Kamis, 19 Maret 2015

Makalah tentang Korupsi

PENDAHULUAN
BAB I

I.     Latar Belakang

Ketika berbicara tentang pemerintahan Indonesia, terbesit dipikiran kita satu kata yaitu “korupsi”. Jika ditanya, apa pendapatmu tentang Indonesia? jawabannya adalah “negara kaya”, jika ditanya, apa pendapatmu tentang pemerintahnya? Jawabannya pasti “korupsi”. Begitulah kondisi negara kita saat ini.
Korupsi bisa dikatakan telah membudaya di Indonesia. bukan hanya pemerintahnya saja tetapi mulai dari masyarakat bawah sampai dengan pejabat tinggi, mulai dari anak kecil sampai kakek-kakek pun melakukan praktek korupsi. Maka jangan heran jika penanggulangan bencana moral ini sangat susah dicegah. Diobati saja susah apalagi dicegah.
Namun diantara orang-orang yang banyak tersangkut kasus korupsi, banyak pula diantara mereka yang sebenarnya tidak meniatkan diri mereka untuk melakukan korupsi tersebut. Korupsi sekarang bukan hanya diniati untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok, tetapi juga telah menjadi bahan politik untuk menjatuhkan lawan politiknya.
“Saya yang capek-capek membangun negeri ini, saya juga yang kalian tuduh menghancurkan negeri ini?” itulah salah satu kalimat yang keluar dari salah satu mantan bupati kabupaten Siak yang sekarang telah menjadi tersangka korupsi kasus subsidi pupuk. Atau pernahkah anda mendengar “seandainya saya terbukti, saya berani gantung di monas!”. Ada apa dengan dibalik mereka berani mengatakan seperti itu? Apakah hanya mencari sensasi? Apakah hanya mencari perhatian? Sangat dangkal kiranya kita berpikiran seperti itu.
Dengan bergitu, bagaimana status hukuman bagi mereka yang tersandung kasus korupsi di Indonesia? dan bagaimana status hukuman bagi mereka juga yang tersandung kasus korupsi namun sebenarnya mereka tidak meniatkannya? Serta bagaimana cara mencegah korupsi agar tidak menjadi sebudah budaya dalam kehidupan kita?





II.           Rumusan Masalah

1.    Apa itu korupsi?
2.    Bagaimana korupsi di Indonesia?
3.    Apa hukuman bagi para koruptor yang  sengaja maupun yang tidak sengaja?
4.    Bagaimana status hukuman bagi koruptor yang tidak sengaja?
5.    Apa langkah-langkah pemberantasan korupsi

III.        Tujuan

1.    Mengetahui defenisi korupsi
2.    Mengetahui perkembangan korupsi di Indonesia.
3.    Mengetahui hukuman bagi koruptor.
4.    Mengetahui status hukuman koruptor yang tidak sengaja.
5.    Mengetahui langkah-langkah pemberantasan korupsi.













BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian Korupsi

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak1.
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah: 
“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara2.”
Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya3.
Hafidhuddin4. mencoba memberikan gambaran korupsi dalam prespektif ajaran Islam. Ia menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir5..
Sehingga secara keseluruhan, korupsi adalah perbuatan penyimpangan moral yang melanggar hukum dan merusak tatanan kehidupan untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri maupun kelompok sehingga membuat kerugian bagi masyarakat luas.
 


1 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm/korupsi
2Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang dan Para Ahli _ Irham Ma'ruf.htm
3ibid
4Pramono U. Thantowi, Op Cit, hlm 256
5Dr. Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, hlm 33

2.    Korupsi dan Perkembangan Korupsi di Indonesia
Dari hasil survei indeks persepsi korupsi atau yang didalam bahasa Inggris dikenal dengan Corruption Perception Index (CPI) terbaru tahun 2013 mengatakan bahwa Indonesia menduduki posisi peringkat 114 dari 177 negara. Posisi Indonesia ini meningkat 4 peringkat dari CPI tahun 2012. Tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat 118. Namun, skor CPI Indonesia tidak berubah dari tahun lalu, yakni 326.
Walaupun begitu, tingkat korupsi di Indonesia masih dapat dikategorikan tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Khususnya negara-negara ASEAN. Indonesia tentunya masih tertinggal jauh dengan Singapura yang saat ini berselesa di tingkat 5 sedunia, sedangkan Malaysia diperingkat 54 dengan indeks 49, Thailand peringkat 88 dengan indeks 37 dan Filipina diperingkat 108 dengan indeks 34. Sedangkan masih ada negara yang dibawah Indonesia, yaitu Myanmar, Laos, dan Vietnam.
Dari beberapa angka indeks persepsi korupsi itu, sebenarnya Indonesia mengalami peningkatan dalam menghadapi korupsi, ditunjukkan dengan terus menaiknya angka indeks korupsi tersebut dari tahun ke tahun, walaupun dua tahun belakangan angka tersebut stagnan.
6 nasional.news.viva.co.id/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-stagnan

Melihat fenomena ini, menunjukkan tidak adanya peingkatan pemberantasan korupsi secara signifikan. Artinya praktek korupsi meningkat pada setiap harinya di Indonesia, walaupun KPK dengan gencarnya memeberantas korupsi, namun korupsi tidak pernah padam. Bak pepatah mengatakan, “mati satu tumbuh seribu”. Satu ditangkap, seribu orang kembali muncul.
Penyelewengan korupsi ini muncul dari berbgai kalangan. Mulai dari kalangan bawah sampai dengan kalangan pejabat daerah maupun pejabat negeri. Rata-rata rakyat selalu menyalahkan para pejabatnya dalam hal korupsi ini. Padahal mereka tidak melihat bahwa tanpa disadari mereka pun terkadang melakukan korupsi walaupun dalam hal kecil.
Diagram diatas menunjukkan indeks partai yang melakukan praktek korupsi yang dihitung dari tahun 2002 sampai dengan 2014. Dari diagram tersebut, partai yang paling tinggi melakukan praktek korupsi dalam jangka periode tersebut adalah PDIP. Dengan tersangka koruptor sebanyak 119 orang dan indeks korupsinya 7,7. Disusul oleh PAN, dengan tersangka koruptor 88 orang dan indeks korupsinya 5.5. sedangkan diantara partai-partai tersebut, PKS lah partai yang pejabatnya “masih” sedikit terjerat kasus korupsi.
Kami percaya, bahwa setiap partai politik itu sama semua. Partai terkorup yang dilihat dari survei diatas adalah hasil dari buah kekuasaan yang pernah dirasakan partai tersebut. PDIP adalah partai yang sudah lama, dan sudah pernah berkuasa. Survei ini diambil ketika PDIP sedang berkuasa, maka tak heran jika banyak kader-kadernya yang terjerat kasus korupsi. Begitu pula dengan golkar, yang dari dulu selalu mengawali perjalanan permerintahan di Indonesia, banyak kader-kadernya yang terjerat kasus korupsi.
            Bagaimana dengan demokrat? Walaupun demokrat adalah partai yang pernah berkuasa selama dua dekade dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, namun partai ini masih dikategorikan partai yang baru, karena baru terbentuk menjelang pemilu tahun 2004. Maka tak heran indeks korupsinya lebih kecil dibandingkan dengan partai yang sudah lama terbentuk dan sudah pernah berkuasa. Demokrat juga pernah berkuasa, dan alhasil selama ia berkuasa, maka sudah banyak kader-kadernya yang terjerat korupsi. Itu masih dua dekade, jika terus lanjut? Maka akan sama halnya dengan partai lainnya.
Seperti inilah potret birokrasi di negara kita, yang tidak pernah lepas oleh masalah korupsi. Tentunya banyak faktor yang melatar belakangi mereka untuk melakukan salah satu pelanggaran hukum tersebut. Namun perlu kita ketahui, samapai kapan ini harus berlanjut?
3.             Hukuman Bagi Para Koruptor
a.       Hukuman menurut Undang-Undang
Hukuman tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebagaimana yang tercantum didalamnya:
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1.      Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.
2.      Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a.       memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b.      memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2)  Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1)  Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a.       memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b.      memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2)  Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1)  Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a.       pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b.      setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.       setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d.      setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2)  Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a.       menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b.      membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c.       membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a.       pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b.      pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c.       hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d.      seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e.       pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.       pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g.      pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h.      pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i.        pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
3.      Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1)  Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2)  Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.      yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)  Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1)  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)  Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3)  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(1)  Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.      Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.       alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.      dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
5.      Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi "keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
b.      Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
6.      Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38 B
(1)  Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2)  Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
(3)  Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya7.
b.      Hukuman Koruptor menurut Islam
Agama Islam tentunya sangat melarang praktek yang merugikan umat ini. Secara gamblang Allah SWT melukiskan praktek ini dalam surah An-Nissa ayat 29 :
أنإلا بالباطل بينكملكم أمواتأكلوا لا آمنوا لذين أيها يا
منكم تراضعن تجارة تكون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
Islam menganologikan hukuman bagi korupsi ini dalam tiga bentuk. Yang pertama hukuman dalam bentuk perampokan. yaitu korupsi dilakukan dengan kekuatan dan kekuasaan dan yang telah dikorupsi telah mencapai satu nishab / batas minimal maka dikenakan dengan hukum potong tangan secara bersilangan sebatas pergelangan tangan. ( Nishabnya seberat emas 93,6 gram, tahun 2011 emas 1 gram seharga Rp.400.000,00 maka nishabnya = Rp. 38.520.000,00). Apabila akibat perbuatan tersebut menyebabkan korbannya meninggal dunia dia dapat dikenakan hukuman mati, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maaidah ayat 33,
يُقَتَّلُواْ أَن فَسَادًا اْلأَرْضِ فِي وَيَسْعَوْنَ وَرَسُولَهُ اللهَ بُونَ يُحَارِ الَّذِينَ جَزَاؤُا إِنَّمَا
خِزْيٌ لَهُمْ ذَالِكَ  اْلأَرْضِ يُنفَوْا  أَوْ خِلاَفٍ مِّنْ وَأَرْجُلُهُم أَيْدِيهِمْ أَوْتُقَطَّعَ يُصَلَّبُوا أَوْ
عَظِيْمٌ عَذَابٌ اْلأَخِرَةِ فِي وَلَهُمْ الدُّنْيَا فِي
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RosulNya dan membuat kerusakan di muka bumi , bagi pembunuh hendaknya dibunuh, bagi perampok yang membunuh korbannya hendaknya disalibkan , bagi perampok yang hanya merampas harta korbannya maka hukum mannya dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan sebatas pergelangannya “
Yang kedua dianalogikan dengan pencurian. Maka hukumnya adalah potong tangan sebatas pergelangan apabila telah mencapai satu nishab ( 93,6 gram emas).
Yang ketiga, dianalogikan dengan hukuman orang munafik. Karena praktek korupsi itu salah satu unsur didalamnya pasti ada kemunafikan. Pada diri koruptor secara sempurna terdapat ciri-ciri di atas khusus masalah amanah . Pada zaman Rosulullah seseorang yang menggelapkan rampasan perang tidak boleh disholati , lebih-lebih seorang munafik dalam Al Qur-an surat Attaubah ayat 84, jelas-jelas haram disholati, dido’akan, yaitu:
وَرَسُولِهِ بِاللهِ كَفَرُوا إِنَّهُمْ قَبْرِهِ عَلَى وَلاَتَقُمْ أَبَدًا مَّاتَ مِّنْهُم أَحَدٍ عَلَى وَلاَتُصَلِّ
                                                                  فَاسِقُونَ وَهُمْ وَمَاتُوا
8 www.semuatentangislam.htm/ HUKUMAN BAGI KORUPTOR MENURUT ISLAM

” Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan jenasah seseorang mati di antara mereka (munafik) dan janganlah berdo’ah dikubur-nya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RosulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik”.8
            Secara kesimpulan hukuman menurut Islam bagi orang yang koruptor adalah hukuman qishos. Potong tangan, mati, dan jenazahnya tidak boleh di sholatkan.

4.    Hukuman Bagi Koruptor yang “tidak” Sengaja Korupsi
Korupsi sekarang, bukan lagi perbuatan yang di niati, tetapi sudah menjadi alat untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sudah banyak diantara para pejabat kepala daerah dan petinggi-petinggi lainnya terjerat kasus korupsi karena ketidak tahuan mereka terhadap tindak pidana ini.
Dilihat dari defenisi korupsi dalam Undang Undang No. 31 tahun 1999 yang mengatakan bahwa “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Dalam konteks tersebut disebutkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum, perbuatan yang memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain maupun dalam bentuk individu atau kerja sama, menyalah gunakan kewenangan pada jabatan dan kedudukan, dan tentunya merugikan keuangan negara. Jika sesorang didakwa korupsi dengan salah satu motif yang telah disebutkan tersebut, maka dia punya hak untuk dihukum.
Sebagaimana yang kita ketahui, kita semua sama dihadapan hukum. Hukum tidak memandang yang kaya dan yang miskin. Yang rakyat dan yang pejabat. Dan semua juga punya hak untuk diperiksa jika didakwa korupsi.
Maka, dalam kaitannya koruptor yang tidak sengaja korupsi bukan karena niatnya, maka sama saja, dia berhak untuk dihukum atas ketidak tahuannya dalam hukum. Karena dia telah melanggar salah satu atau bahkan beberapa motif korupsi tersebut yaitu, melawan hukum, dan merugikan uang negara dan perekonomian negara. Dalam penentuan status hukumannya, maksimal berapa tahun ia di penjara dan terkena denda, maka itu dapat dipertimbangkan kembali. Dalam Undang-Undang sudah jelas dijelaskan bagi para koruptor,

namun motifnya berbeda-beda. Dengan motif yang berbeda dan juga kerugian yang didapat oleh negara, maka hukuman yang akan diberikan pun juga berbeda.
Dalam hal ini, sebaiknya lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi ini kedepannya akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi koruptor yang sebenar-benar koruptor dan koruptor yang tidak sengaja jadi koruptor. Sesuai dengan salah satu isi pidato bapak presiden Susilo BambangYudhoyono :
   "Pengalaman empirik kita delapan tahun lebih ini, saya menganalisis ada dua jenis korupsi. Pertama, memang korupsi diniati untuk melakukan korupsi. Ya sudah, good bye. Tapi ada juga kasus-kasus korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat yang dilakukan itu keliru dan terkategori korupsi. Maka negara wajib menyelamatkan mereka-mereka yang tidak punya niat melakukan korupsi tapi bisa salah di dalam mengemban tugas-tugasnya,"10
Bapak presiden menyampaikan pidato ini dihadapan para menteri kabinet Indonesia Bersatu II dan seluruh gubernur, yang intinya menyarankan kepada lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi yaitu KPK untuk hati-hati dalam mengambil keputusan terhadap terdakwa korupsi dan memberikan keringanan kepadanya. Presiden menambahkan :
“"Tugas yang datang siang dan malam, Kadang-kadang memerlukan kecepatan pengambilan keptusan, memelukan kebijakan yang tepat (dari pejabat pemerintah, Red). Jangan biarkan mereka (pejabat pemerintah, Red) dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi,"11
Menurut pendapat hemat kami, apa yang disampaikan oleh bapak presiden ada kalanya kita mendukungnya. Suatu perbuatan itu berlandaskan kepada niat, niat bergantung pada hati, niat yang baik atau niat yang buruk. Niat yang baik belum tentu berjalan dengan baik. Adakalanya niat baik menjadi petaka kepada kita, namun kita perlu ingat, niat yang baik tidak akan membuat kita sia-sia. Tetapi niat yang buruk, akan buruk selamanya dan tidak ada kemashlahatan kepada kita, yang ada hanyalah kemudharatan yang absolut.
Kita tidak bisa menyalahkan semua para koruptor. Beban para pejabat itu memanglah tidak mudah, tidak seperti yang kita lihat di televisi, sedang rapat malah tidur. Penulis yakin bahwa mereka tidur dalam rapat dikarenakan mereka letih dengan urusan pekerjaan mereka dalam mengurusi rakyatnya. Terlebih kita lihat birokrasi di Indonesia sangatlah rumit, sehingga seringkali ada pejabat yang terjebak di dalamnya dan dituduh "korupsi". Saya rasa kita memang harus membedakan antara mana yang benar-benar koruptor dan mana yang tidak.
10 www. INILAH.com.htm/SBY  Negara Harus Bela Pejabat Terjebak Korupsi
11 ibid
5.             Langkah-langkah Pemberantasan Korupsi
Langkah-langkah yang disarankan dalam pemberantasan korupsi yaitu :
a.              Lakukan diagnosa jenis korupsi dan luas sebarannya
1.)      Adakan lokakarya diagnosa partisipatoris bagi pegawai unit-unit yang rawan korupsi
2.)      Lakukan survei anonim yang sistematis mengenai pegawai dan konsumen
3.)      Lakukan penelitian khusus, termasuk penelitian mengenai sampai seberapa jauh unit-unit dalam pemerintahan daerah mudah dijangkit korupsi.
b.             Susun sebuah strategi dengan fokus pada sistem. Gunakan kerangka analisis kebijaksanaan untuk menghsilkan pilihan-pilihan langkah untuk dipertimbangkan, dampak setiap langkah, dan biaya langsung dan tidak langsung dari setiap langkah. Hal-hal pokok yang perlu dipertimbangkan
1.)      Seleksi pemasok
2.)      Menetapkan Imbalan dan sanksi
3.)      Mengumpulkan informasi mengenai hasil pemasok warga: membasmi monopoli, menjelaskan dan membatasi wewenang, dan meningkatkan akuntabilitas.
4.)      Menaikkan “biaya moral” korupsi
c.              Menyusun strategi pelaksanaan.
1.)      Menyelaraskan langkah-langkah pemerintah daerah: koordinasi dan penanggung jawab.
2.)      “Petik buah ranum yang terjangkau”, pilih sejak awal sekali masalah masalah yang mudah diatasi.
3.)      Kerjasama dengan kekuatan-kekuatan yang mendukung (nasional, internasional, swasta, LSM)
4.)      Basmi budaya kebal hukum dengan cara membawa koruptor “kakap” ke pengadilan.
5.)      Sebarluaskan upaya pemberantasan korupsi melalui media.
6.)      Lakukan sesuatu yang baik bagi pegawai negeri, hindari kesan di kalangan mereka bahwa mereka diserang.
7.)      Perkuat kemampuan lemabga, tidak saja melalui “langkah-langkah disisi persediaan” (lebih banyak pelatihan, lebih banyak ahli, atau lebih banyak komputer), tetapi terutama melalui perubahan sistem informasi dan intensif.
8.)      Cari jalan bagaimana agar kampanye anti-korupsi dapat mendorong perubahan yang lebih luas dan dalam di dalam tubuh pemerintan daerah (misalnya konsultasi dengan warga, gaji sesuai dengan hasil kerja, atau pekerjaan dikontrakan ke sektor swasta.12






























12 Teten Masduki, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, hlm 199

KESIMPULAN


Korupsi adalah perbuatan penyimpangan moral yang melanggar hukum dan merusak tatanan kehidupan untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri maupun kelompok sehingga membuat kerugian bagi masyarakat luas.
Dari hasil survei indeks persepsi korupsi atau yang didalam bahasa Inggris dikenal dengan Corruption Perception Index (CPI) terbaru tahun 2013 mengatakan bahwa Indonesia menduduki posisi peringkat 114 dari 177 negara. Posisi Indonesia ini meningkat 4 peringkat dari CPI tahun 2012. Tahun lalu, Indonesia menduduki peringkat 118. Namun, skor CPI Indonesia tidak berubah dari tahun lalu, yakni 32
Hukuman tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hukuman minimal satu tahun penjara dengan maksimal hukuman penjara seumur hidup, serta denda minimal lima puluh juta sampai dengan tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
Dalam kaitannya koruptor yang tidak sengaja korupsi bukan karena niatnya, maka sama saja, dia berhak untuk dihukum atas ketidak tahuannya dalam hukum. Karena dia telah melanggar salah satu atau bahkan beberapa motif korupsi tersebut yaitu, melawan hukum, dan merugikan uang negara dan perekonomian negara. Dalam penentuan status hukumannya, maksimal berapa tahun ia di penjara dan terkena denda, maka itu dapat dipertimbangkan kembali. Dalam Undang-Undang sudah jelas dijelaskan bagi para koruptor, namun motifnya berbeda-beda. Dengan motif yang berbeda dan juga kerugian yang didapat oleh negara, maka hukuman yang akan diberikan pun juga berbeda. Disini lembaga penegak hukum dituntut untuk memberikan putusan hukuman dengan bijaksana dan seadil-adilnya.








DAFTAR PUSTAKA



www.wikipedia­.com/bahasa Indonesia ensiklopedia bebas.htm/korupsi.
www.semuatentangislam.htm/ HUKUMAN BAGI KORUPTOR MENURUT ISLAM
www. Inilah.com.htm/SBY  Negara Harus Bela Pejabat Terjebak Korupsi
Mansyur Semma, Dr. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Masduki, Teten. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar