Kamis, 05 Maret 2015

Madzab Imam Hanafi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama atauFaqihyang cukup besar dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam.Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakanra‟yuatau setidak-tidaknya lebih cenderung rasional. Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di  berbagai kawasan negeri Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di Mesir dan daerah-daerah lainnya.
Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga  populer di masyarakat. Namun, kepopuleran itu hanya sebatas ketokohannya saja.Sedangkan pemikiran Abu Hanifah mengenai hukum Islam kurang populer.Hal ini karena di Indonesia corak fiqhnya memang cenderung ke Syafi‟iyyah.Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh fiqhselain Syafi‟iyyah khususnya pemikiran Abu Hanifah agar dapat memperkaya khasanah keilmuan hukum Islam di Indonesia. Selain itu Imam Hanifah memiliki aklhaq yang terpuji yang patut untuk kita jadikan suri tauladan dalam menjalani kehidupan di bumi allah ini. Sehingga perlu kita melakukan sebuah pengkajian tentang kehidupan dan aklhaq yang dimiliki Imam Abu Hanifah yang akan kami sajikan dalam makalah agama yang berjudul “Biografi Imam Hanifah”.

B.     Rumusan Masalah.
1.      Apakah pengertian Mazhab?
2.      Bagaimanakah sejarah imam Hanafi?
3.      Bagaimanakah sifat-sifat imam Hanafi?
4.      Bagai manakah fiqh Hanafi?
5.      Bagaimanakah metode istinbath imam Hanafi?

C.    Tujuan pembahasan.
1.      Untuk mengetahui pengertian Mazhab.
2.      Untuk mengetahui sejarah imam Hanafi.
3.      Untuk mengetahui sifat-sifat imam Hanafi.
4.      Untuk mengetahui fiqh Hanafi.
5.      Untuk mengetahui metode istinbath imam Hanafi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab “mazhabbarasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhydzahaba”yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”
      Sedangkan pengertian mazhab menurut istilah, ada beberapa rumusan, antara lain :
1.      Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits.
2.      Menurut K.H.E. Abdurahman, mazhab dalam istilah Islam berarti pendapat, paham atau aliran seorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam seperti mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, mazhab Imam syafi’I, mazhab Imam Malik, dan lain-lain.
3.      Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu :
a.       Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
b.      Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti caraistinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam[1].
Pada masa Tabi’-tabi’in yang dimulai pada awal abad kedua Hijriyah, kedudukan ijtihad sebagai istinbath hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncullah mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam, baik dari golongan Ahl-Hadits, maupun dari golongan Ahl al-Ra’yi.
Di kalangan jumhur pada masa ini muncul tiga belas mazhab, yang berarti pula telah lahir tiga belas mujtahid. Akan tetapi dari jumlah itu, ada Sembilan Imam mazhab yang paling popular dan melembaga di kalangan jumhur umat Islam dan pengikutnya. Pada periode inilah kelembagaan fiqh, berikut pembukuannya mulai dikodifikasikan secara baik, sehingga memungkinkan semakin berkembang pesat para pengikutnya yang semakin banyak dan kokoh. Mereka yang dikenal sebagai peletak ushul dan manhaj (metode) fiqh adalah:
1.      Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashry (wafat 110 H.).
2.      Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabr bin Zauthy (wafat 150 H.).
3.      Imam Auza’iy Abu Amr Abd. Rahman bin Amr bin Muhammad, (wafat 157 H.).
4.      Imam Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsaury (wafat 160 H.).
5.      Imam al-Laits bin Sa’ad (wafat 175 H.).
6.      Imam Malik bin Anas al-Ashbahy (wafat 179 H.).
7.      Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.).
8.      Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (wafat 204 H.).
9.      Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H.).
Munculnya mazhab-mazhab tersebut, menunjukkan betapa majunya perkembangan hukum Islam pada waktu itu.Hal ini terutama disebabkan adanya tiga faktor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah wafatnya Rasulullah SAW.Yaitu :
a.       Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semananjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Parsi dan lain-lain.
b.      Pergaulan kaum Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya. Mereka terpengaruh oleh budaya, adad istiadat serta tradisi bangsa tersebut.
c.       Akibat jauhnya negara-negara yang ditaklukkan itu dengan ibu kota khilafah (pemerintahan) Islam, membuat para gubernur, para hakim dan para ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
      Perkembangan mazhab-mazhab itu tidaklah sama. Ada yang mendapat sambutan dan memiliki pengikut yang mengembangkan serta meneruskannya, namun adakalanya suatu mazhab kalah pengaruhnya oleh mazhab-mazhab lain yang datang kemudian, sehingga pengikutnya menjadi surut. Mereka hanya disebut saja pendapatnya di sela-sela lembaran kitab-kitab para Imam Mazhab, bahkan ada yang hilang sama sekali. Mazhab yang dapat bertahan dan berkembang terus sampai sekarang serta banyak diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia, hanya empat mazhab yaitu :
1.      Mazhab Hanafi, pendirinya Imam Abu Hanifah.
2.      Mazhab Maliki, pendirinya Imam Malik.
3.      Mazhab Syafi’I pendirinya Imam Syafi’i.
4.      Mazhab Hanbali, pendirinya Imam Ahmad bin Hanbal.
Perkembangan keempat mazhab ini sengat ditentukan sekali oleh beberapa faktor yang merupakan keistimewaan tertentu bagi keempat mazhab tersebut. Faktor-faktor itu menurut Khudhari Bek, adalah :
a.       Pendapat-pendapat mereka dikumpulkan dan dibukukan. Hal ini tidak terjadi pada ulama salaf.
b.      Adanya murid-murid yang berusaha menyebarluaskan pendapat mereka, mempertahankan dan membelanya. Mereka dalam organisasi sosial dan pemerintah mempunyai kedudukan yang menjadikan pendapat itu berharga.
c.       Adanya kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan agar keputusan yang diputuskan oleh hakim harus berasal dari suatu eskipun mazhab, sehingga dalam berpendapat, tidak ada dugaan yang negatif, karena mengikuti hawa nafsu dalam mengadili. Hal ini hanya tidak akan dapat terjadi bila tidak terdapat mazhab yang pendapat-pendapatnya dibukukan.
Mazhab-mazhab tersebut tersebar ke seluruh pelosok negara yang berpenduduk Muslim, Dengan tersebarnya mazhab-mazhab tersebut, berarti tersebar pula syari’at Islam ke pelosok dunia yang dapat mempermudah umat Islam untuk melaksanakannya.
Di samping berdampak positif, muncul dan perkembangannya mazhab itu juga menimbulkan dampat negatif. Setelah munculnya mazhab-mazhab dalam hukum Islam dan hasil ijtihad para imam mazhab telah banyak dibukukan, ulama sesudahnya lebih cenderung untuk mencari dan menetapkan produk-produk ijtihadiyah para mujtahid sebelumnya, meskipun mungkin sebagian dari hasil ijtihad mereka sudah kurang atau tidak sesuia lagi dengan kondisi yang dihadapi ketika itu. Lebih dari itu, sikap toleransi bermazhab pun semakin menipis di kalangan semasa pengikut-pengikut mazhab fiqh yang ada, bahkan acapkali timbul persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari fanatisme mazhab yang berlebihan.Kemudian berkembang pandangan bahwa mujtahid hanya boleh melakukan penafsiran kembali terhadap hukum-hukum fiqh dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh imam-imam mazhab yang dianutnya.Hal ini mengakibatkan kemunduran fiqh Islam.
Kemunduran fiqh Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad ke-13 Hijriyah ini sering disebut sebagai “periode Taqlid” dan “penutupan Pintu Ijtihad”. Disebut demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah, bahkan dipandang tepat[2].
B.     Sejarah Imam Abu Hanifah.
1.      Biografi Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya.
Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit ibn Zatha al-Taimy. Ia berasal dari keturunan Parsi, lahir di Kufah tahun 80 H./699 M. dan wafat di Baghdad tahun 150 H./767 M. Ia manjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi yang terkenal dengan “al-Imam al-A’zham “ yang berarti Imam Terbesar.
Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, karena ia mempunyai seorang putra bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.
Tetapi, menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah, karena ia selalu berteeman dengan “tinta” (dawat), dan kata Hanifah menurut bahasa Arabberarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-temannya.
Abu Hanifah dikenal sangat rajin belajar, taat ibadah dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama.Kata hanif dalam bahasa Arab berarti condong atau cenderung kepada yang benar.
Ayahnya bernama Tsabit, seorang pedagang sutera di kota Kuffah dan Abu Hanifah sendiri suka ikut berdagang, tanpa melupakan dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at, hadits, nahwu, sastra, syi’ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang diminatinya ialah teologi, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqh yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah,yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 63 H./682 M.). Kepemimpinan madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha’i, lalu Hammad Ibn Abi Sulaiman al-Asy’ari (wafat 120 H.)Hammad Ibn Sulaiman adalah salah seorang Imam Besar (terkemuka) ketika itu.Ia murid dari Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan pakar fiqh yang terkenal di Kufah dari golongan Tabi’in. Dari Hammad ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar figh dan hadits.
Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, Majlis Madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi Kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Abu Hanifah berhasil mendidik dan menempa ratusan murid yang memiliki pandangan luas dalam masalah fiqh.Puluhan dari Muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, Suljuk, Utsmanidan Mughal.
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya dan selalu membeeri nasihat kepadanya, antara lain adalah: Imam Amir ibn Syahril al-Sya’by dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’ari. Iamempelajari qira’at dan tajwid dari Idris Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada perintah gurunya[3].
2.      Ilmu dan Puncak Pencapaiannya.
Abu Hanifah seorang Imam dan ahli fiqh yang merdeka di samping mendapat pujian dan sanjungan dari ulama-ulama besar, juga tidak terlepas dari kritik-kritik penentangnya. Kebanyakan orang yang mencelanya adalah orang-orang yang tidak mampu menandingi pikirannya, atau tidak mencapai puncak yang dicapainya atau masuk golongan orang yang tetap bertahan pada gaya lama, tidak menerima gaya baru, dan tiap-tiap gaya baru dianggap bid’ah. Hal ini adalah sebagai bukti bahwa manusia tidak ada yang terlepas dari kedengkian orang.
Walaupun beraneka macam kritik orang, namun sejarah tidak menghargai kritik-kritik itu dan tetap menyambut pujian-pujian yang diberikan kepada Abu Hanifah.Suara-suara pujian terus-menerus bergema di dalam masyarakat hingga sekarang ini.Ilmunya dan pribadinya dipuji dan disanjung orang walaupun jalan pikirannya kadang-kadang tidak disetujui.Dengarlah apa yang diucapkan Al-Fadlail ibn Iyab, seorang ulama yang wara’. Dia berkata : “Adalah Abu Hanifah seorang ahli hokum, terkenal dalam bidang fiqh, banyak kekayaan, suka mengeluarkan harta untuk orang-orang yang membutuhinya, seorang yang sangat sabar dalam belajar baik malam ataupun siang hari, banyak beribadah di malam hari, banyak berdiam diri sedikit berbicara, terkecuali apabila telah datang kepadanya sesuatu masalah, amat pandai menunjuki manusia kepada kebenaran, dan tidak mau menerima pemberian penguasa”.
Abu Hanifah adalah gudang ilmu, dan menerima isi ilmu, bukan kulitnya, dan mengetahui masalah-masalah yang tersembunyi, dapat dikeluarkannya dari tempatnya.Dia telah menggoncangkan masanya dengan ilmunya, dengan pikirannya, dan dengan diskusinya.Dia berdiskusi dengan ulama-ulama kalam, bahkan ada risalah-risalahnya, dia mempunyai musnad dalam bidang hadits walaupun dia mencapai puncak tinggi dalam bidang fiqh dan takhrij, dan menggali illat-illat hukum. Memang dia amat baik memahami hadits, dia ungkapkn illat-illatnya dan memperhatikan apa yanh tersirat pada kata-kata itu, da dia memandang uruf sebagai suatu dasar hukum.
Faktor-faktor yang Abu Hanifah mencapai ketinggian ilmu dan mengarahkannya ialah :
a.       Sifat-sifatyang mengarah jalan pikirannya dan kecenderungannya.
b.      Guru-guru yang mengarahkannya dan menggariskan jalan yang dilaluinya, atau menampakkan kepadanya aneka rupa jalan, kemudian Abu Hanifah mengambil salah satunya.
c.       Kehidupan pribadinya, pengalaman-pengalamannya dan penderitan-penderitannya yang menyebabkan dia menempuh jalan itu hingga ke ujungnya.
d.      Masa yang diarunginya dan lingkungan yang dihayatinya yang mempengaruhi sifat-sifat pribadinya[4].
3.      Sifat-sifat Imam Hanafi.
Abu Hanifah memiliki sifat-sifat yang medudukkannya ke puncak ilmu di antara para ulama.
Dia bersifat dengan sifat-sifat yang harus ada pada seseorang alim yang benar-benar menjalani halakat ilmu amat cepat menanggapi sesuatu.
a.       Seorang yang teguh pendirian, yang tidak dapat diombangambingkan pengaruh-pengaruh luar.
b.      Berani mengatakan salah terhadap yang salah, walaupun yang disalahkan itu seorang besar. Pernah dia menyalahkan Al-Hasan al-Bisri.
c.       Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang lain. Hal ini telah dirasakan oleh gurunya Hammad.
d.      Suka meneliti segala yang dihadapi, tidak berhenti pada kulit-kulit saja, tetapi terus mendalami isinya.  Karenanya, selalulah dia mencari illat-illat hukum.
e.       Mempunyai daya tangkap yang luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.[5]
4.      Pendirian Abu Hanifah dalam bidang Politik.
Abu Hanifah cenderung kepada keturunan ali dari jihat Fatimah. Dalam pada itu Abu Hanifah tidak ke medan pertempuran secara fisik, ia mencukupinya dengan ifta’ dan sebagainya.Dalam pada itu Abu Hanifah tetap menempatkan Abu Bakar dan Unar di tempat teratas.Namun Abu Hanifah tidak mendahulukan Usman atas Ali, walaupun tidak mencela Usman.
Abu hanifah berpendapat bahwasanya Ali berada di pihak yang benar dalam segala pertempuran, termasuk dalam memerangi Thalhah dan Az-Zubair.Maka dengan sendirinya Abu Hanifah tidak simpati kepada khalifah Amawiyah.Juga demikian sikapnya terhadap khalifah Abbasiyah dengan keluarga Ali.
Dalam pada itu hubungan Abu Hanifah dengan keluarga Ali adalah hubungan ilmiahbukan hubungan politik.Abu Hanifah banyak mendengar hadits-hadits dari Jafar.Walaupun Abu Hanifah banyak berhubungan dengan imam-imam Zaidiyah dan Imamiyah, namun dia tidak pernah digolongkan dalam partai-partai itu.Pendiriannya dalam masalah-masalah khalifah, ialah kepala negara harus dipilih dan disetujui rakyat, bukan dengan jalan wasiat dan tak dapat mengangkat diri sendiri[6].
5.      Pendirian Abu Hanifah dalam bidang ilmu kalam.
Dalam bidang ini Abu Hanifah mempunyai 4 kitab.
Pertama, al-Fiqhul Akbar.
Kedua, al-Alim wal Muta’allim.
Ketiga, rasalah yang ditulis kepada Usman al-Bitti, mengenai hubungan imam dengan amal.
Keempat, risalah membantah paham Kudriyah.Semuanya itu dalam bidang aqaid dan kalam.
Kitab al-Fiqhul Akbar telah disyarahkan oleh beberapa ahli ilmu, di antaranya, Mulia Ali al-Kari.Akan tetapi para ulama tidak sependapat dalam menetapkan apakah benar al-Fiqhul Akbar dan al-Alimu wal Muta’ allim karya Abu Hanifah sendiri.
Mengenai imam, Abu Hanifahmengatakan bahwa imam itu mengaku dengan lidah dan membenarkan dengan hati. Mengenai Islam dikatakan : berserah diri dan mengikuti segala perintah. Namun demikian tidak dipandang ada imam tanpa Islam dan tidak dipandang ada Islam tanpa imam, keduanya itu ibarat dua sisi mata uang.Agama melengkapi imam dan Islam dan segenap hukumnya.Imam, menurut Abu Hanifah, haruslah disertai tunduk dan patuh, dan meridhai qadha Allah, di samping membenarkan dengan hati. Mengenai kadar dan perbuatan manusia, ia tidak mau memperkatakannya. Ia juga tidak mau memperkatakan masalah kemakhlukan al-Qur’an.

C.     Fiqh Abu Hanifah dan Metode Istinbathnya.
1.      Fiqh Hanafi.
Kita tidak menemukan suatu kitab pun dalam bidang fiqh yang telah diterbitkan ditulis oleh Abu Hanifah sendiri.Hal ini adalah wajar karena di masa Abu Hanifah belum berkembang usaha perbukuan. Di waktu usaha perbukuan telah mulai berkembang, ia telah berumur lanjut. Murid-muridnya lah yang membukukan pendapat-pendapatnya, mungkin sebagian yang dicatat itu adalah hasil diktenya sendiri.Kitab-kitab yang diusahakan oleh Muhammad ibn Al-Hasan, adalah hasil catatan-catatannya yang diterima dari Abu Yusuf dan lain-lain.Hanya sebagian kecil saja yang diterima langsung dari Abu Hanifah.Di waktu Abu hanifah wafat, Muhammad ibn Al-Hasan baru berumur 18 tahun.Ada riwayat yang menerangkan bahwa murid-murid Abu Hanifah membukukan fatwa-fatwanya.Dan kadang-kadang catatan-catatan itu diteliti kembali oleh Abu Hanifah untuk diperbaiki mana yang dipandang perlu.
Apabila dikatakan abu Hanifah permulaan orang yang menulis kitab, maka maknanya ialah bahwa murid-muridnya membukukan fatwa-fatwa tersebut di bawah penelitian Abu Hanifah sendiri.
Malik menerangkan jalan yang ditempuh Abu Hanifah dalam membentuk mazhab-mazhabnya dan mempelajari aneka masalah, ialah mendiskusikan sesuatu masalah dengan para muridnya.Masing-masing memberi pendapat.Abu Hanifah mendiskusikan pendapat-pendapat itu, hingga tercapainya sesuatu pendapat yang dikemukakan dalam diskusi itu.
Akan tetapi walaupun Abu Hanifah tidak mempunyai kitab yang dapat kita katakan hasil karyanya sendiri, namun para ulama mengatakan Abu Hanifah mempunyai kitab Musnad yang mengandung hadits yang diriwayatkan olehnya.Menurut penelitian para ulama, Kitab Musnad itu bukan hasil karya Abu Hanifah sendiri.Kitab itu dikumpulkan oleh murid-muridnya.Di antara yang mengumpulkannya ialah Muhammad ibn Al-Hasan.Kitab itu dimanakan al-Atsar oleh Abu Yusuf.
Kita hanya dapat menerima fiqh Abu Hanifah melalui murid-muridnya dan sahabat-sahabatnya.Muridnya yang kemudian dapat memberi fatwa dan menjadi hakim, ada 36 orang.Duapuluh delapan orang menjadi hakim, enam orang member fatwa dan dua orang lagi yaitu Abu Yusuf dan Zufar merupakan tenaga pokok dalam perkembangan mazhab Abu Hanifah.Mereka berdua ini merupakan pembentuk kader-kader hakim dan kader-kader mufti.Kemudian ilmu-ilmu Abu Hanifah dan tokoh-tokoh itu, dikembangkan oleh Muhammad ibn al-Hasan.
Abu Yusuf lahir pada tahun 113 H, wafat pada tahun 182 H, telah menghasilkan banyak kitab. Menurut Ibn Nadim, diantara hasil Abu Yusuf ialah Kitab ash-Shalah, Kitab az-Zankah, Kitab ash-Shiam, Kitab al-Faraidl, Kitab al-Hudud, Kitab al-Wakalah, Kitab al-Washayah, Kitab ash-Shaidi, Kitabul Ikhtilafi’ Amshar, Kitabur Raj’alaMalik, al-Kharaj dan Kitab al-Jami’. Kitab al-Kharaj adalah suatu kitab yang tinggi nilainya dalam bidanh fiqh mali. Di samping itu ada lagi beberapa kitab, yaitu al-Asar, Ikhtilafa Abu Hanifata wa Bani Abu Lida dan Taraddu ala Siyaril Anza’i.
2.      Kondisi fiqh di antara fiqh-fiqh yang mendahului.
Apakah Abu Hanifah membuat jalan baru dalam menulis mazhabnya, apakah fiqhnya fiqh baru, yang belum ada sepertinya lebih dahulu, apakah dia mengikuti jejak orang lain, ataukah menyempurnakan pembinaan yang telah dimulai orang lain? Pengikut-pengikut yang tidak fanatik berpendapat bahwa Abu Hanifah tidak membawa barang baru, dia mengikuti Ibrahim an-Kakha-i.
Sebenarnya tidak begitu tepat kalau dikatakan bahwa Abu Hanifah hanya meniru pendapat-pendapat An-Nakha-I saja. Abu Hanifah mematangkan fiqh Iraki dan menyampaikannya kepada tujuannya, menambah apa yang perlu ditambah, tidak hanya merupakan penukil pendapat-pendapat Ibrahim saja. Memang mula-mulanya memahami fiqh Ibrahim melalui Hammad, kemudian disempurnakan studinya dengan riwayat-riwayat yang ditemukan dari orang lain dan dengan istinbath-istinbathnya, diwaktu dia telah mengganti gurunya Hammad.
Walaupun Abu Hanifah mengambil jalan Ibrahim dalam pembinaan fiqh, namun ia berbeda dengan Ibrahim dalam dua bidang.
a.       Banyak mengambil fiqh Mekkah dan Madinah dan meriwayatkan hadits Rasulullah.
b.      Membanyakkan penggalian cabang bukan dari sesuatu pokok, Banyak mempergunakan qiyas membuat masalah-masalah yang bulum terjadi untuk diberikan hukum atau yang dinamakan fiqh takdiri. Menurut kenyataan sejarah, membuat fiqh takdiri, bukanlah perbuatan yang dimulai oleh Abu Hanifah, tetapi telah ada sebelumnya, walaupun Ibrahim tidak mebenarkannya, usaha Abu Hanifah ialah mengembangkan fiqh takdiri dan membanyakkannya. Dan sikap ini dituruti dalam keadaan terbatas oleh al-Laits, asy-syafi’I dan lain-lain.[7]
3.      Metode istinbath Abu Hanifah.
Metode yang dipakainya itu jika kita rincikan maka ada sekitar 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah: al-Qur’an; Sunnah, Ijma’, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).
1)      Al-Qur’an, Abu Hanifah memandang al-Qur’an sebagai sumber
pertama pengambilan hukum sebagaimana imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka dalam menjelaskan maksud (dilalah) al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah mafhum mukhalafah.
2)      Sunnah/Hadits, Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an sebagaimana imam-mam yang lain. Yang berbeda adalah beliau menetapkan syarat-syarat khusus dalam penrimaan sebuah hadits (mungkin bisa dilihat di Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah hadits dari sisi Sanad (perawi), tapi juga meneliti dari sisi Matan (isi) hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati.
3)      Ijma’, Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak tanpa memilah-milih, namun setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
4)      Perkataan Shahabah, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan Shahabah, maka beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari perkataan Shahabah yang ada itu, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan Tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
5)      Qiyas, belaiu menggunakannya jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum.
6)      Istihsan, dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling seirng menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
7)      Urf, dalam masalh ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai ‘urf dalam masalah-masalah furu’ Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz talak, pembebasan budak, akad dan syarat[8].



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti caraistinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam. .
Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit ibn Zatha al-Taimy. Ia berasal dari keturunan Parsi, lahir di Kufah tahun 80 H./699 M. dan wafat di Baghdad tahun 150 H./767 M.
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama atauFaqihyang cukup besar dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakanra‟ra’yau atau  setidak-tidaknya lebih cenderung rasional. Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di  berbagai kawasan negeri Islam
Tujuh Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah yaitu : al-Qur’an; Sunnah, Ijma’, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).



















DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1997. Pokok-pokok Pengantar ImamMazhab. Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Asy Syak’ah, Mustafa Muhammad. 1994. Islam Tidak Nermazhab. Jakarta : Gema Insani Press.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Hilang. Imam Mazhab. Jakarta : Bulan Bintang.
Tahido Yanggo, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos.





[1]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm.71-72.
[2]Ibid..,hlm.73-76.
[3]Ibid..,hlm.95-97.
[4]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pengantar ImamMazhab, (Semarang : Pustaka Rizki Putra), hlm. 446-447.
[5]Ibid..,Pokok-pokok..,hlm.448.
[6]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah , Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Dema Insani Press).hlm.330-332.
[7]Ibid..,Pokok-pokok..,hlm.457-460.
[8]Hasbi Ash Shiddieqy, Imam-imam mazhab, (Jakarta : Bulan Bintang).hlm.137-161.

1 komentar: