalam firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا
جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Sesungguhwqnya atas tanggungan
Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah: 17).
Qur’anahu
artinya qira’atuhu, yaitu membaca.
Secara
terminologi, Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya,
Muhammad Saw. sebagai wahyu, ditulis dalam mushaf, terjaga didalam dada, dibaca
lisan, didengar telinga, dinukil secara mutawatir kepada kita, tidak ada
keraguan di dalamnya, dan membacanya bernilai ibadah.
b.
Kedudukan Al-Qur’an menurut Imam
Ahmad bin Hanbal
Para ulama
ijmak bahwa Al-Qur’an berkedudukan paling tinggi dalam ajaran islam, yakni
menempatkannya pada sumber pertama dalam mengambil suatu hukum dari
permasalahan yang ada. Tidak boleh menetapkan sebuah hukum tanpa merujuk kepada
Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bersifat universal, absolut dan fundamental. Imam
Ahmad bin Hanbal, beliau berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, dengan
demikian Al-Qur’an memiliki posisi yang utama, karena tidak akan terjadi
kesalahan dan pertentangan didalamnya, dan tidak boleh mengkritisi Al-Qur’an,
sebab Al-Qur’an bukan makhluk. Maka beliau memposisikan Al-Qur’an sebagai
sumber utama dalam menetapkan hukum.
2.
Sunnah Rasulullah Saw.
a.
Pengertian Sunnah
Sunnah menurut
bahasa berarti jalan yang tempuh, adat kebiasaan seseorang, baik terpuji maupun
tercela (الطريقة المسلوكة). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nur Al-Din ‘Athar:
السيرة والطريقة المعتادة حسنة كانت
أو قبيحة
“Adat kebiasaan yang baik ataupun yang jelek”
Sementara itu
dalam ayat Al-Qur’an dinyatakan bahwa:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ
سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu:
"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni
mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi
sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang
dahulu.” (Q.S. Al-Anfal: 38)
Sementara
pengertian sunnah menurut para muhadditsin adalah:
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو
صفة خلقية
أو خلقية سيرة سواء أكان ذلك قبل البعثة أو بعدها
“Segala yang bersumber dari Rasulullah Saw. baik berupa
perkataan, perbuatan , taqrir, perangai,budi pekerti, perjalanan hidup, baik
sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya.”
b.
Sunnah sebagai pegangan menurut Imam
Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin
Hanbal menetapkan bahwa mencari apa yang ada dalam Al-Qur’an, haruslah melalui
sunnah. Orang yang mencari hukum dalam Al-Qur’an tidak melalui as-sunnah adalah
sesat jalannya. Hal itu disebabkan oleh:
1.
Al-Qur’an mengharuskan kita mengikuti rasul, mengikuti Rasul adalah
mengikuti sunnahnya.
2.
Diantara hadist-hadist, ada hadist yang mengharuskan kita mengikuti
Rasul dan melarang dan melarang kita untuk melihat Al-Qur’an saja dengan
membelakangi sunnah.
3.
Hukum yang telah diijma’i oleh kaum muslimin banyak yang diambil
dari sunnah, maka meninggalkan sunnah berarti menghilangkan 9/10 dari hukum
islam.
Dengan
demikian, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, mengikuti sunnah adalah sebuah
kewajiban dalam agama ini, karena makna dari dua kalimat syahadat adalah
pertama, untuk mengikuti petunjuk Allah. Kedua, ittiba’ (mengikuti)
Rasulullah Saw. Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah,
sebagaimana Allah berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S.
An-Nisaa’: 65)
Allah Ta’ala juga berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى
فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Q.S. An-Nisaa’: 80)
Oleh
sebab itu, Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan Sunnah sebagai pegangan dalam
menetapkan sebuah hukum.
c.
Kedudukan Sunnah menurut
Imam Ahmad bin Hanbal
Peran As-Sunnah
dalam pandangan Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1.
As-Sunnah sebagai Pentafsir Al-Qur’an
Imam Ahmad bin
Hanbal menandaskan bahwa As-Sunnah adalah pentafsir Al-Qur’an. Maka tidak ada
kemungkinan ada pertentangan antara dhahir Al-Qur’an dengan As-Sunnah, karena
dhahir Al-Qur’an harus disesuaikan dengan kandungan As-Sunnah.
Imam Ahmad bin
Hanbal telah menyusun sebuah Risalah untuk menolak pendirian sebagian
orang yang hanya mengambil dhahir Al-Qur’an, dan meninggalkan As-Sunnah. Dari
uraian Imam Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Risalah itu, kita dapat menanggapi
hal-hal tersebut dibawah ini:
a.
Dhahir Al-Qur’an tidak didahulukan atas As-Sunnah
b.
Rasulullah adalah pentafsir Al-Qur’an, tidak boleh seseorang
menafsirkan Al-Qur’an tanpa As-Sunnah.
c.
Tafsir para shahabat yang harus kita terima, dalam menafsirkan
Al-Qur’an, apabila kita tidak menemukan atsar Nabi Saw., sebab mereka
menyaksikan Asbab An-Nuzul Al-Qur’an dan mengetahui sunnah Rasulullah Saw.
dengan baik.
2.
As-Sunnah sebagai produk hukum
Dalam
menetapkan sebuah hukum, Imam Ahmad bin Hanbal sangat berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Apabila suatu permasahalan timbul dalam
masyarakat, beliau terlebih dahulu mencarinya dalam Al-Qur’an, apabila tidak
ditemukan, maka akan melihat kepada As-Sunnah. Seperti menetapkan hukum wajib,
sunat, makruh, haram dan lain sebagainya.
d.
Macam-Macam Hadist menurut
Kuantitasnya
Para ulama
membagi hadist ditinjau dari sanad kepada: mutawatir, manshur atau mustafild,
ahad dan hadist yang tidak muttasil.
1.
Hadist Mutawatir
Para ulama mendefinisikan hadist mutawatir adalah sebagai berikut:
مَايُرْوَى
عَنْ قَوْمٍ لَا يُحصَى عَدَدُ هُمْ وَلَا يَتُوَ هَّمْ تًوَ اَطَؤُ هُمْ عًلى
الكَذِبِ بِكَثْرَتِهِمْ وَعَدَا لَتِهِمْ وًتَبَا يُنِ امَا
كِنِهِمْ، ويَدُوْ مُ هَذَا الحَدُّ فَيَكُوْنُ اَخِرُهُ وَأَوْ سَطُهُ كَطَرَ
فَيْهِ
“Yang diriwayatkan dari segolongan orang yang tidak terbatas
bilanganya dan tidak diduga mereka bersepakat membuat kedustaan, karena mereka
berjumlah banyak, serta adil dan berbeda-beda tempat. Batas ini terus menerus
diperoleh hingga tingkat terakhir dan tingkat pertengahan sama dengan awal dan
akhirnya.”
Hadist
mutawatirbil ma’na, diakui banyak jumlahnya, sedangkan mutawatir lafadhzi sedikit
sekali jumlahnya. Hadist mutawatir, memfaedahkan yakin.
2.
Hadist Masyhur (mustafidl)
ما
يَكُوْنُ الطَبَقَةُ الأُوْلَى، طَبَقَةُ الصَّحَابَةِ أوِ الثَّا نِيَّةُ
طَبَقَةُ التَّا بِعِيْنَ فِيْهَا أحَادًا ثُمَّ تَنْتَشِرُ بعد
ذلكَ وينْقُلُهَا قَوْمٌ لَا يَتَوَهَّمُ تَوَا طَؤُ هُمْ عَلَى الكَذِبِ
“Riwayat
tingkat pertamanya adalah shahabat atau yang tingkat kedua tabi’in, terdiri
atas beberapa orang saja, kemudian barulah tersebar dan dinukilkan oleh
segolongan orang yang tidak disangka bersepakat membuat kedustaan.”
3.
Hadist Ahad
Menurut
Imam Asy-Syafi’i, hadist ahad adalah
كل خَبَرٍ يَرْوِيْهِ الوَاحِدُ
أوْالإثْنَانِ أوْ أكْثَرَ مِنْ ذَالكَ ولا يَتَوَافَرُ فِيْهِ سَبَبُ الشُهْرَةِ
“Segala hadist yang diriwatkan oleh seorang saja atau dua orang
atau lebih dari itu tetapi tiada sempurna padanya sebab kemasyhurannya.”
Menyandarkan
hadist ini kepada Rasul adalah atas dasar yakin. Karenanya semua para ulama
menggunakan hadist ahad dalam bidang amaly, tidak dalam bidang ‘aqidah.
Demikianlah pendapat jumhur terhadap hadist ahad. Imam Ahmad bin Hanbal
mempergunakan hadist ahad dalam kedua bidang bidang ini, baik dalam bidang amal
maupun dalam bidang i’tiqad.
Imam Ahmad bin
Hanbal dari Risalahnya kepada musaddad ibn Musarhad berkata:
المزان
حقٌّ، والصراط حقٌّ، والإيمان بالحوض، والشفاعةُ حقٌّ، والإيمان بالعرشِ والكرسي،
والإيمان بملكِ الموتِ وأنه يقْبضُ الأرواحَ، ثم يردُّ
الأرواحَ إلى الأَ جْسادِ، والإيمان بالنفحِ فى الصورِ، والدّجّالُ خارجٌ فى هذه
الأُمّةِ وينْزِلُ عيسَ ابن مريم فيقتلهُ
“Timbangan itu benar, titian shirathal
mustaqim itu benar, iman kepada kolam dan syafa’at itu benar, iman kepada arsy
dan kursi dan iman kepada malaikat maut dan bahwa malaikat itu menggenggap jiwa
kemudian mengembalikannya kepada tubuh, iman kepada tiupan sangka kala, dajjal
akan keluar dalam kalangan ummat ini dan akan turun Nabi Isa ibn Maryam lalu
membunuh dajjal itu.”
Kebanyakan
kepercayaan yang tersebut ini ditemukan dalam hadist-hadist ahad.
e.
Macam-Macam Hadist menurut
Kualitasnya
1.
Hadist Shahih
Secara bahasa,
arti shahih adalah sehat. Lawan dari kata saqiyun (sakit). Shahih juga
berarti haq (benar), lawan dari kata bathil. Sedangkan
menurut terminologi ilmu hadist, hadist shahih adalah hadist yang
bersambung sanadnya, dinukilkan/ diriwayatkan dari orang (perawi) yang adil dan
dhabit (kuat hafalannya), selamat dari syadz dan ‘illat qhadhihah
(cacat yang dapat mencela hadist itu sendiri).
2.
Hadist Hasan
Secara bahasa,
hasan berarti “Yang diinginkan/ disenangi.” Sedangkan menurut terminology ilmu
hadist, hadits hasan dalam pandangan ahli hadist adalah hadist yang sanadnya
bersambung, para perawinya bersifat ‘adil, tetapi kurang sedikit sifat kedhabitannya
(khaffif Al-Dhabit), tidak terdapat syadzudz dan ‘illat.
3.
Hadist Dha’if
Secara bahasa, dha’if
artinya lemah, lawan dari kata qawy yang berarti kuat. Dalam istilah
hadist, hadist dha’if adalah hadist yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh
syarat hadist shahih ataupun hadist hasan. Definisi lain
mengatakan, hadist dha’if adalah
hadist yang sanadnya terputus atau diantara perawinya terdapat perawi yang
cacat.
3.
Qaul Shahabi (perkataan para shahabat)
a.
Perngertian Qaul Shahabat
Qaul shahabi
adalah pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh para shahabat mengenai suatu
permasalahan. Sedangkan shahabat adalah orang yang hidup pada zaman Rasulullah
dan beriman kepada Rasulullah sampai ia wafat masih dalam keadaan beriman.
b.
Kedudukan Qaul Shahabat Menurut Imam
Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin
Hanbal mempelajari koleksi fiqh yang diriwauatkan dari Rasulullah, mempelajari
hukum-hukum yang dinukilkan dari Rasul, mempelajari hukum-hukum dan
keputusan-keputusan shahabat, baik yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Saw. maupun dari ijtihad. Majmu’ah itu semuanya madrasah
fiqhiyah yang dipelajari Ahmad dalam menginstimbatkan hukum, dengan ushul-ushul
yang telah dipelajari dari Imam Asy-Syafi’i.
Imam Ahmad bin
Hanbal memperoleh sekumpulan besar dari Majmu’ah Al-Fiqhiyah yang
diriwatkan dari Nabi dan dari shahabat. karenanya fatwa para shahabat dipandang
hujjah yang mengiringi hadist Rasul, dan mendahulukan hadist mursal dan hadist
dha’if atas qiyas. Semua ulama menerangkan Mazhab Ahmad bin Hanbal menandaskan
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mangamalkan fatwa shahabat.
c.
Qaul Shahabat Menurut Imam Ahmad bin
Hanbal
1.
Fatwa Shahabat
Dalam fatwa
shahabat ini, Imam Ahmad bin Hanbal membagi kepada dua pembagian:
a.
Fatwa shahabat yang tidak diketahui ada yang menyalahinya
Jika ada
seorang shahabat memberikan fatwa, kemudian tidak diketahui apakah ada shahabat
lain yang menyelisihi shahabat ini, maka ini tidak dikatakan ijmak. Imam Ahmad
bin Hanbal hanya mengatakan:
لَاأَعْلَمُ فِيْهِ شَيْئًا يَدْفَعُهُ
“Aku
tidak mengetahui terhadapnya sesuatu yang menolaknya”
Oleh
karenanya, Imam Ahmad bin Hanbal menerima Shahadatul ‘abdi (persaksian
seorang budak), Anas mengatakan:
لَاأَعْلَمُ
اَحَدًارَدَّ شَهَاةَالعَبْدِ
“Aku tidak mengetahui ada seorang yang menolak kesaksian hamba
(budak)”
b.
Pendapat salah seorang shahabat
Apabila para
shahabat berbeda pendapat, maka Imam Ahmad bin hanbal memilih salah satunya
yang lebih dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Jika tidak dapat
memilih salah satunya, tidak dapat memilih mana pendapat yang lebih dekat
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw., maka Imam Ahamad bin Hanbal
meriwayatkan kedua-dua pedapat tersebut.
4.
Hadist Mursal dan hadist dha’if
a.
Pengertian Hadist Mursal dan hadist
da’if
Hadist mursal
adalah hadist yang terputus sanadnya, sanadnya hanya sampai shahabat atau
tabi’in, tetapi ini dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw. Imam Ahmad bin Hanbal
mengambil hadist mursal ini hanya dari orang-orang yang sudah dipercaya, bahwa
ia tidak pernah berbohong, dan tidak mungkin ia berbohong.
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, bahwa hadist dha’if adalah hadist yang lemah
periwatannya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan hadist dhai’if disini ialah
hadist dalam tingkatan hasan. Karena pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal belum ada
ada istilah hadist hasan. Maka yang dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal adalah hadist hasan bukan hadist dhai’if yang dianggap sekarang.
Mansur, S.Ag.,
M.Ag, mengatakan: istilah hadist hasan baru dikenal setelah masa Imam Turmudzi
dengan kitab Sunannya. Pada masa Al-Bukhari dan Muslim hanya dikenal dua
istilah katagori hadist, shahih dan dha’if. Dengan demikian, yang digunakan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan ligharih, yakni hadist
yang dahulunya dha’if, tetapi setelah masa Imam Ahmad bin Hanbal dikatagorikan
hadist ini dalam hasan ligharih. Maka yang digunakan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal adalah hadist hasan bukan hadist dha’if.
b.
Kedudukan Hadist Mursal dan Hadist
Dha’if menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin
Hanbal berlaku keras dalam menerima hadist yang berkenaan dengan halal dan
haram. Dia hanya menerima hadist dha’if hanya dalam bidang targhib, fadhail,
maghazi, dan tarhib. Imam Abu Dawud menuturkan:
يُعْمَلُ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ في بَابٍ حَدِيْثٌ
صَخِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ
“Hadist dha’if diamalkan apabila tidak ada dalam bab yang dihadapi
susuatu hadist shahih atau sesuatu hadist hasan.”
Pendapat ini
yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan sebuah hukum, apabila
ia tidak menemukan pendapat para shahabiDengan demikian pendapat shahabi lebih
di dahulukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketimbang hadist dha’if.
Para ulama
telah bersepakat bahwa hadist dha’if tidak dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hadist dha’if
dapat diamalkan dalam masalah nasihat, tetapi pendapat ini lemah. Jadi, yang
perlu dicatat disini adalah bahwa hadist dha’if yang yang dijadikan hujjah oleh
Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist yang telah dihukumi hasan pada zaman
sekarang. Para ulama ijmak, bahwa hadist hasan dapat dijadikan hujjah, maka ini
tidak bertentangan dengan yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimaiyah, berkata: “Hadist dha’if yang diterima oleh Imam Ahmad bin
Hanbal ialah hadist yang dapat ditingkatkan ke derajat hasan.”
5.
Qiyas
a.
Pengertian Qiyas
Qiyas
dalam fiqh islam adalah:
اِلحَقُ أمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَي حُكْمِهِ
بِاأمْرِاخَرَ مَنْصُوْصٍ علي حُكْمِهِ لاِشْتِرَ ا كِهِ في الوَصْفِ المُجِبِ
للحُكْمِ
“Menghubungkan
sesuatu urusan yang tidak di nashkan hukumnya dengan urusan lain yang di
nashkan hukumnya, lantaran keduanya sama pada sifat yang diwajibkan hukum itu.”
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
إن
القياس لفظٌ مجملٌ يدخل فيه القياس الصحيحُ والقياسُ الفاسدُ، فالقياس الصحيح
هوالذ ى وزن به الشريعة، وهو الجمع بين المتما ثلين والفرقُ بين
المختلفين، والأول قياس الطرد، والثان قياس الع
“Qiyas adalah lafal yang mujmal, masuk kedalamnya qiyas yang benar
dan qiyas yang fasid. Qiyas yang benar ialah yang dibenarkan syara’, yaitu
mengumpulkan antara dua yang serupa dan memisahkan dua yang berlawanan.
Pertama, dinamakan qiyasuth hardi, dan yang kedua, dinamakan dinamakan qiyasul
‘aksi.
b.
Kedudukan Qiyas menurut Imam Ahmad
bin Hanbal
Ibnu
Qadamah dalam kitab Ar-Raudhah berkata:
لايستغني
أحد عن قيا
“Tidak ada seorangpu yang tidak perlu kepada qiyas”
Jika ada yang
mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menggunakan qiyas, maka qiyas yang
ditolak oleh beliau ialah qiyas dimana pada saat tersebut terdapat dalil yang
menjelaskannya.
Imam Ahmad bin
Hanbal, walaupun tergolong kepada ulama yang menggunakan qiyas, namun ia tidak
banyak menggunakannya. Ia hanya menggunakan qiyas benar-benar pada waktu
darurat., tidak ada dalil-dalil lain yang menjelakannya. Dalam hal ini Imam
Ahmad bin Hanbal mengikuti Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Al-Khalil deterangkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
سألت
الشافعي عن القياس، فقا: إنما يصار راليه عند الضرورة
“Saya bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang qiyas, maka beliau
menjawab, hanya sanya dipegangi qiyas itu ketika darurat.
c.
Rukun-Rukun Qiyas
1.
Asl (Maqis
alaih), yaitu masalah yang sudah ada
ketetapan hukumnya atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadist.
Contoh:
mengeluarkan zakat fitrah dengan gandung satu sha’.
2.
Furu’ (Maqis),
yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya.
Contoh:
berzakat fitrah dengan jagung.
3.
Hukm Asl,
yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
Contoh:
zakat fitrah dengan gandung adalah boleh, berdasarkan hadist:
“Bahwasanya
Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah kepada ummat islam pada bulan Ramadhan
(sebanyak) satu sha’ kurma atau gandung untuk setiap orang, baik yang
merdeka atau budak, laki-laki maupu
perempuan.” (H.R. Muslim).
4.
Illat,
yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat sifatnya nyata dan
dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.
Contoh:
terdapat kesamaan sifat antara gandung dengan jagung, yaitu fungsinya sebagai
makanan pokok bagi masyarakat. Keduanya termasuk jenis biji-bijian yang
mengenyangkan.
Selain dari
lima dasar dan metode ini, ada juga beberapa dasar dan metode istimbath yang
digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu:
6.
Istishhab
Landasan qiyas
yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah istishhab. Menurut
Asy-Syaukani, istishhab adalah sebagai berikut:
معني
الإستصحابِ، أنّما ثبت في الزمان الماصنى فاالأصل بقاؤه في الزمان الحاضر
والمستقبل
“Arti istishhab adalah bahwasanya apa yang telah ada di masa yang
telah lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada di masa sekarang dan
dimasa yang akan datang.”
Ulama membagi
metode istishhab kedalam lima katagori:
a.
Istishab hukmi al-ibahah al-asliyyah,
yaitu menetapkan bahwa hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh,
selama belum ada dalil yang menyatakan keharamannya. Misalnya: tanah dihutan
adalah milik bersama ummat manusia sampai ada bukti ada kepemilikannya.
b.
Istishab al-wasful tsabit li
al-hukmi hatta yutsbitu khilafah, yaitu sifat
yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu.
Musalnya: suatu benda milik seseorang sampai ada transaksi yang mengakibatkan
berpindah kepada orang lain.
c.
Istishhab
terhadap dalil yang bersifat umum sampai ada dalil yang mengkhususkannya atau
menasakhnya. Misalnya: perintah wajibnya puasa (Al-Baqarah: 183), maka wajib
kepada ummat islam dan sebelum islam, selama belum ada nash yang menghapusnya.
d.
Istishhab
terhadap hukum akal sampai datangnya hukum syara’. Misalnya: dalam masalah
gugatan. Seorang penggugat wajib mengemukakan saksi dan bukti gugatannya, jika
tidak, maka tergugat akan terbebas dari gugatan.
e.
Istishhab terhadap
hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijmak. Misalnya: orang yang hendak
shalat namun tidak menemukan air wudhu’, kemudian dia bertayamum. Ketika sedang
shalat ia melihat air, maka ulama Hanifiyah dan Hanbilah berpendapat, orang
tersebut harus membatalkan shalatnya untuk berwudu’.
7.
Marsalah Mursalah
Ulama ushul
menetapkan bahwa Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada maslahat.
Imam Ahmad bin Hanbal melihat bahwasanya fatwa para shahabat didirikan atas
dasar maslahat. Tindakan shahabat ini dituruti Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau
mendasarkan Siyasah Syar’iah kepada maslahat. Fatwa-fatwa Imam Ahmad bin
Hanbal yang berdasarkan siyasah syar’iah banyak benar, seperti menambah
bilangan cambukan atas si peminum arak, dan mendera orang yang mecela shahabat.
Imam Ahmad bin
Hanbal membolehkan pemerintah memaksa orang yang mempunyai rumah, memberi
tempat dirumahnya kepada orang yang tidak mempunyai tempat tinggal
(gelandangan). Dan boleh juga mengendalikan harga barang. Maslahat yang
dihargai Imam Ahmad bin Hanbal adalah maslahat yang sesuai dengan maksud syara’
dan tidak berlawanan sesuatu dasar atau dengan suatu dalil, dan maslahat itu
dapat pula dijangkau oleh akal, diterima oleh ahli-ahli akal, serta tujuan
mengambilnya haruslah untuk menghindarkan kesulitan magi masyarakat.
8.
Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa saddudz
dzari’ah berarti melarang jalan menuju kepada sesuatu. Para ulama mendefinisikannya dengan, mencegah
sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat
menyampaikan seseorang pada kerusakan. Jika ada suatu perbuatan baik, namun
dapat terjadinya kerusakan, maka menurut metode ini perbuatan tersebut harus
dicegah dan dilarang.
Beberapa contoh
fatwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam menggunakan metode saddudz dzari’ah
adalah:
1.
Imam Ahmad bin Hanbal tidak menyukai orang yang berbelanja pada
penjual (toko) yang sengaja memurahkan harga barangnya untuk menghalangi para
pembeli pergi ke toko sebelahnya.
2.
Imam Ahmad bin Hanbal melarang mejual senjata kepada kaum pembegal.
Masuk kedalamnya segala penjualan yang menghasulkan maksiat, seperti menjual
sentaja untuk memerangi ummat, kaum bughah (pemberontak), menyewakan
(toko/rumah) untuk tempat judi, dan seperti mengadakan tempat-tempat hiburan
yang diharamkan.
3.
Biografi Imam Abu
Hanifah
4.
Imam Abu Hanifah memiliki nama
lengkap Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al-Taimy, namun lebih
dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Beliau lahir di Kuffah pada tahun 80 H/699
M dan wafat di Bagdad tahun 150 H/767 M. Dan beliau merupakan salah satu
keturunan dari persia.
5.
Dalam suatu riwayat, beliau di
panggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena beliau mempunyai seorang putra
Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya
dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah), sehinggabeliau dikenal dengan sebutan Abu
Hanifah. Tapi menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah, karena beliau selalu
berteman dengan tinta (dawat), dan
kata Hanifah menurut bahasa Arab berarti tinta. Abu Hanifah senantisa membawa
tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
teman-temannya,
6.
Imam Abu Hanifah merupakan salah
satu imamyang semenjak kecilnya rajin dalam belajar. Selain itu juga, beliau
sangat gemar dalam membaca dan menghafal Al-qur’an dan merupakan orang yang
taat dalam beribadah kepada Allah serta selalu sungguh-sungguh dalam mengerjakan
kewajiban agama.
7.
Ayah Imam Abu Hanifah bernama
Tsabit, ia merupakan seorang pedagang kain sutera di Kuffah, sedangkan Imam Abu
Hanifah sendiri juga sering membantu dan ikut berdagang bersama Ayahnya, namun
beliau tak pernah lupa dalam belajar. Ketika baerdagang, beliau terkadang suka
smabil belajar. Dan kakeknya bernama al-Zutha al-Taimy yang berpenduduk asli
dari daerah Kabul. Dan ia pernah ditawan dalam suatu peperangan, lalu ia dibawa
ke Kuffah sebagai budak.
8.
Dalam suatu riwayat yang lain,
bahwa ayah Imam Abu Hanifah bernama Tsabit Ibn Nu’man Ibn Marzuban. Menurut
riwayat ini, keluarga Imam Abu Hanifah tidak pernah dijadikan budak akibat
tawanan.
9.
Imam abu hanifah merupakan
pendiri resmi dari madzhab hanafi. Madzhab hanafi ini merupakan madzhab yang
paling banyak dianut pada masa dinasti abbasiyah, terutama dalam bidang
pengadilan dan dalam penentuan fatwa-fatwa. Begitu pula dengan daulah
utsmaniyah, mereka menjadikan madzhab abu hanifah sebagai madzhab resmi negara.
Dalam hal pengadilan dan fatwa, mereka juga merujuk pada pendapat imam abu
hanifah dan hal itu masih berlangsung sampai sekarang.
10. Riwayat hidup imam abu hanifah.
11.
Abu
Hanifah hidup pada masa peralihan pemerintahan Bani Umayyah pada tangan Bani
Abbas. Kota kelahiran dan tempat kediaman beliau, Kuffah, merupakan markas
yangterbesar yang hendak menggulingkan Bani Umayyah. Negeri itu pulalah tempat
orang membai’at Abil Abbas asy-Syaffah.
12.
Ayah imam abu hanifah merupakan
seorang pedagang yang kaya raya, selain itu, ayah imam abu hanifah pernah
bertemu dengan ali bin abi thalib. Oleh karena itu, sebelum dihadapkan kepada
ilmu, beliau ikut berdagang dengan ayahnya dan tak pernah lupa belajar.
Sehingga, apabila beliau sedang belajar, tampak sebagai orang yang senantiasa
haus akan ilmu pengetahuan.
13.
Pada awalnya, imam abu hanifah
gemar dalam belajar ilmu qira’at, hadits, nahwu, sastra, syi’ir, teologi dan
ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang
diminatinya ialah ilmu teologi, sehingga beliau menjadi tokoh terpandang dalam
ilmu tersebut. Sehingga beliau dikenal denagn imam ahlu al-ra’yi, dan ada yang
mengatakan pula bahwa imam abu hanifah dikenal sebagai imam al-‘a’dham.
14.
Sebelumnya, Kuffah pada masa itu
merupakan salah satu kota yang terbesar, di tempat itu banyak tumbuh berbagai
ilmu pengetahauan. Di kota itu, imam abu hanifah diajari falsafah yunani,
hikmat persia dan disana pula sebelum islam timbul beberapa madzhab nasrani
yang memperdebatkan masalah-masalah aqidah, serta didiami oleh berbagai aneka
bangsa.
15.
Di kota Kuffah, masalah-masalah
politik, dasar-dasar ‘aqidah tumbuh, selain itu pula, di kota Kuffah inilah
berbagai golongan kalam bermunculan untuk pertama kalinya seperti golongan
syi’ah, golongan khawarij, golongan mu’tazilah, sebagaimana lahir pula ahli-ahli
ijtihad yang tersohor.
16.
Seperti yang telah dikatakan,
bahwa imam abu hanifah, pada awalnya tidak mengerahkan tujuannya kepada ilmu,
namun beliau mengerahkan pada dunia perdagangan. Akan tetapi, karena imam abu
hanifah mempunyai kecerdasan otak, sehingga banyak orang yang mengenal imam abu
hanifah. Sehingga suatu ketika muncul asy-sya’bi. Kemudian ketika itu,
asy-sya’bi menyarankan dan menyuruh imam abu hanifah untuk mengerahkan
tujuannya pada ilmu pengetahuan. Dengan saran dan anjuran asy-sya’bi tersebut,
kemudian imam abu hanifah mulailah terjun dan mengerahkan segala tujuannnya
terhadap ilmu pengetahuan, akan tetapi, beliau tidak melepaskan usahanya sama
sekali.
17.
Di Kuffah, kala itu terdapat
tiga halaqoh ‘ulama diantaranya, Pertama, halaqah untuk bermudzhakarah dalam
bidang ‘aqidah.Kedua, halaqah untuk bermudzhakarah dalam bidang hadits.Ketiga,
halaqah untuk bermudzhakarah dalam bidang fiqih.
18.
Sungguhpun, imam abu hanifah
mengarahkan tujuannya kepada ilmu fiqih Namun demikian, beliau tidak menjauhi
ilmu-ilmu lainnya. Beliau mempunyai ilmu dalam bidang qira’at, bidang
‘arabiyah, bidang ilmu kalam, dan pada akhirnya, abu hanifah menghadapi fiqih
dan menggunakan segala daya akal untuk fiqih dan perkembangannya.
19.
Ketika itu, imam abu hanifah
diusianya yang ke 22, beliau berguru kepada hammad ibn abi sulaiman selama 18
tahun sampai hammad kembali kepada sang pencipta. Selain itu, imam abu hanifah
belajar pula kepada ulama-ulama lain yang ada di mekkah dan di madinah.
20.
Dilain hal, imam abu hanifah
pernah bermudarasah dengan zaid ibn ali, denagan ja’far ash-shidiq, dengan
abdullah ibn hasan ibn hasan, ayah muhammad an-nafsuzzakiyah. Selain itu pula,
imam abu hanifah menghubungi para tabi’in yang berguru kepada sahabat-sahabat
besar, sahabat-sahabat yang terkemuka dalam bidang fiqih dan ijtihd. Seperti
umar, ali ibn mas’ud, ibn abbas dan lain sebagainya. Sesudah hammad wafat, imam
abu hanifah adalah orang yang menggantikan hammad.
21.
Dalam masalah ekonomi, abu
hanifah adalah seseorang yang hidup dalam penuh kesenangan. Sebagai seorang
pedagang, imam abu hanifah dikenal mempunyai beberapa sifat diantaranya;
22.
Pertama, beliau dikenal sebagai
seorang yang kaya raya, namun dari kekayaannya itu, beliau tidak mempunyai rasa
tamak, selain itu, beliaua tidak memiliki rasa akan kehabisan harta yang telah
diperolehnya. Kedua, beliau merupakan seorang yang besar amanatnya, dalam
artian sangat memelihara dan menjaga segala amanat orang yanag dititipkan
padanya, baik itu benda maupun bukan. Ketiga, beliau merupakan seseorang yang
murah hati yang mempergunakan kekayaannya untuk kehidupan orang lain. Keempat,
beliau amat keras agamanya, amat banyak ibadahnya, berpuasa di siang hari dan
mengerjakan shalatul lail di malam harinya.
23.
Pada masa-masa menjelang
berakhirnya kekuasaan bani ummayah, yazid bin umar bin hubaira, amir di kuffah
yang memihak kepada khalifah marwan bin muhammad, khalifah keturunan bani
ummayah, meminta imam abu hanifah untuk menjadi seorang qodhi’. Akan tetapi,
imam abu hanifah menolak permintaan tersebut. Sehingga imam abu hanifah pada
akhirnya ditangkap dan dihukum dera oleh pemerintah bani ummayah karena
dianggap tidak setia lagi terhadap pemerintahan bani ummayah.
24.
Nasib serupa itu kemudian
terulang kembali oleh imam abu hanifah. Namun kali ini imam abu hanifah
mendapat tawaran untuk menjadi seorang qadhi’ oleh pemerintahan bani abbasiyah
atas dasar perintah seorang khalifah abu ja’far al-manshur (754-775 M), yang
memerintah sesudah abu abbas ash-shaffah, namun imam abu hanifah menolak
menolak pula kedudukan qadhi’ yang ditawarkan pemerintah bani abbasiyah kepada
beliau, sehingga beliau ditangkap, kemudian dihukum, selanjutnya dipenjara, dan
hingga akhirnya wafat pada tahun ke 767 M.
A.
Riwayat
Hidup
Ja’far
Ash-Shadiq adalah Ja’far bin Muhammad Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin
Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad saw. Beliau
dilahirkan pada tanggal 20 H (699 M). ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasin
bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada beliaulah terdapat perpaduan darah
Nabi saw. dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ja’far
Ash-Shodiq adalah seorang yang perwakannya, dan berkulit putih bersih. Dari
segi budi pekerti, jiwa dan akal ia memperoleh curahan dari langit. Ia adalah
seorang yang ikhlas dalam segala perbuatannya.
Ja’far
Ash-Shodiq adalah seorang yang tepat firasatnya. Mungkin karena firasatnya yang
kuat maka ia tidak mau mencampuri urusan politik dan tidak mau menuruti ajakan
para pengagumnya.
Firasat
adalah saah satu sifat yang perlu dimiliki ahli fiqh, ahli madzhab. Dengan firasat
dapat diketahui keburukan-keburukan orang yang dihadapi. Ja’far Ash-Shodiq
memperoleh pula sifat kehebatan. Allah telah melimpahkan kepadanya kehebatan.
Kehebatan dalam dunia ilmu menyebabkan lawan-lawannya menundukkan kepala.
Beliau
berguru langsung dengan ayahnya Muhammad Al-Baqir di sekolah ayahnya, yang
melahirkan tokoh-tokoh ulama besar islam. Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang
ulama besar dalam beberapa bidang ilmu seperti ilmu filsafat, tasawuf, fiqh,
kimia, dan ilmu kedokteran. Beliau adalah imam keenam dari 12 imam dalam
madzhab syi’ah Imamiyah. Dikalangan kaum sufi beliau adalah guru dan syeikh
yang besar dan dikalangan ilmiah beliau dianggap sebagai pelopor ilmu kimia.
Diantaranya beiau menjadi guru Jabir bin Hayyam dalam ahli kimia dan kedokteran
islam. Dalam madzhab syi’ah, fiqh ja’fariyyah sebagai fiqh mereka, karena
sebelum Ja’far Ash-Shadiq dan masanya tidak ada perselisihan, perselisihan dan
perbedaan pendapat baru muncul pada masa beliau.
Ahli
sunnah berpendapat bahwa Ja’far Ash-Shodiq adalah seorang mujtahid dalam ilmu
fiqh, yang mana beliau sudah mencapai tingkat laduni, beliau dianggap sebagai
sufi ahli sunnah dikalangan syeikh-syeikh mereka yang besar, padanyalah tempat
puncak pengetahuan dan darah Nabi saw. yang suci.
Syahrastani
mengatakan bahwa Ja’far Ash-Shodiq adalah seseorang yang berpengetahuan luas
dalam agama, mempunyai budi pekerti yang sempurna serta sangat bijaksana dari
keduniaan jauh dari segala hawa nafsu.
Imam
Abu Hanifah berkata, “Saya tidak dapati orang lebih faqih dari Ja’far
Ash-Shodiq bin Muhammad”.
George
Zaidan berkata, “Diantara muridnya adalah Abu Hanifah (w.150 H/767 M), Malik
bin Anas (w.179 H/795 M), dan Wasil bin Atha’ (w.181 H/797 M)”. Abu Nu’aim
mengatakan bahwa, “Diantara murid beliau juga ialah Muslim bin Hajjah, perawi
hadist shahih yang masyhur”. Riwayat yang lain mengatakan bahwa di Kuffah,
sedikitnya ada 900 orang syeikh yang belajar dengan beliau di masjid Kuffah.
Abu
Zuhroh berkata, “Ja’far Ash-Shodiq berpandukan kitab Allah (Al-Qur’an) serta
pandangan beliau sangat jelas, beliau mengeuarkan hukum-hukum fiqh dari
nash-nashnya, beliau benpandukan kepada sunnah, sesungguhnya beliau tidak
mengambil melainkan hadist riwayat ahlil
bait (keluarga Nabi)”.
Ja’far
Ash-Shodiq meperoleh ilmunya dengan cara
belajar pada para ulama terkemuka. Kemudian Allah membuka pintu ma’rifat
kepadanya lanteran kejernihan jiwanya serta menghadapi ilmu dengan seluruh
perhatiannya.
B.
Karya-karya
Imam Ja’far Ash-Shodiq
Ulama
syi’ah mempunyai ulama-ulama besar yang menulis fiqh dan ushulnya. Yang paling
menonjol diantara mereka ialah Abu Ja’far Muhammad Ibn Al-Hasan Ibn Aly
AthnThusy, wafat pada tahun 466 H. beliau adalah seoarang murid al-Murtadla.
Diantara
kitabnya ialah Al-Masbuth dalam
bidang fiqh, kitab al khilaf , kitab An-Nihsyah yang memperkatakan segala
macam bab fiqh.
Diantara
kitab ushulnya ialah Al Uddah. Di
dalamnya diterangkan minhaj yang ditempuh golongan syi’ah.
Ada
juga Muhammad ibn ‘Aly Ar-Razy pengarang kitab Al-Mashadir fie Ushulil Fiqh, At-Tanqieh ‘anit Tahsieni wat Taqbieh.
C.
Guru-guru
Imam Ja’far Ash-Shodiq
Walaupun
orang-orang Imamiyah mengasumsi bahwa ilmu yang diperoleh Ja’far Ash-Shodiq
merupakan ilham semata tanpa adanya guru yang mengajarinya, tetapi kenyataan
sejarah membuktikan kekeliruan anggapan itu. Guru-guru yang utama ialah :
1.
Ali
Zainul Abidin yang sekaligus merupakan kakeknya menjadi orang yang pertama kali
menjadi guru sang Imam Ja’far Ash-Shodiq. Zainul Abidin wafat saat Ja’far
Ash-Shodiq burumur 14 tahun. Ia mendapat ilmu dari para ahlul bait dan para
tabi’in.
2.
Muhammad
al-Baqir, ayahanda Ja’far Ash-Shodiq yang sekaligus menjadi seorang imam, guru
Abu Hanifah dan guru Zain bin Zainul Abidin, yang selalu mengadakan hubungan
ilmiah dengan ulama-ulama madinah.
3.
Al-Qasim
ibn Muhammad ibn Abi Bakar (ayah ibunya). Al-Qasim merupakan seorang mujtahid
yang mempunyai pendapat sendiri. Wafat pada tahun108 saat Ja’far Ash-Shodiq
berumur 28 tahun.
D.
Murid-murid
Imam Ja’far Ash-Shodiq
Sebagai
seorang pendiri madzhab imam Ja’far Ash-Shodiq tentunya memiliki murid-murid
yang menjadi tokoh besar setelah wafatnya imam Ja’far Ash-Shodiq. Berikut ini
kami sampaikan beberapa nama murid-murid beliau yang kami kutip dari buku
Perbandingan Madzhab Syi’ah karya Abu Bakar Aceh , diantaranya :
1.
Abu Hanifah
Yang
lahir di tahun 80H dan meninggal pada tahun 150H, juga seorang murid yang
dicintainya kemudian menjadi imam madzhab hanafi. Banyak sekali orang yang
mengambil riwayat darinya dan dia sendiri mngambil banyak ilmu dari Ja’far
Ash-Shodiq. Abu Hanifah mengatakan, “Jika tidak 2 tahun bersama Ja’far
Ash-Shodiq akan binasalah Nu’man, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih
ahli dalam bidang ilmu fiqh dari pada Ja’far Ash-Shodiq”.
2.
Sufyan
bin Sa’id bin Masruq as-Sauri
Berasal
dari Kuffah. Mempunyai madzhab tersendiri, diantara pengikutnya Muhammad bin
Ajlan, Auzai, Ummat bin Salmah, Yahya bin Said al-Qattan, Futhail bin Iyyadh.
Ia banyak sekali mengambil dari Ja’far Ash-Shodiq ilmu-ilmu terutama mengenai
adab, akhlak, dan pelajaran-pelajaran lain.
3.
Sufyan
bin Uyainah bin Abi Imron
Meninggal
pada tahun 198 H. banyak orang meriwayatkan dari padanya contohnya seperti,
A’masy, Asyani, Humam, Yahya bin Said, Asy-Syafi’I, dan Ibnu Madini.
Asy-Syafi’I berkata,”Jika tidak ada Malik dan Sufyan akan lenyaplah ilmu di
Hijaz”.
4.
Syu’bah
bin al-Hajjaj
Dilahirkan
tahun 80 H wafat 160 H. diantara pengikutnya yang terkenal ialah Ayyub dan Ibnu
Mubarok
5.
Fudhil
bin Iyaj at-Tamimi
Wafat
tahun 197 H. al-Jazari mengatakn, “Bahwa ia adalah seorang imam sunnah yang
baik. Nasa’I, Bukhori, Turmudzi, Muslim, dll banyak mengambil hadist dari
padanya”.
6.
Hatim
bin Ismail
Wafat
tahun 180 H berasa dari Kuffah adalah tempat Bukhori, Muslim, dan imam
at-Turmudzi mengambil hadistnya yang dipelajari dari Ja’far Ash-Shodiq.
7.
Haffas bin Giyas al-Kahfi
Banyak
pengikutnya diantara lain Ahmad, Isaq, Abu Nu’aim, Yahya bin Mu’in, dll. Ulama
besar yang pernah menjadi qadhi di Baghdad dan Kuffah. Penghfal hadist yang
banyak yang pernah ditulis dari padanya lebih dari 4000 buah.
8.
Zubair
ibnu Muhammad at-Tamimi
Bergelar
Abu Mundzir, berasal dari Khurosan meninggal tahun 162 H. beliau menerima
banyak ilmu dari imam Ja’far Ash-Shodiq, dan oleh karena itu banyak yang
meriwayatkan kembali dari padanya diantaranya, Abu Daud at-tiyalisi, Ruh bin
Ubaddah, Abu Amir al-Aqli, Abdurrahman bin Mahdi, al-Waid bin Muslim, dll
I.
KELEBIHAN
MADZHABNYA
Ulama-ulama Syiah Imamiyah atau
Ja’fariyaah atau Itsna Asy-‘Ariyyah mempunyai manhaj sendiri tidak mengekor
kepada manhaj jumhur bahkan mereka mengatakan bahwa Muhammad a-Baqir lah yang
mula-mula mentadwinkan ushul fiqh bukan asy-Syafi’i Permualan ulama yang
menyusun kitab ushul dalam kalangan mereka adalah dari ulama kalam syeikh
Mutakallimin telah menyusun sebuah kitab yaitu al-alfadh wa ma’fiyah. Yunus Ibn
Abdurrahman menyusun kitab Ikhtilaful HadistKedua ulama ini adalah ulama abad
kedua hijriah semasa dengan Abu Hanifah.
Ushul fiqh dalam abad kedua dibuat
untuk menjadi dasar istimbat bukan dibuat untuk mempertahankan furu’-furu’ yang
telah ada sebelumnya. Usaha membela furu’ timbul sesudah timbul perdebatan
(jiddah) antara madzhab pada akhir abad ketiga awal abad keempat antara
uama-ulama madzhab.
Kebanyakan penulis ushul dalam
kalangan syiah adalah dari golongan mutakallimin yakni para ahli dalam ilmu
kalam. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan kebanyakan fuqaha jumhur, yakni
jalan Asy-Syafi’I yang terkenal dengan nama Thariqatul Mutakallimin alhasil
walaupun mereka membuat ushul untuk menghasilkan furu’ namun mereka pada garis
besarnya dipengaruhi oleh furu’, dengan demikian dapatlah kita menetapkan bahwa
ushul fiqh syiah menempuh jalan Syafi’iyyah dan jalan Hanafiyyah. Diantara yang
nampak pula bagi kita ialah bahwa di dalam abad ketiga hijriah banyak ulama
yang juga menolak qiyas, di samping ulama syiah seperti Daud ibn Ali karena
para ulama telah menghadapi hadist dan atsar dengan sempurna lantaran telah
dibukukan. Hampir semua buku dapat ditemukan dalam hadits Rasululah, fatwa
sahabat, fiqhut tabin, walaupun mereka
tidak tegas-tegas menolak qiyas syiah imam dalam kedudukan rasul tidak memerlukan
qiyas. Imam mereka yang terakhir meninggal pada tahun 261 H karena itu mereka
tidak memerlukan qiyas .
Pada abad IV H syiah mengalami
kemajuan yang pesat disebabkan oleh kepergian imam dan menghilangnya imam
sehingga mereka terpaksa membuat qaidah-qaidah istimbat dan neraca-neraca
pertimbangan, agar mereka mempunyai pelita dalam menempuh jalan ijtihad. Dan
menurut mereka pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Ada tiga hal yang dapat kita
tanggapi dari perkembangan ushul fiqh dalam kalangan syia:
1.
Ilmu
ushul sangat subur tumbuhnya dikalangan mereka. Kebanyakan ahli-ahli ushul
mereka adalah ulama-ulama kalam yang mempertemukan antara dirasah nadhariyah dengan dirasah
fiqhiyyah, karena mereka mempunyai dasar dan mempunyai alat pembela madzhab
2.
Mereka
menjalani jalan yang ditempuh umum ulama kalam.
3.
Di
antara mereka ada yang mempunyai kecakapan dalam bidang fiqh dan ushul, seperti
: Ath-Thusy. Ath-Thusy mempunyai keahlian pula dalam bidang ilmu tafsir dan
ilmu kalam.
Kedudukan
al-kitab dan as-sunnah dalam madzhab Ja’fari yang pertama yaitu Al-Qur’an, yang
perlu ditanggapi adalah dari pendapat
Ja’far Ash-Shodiq bahwa, “ al-Qur’an adalah kitab yang mencakup segala
hokum, sedang as-sunnah tidak mendatangkan sesuatu yang baru. As-sunnah tidak
diterima dan diamalkan sebelum dirujuk kepada al-Qur’an”. Dalam kitab syi’ah
Al-qur’n adalah Kulliyatusy Syari’ah sedang
as-sunnah adalah masdar yang kedua yang berdiri sendiri, walaupun dia
memperoleh kekuatannya dari al-kitab. Pandangan yang kedua inilah yang kita anggap
lebih benar. Allah berfirman:
شيء لكل تبينا
ب الكتاعليكلناونز
Artinya:
“Dan Kami telah menurunkan al-Kitab kepada engkau untuk menjadi penjelasan bagi
segala sesuatu.”
1.
Ulumul
Qur’an
Diantara
ulumul qur’an yang harus dipelajari syi’ah ialah Ilmun Nasikh wal Mansukh, ‘am dan Khas, Uslubul Bayaanil ‘Araby.
Mereka berpendapat al-Qur’an mempunyai
bathin dan zahir. Manusia biasa hanya mengetahui zahirnya saja. Sedang yang
bathin hanya diketahui para imam.
2.
Penafsiran
al-Qur’an dengan ar-Ra’yu
3.
Pendapat
syia’ah Imamiyah terhadap isi al-Qur’an
Ada
tuduhan-tuduhan yang menyebut isi al-Qur’an ada yang ditambah dan ada yang
dibuang atau dikurangi dari aslinya.
4.
‘Am
dan Khash menurut ulama Syi’ah
Ja’far
Ash-Shodiq mengharuskan ulama mengetahui dengan
baik perbedaan ‘am dank hash : tentang ‘am yang dimaksudkan dengan khash dan khash yang dimaksudkan dengan ‘am.
Hakikat
‘am menurut syi’ah : Lafal yang mencakup semua pengertian yang dapat dicakupnya
sejak dari semula dibuat lafal itu.
Hakikat
khash menurut syi’ah : Lafal yang menunjuk kepada suatu makna.
5.
Qiyas
dan ‘Am
Golongan
syi’ah tidak memandang qiyas sebagai dasar.
6.
Ta’arudlul
‘aam alal khash
7.
Penjelasan
al-Qur’an
Ja’far
Ash-Shodiq berkata, “Tidak ada sesuatu pun dari urusan syari’at, melainkan ada
di dalam al-Qur’an.
Syi’ah
yang membolehkan ijtihad sesudah tidak ada lagi imam, atau sesudah imam yang
ke-12 pergi, menetapkan bahwa ushul fiqh hanyalah ada empat : al-Qur’an,
as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Aql.
Di
dalam al-musnad, kitab yang mengumpulkan keempat-empat hadits golongan
Imamiyah, ditegaskan bahwa Ja’far Ash-Shodiq memakai dasar ijma’.
Golongan
Ja’fari terbagi atas dua golongan.
1.
Golongan
yang tidak mau berijtihad, mencukupi dengan nash-nash yang diterima dari para
imam. Mereka dinamakan Waqifiyyah.
2.
Golongan
Ushuliyyah. Golongan ini mengatakan bahwa Ushulut Tasyri, ialah : al-Kitab dan
as-Sunnah. Seudah la a’ dalam masalah selain dari yang telah diketahui dengan
mudah. Sesudahnya hokum aql.
Akal
merupakan kedudukan dalam pandangan Ja’fari. Segala yang diperintah akal harus
dikerjakan. Segaa yang dilarang akal harus ditinggalkan.
Golongan
Ja’fari mempergunakan akal :
1.
Untuk
mengetahui mana yang bagus dan mana yang buruk. Yang baik dituntut syara’, yang
buruk dilarang syara’.
2.
Untuk
mentakhrijkan hokum dari kitabullah, as-Sunnah dari ijma’. Ke dalam ini masuk
sebagian qiyas.
Istishhab
menurut golongan Ja’fari ialah : terus menerus tetapnya sesuatu hokum , atau
sesuatu sifat yang telah ada di masa yang telah lalu, di masa yang sedang
dilalui.
Golongan
Ja’fari yang menutup pintu qiyas, menggunakan mashlahah, banyak menggunakan
istishhab.
Madzhab
Ja’fari adalah madzhab yang besar, baik ditinjau dari segi ahlus sunnah. Fiqh
mereka adalah kumpulan pendapat imam 12.
Mujtahid dalam imamiyah terbagi
menjadi empat : Mujtahid mutlak mujtahil
fil furu’. Berijtihad dengan dasar mengikuti imam dalam masalah ushul. Mujtahid mukharrij. Mengeluarkan
ilat-iat hokum dan mengqiyaskan sesuatu serta mendatangkan dalil bagi
hokum-hukum yang terbentuk daam maadzhab. Mukharrij,
yaitu mereka yang menerapkan kaidah –kaidah madzhab atas kejadian-kejadian yang
tumbuh dalam masyarakat.
Madzhab Ja’fari adalah madzhab
yang berkembang subur, Karena dia membuka pintu studi bagi segala kemuskilan
yang tumbuh, baik daam bidang kemasyarakatan, maupun dalam bidang ekonomi dan
falsafah. Dalam madzhab Ja’fari banyak pendapat yang telah tumbuh. Dengan
demikian mudahlah kita untuk memilih salah satu pendapat untuk diterapkan di
masyarakat.
Madzhab Ja’fari berkembang di Iran
(Persia dan Khurasan), di Irak yang berpusat di Karbala, dan daerah-daerah
sebelah timurnya, di India, Pakistan, Nigeria, Shamalia, dan beberapa daerah
lai
Riwayat Malik
Ibn Anas
Imam Malik adalah imam yang kedua dari imam-imam empat
serangkaidalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu
daerah di Negeri Hijjaz tahun 93 H/12 M, dan wafat pada hari Ahaad, 10 Rabi’ul
Awal 179 H / 798 M di Madinah pada masa pemerintahan
Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu
Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn al-Harits. Ada riwayat yang
mengatakan Imam Malik berada di dalam kandugan selama dua tahun, ada pula yang
mengatakan selama tiga tahun.
Ketika dewasa, Imam Malik memiliki tubuh yang tinggi nan
gagah dengan postur cenderung gemuk, lengkap dengan ciri kepala yang botak,
bahu lebar, kulit putih, mata biru, serta jenggot yang lebat dan melebar.
Sengaja beliau biarkan bagian pinggir kumis sehingga tampak tebal akibat tidak
ditipiskan. Rambut yang tersisa bahkan sama sekali tidak diinai. Mengenai hal
ini, sang Imam berpegang pada riwayat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu
yang juga sama sekali tidak memakai inai. Sebagai seorang ulama,Imam Malik
berpakaian bersih, rapi dan necis untuk menjaga wibawa seorang ulama. Beliau
tidak suka seorang pencari ilmu berpakaian compang-camping demi kezuhudan.
Imam Malik yang lahir di Madinah yang merupakan salah
satu kota suci sekaligus pusat keilmuan yang tentunya mempengaruhi perkembangan
sang Imam. Sang Imam kecil pun telah hafal Al-Qur’an dan kemudian menghafal
hadits. Imam Malik sangat menghargai ilmu, ketika hendak menghafal hadis,
beliau selalu berwudhu’ dan duduk. Beliau tidak suka dalam mengajarkan hadits
dalam keadaan berdiri dan belum bersuci.
Imam Malik berguru kepada Ibn Hurmuz, salah seorang tabi’in.
Guru besar kali ini memiliki nama ali Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raf Abu Daud
Al-Madany. Ia dahulu adalah budak yang dimerdekakan oleh Rabi’ah bin Al-Harits
bin Abdul Mutthalib. Setelah dimerdekakan, sang Guru banyak belajar dan
meriwayatkan dari para sahabat seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abu
Said Al-Khudry, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan masih banyak lagi. Kemudian beliau
belajar fiqh kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama
Rabi’ah al-Ra’yi (wafat tahun 136 H). Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu
hadits kepada Imam Nafi’ Maulana ibn Umar (wafat pada tahun 117 H), juga
belajar kepada Imam ibn Syihab Al-Zuhry. Menurut riwayat yang dinukil Moenawar
Cholil, bahwa di antara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari
700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang yang
tergolong ulama tani’in.
1.
Karya-Karya Malik Ibn Anas
Di antara karya-karya Imam Malik adalah kitab
al-Muwaththa’. Kitab tersebut ditulis tahun 144 H. Atas anjuran khalifah Ja’far
al-Manshur. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abu Bakar al-Abhary, atsar
Rasulullah SAW. sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab
al-muwaththa’ sejumlah 2.720 buah. Pendapat Imam Malik ibn Anas dpat sampai
kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al-Muwaththa’ dan al-Mudawwanah
al-Kubra.
Hadists-hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’ ada yang
bersanad lengkap, ada pula yang mursal, ada pula yang muttashil
dan ada pula yang munqathi’, bahkan ada yang disebut balaghat yaitu
suatu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerima hadits
tersebut. tegasnya yang dimaksud dengan istilah balaghat itu adalah
hadits yang memuat kata-kata Imam Malik yang berbunyi, “balaghani” atau
sebangsanya yang artinya “telah sampai kepada saya”.
Kitab al-Mudawwanah al-Kubra merupakan risalah yang
memuat tidak kurang dari 1.036 masalah fatwa Imam Malik yang dikumpulkan Asad
ibn al-Furat al-Naisabury yang berasal dari Tunis. Risalah yang pernah ditulis
Imam Malik, Risalah fi Al-Qadar, risalah fi An-Nujum wa Manazili
Al-Qamar, risalah fi Al-Aqdliyyah, risalah ila Abi
GhassanMuhammad bin Mutharrif, risalah ila Al-Laitsbin Sa’d fi ijma’i
ahli Al-Madinah, risalah Juz’un fi At-Tafsir, risalah Kitabu
As-Sirr dan risalatu ila Ar-Rasyid.
2.
Murid-Murid Malik Ibn Anas
a.
Abdulash bin Wahab
(125 H-197 H)
Semasa hidup, ia telah menghasilkan lebih dari 30 judul
buku. Tatkala Imam Malik meninggal, ia rujukan pertama untuk mempelajari Mazhab
Malik. Imam Malik pun diriwayatkan sangat mencintai, menghormati, dan
memuliakannya. Ibn Wahab banyak menyebarkan mazhab Imam Malik dikalangan
penduduk Mesir
b.
Abdurrahman Ibn Al-Qasim (128 H-191 H)
Ibn Al-Qasim memiliki pengaruh besar dalam perkembangan
Mazhab Malik, terutama dalam hal penyusunan buku sekaligus penyebarannya.
Kedudukannya dalam Mazhab Malik mirip dengan Abu Yusuf dan Muhammad bin
Al-Hasan dalam Mazhab Abu Hanifah.
c.
Asyhab Ibn Abdul Aziz Ibn Al-Qaisy Al-Amiry (140 H-204 H)
Ia menjadi salah-satu murid Imam Malik yang meriwayatkan Fikih sang Im
Salah satu karyanya adalah Kutub Al-Asyhab atau Mudawwanah Asyhab.
d.
Asad Ibn Al-Furat Ibn As-Sinan (145 H-213 H)
Ia tumbuh sebagai anak yang pada usia dini telah hafal
Al-Qur’an dan memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Menginjak usia
remaja, Asad meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Madinah dan belajar
kepada Imam Malik, khususnya mengenai Al-Muwaththa dan Fikih. Setelah merasa
cukup, ihijrah ke Baghdad dan belajar Fikih kepada Abu Yusuf yang sebelumnya
pernah belajar Al-Muwaththa kepada sang Imam. Hasilnya, Asad berhasil
menggabungkan Fikih Atsar dan Fikih Ra’yi
e.
Abdul Malik Ibn Al-Majisyun
Putra dari Abdul Aziz bin Al-Majisyun ini sesungguhnya
adalah kawan sang Imam yang menurut sebuah riwayat pernah menulis Al-Muwaththa
sebelum Imam Malik
f.
Abdullah Ibn
Abdul Hakam Ibn A’yun
g.
Abdul Salam Ibn
Said Sahnun At-Tanukhy Al-Araby
h.
Abdul Malil Ibn
Habib
i.
Al-Ataby
j.
Muhammad Ibn
Idris Asy-Syafi’i
k.
Syabthun
l.
Utsman Ibn
Al-Ahkam
m. Ashbagh Ibn Al-Faraj
n.
Ibrahim Ibn
Salamah
3.
Pujian yang di sanjungkan kepadanya
a.
Al imam Muhammad idris asyafi’i
Apabila dating kepada mu dari imam
malik, maka peganglah sungguh-sungguh dengan kedua tangan mu, karna dia menjadi
alas an untuk mu.
“apabila di sebut ulama ahli hadist
maka imam malik lah bintang nya, maka tiada yang lebih kupercayai tentang
hadist selain daripada imam malik”
b.
Imam yahya bin mu’in
Imam malik adalah seorang raja bagi
orang-orang yang beriman dan bagi orang-orang yang belajar ilmu hadist.beliau
adalah seseorang yang tinggi ilmu hadist nya
Dari kata-kata ini dapat kita yakini
keilmuan imam malik dalam menetapkan hukum khususnya dalam ilmu hadist dan
bnyak lagi ungkapan yang tidak bisa kami tulisakan di sini
A.
KEKHASAN MAZHAB/ METODE ISTIMBAT
HUKUM
Imam malik rahimahullah memiliki
kehasan tersendiri dalam mengeluarkan pednpatnya dalam hukum islam. Berikut ini
adalah motode yang di gunakan imam malik dalam mengistimbathkan hukum.
1.
Al kitab, as sunnah dan fatwa
shohabi
Imam Malik dan imam Hanafi tidak
membukukan dasar-dasar mazhabnya, akan tetapi biarpun imam Malik tidak
menjelaskan dasar-dasar yang di pegangnya, imam Malik membukukan
fatwa-fatwanya, masalah-masalahnya dan hadist-hadistnya dalam al muwatha’
ketika kita tidak menemukan
dasar-dasar pengambilan hukum imam Malik lantas kita akan merujuk kepada ulama
Malikiyah. Usul fiqh mazhab maliki telah di terangkan oleh pengarang kitab
al-madharik yaitu:
pertama
: al qur’an baik nashnya, dzahirnya dan mafhum nya
kedua : as
sunnah, baik masyurnya,, baik mutawatirnya,baik dzahirnya dan baik pula
mafhumnya
ketiga
: ijma’
keemmpat : qias
2.
Al kitab
Malik
memandang al qur’an sebagai pokok dari hukum islam dengan al qur’an kita
mengetahui hukum allah dan as sunnah sebagai pentafsirnya makan selain harus
mempelajari al qur’an kita juga di tuntut untuk mempelajari sunnah dan harus
mengambil hukum dari keduanya
Imam
malik dan ulama malikiyah membedakan nash dengan pengertian dhazhir nash
Nash
menurut malikiyah ialah “apa yang tidak mungkin menerima ta’wil”
Dan
zhahir menurut malikiyah adalah “yang mungkin menerima ta’wil” Berbeda dengan
syafi’I yang tidak mengatakana tentang perbedaan antara nash dan dzahir. Nash
dan dzahir menurut syafi’I adalah satu
3.
As-Sunnah
Imam
malik di kenal sebagai seorang ahli hadist dan ahli dalam masalah fiqh ini
terbukti dengan keberadaan kitab beliau yakni muwatta’
Imam
malik membagi sunnah kepada tiga hukum yakni
a.
Menguatkan hukum yang ada dalam al qur’an bukan mentaksiskan
Contohnya
:
Berpuasalah
sesudah melihat bulan dan berbukalah sesudah meilhat bulan
Hadist
ini menguatkan ayat
Bulan
ramadahn ialah bulan yang allah turunkan al qur’an
b.
Menerangkan apa yang di kehendaki al qur’an
Seperti
hadist yang menerangkan makna dzulumun dalam ayat :
Dan
orang-orang beriman tidak mencampurkan iman mereka dengan ke dzaliman
c.
Mendatangkan hukum baru yang tidak ada dalam al qur’an
Seperti
memutuskan perkara dengan saksi dan sumpah apa bila tidak memiliki 2 orang
saksi
Ibnu rusyd membagi sunnah menurut
pandangan malik kepada 4 bagian yakni
Pertama : sunnah yang tidak boleh
tolak.orang yang menolaknya dihukum kafir
Kedua : sunnah yang diakui keshohihan
nya dan pentakwilannya oleh ulama hadist
Ketiga : sunnah yang diharuskan kita
meyakinkannya dan mengamalkan walaupun tidak di terima sebagian ahlul hadist
Keemmpat : sunnah yang harus
diamalkan tanpa harus di yakini.
Imam malik menetapkan syarat-syarat
perawi hadist yaitu:
1.
Harus orang yang adil
2.
Harus orang yang memiliki keseimbangan dalam akalnya, tidak
menganut bid’ah yang pada masa itu di istilahkan dengan ahlul ahwa’atau ashabul
firaq
3.
Harus dhabit hapalan nya
4.
Mempunyai pemahaman tentang apa yang di riwayatkan
Dalam berpegang kepada sunnah
sebgaai dasar hukum imam malik mengikuti cara yang dilakukan dalam berpegang
kepada al qur’an. Apabila di kehendaki adanya takwil maka yang menjadi pegangan
adalah arti takwilnya tersebut.apabila terjadi petentangan antara nash dzahir
dengan makna yang terkandung dalam sunnah.namun apa bila sunnah di kuatkan
dengan ijma’ ahlul madinah maka beliau mengutamakan sunnah daripada makna
dzahir al qur’an
4.
Fatwa shohabi
Di
dalam buku hasby ash siddieqy fatwa sahabat di letakkan setelah sunnah
sedangkan khuzaimah tahido yanggo meletakannya pada urut ke empat setelah ijma’
urutan ini nantinya akan menjadi perbedaan dalam hasil hukum yang di lahirkan
Imam
malik seoang imam yang mempelajari fatwa-fatwa shabat dan mengumpulkannya serta
menjadikannya sebagai dasar mazhab nya Sahabat yang dimaksud di sini adalah
sahaba besar , yang berpengatahuan mereka terhadap sesuatu masalah itu di
dasarkan kepada naqly, menurut imam malik sahabat besar tersebut tidak akan
memberikan memberi fatwa , kecuali atas dasar apa yang di pahami nya dari
rasulullah saw
Dengan
tegas imam malik mengharus mufti mengambil fatwa shohabat
Imam
malik dan imam ahmad adalah dua imam yang sangat berpegang teguh dalam fatwa
sahabat. walau pun dasar ini diambil oleh semua mujtahid namun dalam
pengambilan nya berbeda. Ada yang hanya mengambil pendapat abu bakar dan umar
saja, ada yang mengambil pendapat khulafa’ur rasyiddin. Rinkasnya semua
mujtahid menghargai pendapat para sahabat.
Perbedaan
antara pemakaian fatwa sahabat antara imam syafi’i. abu hanifah dan imam malik
. syafi’I berpendapat bahwa fatwa shabat boleh menjadi ketetapan hukum apabila
mereka bersepakat dalam menetapkan sesuatu sebagai suatu ijma’. Apabila mereka
berselisih imam syafi’I mengambil yang lebih dekat dengan sunnah
Sedangkan
abu hanifah menurut al barda’I mewajibkan kita bertaqlid kepada sahabat dan
meninggalkan qias. Dalam hal ini imam syafi’I terkadang meninggalkan hadis ahad
jika bertentangan dengan fatwa sahabat
5.
Ijma’
Imam
malik adalah imam yang sangat banyak menyandarkan pendapatnya pada ijma’.
Sebagai mana sering di temui dalam muwathatha’ kalimat
“urusan
yang telah diijma’I terhadapnya
Al
qaraki dalam tanqihul usul berkata
“Ijma’
ialah persetujuan pendapat ahlul halli wal aqdi dari ummat ini terhadap suatu
urusan dari urusan itu”
Yang
dimaksud dengan persetujuan ialah sama-sama mengeluarkan atau sama-sama
mengerjakan sedangkan ahlul hlli wal aqdi adalah para ahli atau mujtahid dalam
bidang hukum syari’at
Imam
malik berpegang dengan ijma’ yang seperti ini yang sering beliau ungkapkan
dalam muwathatha’
Sedangkan
di buku yang lain ijma’ yang di pakai imam malik adalah ijma’ ahlul madinah.
a.
Sandaran ijma’ atau sanadul ijma’
Para
ulama bersepakat bahwa yang menjadi sandaran ijma’ adalah al qur’an, sunnah
mutawatirah, dhahir al al qur’an atau dhahir hadis ahad. Dan imam malik sendiri
menurut al qorafi membolehkan qiyas menjadi sandaran ijma’dan yang berhak untuk
mengadakan ijma’adalah mereka yang ahli ijtihad
Al
ghozali mengatakan bahwa ijma’ ulama madinah juga dianggap ijma’ oleh imam
malik. Dikalangan mazhab maliki, ijma’ ahlul madinah lebih di utamakan dari
hadist ahad. Dikarna kan ijma’ ahlul madinah di kabarkan kepada jama’ah
sedangkan hadist atau khabar ahad hanya di beritakan kepada perorangan
Ijma’
ahlul madinah ini ada beberapa tingkatan yakni
1.
Kesepakatan ahl madinah yang asalnya dari naqly
2.
Amalan ahl madinah sebelum terbunuhnya khilafah ustman ibnu affan.
Karna sebagaimana di ketahui bahwa ijma’ ahl madinah sebelum itu tidak pernah
bertentangan dengan sunnah nabi saw
3.
Amalan ahlul madinah itu menjadi pentarjih diantar dua dalil yang
saling bertentangan. Apabila ada dua tau dalil dalam masalah yang sama maka
amal ahl madinah di jadikan pentarjih. Dalil yang di perkuat dengan amal ahlul
madinah maka itulah yang diambil atau di jadikan hujjah menurut mazhab maliki
4.
Amalan ahlu madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan
nabi saw. Amalan ahl yang seperti ini bukan hujjah menurut syafi’i , hanafi,
hambali maupun menurut ulama maliki
Amal
ahlul madinah
Imam malik rahimahullah menggunakan
amal ahlul madinah sebagai hujjah.sebenar nya manhaj ini bukan di pegangi oleh
imam malik akan tetapi gurunya imam malik rabi’ah juga berpendapat demikian
Al qodly iyadl telah menerangkan
keadaan ijma’ ini. Dia berkada ijma’ ahl madinah terbagi dua yakni
Pertama di nukil atau diambil dari
rasulullah saw sendiri
Hal ini juga terbagi menjadi empat
bagian yakni
a.
Perintah yang dinukil dari nabi saw. Seperti azan, iqomat ,tidak
menjaharkan bismillah
b.
Perbuatan yang dinukil dari nabi saw. Seperti sifat sholat
c.
Taqrir nabi yang dinukil daripadanya
d.
Perbuatan yang tidak dikerjakan nabi saw. Sepeti mengambil zakat
dari sayur-sayuran
Kedua yang di
ijtihadkan
6.
Khabar ahad dan qiyas
Imam
malik rahimahullah tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang dating dari
nabi Muhammad saw. Jika khabar ahad ini betentangan dengan amal ahlul madinah
walaupun hanya dari hasil istimbath kecuali khabar ahad itu di dukung oleh
dalil dalil lain yang qod’i
Imam
malik tidak tetap menggunkan khabar ahad. Terkadang beliau mendahulukan qiyas
daripada khabar ahad. Apabila khabar ahad itu tidak masyhur atau tidak di kenal
di kalangan ahlul madinah maka ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar itu
tidak berasal dari nabi Muhammad saw.
Imam
malik mengqiaskan hukum, kepada hukum yang nashnya terdapat dalam al qur’an dan
sunnah. Dalam muwathatah’ nya imam malik bahkan mengiaskan hukum kepada
fatwa-fatwa sahabat. Sebagian qiyas di sisi imam malik terkadang posisinya
hampir mengalahkan yang zhanni. Karna qiyas-qiyas itu di perkuat dengan
qoidah-qoidah yang umum.qiyas yang seperti inilah yang di dahulukan atas khabar
ahad
7.
Ihtihsan
Ulama
malikiah menghindari penggunaan qiyas secara berlebihan . dharurat dan uruf
dapat menghalangi kita untuk menggunakan qiyas, maka yang kita pakai itulah
yang di sebut dengan ihtihsan
Ibnu
al farabi salah seorang ulama maliki memberikan komentar. Bahwa ihtihsan
menurut mazhab maliki bukan berarti meninggalkan dalil dan menetapkan hukum
berdasarkan ra’yu semata . melaikan berpindah dari satu dalil ke dalil yang
lebih kuat yang kandungannya berbeda dari dalil lain yan di tinggalkan tersebut
Akan
tetapi bertolak belakang dengan imam syafi’I yang menolak ihtihsan dalam kitab
al umm. Karna itu imam syafi’I mengatakan bahwa “barangsiapa ynag menggunkan
ihtihsan sebgaai dasar hukum, maka berarti ia telah membuat syari’at batu akan
tetapi syafi’I hanya menolak ihtihsan yang tidak ada dasarnya sama sekali
8.
Istishab
imam
malik menggunakan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. istishab
adalah sesuatu ketentuan hukum untuk masa sekarang dan masa mendang,
berdasarkan ketentuan hukum yang telah lampau. Misalnya seperti seseroang
berwudhu yang dikuatkan dengan dia selesai sholat shubuh kemudian datang
keraguan bahwa dia sudah batal taukah belum maka hukum yang ada padanya adalah
belum batal wudhunya
9.
Al-Malahah Al-Mursalah
Al-Mashlahah
Al-Mursalah adalah mashlahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat
atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka mashlahah
mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at diturunkan Imam Malik
menggunakan mashlahah mursalah dengan mempertimbangkan kemudharatannya. Bila
mashlahah tersebut tidak bertentangan dengan syari’ah, maka boleh dilakukan.
Dan bila mashlahah tersebut bertentangan dengan syari’ah, maka tidak boleh
dilakukan. Dengan ini, syari’ah bersifat fleksibel terhadap perkembangan zaman.
10.
Dzara’i
Secara
etimologis, dzari’ah berarti sarana. Menurut Imam Malik, semua jalan
atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atu
terlarang. Dan semua jalan sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula
hukumnya. Perkara ini adalah dampak perbuatannya bukan masalah niat. Misalnya,
berhaji itu wajib, maka perjalanan menuju kota suci juga wajib.
Setiap
urusan yang kita hadapi terbagi kepada dua yakni maqosid dan wasil.maqosid
adalah pekerjaan yang menghasilkan maslahat sedangkan wasil adalah jalan nya
untuk mencapai maqosid tersebut
11.
Kebiasaan dan Urf
Uruf ialah sebuah urusan yang di
sepakati oleh sekelompok manusia dalam perkembangan hidupnya
Sedangkan adat adalah pekerjaan yang
berulang-ulang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu
Suatu kelompok apabila biasa
mengerjakan seseuatu menjadi uruflah bagi mereka. Sebenarnya uruf dan adat satu
makna. Golongan mailikiah akan meninggalkan qiyas apa bila bertentangan dengan
uruf. Golongan malikiah mengtaksiskan yang umum dan memuqoyyidkan yang mutlak
dengan uruf. Dan menurut ibnu hajar ashqollani menyebutkan bahwa uruf bisa
menjadi landasaan hukum atau diamalkan bila tidak bertentangan dengan nash.
Ulama
malikiah memabagi adat menjadi 3 bahagian
Pertama uruf yang diambil oleh semua
ulama yakni uruf yang di tunjuki nash
Kedua uruf yang jika kita ambil
berarti kita mengambil seseuatu yang dilarnag hukum syara’(uruf ini tidak ada
harga nya)
Ketiga uruf yang tidak di larang
syara’ yang tidak di anjurkan untuk mengamalkan nya
Sejarah keberadaan Bahtsul
Masail sebagai sebuah lembaga fatwa, sebenarnya sudah sangat lama. Bahkan
lembaga ini eksis sebelum kelahiran N yang membawahi lembaga Bhatsul
Masail itu sendiri. Keberadaan Bahtsul
Masail ini juga dilandasi karena tuntutan akan perlunya memberikan tuntutan
kepada masyarakat dalam megamalkan ajaran agama islam. Dan adanya kebutuhan
masyarakat akan hukum islam yang praktis (‘amaly) bagi kehidupan sehari-hari
yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencarikan solusinya,yaitu
dengan melakukan Bahtsul Masa). Ini adalah kegiatan suatu forum di
pesantren yang membahas permasalahan masyarakat guna
mencarikan solusinya kemudian diterapkan kepada masyarakat dalam mengamalkan
ajaran islam3). Dokumen-dokumen yang menginformasikan kelahiran dan
perkembangan Bahtsul Masail, baik latar belakang,metode,objek,maupun pelaku
sejarahnya masih sangat sedikit. K.H.A. Aziz Masyhuri sendiri,pimpinan PP.
Al-Aziziyyah Manba’ul ‘Ulum Denanyar, Jombang, salah seorang tokoh pelaku dan
yang membukukan hasil sebagian hasil keputusan Bahtsul Masail, juga mengakui
masih minim atau jarangnya warga Nahdliyyin yang mendokumentasikan
hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas NU.
Hal ini karena adanya sikap pragmatis warga Nahdliyyin,dalam arti
yang dipentingkan adalah hasilnya, sedangkan dokumen lain seperi latar belakng
lahirnya, perdebatan yang terjadi di forum itu,serta para ulama yang berperan
didalamnya tidak di arsipkan, sehingga yang ada sampai sekarang hanyalah hasil
keputusan Bahtsul Masail
Sebagai sebuah forum yang bertugas membahas masalah-masalah
kegamaan yang menjadi polemik di masyarakat,Bahtsul Masail telah muncul bersamaan dengan kemunculan NU sebagai
jam’iyyah diniyyah(masalah keagamaan yang umum). Dengan demikian secara formal
substansial,usia forum Bahtsul Masail sudah setua NU. Forum ini mulai
diselenggarakan sejak Muktamar NU di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1926 (13
Rob’iul Tsani 1345 H). Akan tetapi, sebagai sebuah tradisi,forum Bahtsul Masail
sudah sejak ada jauh sebelumNU berdiri.Karena tradisi musyawarah untuk penggaliam
hukum sudah menjadi bagian dari integral dari mekanisme pemecahan masalah ala
pondok pesantren yang melibatkan kyai,ustadz,dan santri (terutama santri
senior).
Terlepas dari perdebatan
awal praktek Bahtsul Masail,ternyata forum Bhatsul Masail yang ada belum
menjadi sebuah lembaga yang secara resmi menangani masalah-masalah keagamaan
sebab selama bertahun-tahun masalah-masalah keagamaan dibicarakan dan
dipecahkan dalam dewan Syuriah4).
Kemudian pada muktamar
yang ke XXVIII pada tahun 1989 di PP. Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Para
ulama yang tergabung dalam forum Bahtsul Masail mengusulkan kepada PBNU
(Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) agar membentuk Lajnah (Majelis) Bahtsul Masail
yang bertugas menangani persoalan keagamaan
yang muncul dalam organisasi dikalangan masyarakat.
Tetapi pada saat itu PBNU
belum memberikan keputusan. Usulan ini kemudian diperkuat oleh hasil keputusan
halaqah (sarasehan) NU di PP. Manba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang pada tanggal
26-28 Januari pada tahun 1990 yang antara lain merekomendasikan dibentuknya
”Lajnah Bahtsul Masail” dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan
intelektual NU untuk melakukan Istinbat Ijtima’i (Penggalian Hukum Secara
Kolektif)
Dari hasil keputusan
tersebut dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar Lampung pada tanggal
21-25 januari 1992 bertepatan dengan tanggal 16-20 Rajab 1412 H7) ini memberikan peluang untuk mengeluarkan
keputusan hukum dengan jalan “mazhab secara manhaji”. Hal ini dilakukan
karena adanya kelemahan-kelemahan yang ada pada sistem lama atau sebelum Munas
Lampun Selain itu, hasil Munas Lampung
juga merupakan suatu terobosan baru dalam pengembangan pemikiran NU. Pasalnya
ditangan Ulama NU, Istinbat mengalami pengerutan dan pendagkalan makna
Istinbath tidak dimaknakan pengambilan hukum secara langsung dari sumber asli,
melainkan sekedar mentahqiq (mencocokkan)kasus yang terjadi dengan referensi
tertentu saja. Metodologi Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqhiyyah dalam Bahtsul Masail
hanya digunakan sebagai penguat atas keputusan yang diambil, bukan sebagai
Manhaj Al-Istinbath dari sumber primer.
Adapun dalam penggunan
mazhab secara Manhaji ini sebagai penyelesaian dari masalah-masalah hukum
kontemporer disebut suatu terobosan baru, mengingat Bahtsul Masail NU tidak
lagi memaksakan diri unutk mencari rujukan kepada pendapat (aqwal) yang sudah
jadi dalam masalah tertentu saja, melainkan dengan menggunakan jalan
berpikirnya imam mazhab ketika memcahkan persoalan hukum.
Penggunaan bermazhab secara manhaji ini dilakukan apabila dalam
bermazhab secara qauli tidak ditemukan qaul atau wajh, yang bisa dijadikan
pijakan untuk menjawab suatu masalah baru dan dengan manhaj ini pula,
aqwal-aqwal yang bertebaran dalam kitab fiqh dapat ditimbang denagn menelusuri
jalan berpikir yang digunakan ketika imam mazhab memutuskan suatu masalah
hukum, yang mana mereka (imam mazhab) tersebut tidak dapat lepas dari pengaruh
lingkungan atau sosio-kultural masa itu.
Dari pernyataan ini akan kami jelaskan secara rinci istilah-istilah
dalam metode Istinbath hukum Bahtsul Masail:
a)
Metode Qauly
Metode Qauly tersebut
merupakan prosedur pertama yang harus
dijalani oleh ulama NU dalam istinbath al-ahkam. Metode ini merupakan
metode yang menggunakan qaul atau pendapat ulama masa lalu. Adapun dalam hukum
postif metode ini bisa di istilahkan dengan
jurisprudensi, yaitu memutuskan perkara berdasarkan keputusan hakim
sebelumnya pada perkara yang dianggap sama. Metode ini juga suatu cara yang
digunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Bahtsul Masail dengan mempelajari
masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pda kitab-kitab fiqh yang
empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau
dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah” jadi” dalam lingkup
mazhab tertentu.
Pengambilan qaul
atau wajh7) dari teks-teks kitab mazhab merupakan cara yang
lebih banyak dipakai dan diutamakan oleh NU, baik ketika menghadapi
masalah-masalah khilafiyah maupun ketika menghadapi kasus-kasus baru. Dari 438
fatwa yang dikeluarkan oleh Batsul Masail NU, sebagian besar kasus diselesaikan
dengan mengambil ‘ibarat kitab atau dengan menggunakan metode qauly.
Ulama-ulama NU beralasan
bahwa penggunaan metode qauly dengan mengutip pendapat mazhab ini bukan berarti
tidak berdasarkan keputusan fatwa kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi
semata-mata karena berhati-hati8). Mereka
beralasan bahwa para ulama dalam setiap fatwanya selalu mendasarkan kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidaklah mungkin para ulama itu berpendapat dengan
berdasarkan nafsunya. Jadi qaul yang diambil NU juga berasal dari nash yang
digali oleh para ulama mazhab tersebut.
Meskipun nash-nash yang dijadikan landasan tidak dicantumkan dalam yang
mereka tulis.
7) Qaul
adalah pendapat imam mazhab sedangkan Wajh adalah pendapat ulama mazhab.
8)
Berhati-hati disini dalam konteks bisa berarti tawadhu’ (rendah hati)
yang sering didengung-dengungkan oleh ulama NU. Tidak ada salah dengan tawadhu’
tersebut. Namun bila dikaitkan dengan pengambilan hukum, ketawadhu’an bisa
menjadi ketidakmauan untuk berpikir dan penuhanan produk pemikiran masa lalu
yang seharusnya tidak anti kritik.
Konteks inilah yang sering
dijadikan dasar untuk mengklaim bahwa ulama NU selalu bertaqlid. Pada titik ini
bisa saja imbasnya kepada warga nahdliyyin yang kenyataan nya (menurut penulis)
terjebak kepada taqlid buta, karena taqlid yang benar bagi orang yang mengerti
ilmu agama (ulama) haruslah disertai dengan pemahaman dalil yang dpergunakan
oleh muqallad (atau dengan kata lain ittiba’).
Meskipun penerapan metode ini sudah
berlangsung sejak lama, yakni sejak
pelaksanaan Bahtsul Masail, namun hal ini baru secara impilisit
dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni
1992):
Adapun prosedur pelaksanaan metode qauli
adalah sebagaimana dijelaskan dalam keputusan Munas Bandar Lampung, bahwa
pemilihan qaul/wajh ketika dalam suatu masalah dijumpai beberapa qaul/wajh
dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan ketentuan
9) ‘Ibarah kitab adalah ungkapan atau bunyi tekstual
yang ada pada kitab-kitab rujukan Bahtsul Masail.
10) Taqrir jama’iy adalah upaya bersama untuk mentapkan
pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajh.
1)
Mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat(rajih).
2) Sedapat mungkin dengan melaksanakan
ketentuan Mukatamar NU I (1926), bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan
memilih:
a)
Pendapat yang disepakati Asy-Syaikhan (Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i)
b)
Pendapat yang dipegang oleh An-Nawawi saja
c)
Pendapat yang dipegang oleh Ar-Rafi’i saja
d)
Pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama saja
e)
Pendapat ulama yang terpandai saja
f)
Pendapat ulama yang paling wara’
Untuk melaksanakan ketentuan Muktamar NU I
tersebut tentunya terdapat prioritas-prioritas lebih lanjut ketika qaul atau
wajh yang ada ingin dijadikan sandaran dalam penetapan hukum. Prioritas
tersebut diantaranya:
a)
Berdasarkan shahib qaul atau wajh, misalnya pendapat
yang dipegangi oleh Imam An-Nawawi lebih didahulukan atas pendapat yang
dipegangi oleh Imam Ar-Rafi’i.
b)
Berdasarkan dimana qaul atau wajh itu dimuat.
Pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Tahqiq lebih didahulukan atas
pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ kemudian Al-Tankih,
Ar-Raudlah dan Minhaj.
3)
Dalam kasus tidak ada qaul atau wajh sama sekali yang memberikan
penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail binaizairiha11),secara
jama’i oleh ahlinya
12)Ilhaqul masa’il binazairiha adalah
menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus yang
serupa yang telah dijawab oleh kitab.
Untuk
memudahkan dalam memahami metode tersebut kami akan memberikan sebuah contoh:
Soal (S): Bolehkah menggunakan hasil dari
zakat untuk pendirian masjid, atau madrasah atau pondok (asrama) karena itu
semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam Al-Qaffal?
Jawab(J): Tidak boleh. Karena yang dimaksud
dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun
kutipan Imam Al-Qaffal itu adalah dha’if (lemah).
Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan
Tafsir Al-Munir.juz 1.
والتفقوا على منع الإخراج لبناء مسجد أو تكفين ميّة ا.ه (رحمة الأمّة)
“Dan
mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan
masjid atau mengkafani mayit” (Rahmatul
Ummah).
ونقل القفال عن بعض الفقهاء أنهم اجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه
الخير
من تكفين الموتى وبناء الخصون وعمارة المسجد لأن قوله تعالى فى سبيل
الّله علم فى الكل ا.ه (تفسير المنير)
”Dan Al-Qaffal mengutip dari sebagian fuqaha’,
bahwa mereka memperbolehkan belanja harta zakat untuk semua segi kebaikan,
seperti mengkafani mayat, membangun benteng, dan memakmurkan masjid karena
firman-Nya SWT. fi sabilillah (di jalan Allah) mencakup semuanya. (Tafsir
Al-Munir
Jadi
secara ringkasnya dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Bahtsul Masail
dengan mengacu pada bunyi teks (qaul) dari kitab-kitab mazhab empat, dan
karenanya disebut metode qauly yang dalam tataran ijtihad dapat di
samakan dengan metode bayaniy. Akibatnya proses Bahtsul Masail ini mirip
dengan apa yang terjadi dalam gudang tempat persediaan kebuthan masyarakat.
Bila ada masyarakat yang membutuhkan kebutuhan hidup, maka tinggal memesan
kepada pemilik gudang, maka pemilik gudanglah yang akan memenuhi kebutuhan
masyarakat, dari hal ini masyarakat dan penilik gudang sama-sama berasumsi
bahwa gudang yang ada tersebut akan memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari,
sehingga tidak memerlukan lagi sebuah pabrik yang akan memenuhi kebutuhan
masyarakat itu sendiri.
Begitulah juga dengan para ulama dan warga NU
berpendapat bahwa metode Bahtsul Masail dengan mengacu pada kitab-kitab mazhab
empat (cenderung syafi’iyyah) secara qauli masih representatif
(pilihan) untuk menjawab segala kebutuhan masyarakat dalam segala zaman
dan berilkut tantangannya. Dalam prakteknya metode ini paling dominan
dipergunakan dalam Bahtsul Masail dengan setidaknya 362 keputusan yang diambil
berdasarkan metode ini.
b)
Metode Ilhaq
Ilhaq berasal dari kata “الحق-يلحق-الحاق” Yang memiliki arti menghubungkan, kata الحاق"” jika dirunut berasal dari kata “لحق”
yang memiliki arti mengikuti. Ilhaq yang lengkapnya adalah ilhaq al-masail bi-nazairiha secara bahasa
berarti menyamakan beberapa masalah yang memiliki keserupaan dengan masalah
serupa yang pernah ada.
Secara istilahi al-masail bi-nazairiha , dirumuskan oleh ulama nu dalam munas alim
ulama nu di bandar lampung yaitu menyamakan hukum sesuatu kasus/masalah yang
belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh
kitab, atau dengan kata lain menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi. metode
ilhaq merupakan upaya perluasan hukum terhadap kasus-kasus yang belum terjawab
oleh ulama masa lalu. Dan merupakan metode alternatif ketika suatu kasus, tidak
atau belum ada nash kitab yang membahasnya. Dalam prakteknya metode ini
menggunakan prosedur mirip dengan qiyas.
Metode ilhaq yang dirumuskan oleh ulama NU
bukan satu metode yang merupakan murni produk pemikiran ulama NU sendiri,
karena sebenarnya penggunaan ilhaq telah dipraktekkan jauh sebelum ulama-ulama
NU. Yaitu pada periode ulama mazhab, golongan ini lebih dikenal (dalam
tingkatan mujtahid) sebagai mujtahid mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam
mazhab sebagai tempat ia bernaung, baik dalam ushul maupun furu’. Fungsi dan
peran mujtahid mazhab pada hakekatnya adalah mengambil kaidah-kaidah yang telah
dipakai para imam pendahulunya, serta semua kaidah fiqhiyah yang bersifat umum
yang termasuk dari ‘illat-‘llat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar
tersebut.
Mereka
memahami dasar-dasar pemikiran para imam mereka, bahkan mampu menguraikannya
dengan sangat cermat dan mendalam, mampu membedakan pendapat
sahabat-sahabatnya. Dalam beberapa kasus yang tidak diriwayatkan atau belum
dikaji dan ditetapkan hukumnya oleh imamnya, mereka melakukan analogi kepada
kasus-kasus yang sudah diputuskan oleh imam mazhabnya. Metode ini disebut qiyas
‘ala al-amsal atau ilhaq al-masa’il bi nazairiha. Termasuk ulama dalam kategori
ini adalah al-khassaf (w. 261 h), abu al-hasan al-karkhi (260-340 h), al-jassas
(305-370 h) dari golongan hanafi, muhammad bin yahya bin lubbah (w. 326 h),
al-lakhami (w. 498 h), ibn rusyd (w. 595 h) pengikut mazhab maliki, abu ishaq
ibrahim al-isfarani (w. 418 h) dari mazhab syafi’i.
Ilhaq secara teknis persis dengan qiyas. Yang
membedakan dalam hal ini adalah ilhaq merupakan penyamaan kasus hukum yang
belum ditentukan nashnya dalam kitab pada kasus hukum yang telah ditemukan
ketentuan dan ketetapan hukumnya, sedang qiyas merupakan penyamaan hukum pada
kasus yang belum terdapat nass (al-qur’an dan as-sunnah) membicarakan hukumnya
lansung pada ketetapan kasus yang telah ditetapkan dalam nass baik al-qur’an
dan as-sunnah.
Jika dalam qiyas terdapat elemen pokok sebagai
prosedur operasionalisasi penggalian dan penetapan (istinbat) hukum yaitu al-asl,
al-far’, hukm al-asl, dan ‘illat.
Adapun ilhaq memiliki rukun-rukun sebagai
berikut :
1.
Mulhaq bih adalah sesuatu yang telah mendapatkan
ketetapan hukum atau sesuatu yang menjadi pertimbangan hukum (masalah yang
diikuti).
2.
Mulhaq adalah sesuatu yang belum mendapat
ketetapan hukum (furu’) atau kasus baru yang dihukumi.
3.
Wajhu al-ilhaq adalah segi-segi kemiripan atau
kesamaan ‘illat hukum.
Ilhaq ini boleh
dilakukan oleh mulhiq yang ahli yaitu ulama yang mampu memahami isi kandungan
kitab baik itu yang terkait dengan alasan rasional-logis seorang ulama yang
menelorkan pendapat dalam kitabnya yang akan dijadikan rujukan hukum dan secara
jama’i, hal ini dimaksudkan agar memperoleh ketetapan hukum yang bisa
dipertanggung jawabkan dan selaras dengan maksud dan tujuan hukum itu.
untuk lebih jelas
operasionalisasi metode ilhaq dalam bahtsul masail nu, akan dikutip beberapa
kesepakatan hukum yang telah diputuskan. misalnya permasalahan tentang
kedudukan hak cipta dalam hukum waris.
S: apabila hak cipta menghasilkan uang atau
nilai ekonomi selama dalam waktu yang ditetapkan menurut undang-undang hak
cipta. bagaimanakah kedudukannya dalam hukum waris, sedangkan harta mayit yang
lain sudah lama dibagi waris, dan bagaimana pula kaitannya dengan zakat ?
J : kedudukan hak cipta dalam hukum waris
adalah termasuk tirkah(harta warisan) sekalipun harta almarhum yang lain sudah
lama dibagi, adapun kaitannya dengan zakat adalah seperti halnya mal biasa.
contoh
permasalahan hukum di atas merupakan kasus hukum yang ditetapkan dengan
menggunakan metode ilhaq, karena dari uraian di atas jelas kedudukan hak cipta
dalam hukum waris itu merupakan fenomena yang belum ada. ulama nu menyikapi
kasus hukum ini dengan cara menyamakan atau mengikuti hukum hak cipta dengan
perankap burung yang memiliki kesamaan (keserupaan) ‘illat hukum yaitu pada hak
cipta dan perangkap burung mempunyai
nilai ekonomis yang bisa diambil keuntungannya.
Contoh ilustrasi
metode ilhaq
Mulhaq bih :
perangkap burung
Mulhaq : hak
cipta
Wajh al-ilhaq
(segi kesamaan) : menghasilkan nilai ekonomis
Hukum fiqh :
tirkah (harta warisan )
Dari ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa
suatu kasus baru yang belum ditemukan nassnya dalam kitab fiqh, ia dapat
diselesaikan dengan melihat kesamaan-kesamaan dalam suatu kitab fiqh, kemudian
dianalisis, apakah paralelnya dekat atau bahkan hampir indentik dalam esensinya
dengan masalah yang dijadikan pedoman ilhaq (mulhaq bih). selain itu dengan
cara melihat kesamaan ‘illat antara dua kasus, sehingga bisa ditetakan suatu
hukum. meskipun dalam operasionalisasinya ilhaq memiliki rukun-rukun seperti
disebutkan di atas namun ulama nahdliyyin tidak mempraktekkan secara ketat,
karena penjawaban atas suatu masalah dalam bahtsul masail NU hanya merupakan
upaya pencarian jawaban-jawaban yang cocok dengan ibarat kitab atau disamakan
dengan kasus yang sudah ada.
No.
|
Methode
|
Frekuensi
|
%
|
1
|
Qauliy
|
362
|
84.6
|
2
|
Ilhaqiy
|
33
|
7.7
|
3
|
Manhajiy
|
8
|
1.9
|
4
|
Tidak
Jelas
|
25
|
5.8
|
Jumlah
|
426
|
100
|
Nama
lengkap Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Ustman bin
Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib
bin’Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib,
Abu ‘Abdilla al-Qurasyi asy-Syafi’I al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan
putra pamannya.
Al-Muthathalib
adalah saudara Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muththalib. Kakek Rasulullah SAW dan
kakek Imam asy-Syafi’I berkumpul ( bertemu nasabnya) pada ‘Abdi Manaf bin
Qushay, kakek Rasulullah SAW yang ketiga.
Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata; “ Imam Syafi’I rahimahulllah adalah Qurasyi (
berasal dari suku Quraisy ) dan Muththalibi (keturunan Muththalib) berdasarkan
ijma’ ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku
Azdiyah.
Para
sejarawan sepakat bahwa Imam asy-Syafi’I lahir pada tahun 150 H, yang merupakan
tahun wafatnya Imam Abu Hanifah rahimahullahImam al-Hakim rahimahullah berkata;
“ Saya tidak menemukan adanya perselisihan pendapat bahwa Imam asy-Syafi’I rahimahullah
lahir pada tahun 150 H, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa Imam asy Syafi’i rahimahullah menggantikan Imam Abu
Hanifah rahimahullah dalam bidang yang digelutinya.”
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’I rahimahullah lahir pada hari
meninggalnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini disinyalir tidak benar, tetapi
pendapat ini bukan pendapat yang sangat lemah karena Abul Hasan Muhammad bin
Husain bin Ibrahim rahimahullah dalam Manaaqibusy
Syafi’i meriwayatkan dengan sanad jayyid
bahwa Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah berkata; “ Imam asy-Syafi’i
rahimahullah lahir pada hari kematian Abu Hanifah rahimahullah. “Namun, kata yaum pada kalimat ini dapat diartikan
lain[1]
karena secara umum, kata itu bisa diartikan masa
atau zaman. Menurut pendapat yang
shahih, Imam Abu Hanifah rahimahullah wafat pada tahun 150 H. Akan tetapi, ada
yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 151 H. Pendapat lainnya lagi
menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 153 H. Hanya saja, saya tidak
menemukan dalam buku-buku tarikh (sejarah)
yang menyebutkan bulannya secara pasti. Dengan demikian, para sejarawan tidak
ada yang berselisih-sebagaimana yang telah dikemukakan-bahwa Imam asy-Syafi’i
rahimahullah lahir pada tahun 150 H, namun tidak ada yang memastikan bulannya.
Inilah yang menjadikan penuturan Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman tersebut lebih
mungkin dapat dipahami jika dilihat tidak secara lahiriyahnya, melainkan dengan
cara ditakwil, yaitu kata yaum yang
dimaksutkan adalah masa atau zaman. Wallahu a’lam.
Ada
banyak riwayat yang menyebutkan tentang
tempat kelahiran Imam asy- Syafi’i rahimahullah. Yang paling populer adalah
beliau dilahirkan di kota Ghazzah. Pendapat lain mengatakan di kota ‘Asqalan,
sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman.
Disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim rahimahullah dari ‘Amr bin Sawad, ia
berkata:” Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepadaku :’ Aku dulahirkan di
negeri ‘Asqalan. Ketika aku berusia dua tahun, ibuku membawaku ke Mekkah.’
Sementara Imam al-Baihaqi menyebutkan
dengan sanadnya, dari Muhammad bin ‘Abdillah bin “Abdul Hakim, ia berkata: “Aku
mendengar Imam Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata ;” Aku dilahirkan di
negeri Ghazzah. Kemudian, aku dibawa oleh ibuku ke ‘Asqalan.’”
Dalam
riwayat lain, Ibnu Abi Abi Hatim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya yang
sampai kepada putra saudaranya, ‘Abdullah bin Wahab rahimahullah, ia berkata:
“Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ‘ Aku
dilahirkan di Yaman. Karena ibuku khwatir aku terlantar, ia pun berkata:”
Temuilah keluargamu agar engkau menjadi seperti mereka sebab aku khawatir
nasabmu terkalahkan. Maka ibuku membawaku ke Mekkah ketika aku berusia sepuluh
tahun.’”6
Imam
al-Baihaqi rahimahullah memadukan riwayat-riwayat ini. Setelah menyebutkan
riwayat putra saudaranya, ‘Abdullah bin Wahab, ia berkata: “Begitulah yang
terdapat dalam riwayat, yaitu bahwa Imam asy-Syafi’i rahimahullah dilahirkan di
Yaman. Akan tetapi, menurut pendapat yang shahih, ia dilahirkan di kota
Ghazzah.” Selanjutkan al-Baihaqi berkata: “Ada kemungkinan yang ia maksudkan
adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghazzah.” Lebih
lanjut, al-Baihaqi rahimahullah berkata: “ Seluruh riwayat menunjukkan bahwa
Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghazzah kemudian ia dibawa ke ‘Asqalan lalu
ke Mekkah. Wallahu a’lam.”7
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “ Tidak ada pertentangan antara satu riwayat
dengan riwayat yang lain. ‘Asqalan adalah kota yang sejak dahulu telah dikenal,
sementara Ghazzah berdekatan dengannya. Jadi, bila Imam asy-Syafi’i mengatakan
bahwa ia dilahirkan di ‘Asqalan, berarti maksudnya adalah kotanya, sedangkan
Ghazzah adalah kampungnya.”
Imam
asy-Syafi’i tumbuh di negeri Ghazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya
meninggal. Oleh karena itu, berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan
keterasingan dari keluarga. Namun, kondisi ini tidak menjadikannya lemah dalam
menghadapi kehidupan setelah Allah SWT memberinya taufik untuk menempuh jalan
yang benar. Setelah sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yakni kota Makkah,
menurut riwayat terbanyak atau tempat dekat Makkah, mulailah Imam asy-Syafi’i
menghafal al-Qur’an sehingga ia berhasil merampungkan hafalannya pada usia 7
tahun. Imam asy-Syafi’I begitu tekun belajar sehingga ia dapat menghafal
al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan hafal kitab al- Muwaththa’ (karya Imam Malik rahimahullah, pen)
dalam usia 10 tahun. Pada saat ia berusia 15 tahun (ada yang mengatakan 18
tahun), Imam asy-Syafi’i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang
bernama Muslim bin Khalid az-Zanji rahimahullah. Imam asy- syafi’i menaruh
perhatian yang besar terhadap sya’ir dan bahasa sehingga ia hafal sya’ir dari
suku Hudzail. Bahkan, ia hidup bergaul bersama mereka selama sepuluh atau dua
puluh tahun menurut satu riwayat. Kepada merekalah Imam asy-Syafi’i belajar
bahasa arab dan balaghah. Imam asy-Syafi’i belajar banyak hadits kepada para
syaikh dan imam. Dia membaca sendiri kitab al-Muwaththa’
dihadapan Imam Malik bin Annas rahimahullah dengan hafalan sehingga Imam
Malik pun kagum terhadap bacaan dan kemauannya. Imam asy-Syafi’i juga menimba
dari Imam Malik ilmu para ulama Hijaz setelah ia mengambil banyak ilmu dari
syaikh Muslim bin Khalid az-Zanji. Selain itu, Imam asy-Syafi’i uga mengambil
banyak riwayat dari banyak ulama, juga belajar al-Qur’an kepada Ismail bin
Quthanthin ( yang diriwayatkan,) dari Syibl, dari Ibnu Katsir al-Makki, dari
Mujahid rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas, dari Ubay bin Ka’ab, dari Rasulullah
Saw.
Setelah
Imam asy-Syafi’i hafal al-Qur’anul al- Karim di Makkah, belia pun senang akan
sya’ir dan bahasa sehingga ia selalu bolak-balik ke suku Hudzail untuk
menghafal sya’ir-sya’ir mereka. Yang tampak adalah bahwa ia telah hafal banyak
dari sya’ir-sya’ir mereka sejak kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh
aal-Abarrirahimahullah melalui jalur ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah, ia
berkata: “Aku mendengar Imam asy-Syafi’i berkata: ‘ Ketika aku berada di sebuah
tempat belajar aku mendengar seorang guru mengajarkan suatu kalimat lalu aku
menghafalnya.’ Katanya lagi: ‘Aku keluar dari Makkah sesudah menginjak usia
baligh. Setelah itu, aku menetap di tengah-tengah suku Hudzail di pedusunan.
Aku mempelajari bahasa dan mengambil ucapan-ucapan mereka. Sungguh, mereka
adalah kabilah Arab yang paling fasih bahasanya.”
Imam
al-Hakim rahimahullah meriwayatkan melalui jalur Mush’ab az-Zubairi, ia
berkata: “ Imam asy-Syafi’i membaca sya’ir-sya’ir Hudzail dengan cara dihafal.
Kemudian, ia berkata kepadaku: ‘ Jangan kamu ceritakan ini kepada siapapun.’
Dipermulaan malam, ia mengulang-ulang pelajarannya bersama ayahku hingga
subuh.” Pada awalnya, Imam asy-Syafi’i belajar sya’ir, sejarah, dan peperangan
bangsa Arab, juga sastra, dan setelah itu baru belajar fiqih. Yang mendorongnya
mendalami ilmu fiqih adalah karena ketika Imam asy-Syafi’i pergi menaiki seekor
binatang, iapun membaca bait-bait sya’ir. Mendengar bacaan itu, berkata
kepadanya sekretaris orang tuanya, Mush’ab bin ‘Abdullah az-Zubairi: “Orang seperti
kamu jika menjadi penyair akan hilang perangainya sebagai manusia, kecuali
engkau belajar fiqih.” Dari kejadian tersebut tergugahlah hati Imam asy-Syafi’i
rahimahullah untuk mendalami fiqih. Sesudah itu, ia pun mendatangi Muslim bin
Khalid az-Zanji, seorang mufti Makkah, dan berguru kepadanya. Selanjutnya, Imam
asy-Syafi’i pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik rahimahullah.10
Sebelum pergi ke Madinah untuk menemui Imam Malik, Imam asy-Syafi’i
rahimahullah terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan menghafal kitab al-muwathta’. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa ia hafal kitab tersebut dalam usia sepuluh tahun. Riwayat lain
menyebutkan ia hafal pada usia tiga belas tahun.11 Tentang
perjalannya untuk bertemu dengan Imam Malik, Imam asy-Syafi’i becerita sebagai
berikut: “ Aku keluar dari Makkah untuk hidup dan bergaul dengan suku Hudzail
di pedusunan. Aku mengambil bahasa mereka dan mempelajari ucapannya. Mereka
adalah suku Arab yang paling fasih. Setelah beberapa tahun tinggal bersama mereka,
aku pun kembali ke Makkah. Yang jelas, tinggalnya Imam asy- syafi’i di Madinah
tidak terus- menerus, melainkan diselingi oleh kepulangannya ke Makkah untuk
menengok ibunya. Dalam kepulangannya itu, ia menyempatkan diri untuk
mendengarkan sya’ir-sya’ir suku Hudzail dan belajar kepada ulama’ Makkah.
Sejumlah riwayat dan keterangan menyebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i pergi ke
Madinah dalam usia tiga belas tahun, yakni sekitar tahun 163 H. kemudian, ia
pulang pergi antara Madinah, Makkah, dan perkampungan Hudzail meskipun
kebanyakannya ia menetap di Madinah mendampingi Imam Malik bin Anashingga
beliau wafat pada tahun 179 H. setelah itu, barulah Imam asy-Syafi’i pulang ke
Makkah sesudah memperoleh banyak ilmu dari Imam Malik. Maka mulailah nama dan
keilmuannya terkenal, padahal umurnya pada saat itu baru 29 tahun. Pada fase
ini Imam asy-Syafi’i telah berguru kepada Sufyan bin ‘Uyainah, Muslim bin
Khalid az-Zanji, Ibrahim bin Abu Yahya, dan Malik bin Anas rahimahullah di
Madinah. Selain itu, ia pun belajar kepada ulama lainnya, sebagaimana
dituturkan oleh Mush’ab az-Zubairi: “Imam asy-Syafi’i telah mengambil hampir
semua ilmu yang dimiliki oleh Imam Malik bin Anas dan menghimpun ilmu para
syaikh yang ada di Madinah.”12
Sekembalinya
dari Madinah ke Mekkah, Imam asy-Syafi’i sibuk dengan ilmunya. Sementara itu,
jiwanya sangat gandrung terhadap ilmu sekalipun ia tidak mampu membeli
kitab-kitab karena miskin. Begitulah sifat para ulama yang di anugerahi oleh
Allah SWT kelezatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah merasa puas dengan
ilmu yang di milikinya. Rasulullah SAW pun telah menyatakan hal itu dalam
haditsnya yang berarti :
“ Dua orang yang rakus yang tidak pernah
merasa kenyang: pencari ilmu dan pencari dunia.”13
Jiwa
Imam asy-Syafi’i sangat haus akan ilmu ulama Yaman, sementara yang tersisa dari
para ulama Yaman yang merupakan pemuka ulama adalah sahabat Ibnu Juraij,yaitu
Hisyam bin Yusuf dan Mutharrif bin Mazin.Ibnu Juraij sendiri memgambil ilmu
dari Imam ‘Atha.Namun, karena tidak memiliki biyaya cukup, Imam asy-Syafi’i
tidak dapat pergi ke Yaman. Ia endiri telah mendengar dari teman-teman dekatnya
bahwa Yaman adalah gudang ilmu, baik ilmu firasat maupun ilmu lainnya sehingga
ia berminat untuk berangkat ke negeri tersebut. Hal ini di ketahui oleh para
sahabat dekatnya dan orang-orang yang bergaul dengannya.
Diakhir
hayatnya, Imam asy-Syafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan mengarang di
Mesir, sampai hal itu memberikan mudharat bagi tubuhnya. Akibatnya, ia terkena
penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi, karena kecintaannya
terhadap ilmu, Imam asy-Syafi’i tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak
memerdulikan sakitnya, sampai akhirnya beliau wafat pada akhir bulan rajab
tahun 204 H –semoga Allah SWT memberikan rahmat yang luas kepadanya.17 Al-Muzani rahimahullah berkata:” Tatkala aku
menjenguk Imam asy-Syafi’i pada sakit yang membawa kepada kematiannya, aku
bertanya kepadanya: ‘ Bagaimana keadaanmu, wahai, Ustadz?’ Imam asy-Syafi’I
menjawab: ‘Aku akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan para sahabatku. Aku
akan meneguk piala kematian dan akan menghadap Allah serta akan bertemu dengan
amal jelekku. Demi Allah, aku tidak tau ruhku akan kembali: ke Surga yang
dengannya aku akan bahagia atau ke neraka yang dengannya aku berduka.’ Kemudian,
Imam asy-Syafi’i mengarahkan pandangannya ke langit dengan air mata yang
bercucuran, seraya mengucapkan bait-bait sya’ir:
Wahai,
Ilah, Rabb makhluk semesta
Kepada
Engkau aku ajukan pengharapan
Sekalipun
aku orang yang banyak melakukan dosa
Wahai,
Dzat pemilik karunia dan kemurahan
Tatkala
kalbuku keras dan jalan-jalanku sempit
Aku
jadikan pengharapan dari-Mu sebagai tangga
Dosa-dosaku
menguasai diriku,
Tetapi
ketika aku bandingkan dengan pengampunan-Mu
Wahai,
Rabbku,jauh lebih besar pengampunan-Mu
Engkau
senantiasa pengampun segala dosa dan kesalahan
Engkau
tetap Pemurah dan Pemberi karunia dan kemuliaan
Maka
andai tidak karena kemurahan-Mu
Tidaklah
bertahan si penyembah iblis
Betapa
tidak?
Ia
telah memperdaya kekasih-Mu Adam
Bila
Engkau memaafkan aku ,
Berarti
Engkau memgampuni si pelaku kedzaliman
Yang
penuh gelimang dosa dan kesalahan
Dan
andai Engkau murka kepadaku,
Aku
tidak akan putus harapan
Sekalipun
diriku dimasukkan ke Jahannam
Karena
dosa-dosa yang aku lakukan
Sungguh
besar dosaku,
Baik
yang sekarang maupun yang dahulu
Namun,
ampunan-Mu lebih besar dan lebih banyak
Wahai,
dzat Pemberi maaf
2.Karya
Mungkin banyak kitab yang telah dikarang oleh Imam Syafi`i ketika berada di Makkah, tetapi tidak risalah pertama yang dibuat oleh Imam Syafi`i atas permintaan Abdur Rahman ibn Mahdi, ini merupakan sebuah karya di bidang ushul fiqh yang kemudian terkenal dengan nama Ar-Risalah. Baru setelah perjalanannya yang kedua yakni ke Irak mulai tersohor banyak karangannya. Kitab-kitab yang disusun di Baghdad dinamakan al-Hujah, atau al-Mabsut.[2]Kitab ini sesudah Imam Syafi`i bermukim di Mesir diperbaiki, disempurnakan lalu dinamakan al-Umm. Diantara kitab-kitabnya yang ditulis di Mesir ialah al-Amali dan al-Imlak. Namun sebernarnya kitab-kitab yang ditulis di Mesir tersebut bukanlah kitab yang baru, tetapi hasil penyempurnaan dari kitab-kitabnya yang disusun ketika di Baghdad berdasarkan kepada pengalaman- pengalaman baru. Ada juga muridnya, Al-Buwaithi, yang menikhtisarkan kitab-kitab dari Sang Imam dan dinamakan al-Muhktasar. Begitupun al-Muzani.
Mungkin banyak kitab yang telah dikarang oleh Imam Syafi`i ketika berada di Makkah, tetapi tidak risalah pertama yang dibuat oleh Imam Syafi`i atas permintaan Abdur Rahman ibn Mahdi, ini merupakan sebuah karya di bidang ushul fiqh yang kemudian terkenal dengan nama Ar-Risalah. Baru setelah perjalanannya yang kedua yakni ke Irak mulai tersohor banyak karangannya. Kitab-kitab yang disusun di Baghdad dinamakan al-Hujah, atau al-Mabsut.[2]Kitab ini sesudah Imam Syafi`i bermukim di Mesir diperbaiki, disempurnakan lalu dinamakan al-Umm. Diantara kitab-kitabnya yang ditulis di Mesir ialah al-Amali dan al-Imlak. Namun sebernarnya kitab-kitab yang ditulis di Mesir tersebut bukanlah kitab yang baru, tetapi hasil penyempurnaan dari kitab-kitabnya yang disusun ketika di Baghdad berdasarkan kepada pengalaman- pengalaman baru. Ada juga muridnya, Al-Buwaithi, yang menikhtisarkan kitab-kitab dari Sang Imam dan dinamakan al-Muhktasar. Begitupun al-Muzani.
3.Murid
Karena pengembaraannya yang luas sehingga muncullah murid-murid dari berbagai wilayah terutama yang dulu pernah disinggahi oleh Imam Syafi`i dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmunya diantaranya dari Mekkah yaitu Abu Bakar al-Humaidi yang ikut dalam perjalanan Imam Syafi`i ke Mesir, Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad, Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul Walid, Musa ibn Abi Jarud. Adapun murid-muridnya di Baghdad ialah Abu Ali al-Hasan Az-Za`farani, Abu Ali al-Husin ibn Ali al-Karabisi, AbuTsaur al-Kalbi, Abu Abdur Rahman, Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya al-Asy`ari. Diantara yang mengembangkan mazhab sendiri yaitu Ahmad ibn Hanbal serta Ishak. Selain itu adajuga beberapa muridnya di Mesir yaitu: Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah, ia telah meriwayatkan kitab Imam Syafi`i yang tidak diriwayatkan oleh Ar-Rabi`, Abu Ya`kub Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, ia dijadikan pengganti oleh Imam Syafi`i karena penghargaannya, ia wafat dalam penjara karena tak mau mengakui bahwa Al-Qur`an itu makhluk, Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzani, yang menulis al-Mabsut dan al-Mukhtasar, Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam, Ar-Rabi` ibn Sulaiman ibn Daud al-Izzi, Ar-Rabi` ibn Abdul Jabbar ibn Kamil al-Muradi, yang merupakan periwayat kitab-kitab Imam Syafi`i.
Karena pengembaraannya yang luas sehingga muncullah murid-murid dari berbagai wilayah terutama yang dulu pernah disinggahi oleh Imam Syafi`i dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmunya diantaranya dari Mekkah yaitu Abu Bakar al-Humaidi yang ikut dalam perjalanan Imam Syafi`i ke Mesir, Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad, Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul Walid, Musa ibn Abi Jarud. Adapun murid-muridnya di Baghdad ialah Abu Ali al-Hasan Az-Za`farani, Abu Ali al-Husin ibn Ali al-Karabisi, AbuTsaur al-Kalbi, Abu Abdur Rahman, Ahmad ibn Muhammad ibn Yahya al-Asy`ari. Diantara yang mengembangkan mazhab sendiri yaitu Ahmad ibn Hanbal serta Ishak. Selain itu adajuga beberapa muridnya di Mesir yaitu: Harmalah ibn Yahya ibn Harmalah, ia telah meriwayatkan kitab Imam Syafi`i yang tidak diriwayatkan oleh Ar-Rabi`, Abu Ya`kub Yusuf ibn Yahya al-Buwaithi, ia dijadikan pengganti oleh Imam Syafi`i karena penghargaannya, ia wafat dalam penjara karena tak mau mengakui bahwa Al-Qur`an itu makhluk, Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzani, yang menulis al-Mabsut dan al-Mukhtasar, Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam, Ar-Rabi` ibn Sulaiman ibn Daud al-Izzi, Ar-Rabi` ibn Abdul Jabbar ibn Kamil al-Muradi, yang merupakan periwayat kitab-kitab Imam Syafi`i.
C.
CIRI KHAS ISTINBAT HUKUM IMAM SYAFI’I
1. Komitmen Terhadap al-Qur’an dan
as-Sunnah dan Mendahulukan keduanya daripada Akal
Mengambil
lahiriyah al-Qur’an dan sunnah merupakan dasar pertama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Mereka menjadikan keduanya ini sebagai dasar pertama mereka karena al-Qur’an
dan as-sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil/ mempelajari ‘aqidah
islam. Seorang Muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh
karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-sunnah wajib
diterima dan di tetapkan ( tidak ditolak ) oleh seorang Muslim. Demikian pula
apa yang di nafikan ( ditolak) oleh keduanya,maka wajib bagi seorang Muslim
untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan, melainkan
dengan cara berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-sunnnah.
2. Mengakui Hadist Ahad
a.)Pandangan Imam asy-Syafi’i tentang
Hadist Ahad
Para ulama hadist dan ushul fiqih
membagi hadits Rasulullah Saw menjadi dua bagian: mutawatir dan ahad.
1.
Hadits
mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika, mereka tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta. Hadits ini diriwayatkan dari orang banyak
seperti mereka menyandarkan hadits ini kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh
indera.
2.
Hadits ahadialah
hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syaratnya.
Dari segi diterima dan ditolaknya,
hadits ahad terbagi menjadi bebeapa
bagian, diantaranya ada yang maqbul (
diterima) dan ada yang mardud
(ditolak) sesuai dengan keadaan perawinya baik berkenaan dengan keadilannya,
hafalannya dan hal-hal lain yang menjadi syarat diterimanya hadits.
b.)
Syarat-syarat sah dan diterimanya hadits menurut imam asy-Syafi’i
1. Sanadnya muttashil (tersambung), tidak putus
2. Para Perawinya adil
3. Selamat dari syudzudz. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah riwayatnya bertentangan dengan riwayat orang
lain yang lebih tsiqah darinya.
4. selamat dari ‘illat atau cacat yang membuatnya cela.
c.) Apa yang ditunjukkan oleh
hadist ahad
Terjadi
ikhtilafantar ulama tentang apakah
hadits ahad itu menunjukkan kepada
ilmu ( suatu keyakinan) atau hanya menunjukkan kepada zhann (dugaan)? Ada tiga pendapat tentang masalah ini:
1.
Hadits
ahad menunjukkan ilmu (yang yakin)
secara mutlak. Baik didukung oleh beberapa qarinah
(indikasi) maupun tidak.
2.
Hadist
ahad menunjukkan dzann secara mutlak, baik ditopang oleh beberapa indikasi maupun
tidak. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul fiqih secara umum yang
diikuti oleh sebagian ahli hadits mutaakhhkirin
, seperti an-Nawawi rahimahullah.21
3.
Hadits
ahad menunjukkan ilmu (yang yakin)
apabila ditunjang oleh beberapa syahid (penguat).
Pendapat ketiga ini adalah, pendapat sekelompok penganut berbagai madzhab dan
ahli ushul fiqih. Inilah pendapat yang didukung oleh Imam al-Amidi.
d.) Mengambil dan
Mengamalkan hadits ahad
Para sahabat ra. Dan orang-orang sesudahnya
yang terdiri dari para Tabi’in dan generasi salaf ummat ini, baik yang mengatakan
bahwa hadits ahad itu menunjukkan
ilmu yang yakin maupun yang berpendapat hadits ahad menunjukkan dzann ,
berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih diantara mereka, kecuali kelompok
yang tidak masuk hitungan, seperti sebagian Mu’tazilah dan Rafidhah23.
Al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah
berkata dalam kaitan ini: “ Keharusan mengamalkan hadits ahad itu adalah pendapat seluruh Tabi’in dan fuqaha sesudahnya diseluruh negeri hingga kini. Tidak ada
keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang dari mereka
yang menentang atau menyalahinya.”
e.) Hukum Menolak
Hadits Ahad
Imam Syafi’i berkata: “ Menurut hemat
saya, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad lalu ia menghalalkan dan
mengharamkan sesuai dengan akalnya.
3.Masa
Studi dan Pelawatannya
Meskipun Imam Syafi`i merupakan murid dari Imam Malik namun beliau tidak serta merta menerima sepenuhnya menjadi pengikutnya, ia melepaskan diri dari Imam Malik dan mendirikan mazhabnya sendiri setelh meninggalkan Baghdad. Sebelum itu ia terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Malik dan mempertahankan Mazhab Madinah hingga ia dinamai Nashirus SunnahSetelah bermukim di Irak dan mempelajari fiqh disana ia merasa perlunya fiqh baru yang menggabungkan antara fiqh Irak dan Madinah. Iapun menemukan kelemahan-kelemahan dari mazhab malik dan juga dari mazhab Irak. Sehingga lahirlah qoul qadimnya yang dibentuk ketika di Irak. Pada saat melawat ke Mesir ia banyak menemukan kebudayaan baru dan iapun memperbaiki risalah-risalahnya dan terbentuklah qoul jadid dan melepaskan qoul qadim. Sebagai contoh tentang perihal berurutan (muwaalah) dalam wudhu, qoul qadim mewajibkan hal tersebutdengan alasan huruf wawu yang gerdapat dalam surat al-Maidah ayat 6 menunjukkan arti berurutan, sedangkan dalam qoul jadiddihukumi sunnat dengan dasar Rasulullah SAW. Pernah berwudhu dan menunda dalam membasuh kaki beliau SAW.
Meskipun Imam Syafi`i merupakan murid dari Imam Malik namun beliau tidak serta merta menerima sepenuhnya menjadi pengikutnya, ia melepaskan diri dari Imam Malik dan mendirikan mazhabnya sendiri setelh meninggalkan Baghdad. Sebelum itu ia terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Malik dan mempertahankan Mazhab Madinah hingga ia dinamai Nashirus SunnahSetelah bermukim di Irak dan mempelajari fiqh disana ia merasa perlunya fiqh baru yang menggabungkan antara fiqh Irak dan Madinah. Iapun menemukan kelemahan-kelemahan dari mazhab malik dan juga dari mazhab Irak. Sehingga lahirlah qoul qadimnya yang dibentuk ketika di Irak. Pada saat melawat ke Mesir ia banyak menemukan kebudayaan baru dan iapun memperbaiki risalah-risalahnya dan terbentuklah qoul jadid dan melepaskan qoul qadim. Sebagai contoh tentang perihal berurutan (muwaalah) dalam wudhu, qoul qadim mewajibkan hal tersebutdengan alasan huruf wawu yang gerdapat dalam surat al-Maidah ayat 6 menunjukkan arti berurutan, sedangkan dalam qoul jadiddihukumi sunnat dengan dasar Rasulullah SAW. Pernah berwudhu dan menunda dalam membasuh kaki beliau SAW.
4.Dalil-dalil
hukum
Diantara dalil-dalil hukumnya Imam Syafi`i membagi menjadi 5 martabat yaitu:
Martabat pertama, Kitab dan Sunnah dalam hal ini ia menempatkan as-Sunnah semartabat al-Kitab ketika mengistimbath tentang hukum khususnya hukum furu`, sebab as-Sunnah adalah penjelasan dari al-Kitab. Ia berpendapat bahwa keduanya bersumber dari Allah dan dijadikan sebagai sumber syari`at islam.
Martabat kedua, ijma`. Menurutnya ijma` adalah hujjah, ia menempatkannya dibawah al-Kitab dan as-Sunnah dan diatas qiyas.
Martabat ketiga, pendapat sebagian sahabat.
Martabat keempat, pendapat-pandapat sahabat yang ditolak oleh sahabat-sahabat juga. Dalam pengertian Imam Syafi`i mengambil salah satunya yang dipandang dekat dengan qiyas.
Martabat kelima, qiyas.
Diantara dalil-dalil hukumnya Imam Syafi`i membagi menjadi 5 martabat yaitu:
Martabat pertama, Kitab dan Sunnah dalam hal ini ia menempatkan as-Sunnah semartabat al-Kitab ketika mengistimbath tentang hukum khususnya hukum furu`, sebab as-Sunnah adalah penjelasan dari al-Kitab. Ia berpendapat bahwa keduanya bersumber dari Allah dan dijadikan sebagai sumber syari`at islam.
Martabat kedua, ijma`. Menurutnya ijma` adalah hujjah, ia menempatkannya dibawah al-Kitab dan as-Sunnah dan diatas qiyas.
Martabat ketiga, pendapat sebagian sahabat.
Martabat keempat, pendapat-pandapat sahabat yang ditolak oleh sahabat-sahabat juga. Dalam pengertian Imam Syafi`i mengambil salah satunya yang dipandang dekat dengan qiyas.
Martabat kelima, qiyas.
5.
Istihsan dan Maslahah Mursalah
Istihsan yaitu meninggalkan qiyas dengan memenuhi syarat dan berpegang pada dalil yang lebih kuat. Menurut Imam Syafi`i ijtihad yang menggunakan istihsan ialah batal dan berarti menciptakan hukumnya sendiri. Sedangkan mengenai bab Maslahat Mursalat Imam Syafi`i mempergunakannya dengan mengategorikannnya ke dalam bab qiyas.
Istihsan yaitu meninggalkan qiyas dengan memenuhi syarat dan berpegang pada dalil yang lebih kuat. Menurut Imam Syafi`i ijtihad yang menggunakan istihsan ialah batal dan berarti menciptakan hukumnya sendiri. Sedangkan mengenai bab Maslahat Mursalat Imam Syafi`i mempergunakannya dengan mengategorikannnya ke dalam bab qiyas.
6. Istishab
Istishab ialah menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain yaitu adat kebiasaan dan undang-undang sebelum islam. Imam syafi`i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Quran. merupakan akhir dalil syar`i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.
Istishab ialah menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain yaitu adat kebiasaan dan undang-undang sebelum islam. Imam syafi`i memakai jalan istidlal dengan mencari alasan atas kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus oleh Al-Quran. merupakan akhir dalil syar`i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar