Kamis, 05 Maret 2015

LAJNAH BAHTSUL MASAIL




Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Perbandingan Mazhab
Dosen Pengampu: H. Wawan Gunawan, M. Ag



Oleh Kelompok
1.      Hudallah (14360075)
2.      Ach Fawaid (14360080)
3.      Anasrullah (14360077)
4.      Ulul Bakhroini (14360076)
5.      Muhammad Nafi (14360078)
6.      Jundillah (14360079)
7.      Lutfiadi

Jurusan Perbandingan Mazhab & Hukum
Fakultas Syariah & Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2014


Bab I
Sejarah Singkat Lembaga Bahtsul Masail

Nahdlatul Ulama (NU) atau kebangkitan ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926M/ 16 Rajab 1344 H di Surabaya. Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah karena adanya tantangan yang bernama globalisasi yang terjadi dalam dua hal, pertama Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni di taklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantikan dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan system bermazhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya akan segera dilarang.
Kedua globalisasi imperialism fisik konvensional yang di Indonesia dilakukan oleh Belanda, Inggris, Jepang, sebagaimana juga terjadi di belahan bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang dijajah oleh bangsa Eropa.
Pendiri resminya adalah Hadrotusy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Wahab Hasbullah. Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak beras Jombang. Kyai Wahab adalah seorang murid utama Kyai Hasyim yang lincah, enerjik dan banyak akal. [1]
Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan dakwah diniyyah dan ijtima’iyyah adalah wadah bagi ulama dan pengikut-pengikutnya bertujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah dan menganut salah satu dari empat mazhab. Masing-masing itu adalah Imam Abu Khanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal sebagai pegangan dalam berfiqih serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatannya yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggin harkat dan martabat manusia.[2]
Sebagai organisasi Islam yang mempunyai tradisi keilmuan yang akrab dengan khasanah lama atau klasik (al-Kutub al-Mu’tabarah), secara fungsional salah satu tugas yang dipikulnya adalah penunjuk pelaksanaan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, dengan jalan menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah waqi’yyah (aktual) yang terjadi ditengah masyarakat. Lewat forum ini, hokum atas maslah-masalah actual tersebut dapat ditemukan berdasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah (al-nushush as-syariyyah) baik melalui penelusuran pendapat-pendapat ahli hokum dalam kitab klasik yang diakui keabsahannya, maupun dilakukan secara langsung beristinbath Hukum dari al-Nushush al-Syariyyah.
Dalam merumuskan sebuah hukum, NU memiliki sebuah forum “Bahtsul Masa’il”, yang secara harifah berarti pembahasan berbagai masalah-masalah. Karena secara harifiyah pengertian Bahtsul Masa’il diatas masih bersifat umum. Sahal Mahfudl menspesifikasikan lagi pengertian Bahtsul Masail pada persoalan yang bersifat waqi’iyyah, dan pembahasannya melalui maraji’ al-Kutub al-Fuqaha’. Sehingga ia memiliki rumusan bahwa Bahtsul Masa’il diartikan sebagai pembahasan masalah-masalah waqi’iyyah melalui referensi kitab-kitab karangan ulama.
Bahtsul Masa’il ini dikoordinasi oleh lembaga Syuriyyah (legislative) NU. Forum ini bertugas mengambi keputusan tentang hokum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa’il fiqhiyyah maupun masalah ketauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf seperti halnya tarekat.
Dalam kegiatan dan pelaksanaan forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyyah dalam ulama NU, yang berada diluar struktur organisasi termasukpengaruh pesantren . Dan sebagai forum yang bertugas membahas masalah-masalah kegamaan yang menjadi polemic dimasyarakat, Bahtsul Masa’il telah muncul bersama dengan kemunculan NU sebagai Jam’iyyah diniyyah.
Kemunculan Bahtsul Masa’il juga dilandasi karena tuntunan akan perlunya memberikan tuntunan kepada masyarakat dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Dengan demikian secara formal dan substansial, usia forum Bahtsul Masa’il sudah setua NU. Forum ini diselenggarakan sejak Muktamar NU di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1926 M (13 Robi’ul Tsani 1345 H). Akan tetapi sebagai sebuah tradisi, forum Bahtsul Masa’il sudah ada sejak jauh sebelum NU berdiri. Karena tradisi musyawarah untuk penggalian hokum sudah menjadi bagian integral dari mekanisme pemecahan masalah ala pokok pesantren yang melibatkan kyai, ustadz, santri (terutama santri senior).[3]
Senada dengan Sahal Mahfudh yang menyatakan Bahtsul Masa’il merupakan suatu tradisi diskusi pesantren yang ada sebelum NU berdiri pada saat itu hasil keputusan diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima’ Nahdlatul Oelama’).Terlepas  dari awal perdebatan awal praktek Bahtsul Masa’il, ternyata forum BAhtsul Masa’il yang ada belum menjadi sebuah lembaga yang secara resmi menangani masalah-masalah keagamaan sebab selama bertahun-tahun masalah-masalah keagamaan dibicarakan dan dipecahkan oleh ulama yang hanya tergabung dalam dewan Syuriah.
Barulah pada tahun 1989, ketika NU mengadakan muktamar di PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, para ulama yang tergabung dalam forum Bahtsul Masa’il yang bertugas menangani persoalan keagamaan yang muncul dalam organisasi dalam kalangan masyarakat.
Berdasarkan usulan tersebut, PBNU lalu membentuk sebuah badan komisi dengan nama komisi Bahtsul Masa’il. Maka dari rekomendasi komisi I muktamar XXVIII di Krapyak, PBNU dengan surat keputusan No.30/ A.05/ 1990 secara resmi membentuk lajnah Bahtsul Masa’il diniyyah.
Dalam perkembangannya, lajnah Bahtsul Masa’il ini dibagi menjadi 2 sub komisi, yaitu Bahtsul Masa’il Ad—Diniyyah al-waqi;yyah (pengkajian masalah-masalah keagamaan actual) dan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah al-Mauludiyyah (pengkajian masalah-masalah konseptual).
Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat muslim nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan pengejawantahan tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya.

NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada Kongres I NU (kini bernama Muktamar), tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum Bahtsul Masa`il ditempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum diwadahi dalam organ tersendiri.
Pada tingkat nasional, bahtsul masail diselenggarakan bersamaan momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar (Konbes), Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai) atau Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama. Mulanya Bahtsul Masail skala nasional diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I (1926) sampai Muktamar XV (1940). Namun situasi politik yang kurang stabil akibat meletusnya Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail yang menyertai Kongres, setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat. Tidak lagi tiap tahun.
Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah diselenggarakan Bahtsul Masa`iltingkat nasional sebanyak 42 kali. Ada beberapa Muktamar yang dokumennya belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII (1947), XVIII (1950), XIX (1952), XXI (1956), XXII dan XXIV. Dari dokumen yang terlacak, baru ditemukan 36 kali Bahtsul Masail skala nasionalyang menghasilkan 536 keputusan.
Setelah lebih setengah abad NU berdiri, Bahtsul Masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Hal itu dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Komisi I Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, sebagai lembaga permanen.
Untuk memperkuat wacana pemben-tukan lembaga permanen itu, pada Januari 1990, berlangsunghalaqah (sarasehan) diPesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomen-dasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengonso-lidasi ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i.
Empat bulanan kemudian, pada tahun 1990 pula, PBNU akhirnya membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, dengan SK PBNU nomor 30/A.I.05/5/1990. Sebutan lajnah ini berlangsung lebih satu dekade. Namun demikian, status lajnah dinilai masih mengandung makna kepanitian ad hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah, setelah Muktamar 2004, status “lajnah” ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.
Dalam sejarah perjalanan Bathsul Masail, pernah ada keputusan penting yang berkaitan dengan metode kajian. Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992 diputuskan bahwa metode pemecahan masalah tidak lagi secara qawly tetapi secara manhajiy. Yakni dengan mengikuti metode dan prosedur penetapan hukum yang ditempuh madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah). Bukan sekadar mengikuti hasil akhir pendapat madzhab empat.[4]


BAB II
Metode Ijtihad Hukum
Maksud metode istinbath hukum dalam penelitian ini adalah cara yang digunakan ulama & intelektual NU untuk menggali dan menetapkan suatu keputusan  hukum fiqh dalam Lajnah Bahtsul Masa’il. Penelitian tentang metode ini merujuk pada hasil keputusan hukum fiqh Lajnah Bahtsul Masa’il. Yang dilaksanakan dalam Muktamar I pada 21-23 September 1926 di Surabaya sampai Muktamar XXX pada 21-27 Nopember 1999 di Kediri.Selain  itu penilitian juga merujuk pada Anggaran Dasar NU Bab II pasal 3 yang isinya sejak dulu hingga sekarang secara esensial belum pernah mengalami perubahan.
Dari uraian sebelum nya (Bab III sub C) dapat dipahami bahwa pengambilan qaul (pendapat imam mazhab) ataupun wajah (pendapat pengikut mazhab), yang kemudian disebut metode qauly, merupakan metode utama yang digunakan dalam menyelesaikan masalah keagamaan, terutana yang menyangkut hokum fiqh,dengan merujuk langsung pada teks kitab-kitab yang disusun para pengikut madzhab empat(Hanafi,Mliki,Syafi’i,Hanbali),walaupun dalam prakteknya didominasi oleh kitab Syafi’iyah.
Apabila menghadapi masalah yang tidak dapat dirujukkan langsung pada kitab-kitab sebagaimana tersebut di atas, maka ditempuhlah. (ilhaaqul masaa’ili bi nadzhaa’iriha) yakni mengaitkan masalah baru yang belum ada ketetapan hukumnya, walaupun ketetapan hukum itu”hanya” berdasarkan teks suatu kitab yang dianggap mu’tabar,yang kemudian dikenal  dengan metode ilhaqiy.
Disamping dua metode di atas masih tetap dipakai, Munas Bandar Lampung mempopulerkan metode istinbath hukum lain manakala kedua metode tersebut tidak dapat digunakan, yaitu apa yang disebut metode bermazhab secara manhajy, yakni menelusuri dan mengikuti metode istinbath hukum (manhaj) yang ditempuh oleh madzhab empat,Hanafi,Maliki,Syafi’I, dan Hanbali.
Pendekatan mazhaby menegaskan kepada warga Nahdiyyin agar hanya memakai empat mazhab yang masih di anggap relevan dengan tuntunan kehidupan beragama,sesuai Anggaran Dasar NU. Walaupun kalau merujuk pada kitab-kitab andalan dalam Lajnah Bahtsul Masa’il yang hampir semua keputusannya mengacu pada kitab-kitab tersebut, ternyata bermadzhab kepada selain empat mazhab diperbolehkan dengan syarat madzhab dimaksud telah terkodifikasi, sehingga dapat diketahui persyaratan-persyaratan dan hasil-hasil ijtihad dari madzhab itu. Hal ini didasarkan pada kitab I’anah at-Talibin yang naskah lengkapnya berbunyi:
(idza tamassaka ……………………………)
Apabila seorang awam telah mengikuti suatu madzhab, maka dia harus mematuhinya. Jka tidak, dia harus bermadzhab pada salah satu madzhab empat, bukan yang lain. Hal ini manakala suatu madzhab itu belum dibukukan, maka boleh(bermadzhab pada selain madzhab empat)
Metode manhajiy memang cukup ideal, namun belum terlaksana dengan baik. Sebab konsekuensi bermadzhab secara manhajiy adalah mengacu pada metode istinbat hukum madzhab empat yang begitu banyak dan mempunyai hierarki berbeda. Dari tela’ah penulis terhadap keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il yang dilaksanakan sesudah Munas Bandar Lampung(21-25 Juni 1992) saat mana metode manhajiy secara resmi disepakati untuk diterapkan, hanya ditemukan dua keputusan yang menempuh cara dan prosedur sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu tentang bunga bank dan asuransi yang diuraikan cukup detil dan pendekatan ekonomi, merujuk pendapat para ahli dan menerapkan beberapa kaidah fiqhiyyah.
Terhadap keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il mulai Muktamar I (1926) sampai Muktamar XXX (1999) ada yang menarik berkaitan dengan metode istinbat hukum yang digunakan dalam menetapkan hukum fiqh,yaitu secara keseleruhan metode qauliy mendominasi keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il karena dari 428 keputusan hukum fiqh, 362 masalah (84,6 %) diputuskan dengan metode qauliy, karena memang metode inilah yang disepakati untuk diterapkan sebagai metode prioritas guna menyelesaikan masalah yang muncul dalam Lajnah Bahtsul Masa’il. Ada 33 masalah (7,7 %) yang diputuskan dengan metode ilhaqiy dan 8 masalah (1,9 %) diputuskan dengan metode manhajiy. Mengenai metode manhajiy sebagai metode resmi berdasarkan keputusan dengannya, sementara 6 masalah lainnya adalah masalah yang muncul sebelum Munas ketika metode manhajiy belum diresmikan pemakaiannya. Oleh karena itu, penulis menggunakan istilah manhajiy (dalam tanda kutip) karena metode tersebut sebenarnya sudah diterapkan sebelum Munas walaupun saat itu tanpa nama. Sedang 25 masalah (5,8 %) diputuskan tanpa menyebutkan kitab rujukan.
Mengaju pada pendekatan madzhabiy,baik dengan metode qauliy, ilhaqiy, manhajiy sebagaimana telah dijelaskan dalam pandangan penulis ada beberapa jawaban dari Lajnah Bahtsul Masa’il yang secara metedologis perlu ditelaah dan kritisi. Ini dapat dilacak dari beberapa hal berikut.
Keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il dalam Muktamar I tahun 1926 yang menegaskan bahwa penetapan hukum suatu masalah harus dirujukkan secara berurutan kepada:
1.      Pendapat yang disepakati asy-Syaikhain (Imam Nawawi dan Rafi’i)
2.      Pendapat yang dipegang Imam Nawawi saja;
3.      Pendapat yang dipegang Imam Rafi’I saja;
4.      Pendapat yang didukung mayoritas ulama;
5.      Pendapat ulama yang terpandai;
6.      Pendapat ulama yang paling wara’.

Keputusan ini disamping Syafi’i-sentris juga tidak terdapat penjelasan legal-institusional mengenai mengapa Imam Nawawi diprioritaskan, bagaimana menentukan kriteria bahwa suatu pendapat disokong oleh ulama terbanyak, apa standar bahwa seorang ulama itu lebih pandai dari yang lain, dan apa pula tolok ukur kewara’an (kemampuan menjaga diri dari syubhat) seorang ulama.
Menurut KHA.Aziz Mansyhuri pengutamaan untuk merujuk kepada pendapat Imam Nawawi daripada Imam Rafi’I adalah seperti yang terjadi atas Ibn Hajar yang lebih diutamakan dari pada Imam ar-Ramli. Adapun alasannnya adalah berdasar pertimbangan penampilan karya ilmiahnya yang ahsan (lebih berbobot) dan alimnya orang orang itu. Sedangkan maksud didukung oleh mayoritas ulama adalah pendapat ulama tersebut banyak dikutip dan dijadikan rujukan oleh para ulama dalam karya-karya mereka. Penentuan ulama terpandai adalah jika pendapat ulaa tersebut sering dijadikan rujukan oleh para ulama lain dalam kitab-kitab mereka. Sementara seorang ulama disebut paling wara’ adalah apabila dilihat dari biografinya tidak bersinggungan dengan hal-hal syubhat (tidak jelas halal haramnya) apalagi yangmenjadi larangan agama, dan juga dilihat dari aspek karamah(kekeramatan)Nya.
Kalau diamati, pertanyaan tentang hukum bersedekah kepada mayat(Muktamar I, 1926), hukum meminum bir,obat beranak, dan air gadung(Muktamar V,1930), dan hukum mencairkan cek mundur dengan potongan berdasarkan presentase (Muktamar XXVII,1984), pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab langsung merujuk pada kitab-kitab hadits, walaupun sebagian disertai kutipan dari teks suatu kitab. Begitu pula halnya dengan jawaban mengenai suami yang diberi nafkah oleh istrinya(Muktamar XIV,1939) dan tentang sighat pernikahan(Muktamar XXIII,1962) langsung merujuk pada ayat Al-Qur’an, padahal bahts al-masa’il yang menjawab hal-hal di atas dilaksanakan sebelum Munas Bandar Lampung tahun 1992 yang mempopulerkan diterapkannya manhajiy. Hal ini menunjukakkan bahwa sebenarnya secara implisit para ulama terdahulu sudah menerapkan metode manhajiy dalam istinbat hukum, walaupun tidak dengan istilah tersebut,yaitu merujuk langsung pada Al-Qur’an ataupun as-Sunnah setelah tidak ditemukannya jawaban dalam kitab-kitab mu’tabarah.
Terhadap pertanyaan tentang hukum hasil persewaan kursi dan lain-lain untuk pertunjukan tari-tarian dan sebagainya (Muktamar V,1930), tentang pelanggaran terhadap baiat (Muktamar XXV,1971), tentang terjemahan / tafsiran Al-Qur’an oleh orang yang tidak beragama islam (Muktamar XXVI,1979), semuanya dijawab dengan tanpa merujuk pada kitab apa pun sebagai dasarnya. Hal ini tentu problematis jika dikaitkan dengan ketentuan adanya keharusan bermadzhab, baik secara qauliy, ilhaqiy maupun manhajiy. Tetapi jika dipandang dari perspektif metodologis langkah itu sekali lagi menunjukan bahwa ulama terdahulu (sebelum Munas 1992) sudah berani menapak lebih jauh dalam istinbat hukum. Dengan tanpa merujuk suatu kitab, dapat diduga ada kemungkinan bahwa secara implisit mereka telah menerapkan metode manhajiy.


BAB III
CONTOH CONTOH BAHTSUL MASAIL
MENIKAH MELALUI MEDIA INTERNET DAN TELEKOMUNIKASI

Jefri dan Reni adalah sepasang kekasih yang bekerja di Jepang. Setelah mengenal lebih jauh mereka memutuskan untuk menikah. Namun karena terkendala kontrak kerja mereka tidak bisa pulang ke Indonesia. Akhirnya mereka memanfaatkan 3G untuk akad nikah dengan orang tuanya di Indonesia. Prakteknya kedua mempelai tetap berada di Jepang sedangkan wali dan kedua saksinya menyaksikan dan mendengarkan melalui media internet dan handphone 3G dari Indonesia. Sah kah pernikahan Jefri dan Reni dengan cara tersebut? Jawabanya tidak sah. Solusinya adalah suami mewakilkan qobul nikahnya kepada orang yang bisa hadir di tempat akad.[5]
Refrensi:
الفوا ئد المختارة من كلام العلا مة الحبيب زين بن ابرا هيم ص 246
التذلفو ن كنا ية في العقو د كا البيع والسّلم و الاٍجارة والسّلم و الاٍجارة فيصحّ ذ لك بواسطة التّلفو ن , أمّا النّكا ح فلا يصحّ با لتلفو ن لأ نّه يشتر ط فيه لفظ صر يح والتّلفو ن كنا ية , و أن ينظر الشّا هد إلى العاقد ين ,وفقد ذ لك إذا كا ن با لتّلفو ن أو ما هذا في معناه.

ABORSI DI MATA ISLAM
Untuk menutupi aib akan kehamilannya yang dihasilkan dengan laki-laki lain yang belum resmi menjadi suaminya, Maria berkeinginan menggugurkan kandungannya. Apakah Islam memperbolehkan pengguguran kandungan sebagaimana yang dilakukan Maria? Jawabanya diperinci sebagai berikut:
jika pengguguran tersebut dilakukan sebelum kandungan berumur empat bulan maka hukumnya makruh. Namun menurut Syekh Wahbah Zuhaili hukumnya haram jika tidak ada hal yang membahayakan (darurat).
Jika dilakukan saat kandungan berumur empat bulan maka hukumnya haram.[6]
Refrensi:
فتا وي معا صرة للشيخ وهبة الز حيلي ص 173 – 172 دار الفكر الطبعة 2003
هل يجوز الاجها ض بعد التّأكّد من وجود الحمل ؟ على الرّغم ممّا نجده لدى بعض الفقها ء كالحنفيّة والشّا فعيّة إباحة الاجها ض مع الكراهة قبل أربعين يوما فإ نّي لا أجيزه حفاظا على وجو د حقّ الحيا ة للجنين إ لاّ لضرورة قصو ى كو جود خطر على حيا ة الا مّ بتقر ير طبيب مسلم ثقّة عد ل أ و بسبب وجو د اضطرابا ت نفسيّة تو قع الأمّ الحا مل في هلوسة مثلا إلى أن قا ل ,وليس من الأعذار امبيحة هالة ما يسمّى بالطّفل المنغو ليّ إلى أ ن قا ل ,ويحرم بالاتّفا ق الإجهاض بعد الأشهر الأر بعة إلّا إذاتعيّن طريقا لإنق ذ الأمّ الحا مل من الهلاك بسبب الحمل اه      

MENGAMALKAN PENDAPAT YANG BERTENTANGAN DENGAN PENDAPAT EMPAT MAZHAB
Bagaimana pendapat muktamar atas pendapat salah satu sahabat atau ulama’ yang tidak cocok dengan pendapat ahli mazhab empat, bahkan ahli mazhab telah menerangkan kelemahan pendapat itu. Apakah boleh menjalankan pendapat tersebut atau tidak? Jawab: tidak boleh menjalankan pendapat yang bertentangan dengan pendapat mazhab empat, apabila tidak mengetahui syarat-syaratnya dan segala ketentuannya. Apabila orang awam berpedoman pada satu mazhab, maka ia harus cocok dengan mazhab tersebut, jika tidak maka ia harus bermazhab dengan mazhab tertentu dari empat mazhab yang ada dan tidak boleh dengan mazhab lainnya, yakni selain empat mazhab. Hal ini jika mazhabnya itu memang belum terkodifikasi, jika sudah terkodifikasi maka boleh sebagaimana dalam al-Tuhfah, redaksinya yaitu : “boleh bertaklid kepada siapapun dari empat mazhab yang ada (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali), dan juga imam mazhab lainnya yang mazhabnya terjaga dalam masalah terkait, dan terkodifikasi, sehingga diketahui syarat-syarat dan semua ketentuannya.[7]


Refrensi:
إذا تمسّك العاميّ بمذ هب لز مه موافقته وإلّا لز مه التّمذ هب بمذهب معيّن من الأربعة لا غيرها (قوله لا غيرها )   اي غير المذا هب الأربعة وهذ اإذالم يدوّنمذهبه. فإ ن دوّن جاز كما في التّحفة ونصّه: يجوز تقليد كلّ من الأئمّة الأربعة وكذا من عداهم ممّن حفظ مذهبه في تلك المسئلة ودوّن حتّى عرفت شروطه وسائر معتبراته.


Daftar Pustaka
Sahal Mahfudl, Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU : Sebuah Catatan Pendek, dalam kata pengantar buku “ Kritik Nalar Fiqih NU” , cet. I. Jakarta : Lakpesdan. 2002.
Sumanto al-Qurtubi, Tradisi Bahsul Masail NU : how low can you go ? Dalam Imdadur Rahmat (ed.) Nalar Kritik NU…,
Mohamad Sobary, NU dan Keindonesiaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Tirakat’14. Ngaji Fiqih. Purna Siswa III ALiyah 2014: Lirboyo, Kediri. 2014.
Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU. Surabaya: Khalista. 2011.
Zahro Ahmad. Tradisi Intelektual NU: Lajnan Bahtsul Masa’il 1926-1999. Yogyakarta: LkiS. 2004.



[1] Sahal Mahfudl, Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU : Sebuah Catatan Pendek, dalam kata pengantar buku “ Kritik Nalar Fiqih NU” , cet. I, (Jakarta : Lakpesdan, 2002) hlm.  x.
[2] Menurut Sahal Mahfudl, dengan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqih tersebut, menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih secara total atau dalam beberapa hal dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian para ulama NU menggunakan fiqih yang bersumber dari mazhab Syafi’i.
[3] Sumanto al-Qurtubi, Tradisi Bahsul Masail NU : how low can you go ? dalam Imdadur Rahmat (ed.) Nalar Kritik NU…, hlm. 187.
[4] Mohamad Sobary, NU dan Keindonesiaan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 226.
[5] Tirakat’14. 2014. Ngaji Fiqih. Purna Siswa III ALiyah 2014: Lirboyo, Kediri, hal. 103-104
[6] Ibid, hal. 147-148
[7] Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU. 2011. Khalista: Surabaya, hal.151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar