Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Perbandingan Mazhab
Dosen Pengampu: H. Wawan Gunawan, M. Ag
Oleh Kelompok
1.
Hudallah
(14360075)
2.
Ach
Fawaid (14360080)
3.
Anasrullah
(14360077)
4.
Ulul
Bakhroini (14360076)
5.
Muhammad
Nafi (14360078)
6.
Jundillah
(14360079)
7.
Lutfiadi
Jurusan Perbandingan Mazhab & Hukum
Fakultas Syariah & Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2014
Bab I
Sejarah Singkat
Lembaga Bahtsul Masail
Nahdlatul Ulama (NU) atau kebangkitan
ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31
Januari 1926M/ 16 Rajab 1344 H di Surabaya. Latar belakang berdirinya NU
berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam
kala itu. Salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah karena adanya
tantangan yang bernama globalisasi yang terjadi dalam dua hal, pertama
Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang
berpaham Sunni di taklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi.
Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliyah
keagamaan kaum sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab,
dan akan menggantikan dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan system
bermazhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya akan segera
dilarang.
Kedua globalisasi imperialism fisik
konvensional yang di Indonesia dilakukan oleh Belanda, Inggris, Jepang,
sebagaimana juga terjadi di belahan bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan
negeri-negeri lain yang dijajah oleh bangsa Eropa.
Pendiri resminya adalah Hadrotusy Syekh
KH. M. Hasyim Asy’ari, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Wahab
Hasbullah. Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak beras Jombang. Kyai
Wahab adalah seorang murid utama Kyai Hasyim yang lincah, enerjik dan banyak
akal. [1]
Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan dakwah diniyyah dan ijtima’iyyah adalah wadah bagi ulama dan pengikut-pengikutnya
bertujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran
Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah dan menganut salah satu
dari empat mazhab. Masing-masing itu adalah Imam Abu Khanifah an-Nu’man, Imam
Malik bin Anas, Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal
sebagai pegangan dalam berfiqih serta untuk mempersatukan langkah
para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatannya yang
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan
ketinggin harkat dan martabat manusia.[2]
Sebagai organisasi Islam yang mempunyai
tradisi keilmuan yang akrab dengan khasanah lama atau klasik (al-Kutub
al-Mu’tabarah), secara fungsional salah satu tugas yang dipikulnya adalah
penunjuk pelaksanaan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, dengan jalan
menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah waqi’yyah (aktual) yang terjadi ditengah masyarakat. Lewat forum
ini, hokum atas maslah-masalah actual tersebut dapat ditemukan berdasarkan nash
al-Qur’an dan as-Sunnah (al-nushush
as-syariyyah) baik melalui penelusuran pendapat-pendapat ahli hokum dalam
kitab klasik yang diakui keabsahannya, maupun dilakukan secara langsung
beristinbath Hukum dari al-Nushush
al-Syariyyah.
Dalam merumuskan sebuah hukum, NU
memiliki sebuah forum “Bahtsul Masa’il”, yang secara harifah berarti pembahasan berbagai masalah-masalah. Karena secara harifiyah pengertian Bahtsul Masa’il
diatas masih bersifat umum. Sahal Mahfudl menspesifikasikan lagi pengertian Bahtsul
Masail pada persoalan yang bersifat waqi’iyyah,
dan pembahasannya melalui maraji’ al-Kutub
al-Fuqaha’. Sehingga ia memiliki rumusan bahwa Bahtsul Masa’il diartikan
sebagai pembahasan masalah-masalah waqi’iyyah
melalui referensi kitab-kitab karangan ulama.
Bahtsul Masa’il ini dikoordinasi oleh
lembaga Syuriyyah (legislative) NU. Forum ini bertugas mengambi keputusan
tentang hokum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa’il fiqhiyyah maupun masalah ketauhidan dan bahkan
masalah-masalah tasawuf seperti halnya tarekat.
Dalam kegiatan dan pelaksanaan forum
ini biasanya diikuti oleh Syuriyyah dalam ulama NU, yang berada
diluar struktur organisasi termasukpengaruh pesantren . Dan sebagai forum yang
bertugas membahas masalah-masalah kegamaan yang menjadi polemic dimasyarakat,
Bahtsul Masa’il telah muncul bersama dengan kemunculan NU sebagai Jam’iyyah
diniyyah.
Kemunculan Bahtsul Masa’il juga
dilandasi karena tuntunan akan perlunya memberikan tuntunan kepada masyarakat
dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Dengan demikian secara formal dan
substansial, usia forum Bahtsul Masa’il sudah setua NU. Forum ini
diselenggarakan sejak Muktamar NU di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1926 M
(13 Robi’ul Tsani 1345 H). Akan tetapi sebagai sebuah tradisi, forum Bahtsul Masa’il
sudah ada sejak jauh sebelum NU berdiri. Karena tradisi musyawarah untuk
penggalian hokum sudah menjadi bagian integral dari mekanisme pemecahan masalah
ala pokok pesantren yang melibatkan kyai, ustadz, santri (terutama santri
senior).[3]
Senada dengan Sahal Mahfudh yang
menyatakan Bahtsul Masa’il merupakan suatu tradisi diskusi pesantren yang ada
sebelum NU berdiri pada saat itu hasil keputusan diterbitkan dalam bulletin
LINO (Lailatul Ijtima’ Nahdlatul
Oelama’).Terlepas dari awal
perdebatan awal praktek Bahtsul Masa’il, ternyata forum BAhtsul Masa’il yang
ada belum menjadi sebuah lembaga yang secara resmi menangani masalah-masalah
keagamaan sebab selama bertahun-tahun masalah-masalah keagamaan dibicarakan dan
dipecahkan oleh ulama yang hanya tergabung dalam dewan Syuriah.
Barulah pada tahun 1989, ketika NU
mengadakan muktamar di PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, para ulama yang
tergabung dalam forum Bahtsul Masa’il yang bertugas menangani persoalan
keagamaan yang muncul dalam organisasi dalam kalangan masyarakat.
Berdasarkan usulan tersebut, PBNU lalu
membentuk sebuah badan komisi dengan nama komisi Bahtsul Masa’il. Maka dari
rekomendasi komisi I muktamar XXVIII di Krapyak, PBNU dengan surat keputusan
No.30/ A.05/ 1990 secara resmi membentuk lajnah Bahtsul Masa’il diniyyah.
Dalam perkembangannya, lajnah Bahtsul
Masa’il ini dibagi menjadi 2 sub komisi, yaitu Bahtsul Masa’il Ad—Diniyyah al-waqi;yyah (pengkajian
masalah-masalah keagamaan actual) dan Bahtsul Masa’il ad-Diniyyah
al-Mauludiyyah (pengkajian masalah-masalah konseptual).
Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul
Masail merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah),
aktivitas Bahtsul Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah
masyarakat muslim nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan
pengejawantahan tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu kehidupan
keagamaan masyarakat sekitarnya.
NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan
mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai
bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan
setelah NU berdiri. Tepatnya pada Kongres I NU (kini bernama Muktamar), tanggal
21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum Bahtsul Masa`il ditempatkan
sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum diwadahi dalam
organ tersendiri.
Pada tingkat nasional, bahtsul masail
diselenggarakan bersamaan momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar
(Konbes), Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai) atau Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama. Mulanya Bahtsul Masail skala nasional
diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I (1926) sampai
Muktamar XV (1940). Namun situasi politik yang kurang stabil akibat meletusnya
Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail yang menyertai Kongres,
setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat. Tidak lagi tiap tahun.
Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah
diselenggarakan Bahtsul Masa`iltingkat nasional sebanyak 42 kali. Ada beberapa
Muktamar yang dokumennya belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII (1947), XVIII
(1950), XIX (1952), XXI (1956), XXII dan XXIV. Dari dokumen yang terlacak, baru
ditemukan 36 kali Bahtsul Masail skala nasionalyang menghasilkan 536 keputusan.
Setelah lebih setengah abad NU berdiri,
Bahtsul Masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail
Diniyah. Hal itu dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU ke-28 di
Yogyakarta tahun 1989. Komisi I Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk
membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, sebagai lembaga permanen.
Untuk memperkuat wacana pemben-tukan
lembaga permanen itu, pada Januari 1990, berlangsunghalaqah (sarasehan)
diPesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomen-dasikan
pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengonso-lidasi
ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i.
Empat bulanan kemudian, pada tahun 1990
pula, PBNU akhirnya membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, dengan SK PBNU
nomor 30/A.I.05/5/1990. Sebutan lajnah ini berlangsung lebih satu dekade. Namun
demikian, status lajnah dinilai masih mengandung makna kepanitian ad hoc, bukan
organ yang permanen. Karena itulah, setelah Muktamar 2004, status “lajnah”
ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama Lembaga Bahtsul Masail
Nahdlatul Ulama.
Dalam sejarah perjalanan Bathsul
Masail, pernah ada keputusan penting yang berkaitan dengan metode kajian. Dalam
Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992 diputuskan bahwa metode pemecahan
masalah tidak lagi secara qawly tetapi secara manhajiy. Yakni dengan mengikuti
metode dan prosedur penetapan hukum yang ditempuh madzhab empat (Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah). Bukan sekadar mengikuti hasil akhir
pendapat madzhab empat.[4]
BAB
II
Metode Ijtihad Hukum
Metode Ijtihad Hukum
Maksud metode istinbath hukum dalam
penelitian ini adalah cara yang digunakan ulama & intelektual NU untuk
menggali dan menetapkan suatu keputusan
hukum fiqh dalam Lajnah Bahtsul Masa’il. Penelitian tentang metode ini
merujuk pada hasil keputusan hukum fiqh Lajnah Bahtsul Masa’il. Yang
dilaksanakan dalam Muktamar I pada 21-23 September 1926 di Surabaya sampai
Muktamar XXX pada 21-27 Nopember 1999 di Kediri.Selain itu penilitian juga merujuk pada Anggaran
Dasar NU Bab II pasal 3 yang isinya sejak dulu hingga sekarang secara esensial
belum pernah mengalami perubahan.
Dari uraian sebelum nya (Bab III sub C)
dapat dipahami bahwa pengambilan qaul (pendapat imam mazhab) ataupun wajah
(pendapat pengikut mazhab), yang kemudian disebut metode qauly, merupakan
metode utama yang digunakan dalam menyelesaikan masalah keagamaan, terutana
yang menyangkut hokum fiqh,dengan merujuk langsung pada teks kitab-kitab yang
disusun para pengikut madzhab empat(Hanafi,Mliki,Syafi’i,Hanbali),walaupun
dalam prakteknya didominasi oleh kitab Syafi’iyah.
Apabila menghadapi masalah yang tidak
dapat dirujukkan langsung pada kitab-kitab sebagaimana tersebut di atas, maka
ditempuhlah. (ilhaaqul masaa’ili bi nadzhaa’iriha) yakni mengaitkan masalah
baru yang belum ada ketetapan hukumnya, walaupun ketetapan hukum itu”hanya”
berdasarkan teks suatu kitab yang dianggap mu’tabar,yang kemudian dikenal dengan metode ilhaqiy.
Disamping dua metode di atas masih
tetap dipakai, Munas Bandar Lampung mempopulerkan metode istinbath hukum lain
manakala kedua metode tersebut tidak dapat digunakan, yaitu apa yang disebut
metode bermazhab secara manhajy, yakni menelusuri dan mengikuti metode
istinbath hukum (manhaj) yang ditempuh oleh madzhab empat,Hanafi,Maliki,Syafi’I,
dan Hanbali.
Pendekatan mazhaby menegaskan kepada
warga Nahdiyyin agar hanya memakai empat mazhab yang masih di anggap relevan
dengan tuntunan kehidupan beragama,sesuai Anggaran Dasar NU. Walaupun kalau
merujuk pada kitab-kitab andalan dalam Lajnah Bahtsul Masa’il yang hampir semua
keputusannya mengacu pada kitab-kitab tersebut, ternyata bermadzhab kepada
selain empat mazhab diperbolehkan dengan syarat madzhab dimaksud telah
terkodifikasi, sehingga dapat diketahui persyaratan-persyaratan dan hasil-hasil
ijtihad dari madzhab itu. Hal ini didasarkan pada kitab I’anah at-Talibin yang
naskah lengkapnya berbunyi:
(idza tamassaka
……………………………)
Apabila seorang awam telah mengikuti
suatu madzhab, maka dia harus mematuhinya. Jka tidak, dia harus bermadzhab pada
salah satu madzhab empat, bukan yang lain. Hal ini manakala suatu madzhab itu
belum dibukukan, maka boleh(bermadzhab pada selain madzhab empat)
Metode manhajiy memang cukup ideal,
namun belum terlaksana dengan baik. Sebab konsekuensi bermadzhab secara
manhajiy adalah mengacu pada metode istinbat hukum madzhab empat yang begitu
banyak dan mempunyai hierarki berbeda. Dari tela’ah penulis terhadap
keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il yang dilaksanakan sesudah Munas
Bandar Lampung(21-25 Juni 1992) saat mana metode manhajiy secara resmi
disepakati untuk diterapkan, hanya ditemukan dua keputusan yang menempuh cara
dan prosedur sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu tentang bunga bank dan
asuransi yang diuraikan cukup detil dan pendekatan ekonomi, merujuk pendapat
para ahli dan menerapkan beberapa kaidah fiqhiyyah.
Terhadap keputusan-keputusan Lajnah
Bahtsul Masa’il mulai Muktamar I (1926) sampai Muktamar XXX (1999) ada yang
menarik berkaitan dengan metode istinbat hukum yang digunakan dalam menetapkan
hukum fiqh,yaitu secara keseleruhan metode qauliy mendominasi keputusan Lajnah
Bahtsul Masa’il karena dari 428 keputusan hukum fiqh, 362 masalah (84,6 %)
diputuskan dengan metode qauliy, karena memang metode inilah yang disepakati
untuk diterapkan sebagai metode prioritas guna menyelesaikan masalah yang
muncul dalam Lajnah Bahtsul Masa’il. Ada 33 masalah (7,7 %) yang diputuskan
dengan metode ilhaqiy dan 8 masalah (1,9 %) diputuskan dengan metode manhajiy.
Mengenai metode manhajiy sebagai metode resmi berdasarkan keputusan dengannya,
sementara 6 masalah lainnya adalah masalah yang muncul sebelum Munas ketika
metode manhajiy belum diresmikan pemakaiannya. Oleh karena itu, penulis
menggunakan istilah manhajiy (dalam tanda kutip) karena metode tersebut
sebenarnya sudah diterapkan sebelum Munas walaupun saat itu tanpa nama. Sedang
25 masalah (5,8 %) diputuskan tanpa menyebutkan kitab rujukan.
Mengaju pada pendekatan madzhabiy,baik
dengan metode qauliy, ilhaqiy, manhajiy sebagaimana telah dijelaskan dalam
pandangan penulis ada beberapa jawaban dari Lajnah Bahtsul Masa’il yang secara
metedologis perlu ditelaah dan kritisi. Ini dapat dilacak dari beberapa hal berikut.
Keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il dalam
Muktamar I tahun 1926 yang menegaskan bahwa penetapan hukum suatu masalah harus
dirujukkan secara berurutan kepada:
1.
Pendapat
yang disepakati asy-Syaikhain (Imam Nawawi dan Rafi’i)
2.
Pendapat
yang dipegang Imam Nawawi saja;
3.
Pendapat
yang dipegang Imam Rafi’I saja;
4.
Pendapat
yang didukung mayoritas ulama;
5.
Pendapat
ulama yang terpandai;
6.
Pendapat
ulama yang paling wara’.
Keputusan ini disamping Syafi’i-sentris
juga tidak terdapat penjelasan legal-institusional mengenai mengapa Imam Nawawi
diprioritaskan, bagaimana menentukan kriteria bahwa suatu pendapat disokong
oleh ulama terbanyak, apa standar bahwa seorang ulama itu lebih pandai dari
yang lain, dan apa pula tolok ukur kewara’an (kemampuan menjaga diri dari
syubhat) seorang ulama.
Menurut KHA.Aziz Mansyhuri pengutamaan
untuk merujuk kepada pendapat Imam Nawawi daripada Imam Rafi’I adalah seperti
yang terjadi atas Ibn Hajar yang lebih diutamakan dari pada Imam ar-Ramli.
Adapun alasannnya adalah berdasar pertimbangan penampilan karya ilmiahnya yang
ahsan (lebih berbobot) dan alimnya orang orang itu. Sedangkan maksud didukung
oleh mayoritas ulama adalah pendapat ulama tersebut banyak dikutip dan
dijadikan rujukan oleh para ulama dalam karya-karya mereka. Penentuan ulama
terpandai adalah jika pendapat ulaa tersebut sering dijadikan rujukan oleh para
ulama lain dalam kitab-kitab mereka. Sementara seorang ulama disebut paling
wara’ adalah apabila dilihat dari biografinya tidak bersinggungan dengan
hal-hal syubhat (tidak jelas halal haramnya) apalagi yangmenjadi larangan
agama, dan juga dilihat dari aspek karamah(kekeramatan)Nya.
Kalau diamati, pertanyaan tentang hukum
bersedekah kepada mayat(Muktamar I, 1926), hukum meminum bir,obat beranak, dan
air gadung(Muktamar V,1930), dan hukum mencairkan cek mundur dengan potongan
berdasarkan presentase (Muktamar XXVII,1984), pertanyaan-pertanyaan tersebut
dijawab langsung merujuk pada kitab-kitab hadits, walaupun sebagian disertai
kutipan dari teks suatu kitab. Begitu pula halnya dengan jawaban mengenai suami
yang diberi nafkah oleh istrinya(Muktamar XIV,1939) dan tentang sighat
pernikahan(Muktamar XXIII,1962) langsung merujuk pada ayat Al-Qur’an, padahal
bahts al-masa’il yang menjawab hal-hal di atas dilaksanakan sebelum Munas
Bandar Lampung tahun 1992 yang mempopulerkan diterapkannya manhajiy. Hal ini
menunjukakkan bahwa sebenarnya secara implisit para ulama terdahulu sudah
menerapkan metode manhajiy dalam istinbat hukum, walaupun tidak dengan istilah
tersebut,yaitu merujuk langsung pada Al-Qur’an ataupun as-Sunnah setelah tidak
ditemukannya jawaban dalam kitab-kitab mu’tabarah.
Terhadap pertanyaan tentang hukum hasil
persewaan kursi dan lain-lain untuk pertunjukan tari-tarian dan sebagainya
(Muktamar V,1930), tentang pelanggaran terhadap baiat (Muktamar XXV,1971),
tentang terjemahan / tafsiran Al-Qur’an oleh orang yang tidak beragama islam
(Muktamar XXVI,1979), semuanya dijawab dengan tanpa merujuk pada kitab apa pun
sebagai dasarnya. Hal ini tentu problematis jika dikaitkan dengan ketentuan
adanya keharusan bermadzhab, baik secara qauliy, ilhaqiy maupun manhajiy.
Tetapi jika dipandang dari perspektif metodologis langkah itu sekali lagi
menunjukan bahwa ulama terdahulu (sebelum Munas 1992) sudah berani menapak
lebih jauh dalam istinbat hukum. Dengan tanpa merujuk suatu kitab, dapat diduga
ada kemungkinan bahwa secara implisit mereka telah menerapkan metode manhajiy.
BAB
III
CONTOH
CONTOH BAHTSUL MASAIL
MENIKAH
MELALUI MEDIA INTERNET DAN TELEKOMUNIKASI
Jefri dan Reni adalah sepasang kekasih
yang bekerja di Jepang. Setelah mengenal lebih jauh mereka memutuskan untuk
menikah. Namun karena terkendala kontrak kerja mereka tidak bisa pulang ke
Indonesia. Akhirnya mereka memanfaatkan 3G untuk akad nikah dengan orang tuanya
di Indonesia. Prakteknya kedua mempelai tetap berada di Jepang sedangkan wali
dan kedua saksinya menyaksikan dan mendengarkan melalui media internet dan
handphone 3G dari Indonesia. Sah kah pernikahan Jefri dan Reni dengan cara
tersebut? Jawabanya tidak sah. Solusinya adalah suami mewakilkan qobul nikahnya
kepada orang yang bisa hadir di tempat akad.[5]
Refrensi:
الفوا ئد المختارة من كلام العلا مة
الحبيب زين بن ابرا هيم ص 246
التذلفو ن كنا ية في العقو د كا
البيع والسّلم و الاٍجارة والسّلم و الاٍجارة فيصحّ ذ لك بواسطة التّلفو ن , أمّا
النّكا ح فلا يصحّ با لتلفو ن لأ نّه يشتر ط فيه لفظ صر يح والتّلفو ن كنا ية , و
أن ينظر الشّا هد إلى العاقد ين ,وفقد ذ لك إذا كا ن با لتّلفو ن أو ما هذا في
معناه.
ABORSI DI MATA
ISLAM
Untuk menutupi aib akan kehamilannya
yang dihasilkan dengan laki-laki lain yang belum resmi menjadi suaminya, Maria
berkeinginan menggugurkan kandungannya. Apakah Islam memperbolehkan pengguguran
kandungan sebagaimana yang dilakukan Maria? Jawabanya diperinci sebagai
berikut:
jika pengguguran tersebut dilakukan
sebelum kandungan berumur empat bulan maka hukumnya makruh. Namun menurut Syekh
Wahbah Zuhaili hukumnya haram jika tidak ada hal yang membahayakan (darurat).
Refrensi:
فتا وي معا صرة للشيخ وهبة الز حيلي
ص 173 – 172 دار الفكر الطبعة 2003
هل يجوز الاجها ض بعد التّأكّد من
وجود الحمل ؟ على الرّغم ممّا نجده لدى بعض الفقها ء كالحنفيّة والشّا فعيّة إباحة
الاجها ض مع الكراهة قبل أربعين يوما فإ نّي لا أجيزه حفاظا على وجو د حقّ الحيا ة
للجنين إ لاّ لضرورة قصو ى كو جود خطر على حيا ة الا مّ بتقر ير طبيب مسلم ثقّة عد
ل أ و بسبب وجو د اضطرابا ت نفسيّة تو قع الأمّ الحا مل في هلوسة مثلا إلى أن قا ل
,وليس من الأعذار امبيحة هالة ما يسمّى بالطّفل المنغو ليّ إلى أ ن قا ل ,ويحرم
بالاتّفا ق الإجهاض بعد الأشهر الأر بعة إلّا إذاتعيّن طريقا لإنق ذ الأمّ الحا مل
من الهلاك بسبب الحمل اه
MENGAMALKAN
PENDAPAT YANG BERTENTANGAN DENGAN PENDAPAT EMPAT MAZHAB
Bagaimana pendapat muktamar atas
pendapat salah satu sahabat atau ulama’ yang tidak cocok dengan pendapat ahli
mazhab empat, bahkan ahli mazhab telah menerangkan kelemahan pendapat itu.
Apakah boleh menjalankan pendapat tersebut atau tidak? Jawab: tidak boleh
menjalankan pendapat yang bertentangan dengan pendapat mazhab empat, apabila
tidak mengetahui syarat-syaratnya dan segala ketentuannya. Apabila orang awam
berpedoman pada satu mazhab, maka ia harus cocok dengan mazhab tersebut, jika
tidak maka ia harus bermazhab dengan mazhab tertentu dari empat mazhab yang ada
dan tidak boleh dengan mazhab lainnya, yakni selain empat mazhab. Hal ini jika
mazhabnya itu memang belum terkodifikasi, jika sudah terkodifikasi maka boleh
sebagaimana dalam al-Tuhfah, redaksinya yaitu : “boleh bertaklid kepada
siapapun dari empat mazhab yang ada (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali), dan
juga imam mazhab lainnya yang mazhabnya terjaga dalam masalah terkait, dan
terkodifikasi, sehingga diketahui syarat-syarat dan semua ketentuannya.[7]
Refrensi:
إذا تمسّك العاميّ بمذ هب لز مه
موافقته وإلّا لز مه التّمذ هب بمذهب معيّن من الأربعة لا غيرها (قوله لا غيرها
) اي غير المذا هب الأربعة وهذ اإذالم
يدوّنمذهبه. فإ ن دوّن جاز كما في التّحفة ونصّه: يجوز تقليد كلّ من الأئمّة
الأربعة وكذا من عداهم ممّن حفظ مذهبه في تلك المسئلة ودوّن حتّى عرفت شروطه وسائر
معتبراته.
Daftar
Pustaka
Sahal
Mahfudl, Bahsul Masail dan Istinbath
Hukum NU : Sebuah Catatan Pendek,
dalam kata pengantar buku “ Kritik Nalar
Fiqih NU” , cet. I. Jakarta : Lakpesdan. 2002.
Sumanto
al-Qurtubi, Tradisi Bahsul Masail NU :
how low can you go ? Dalam Imdadur Rahmat (ed.) Nalar Kritik NU…,
Mohamad
Sobary, NU dan Keindonesiaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 2010.
Tirakat’14. Ngaji Fiqih. Purna Siswa III ALiyah 2014: Lirboyo, Kediri. 2014.
Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU. Surabaya: Khalista. 2011.
Zahro Ahmad. Tradisi Intelektual NU: Lajnan Bahtsul
Masa’il 1926-1999. Yogyakarta: LkiS. 2004.
[1] Sahal
Mahfudl, Bahsul Masail dan Istinbath
Hukum NU : Sebuah Catatan Pendek,
dalam kata pengantar buku “ Kritik Nalar
Fiqih NU” , cet. I, (Jakarta : Lakpesdan, 2002) hlm. x.
[2] Menurut
Sahal Mahfudl, dengan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqih tersebut,
menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk
beralih secara total atau dalam beberapa hal dipandang sebagai kebutuhan
(hajat) meskipun kenyataan keseharian para ulama NU menggunakan fiqih yang
bersumber dari mazhab Syafi’i.
[3] Sumanto
al-Qurtubi, Tradisi Bahsul Masail NU :
how low can you go ? dalam Imdadur Rahmat (ed.) Nalar Kritik NU…, hlm. 187.
[5] Tirakat’14. 2014. Ngaji Fiqih. Purna Siswa III ALiyah 2014:
Lirboyo, Kediri, hal. 103-104
[6] Ibid, hal. 147-148
[7] Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU. 2011. Khalista: Surabaya,
hal.151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar