BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang
ulama atauFaqihyang cukup besar dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum
Islam.Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah
seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakanra‟yuatau setidak-tidaknya
lebih cenderung rasional. Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan
berkembang di berbagai kawasan negeri
Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di Mesir dan
daerah-daerah lainnya.
Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah
juga populer di masyarakat. Namun,
kepopuleran itu hanya sebatas ketokohannya saja.Sedangkan pemikiran Abu Hanifah
mengenai hukum Islam kurang populer.Hal
ini karena di Indonesia corak fiqhnya memang cenderung ke Syafi‟iyyah.Oleh
karena itu, perlu adanya pengkajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh fiqhselain
Syafi‟iyyah khususnya pemikiran Abu Hanifah agar dapat memperkaya khasanah
keilmuan hukum Islam di Indonesia. Selain itu Imam Hanifah memiliki aklhaq yang
terpuji yang patut untuk kita jadikan suri tauladan dalam menjalani kehidupan
di bumi allah ini. Sehingga perlu kita melakukan sebuah pengkajian tentang
kehidupan dan aklhaq yang dimiliki Imam Abu Hanifah yang akan kami sajikan
dalam makalah agama yang berjudul “Biografi Imam Hanifah”.
B. Rumusan Masalah.
1. Apakah pengertian Mazhab?
2. Bagaimanakah sejarah imam Hanafi?
3. Bagaimanakah sifat-sifat imam Hanafi?
4. Bagai manakah fiqh Hanafi?
5. Bagaimanakah metode istinbath imam
Hanafi?
C. Tujuan pembahasan.
1. Untuk mengetahui pengertian Mazhab.
2. Untuk mengetahui sejarah imam Hanafi.
3. Untuk mengetahui sifat-sifat imam
Hanafi.
4. Untuk mengetahui fiqh Hanafi.
5. Untuk mengetahui metode istinbath imam
Hanafi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mazhab
Menurut
bahasa, mazhab “mazhab” barasal
dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang
menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba”yang
berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”
Sedangkan
pengertian mazhab menurut istilah, ada beberapa rumusan, antara lain :
1.
Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan
pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan
suatu hukum Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits.
2.
Menurut K.H.E. Abdurahman, mazhab dalam istilah Islam
berarti pendapat, paham atau aliran seorang alim besar dalam Islam yang
digelari Imam seperti mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal,
mazhab Imam syafi’I, mazhab Imam Malik, dan lain-lain.
3.
Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau
pendapat-pendapat seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah
ibadah ataupun lainnya.
Dari beberapa pengertian di
atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah,
meliputi dua pengertian, yaitu :
a.
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh
oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan
kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
b.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam
Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan
al-Hadits.
Jadi mazhab adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah,
atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti caraistinbath
Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah
hukum Islam[1].
Pada masa Tabi’-tabi’in yang
dimulai pada awal abad kedua Hijriyah, kedudukan ijtihad sebagai istinbath
hukum semakin bertambah kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncullah
mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam, baik dari golongan Ahl-Hadits, maupun
dari golongan Ahl al-Ra’yi.
Di kalangan jumhur pada masa
ini muncul tiga belas mazhab, yang berarti pula telah lahir tiga belas
mujtahid. Akan tetapi dari jumlah itu, ada Sembilan Imam mazhab yang paling
popular dan melembaga di kalangan jumhur umat Islam dan pengikutnya. Pada periode
inilah kelembagaan fiqh, berikut pembukuannya mulai dikodifikasikan secara
baik, sehingga memungkinkan semakin berkembang pesat para pengikutnya yang
semakin banyak dan kokoh. Mereka yang dikenal sebagai peletak ushul dan manhaj
(metode) fiqh adalah:
1.
Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashry (wafat 110
H.).
2.
Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabr bin Zauthy (wafat
150 H.).
3.
Imam Auza’iy Abu Amr Abd. Rahman bin Amr bin Muhammad,
(wafat 157 H.).
4.
Imam Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsaury (wafat 160
H.).
5.
Imam al-Laits bin Sa’ad (wafat 175 H.).
6.
Imam Malik bin Anas al-Ashbahy (wafat 179 H.).
7.
Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.).
8.
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (wafat 204 H.).
9.
Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H.).
Munculnya
mazhab-mazhab tersebut, menunjukkan betapa majunya perkembangan hukum Islam
pada waktu itu.Hal ini terutama disebabkan adanya tiga faktor yang sangat
menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah wafatnya Rasulullah SAW.Yaitu
:
a.
Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup
wilayah-wilayah di semananjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Parsi dan lain-lain.
b.
Pergaulan kaum Muslimin dengan bangsa yang
ditaklukkannya. Mereka terpengaruh oleh budaya, adad istiadat serta tradisi
bangsa tersebut.
c.
Akibat jauhnya negara-negara yang ditaklukkan itu dengan
ibu kota khilafah (pemerintahan) Islam, membuat para gubernur, para hakim dan
para ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan
masalah-masalah baru yang dihadapi.
Perkembangan
mazhab-mazhab itu tidaklah sama. Ada yang mendapat sambutan dan memiliki
pengikut yang mengembangkan serta meneruskannya, namun adakalanya suatu mazhab kalah
pengaruhnya oleh mazhab-mazhab lain yang datang kemudian, sehingga pengikutnya
menjadi surut. Mereka hanya disebut saja pendapatnya di sela-sela lembaran
kitab-kitab para Imam Mazhab, bahkan ada yang hilang sama sekali. Mazhab yang
dapat bertahan dan berkembang terus sampai sekarang serta banyak diikuti oleh
umat Islam di seluruh dunia, hanya empat mazhab yaitu :
1.
Mazhab Hanafi, pendirinya Imam Abu Hanifah.
2.
Mazhab Maliki, pendirinya Imam Malik.
3.
Mazhab Syafi’I pendirinya Imam Syafi’i.
4.
Mazhab Hanbali, pendirinya Imam Ahmad bin Hanbal.
Perkembangan keempat mazhab
ini sengat ditentukan sekali oleh beberapa faktor yang merupakan keistimewaan
tertentu bagi keempat mazhab tersebut. Faktor-faktor itu menurut Khudhari Bek,
adalah :
a.
Pendapat-pendapat mereka dikumpulkan dan dibukukan.
Hal ini tidak terjadi pada ulama salaf.
b.
Adanya murid-murid yang berusaha menyebarluaskan
pendapat mereka, mempertahankan dan membelanya. Mereka dalam organisasi sosial
dan pemerintah mempunyai kedudukan yang menjadikan pendapat itu berharga.
c.
Adanya kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan agar
keputusan yang diputuskan oleh hakim harus berasal dari suatu eskipun mazhab,
sehingga dalam berpendapat, tidak ada dugaan yang negatif, karena mengikuti
hawa nafsu dalam mengadili. Hal ini hanya tidak akan dapat terjadi bila tidak
terdapat mazhab yang pendapat-pendapatnya dibukukan.
Mazhab-mazhab tersebut tersebar ke seluruh pelosok negara yang
berpenduduk Muslim, Dengan tersebarnya mazhab-mazhab tersebut, berarti tersebar
pula syari’at Islam ke pelosok dunia yang dapat mempermudah umat Islam untuk
melaksanakannya.
Di samping berdampak
positif, muncul dan perkembangannya mazhab itu juga menimbulkan dampat negatif.
Setelah munculnya mazhab-mazhab dalam hukum Islam dan hasil ijtihad para imam
mazhab telah banyak dibukukan, ulama sesudahnya lebih cenderung untuk mencari
dan menetapkan produk-produk ijtihadiyah para mujtahid sebelumnya, meskipun
mungkin sebagian dari hasil ijtihad mereka sudah kurang atau tidak sesuia lagi
dengan kondisi yang dihadapi ketika itu. Lebih dari itu, sikap toleransi
bermazhab pun semakin menipis di kalangan semasa pengikut-pengikut mazhab fiqh
yang ada, bahkan acapkali timbul persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari
fanatisme mazhab yang berlebihan.Kemudian berkembang pandangan bahwa mujtahid
hanya boleh melakukan penafsiran kembali terhadap hukum-hukum fiqh dalam
batas-batas yang telah ditentukan oleh imam-imam mazhab yang dianutnya.Hal ini
mengakibatkan kemunduran fiqh Islam.
Kemunduran
fiqh Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad ke-13
Hijriyah ini sering disebut sebagai “periode Taqlid” dan “penutupan Pintu
Ijtihad”. Disebut demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti pendapat para
ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah, bahkan
dipandang tepat[2].
B.
Sejarah Imam Abu Hanifah.
1.
Biografi Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya.
Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit ibn
Zatha al-Taimy. Ia berasal dari keturunan Parsi, lahir di Kufah tahun 80 H./699
M. dan wafat di Baghdad tahun 150 H./767 M. Ia manjalani hidup di dua
lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan masa awal
dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafi yang terkenal
dengan “al-Imam al-A’zham “ yang berarti Imam Terbesar.
Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu
Hanifah, karena ia mempunyai seorang putra bernama Hanifah. Menurut kebiasaan,
nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu
(Bapak/Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.
Tetapi, menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah,
karena ia selalu berteeman dengan “tinta” (dawat), dan kata Hanifah menurut
bahasa Arabberarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis
dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-temannya.
Abu Hanifah dikenal sangat rajin belajar, taat ibadah
dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama.Kata hanif dalam
bahasa Arab berarti condong atau cenderung kepada yang benar.
Ayahnya bernama Tsabit, seorang pedagang sutera di
kota Kuffah dan Abu Hanifah sendiri suka ikut berdagang, tanpa melupakan dalam
menuntut ilmu pengetahuan.
Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at,
hadits, nahwu, sastra, syi’ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang
pada masa itu. Di antara ilmu-ilmu yang diminatinya ialah teologi, sehingga ia
menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman
pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan golongan Khawarij yang doktrin
ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah
yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqh yang cenderung
rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah,yang dirintis oleh Abdullah Ibn
Mas’ud (wafat 63 H./682 M.). Kepemimpinan madrasah Kufah kemudian beralih
kepada Ibrahim al-Nakha’i, lalu Hammad Ibn Abi Sulaiman al-Asy’ari (wafat 120
H.)Hammad Ibn Sulaiman adalah salah seorang Imam Besar (terkemuka) ketika
itu.Ia murid dari Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh
dan pakar fiqh yang terkenal di Kufah dari golongan Tabi’in. Dari Hammad ibn
Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar figh dan hadits.
Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz
untuk mendalami fiqh dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh
di Kufah. Sepeninggal Hammad, Majlis Madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat
Abu Hanifah menjadi Kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak
mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqh. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama
dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Abu Hanifah berhasil mendidik dan menempa ratusan
murid yang memiliki pandangan luas dalam masalah fiqh.Puluhan dari Muridnya itu
menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, Suljuk,
Utsmanidan Mughal.
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah yang banyak jasanya
dan selalu membeeri nasihat kepadanya, antara lain adalah: Imam Amir ibn
Syahril al-Sya’by dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’ari. Iamempelajari qira’at dan
tajwid dari Idris Ashim. Beliau sangat rajin dan selalu taat serta patuh pada
perintah gurunya[3].
2.
Ilmu dan Puncak Pencapaiannya.
Abu Hanifah seorang Imam dan ahli fiqh yang merdeka di
samping mendapat pujian dan sanjungan dari ulama-ulama besar, juga tidak
terlepas dari kritik-kritik penentangnya. Kebanyakan orang yang mencelanya
adalah orang-orang yang tidak mampu menandingi pikirannya, atau tidak mencapai
puncak yang dicapainya atau masuk golongan orang yang tetap bertahan pada gaya
lama, tidak menerima gaya baru, dan tiap-tiap gaya baru dianggap bid’ah. Hal
ini adalah sebagai bukti bahwa manusia tidak ada yang terlepas dari kedengkian
orang.
Walaupun beraneka macam kritik orang, namun sejarah
tidak menghargai kritik-kritik itu dan tetap menyambut pujian-pujian yang
diberikan kepada Abu Hanifah.Suara-suara pujian terus-menerus bergema di dalam
masyarakat hingga sekarang ini.Ilmunya dan pribadinya dipuji dan disanjung
orang walaupun jalan pikirannya kadang-kadang tidak disetujui.Dengarlah apa
yang diucapkan Al-Fadlail ibn Iyab, seorang ulama yang wara’. Dia berkata :
“Adalah Abu Hanifah seorang ahli hokum, terkenal dalam bidang fiqh, banyak
kekayaan, suka mengeluarkan harta untuk orang-orang yang membutuhinya, seorang
yang sangat sabar dalam belajar baik malam ataupun siang hari, banyak beribadah
di malam hari, banyak berdiam diri sedikit berbicara, terkecuali apabila telah
datang kepadanya sesuatu masalah, amat pandai menunjuki manusia kepada
kebenaran, dan tidak mau menerima pemberian penguasa”.
Abu Hanifah adalah gudang ilmu, dan menerima isi ilmu,
bukan kulitnya, dan mengetahui masalah-masalah yang tersembunyi, dapat
dikeluarkannya dari tempatnya.Dia telah menggoncangkan masanya dengan ilmunya,
dengan pikirannya, dan dengan diskusinya.Dia berdiskusi dengan ulama-ulama
kalam, bahkan ada risalah-risalahnya, dia mempunyai musnad dalam bidang hadits
walaupun dia mencapai puncak tinggi dalam bidang fiqh dan takhrij, dan menggali
illat-illat hukum. Memang dia amat baik memahami hadits, dia ungkapkn
illat-illatnya dan memperhatikan apa yanh tersirat pada kata-kata itu, da dia
memandang uruf sebagai suatu dasar hukum.
Faktor-faktor yang Abu Hanifah mencapai ketinggian
ilmu dan mengarahkannya ialah :
a.
Sifat-sifatyang mengarah jalan pikirannya dan
kecenderungannya.
b.
Guru-guru yang mengarahkannya dan menggariskan jalan
yang dilaluinya, atau menampakkan kepadanya aneka rupa jalan, kemudian Abu
Hanifah mengambil salah satunya.
c.
Kehidupan pribadinya, pengalaman-pengalamannya dan
penderitan-penderitannya yang menyebabkan dia menempuh jalan itu hingga ke
ujungnya.
d.
Masa yang diarunginya dan lingkungan yang dihayatinya
yang mempengaruhi sifat-sifat pribadinya[4].
3.
Sifat-sifat Imam Hanafi.
Abu Hanifah memiliki sifat-sifat yang medudukkannya ke
puncak ilmu di antara para ulama.
Dia bersifat dengan sifat-sifat yang harus ada pada
seseorang alim yang benar-benar menjalani halakat ilmu amat cepat menanggapi
sesuatu.
a.
Seorang yang teguh pendirian, yang tidak dapat
diombangambingkan pengaruh-pengaruh luar.
b.
Berani mengatakan salah terhadap yang salah, walaupun
yang disalahkan itu seorang besar. Pernah dia menyalahkan Al-Hasan al-Bisri.
c.
Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam
pribadi orang lain. Hal ini telah dirasakan oleh gurunya Hammad.
d.
Suka meneliti segala yang dihadapi, tidak berhenti
pada kulit-kulit saja, tetapi terus mendalami isinya. Karenanya, selalulah dia mencari illat-illat hukum.
4.
Pendirian Abu Hanifah dalam bidang Politik.
Abu Hanifah cenderung kepada keturunan ali dari jihat
Fatimah. Dalam pada itu Abu Hanifah tidak ke medan pertempuran secara fisik, ia
mencukupinya dengan ifta’ dan sebagainya.Dalam pada itu Abu Hanifah
tetap menempatkan Abu Bakar dan Unar di tempat teratas.Namun Abu Hanifah tidak
mendahulukan Usman atas Ali, walaupun tidak mencela Usman.
Abu hanifah berpendapat bahwasanya Ali berada di pihak
yang benar dalam segala pertempuran, termasuk dalam memerangi Thalhah dan
Az-Zubair.Maka dengan sendirinya Abu Hanifah tidak simpati kepada khalifah
Amawiyah.Juga demikian sikapnya terhadap khalifah Abbasiyah dengan keluarga
Ali.
Dalam pada itu hubungan Abu Hanifah dengan keluarga
Ali adalah hubungan ilmiahbukan hubungan politik.Abu Hanifah banyak mendengar
hadits-hadits dari Jafar.Walaupun Abu Hanifah banyak berhubungan dengan
imam-imam Zaidiyah dan Imamiyah, namun dia tidak pernah digolongkan dalam
partai-partai itu.Pendiriannya dalam masalah-masalah khalifah, ialah kepala
negara harus dipilih dan disetujui rakyat, bukan dengan jalan wasiat dan tak
dapat mengangkat diri sendiri[6].
5.
Pendirian Abu Hanifah dalam bidang ilmu kalam.
Dalam bidang ini Abu Hanifah mempunyai 4 kitab.
Pertama, al-Fiqhul Akbar.
Kedua, al-Alim wal Muta’allim.
Ketiga, rasalah yang ditulis kepada Usman al-Bitti,
mengenai hubungan imam dengan amal.
Keempat, risalah membantah paham Kudriyah.Semuanya itu
dalam bidang aqaid dan kalam.
Kitab al-Fiqhul Akbar telah disyarahkan oleh
beberapa ahli ilmu, di antaranya, Mulia Ali al-Kari.Akan tetapi para ulama
tidak sependapat dalam menetapkan apakah benar al-Fiqhul Akbar dan al-Alimu
wal Muta’ allim karya Abu Hanifah sendiri.
Mengenai imam, Abu Hanifahmengatakan bahwa imam itu
mengaku dengan lidah dan membenarkan dengan hati. Mengenai Islam dikatakan :
berserah diri dan mengikuti segala perintah. Namun demikian tidak dipandang ada
imam tanpa Islam dan tidak dipandang ada Islam tanpa imam, keduanya itu ibarat
dua sisi mata uang.Agama melengkapi imam dan Islam dan segenap hukumnya.Imam,
menurut Abu Hanifah, haruslah disertai tunduk dan patuh, dan meridhai qadha
Allah, di samping membenarkan dengan hati. Mengenai kadar dan perbuatan
manusia, ia tidak mau memperkatakannya. Ia juga tidak mau memperkatakan masalah
kemakhlukan al-Qur’an.
C.
Fiqh Abu Hanifah dan Metode Istinbathnya.
1.
Fiqh Hanafi.
Kita tidak
menemukan suatu kitab pun dalam bidang fiqh yang telah diterbitkan ditulis oleh
Abu Hanifah sendiri.Hal ini adalah wajar karena di masa Abu Hanifah belum
berkembang usaha perbukuan. Di waktu usaha perbukuan telah mulai berkembang, ia
telah berumur lanjut. Murid-muridnya lah yang membukukan pendapat-pendapatnya,
mungkin sebagian yang dicatat itu adalah hasil diktenya sendiri.Kitab-kitab
yang diusahakan oleh Muhammad ibn Al-Hasan, adalah hasil catatan-catatannya
yang diterima dari Abu Yusuf dan lain-lain.Hanya sebagian kecil saja yang
diterima langsung dari Abu Hanifah.Di waktu Abu hanifah wafat, Muhammad ibn
Al-Hasan baru berumur 18 tahun.Ada riwayat yang menerangkan bahwa murid-murid
Abu Hanifah membukukan fatwa-fatwanya.Dan kadang-kadang catatan-catatan itu
diteliti kembali oleh Abu Hanifah untuk diperbaiki mana yang dipandang perlu.
Apabila dikatakan abu Hanifah permulaan orang yang
menulis kitab, maka maknanya ialah bahwa murid-muridnya membukukan fatwa-fatwa
tersebut di bawah penelitian Abu Hanifah sendiri.
Malik menerangkan jalan yang ditempuh Abu Hanifah
dalam membentuk mazhab-mazhabnya dan mempelajari aneka masalah, ialah
mendiskusikan sesuatu masalah dengan para muridnya.Masing-masing memberi
pendapat.Abu Hanifah mendiskusikan pendapat-pendapat itu, hingga tercapainya
sesuatu pendapat yang dikemukakan dalam diskusi itu.
Akan tetapi walaupun Abu Hanifah tidak mempunyai kitab
yang dapat kita katakan hasil karyanya sendiri, namun para ulama mengatakan Abu
Hanifah mempunyai kitab Musnad yang mengandung hadits yang diriwayatkan
olehnya.Menurut penelitian para ulama, Kitab Musnad itu bukan hasil karya Abu
Hanifah sendiri.Kitab itu dikumpulkan oleh murid-muridnya.Di antara yang
mengumpulkannya ialah Muhammad ibn Al-Hasan.Kitab itu dimanakan al-Atsar
oleh Abu Yusuf.
Kita hanya dapat menerima fiqh Abu Hanifah melalui
murid-muridnya dan sahabat-sahabatnya.Muridnya yang kemudian dapat memberi
fatwa dan menjadi hakim, ada 36 orang.Duapuluh delapan orang menjadi hakim,
enam orang member fatwa dan dua orang lagi yaitu Abu Yusuf dan Zufar merupakan
tenaga pokok dalam perkembangan mazhab Abu Hanifah.Mereka berdua ini merupakan
pembentuk kader-kader hakim dan kader-kader mufti.Kemudian ilmu-ilmu Abu
Hanifah dan tokoh-tokoh itu, dikembangkan oleh Muhammad ibn al-Hasan.
Abu Yusuf lahir pada tahun 113 H, wafat pada tahun 182
H, telah menghasilkan banyak kitab. Menurut Ibn Nadim, diantara hasil Abu Yusuf
ialah Kitab ash-Shalah, Kitab az-Zankah, Kitab ash-Shiam, Kitab al-Faraidl,
Kitab al-Hudud, Kitab al-Wakalah, Kitab al-Washayah, Kitab ash-Shaidi, Kitabul
Ikhtilafi’ Amshar, Kitabur Raj’alaMalik, al-Kharaj dan Kitab al-Jami’.
Kitab al-Kharaj adalah suatu kitab yang tinggi nilainya dalam bidanh fiqh
mali. Di samping itu ada lagi beberapa kitab, yaitu al-Asar, Ikhtilafa Abu
Hanifata wa Bani Abu Lida dan Taraddu ala Siyaril Anza’i.
2.
Kondisi fiqh di antara fiqh-fiqh yang mendahului.
Apakah Abu Hanifah membuat jalan baru dalam menulis
mazhabnya, apakah fiqhnya fiqh baru, yang belum ada sepertinya lebih dahulu,
apakah dia mengikuti jejak orang lain, ataukah menyempurnakan pembinaan yang
telah dimulai orang lain? Pengikut-pengikut
yang tidak fanatik berpendapat bahwa Abu Hanifah tidak membawa barang baru, dia
mengikuti Ibrahim an-Kakha-i.
Sebenarnya tidak begitu tepat kalau dikatakan bahwa
Abu Hanifah hanya meniru pendapat-pendapat An-Nakha-I saja. Abu Hanifah
mematangkan fiqh Iraki dan menyampaikannya kepada tujuannya, menambah apa yang
perlu ditambah, tidak hanya merupakan penukil pendapat-pendapat Ibrahim saja.
Memang mula-mulanya memahami fiqh Ibrahim melalui Hammad, kemudian
disempurnakan studinya dengan riwayat-riwayat yang ditemukan dari orang lain
dan dengan istinbath-istinbathnya, diwaktu dia telah mengganti gurunya Hammad.
Walaupun Abu Hanifah mengambil jalan Ibrahim dalam
pembinaan fiqh, namun ia berbeda dengan Ibrahim dalam dua bidang.
a. Banyak mengambil
fiqh Mekkah dan Madinah dan meriwayatkan hadits Rasulullah.
b. Membanyakkan
penggalian cabang bukan dari sesuatu pokok, Banyak mempergunakan qiyas membuat
masalah-masalah yang bulum terjadi untuk diberikan hukum atau yang dinamakan
fiqh takdiri. Menurut kenyataan sejarah, membuat fiqh takdiri, bukanlah
perbuatan yang dimulai oleh Abu Hanifah, tetapi telah ada sebelumnya, walaupun
Ibrahim tidak mebenarkannya, usaha Abu Hanifah ialah mengembangkan fiqh takdiri
dan membanyakkannya. Dan sikap ini dituruti dalam keadaan terbatas oleh
al-Laits, asy-syafi’I dan lain-lain.[7]
3. Metode istinbath
Abu Hanifah.
Metode
yang dipakainya itu jika kita rincikan maka ada sekitar 7 Ushul Istinbath yang
digunakan oleh Imam Abu Hanifah: al-Qur’an; Sunnah, Ijma’, Perkataan Shahabat,
Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).
1) Al-Qur’an,
Abu Hanifah memandang al-Qur’an sebagai sumber
pertama pengambilan hukum sebagaimana
imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka dalam
menjelaskan maksud (dilalah) al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah mafhum
mukhalafah.
2) Sunnah/Hadits,
Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an
sebagaimana imam-mam yang lain. Yang berbeda adalah beliau menetapkan
syarat-syarat khusus dalam penrimaan sebuah hadits (mungkin bisa dilihat di
Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah
hadits dari sisi Sanad (perawi), tapi juga meneliti dari sisi Matan (isi)
hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan kaidah-kaidah umum
yang telah baku dan disepakati.
3) Ijma’,
Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak tanpa memilah-milih, namun
setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
4) Perkataan
Shahabah, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan Shahabah, maka
beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari
perkataan Shahabah yang ada itu, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan
Tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
5) Qiyas,
belaiu menggunakannya jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang
menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung
(dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu
Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum.
6) Istihsan,
dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling
seirng menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
7) Urf,
dalam masalh ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai ‘urf
dalam masalah-masalah furu’ Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz
talak, pembebasan budak, akad dan syarat[8].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Mazhab
adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab
dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang
mengikuti caraistinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat
Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam. .
Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al-Numan bin Tsabit ibn
Zatha al-Taimy. Ia berasal dari keturunan Parsi, lahir di Kufah tahun 80 H./699
M. dan wafat di Baghdad tahun 150 H./767 M.
Imam
Abu Hanifah adalah salah seorang ulama atauFaqihyang cukup besar dan luas
pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan
oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama yang
lebih banyak menggunakanra‟ra’yau atau setidak-tidaknya lebih cenderung rasional.
Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di berbagai kawasan negeri Islam
Tujuh Ushul
Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah yaitu : al-Qur’an; Sunnah,
Ijma’, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).
DAFTAR PUSTAKA
Ash
Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1997. Pokok-pokok Pengantar ImamMazhab.
Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Asy
Syak’ah, Mustafa Muhammad. 1994. Islam Tidak Nermazhab. Jakarta : Gema
Insani Press.
Ash
Shiddieqy, Hasbi. Hilang. Imam Mazhab. Jakarta : Bulan Bintang.
Tahido
Yanggo, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos.
[1]Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997),
hlm.71-72.
[4]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok
Pengantar ImamMazhab, (Semarang : Pustaka Rizki Putra), hlm. 446-447.
[6]Mustofa Muhammad Asy Syak’ah , Islam Tidak
Bermazhab, (Jakarta : Dema Insani Press).hlm.330-332.
[8]Hasbi Ash Shiddieqy, Imam-imam mazhab, (Jakarta :
Bulan Bintang).hlm.137-161.
Terima kasih, sangat membantu
BalasHapus