Pengertian
Demokrasi
Secara istilah, demokrasi berasal dari bahasa Yunani "Demos"
yang berarti rakyat dan"kratein" yang berarti pemerintahan. Sehingga
dapat diartikan sebagai "sistem pemerintahan yang dipegang oleh rakyat
atau rakyat diikut sertakan dalam sistem pemerintahan negara, sehingga sistem
tersebut yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sedangkan demokrasi menurut para ahli adalah :
Abraham Lincoln Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Charles Costello Demokrasi adalah sistem sosial dan politik
pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan
kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
John L. Esposito Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari
dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik
terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas
antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Benyamin FranklinDemokrasi adalah sebuah tatanan Negara/
pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak
setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
A.
Prinsip
Demokrasi Pancasila di Indonesia
Indonesia
merupakan negara hukum yang menganut demokrasi pancasila memiliki beberapa
prinsip – prinsip. Secara umum prinsip demokrasi pancasila di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1.
Pemerintah dijalankan
berdasarkan konstitusi
2.
Adanya pemilu secara
berkesinambungan
3.
Adanya peran – peran kelompok
kepentingan
4.
Adanya penghargaan atas HAM
serta perlindungan hak minoritas
5.
Demokrasi pancasila merupakan
kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah.
Sedangkan
prinsip - prinsippokok demokrasi pancasila dalah sebagai berikut :
1.
Perlindungan terhadap hak
asasi manusia
2.
Pengambilan keputusan atas
dasar musyawarah
3.
Peradilan yang merdeka berarti
badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh presiden, BPK, DPR.
4.
Adanya partai politik untuk
menyampaikan aspirasi rakyat.
5.
Pelaksanaan pemilihan umum
6.
Kedaulatan adalah ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar 1945.
7.
Keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
8.
Pelaksanaan kebebasan yang
bertanggungjawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat dan
negara.
9.
Menjunjung tinggi yujuan dan
cita – cita nasional
10.
Pemerintahan berdasarkan
hukum, dalam penjelasan UUD 1945.
B.
Demokrasi
dalam Ajaran Islam
Berikut
ini adalah beberapa penjelasan dalam Al – Qur’an mengenai berbagai hal yang
menyangkut demokrasi mengenai permasalahan prinsip – prinsip dan sistem
pemerintahan serta persamaan dan keadilan antar warga negara secara teori:
-
Dalam QS. As-Syura’:38
”Dan (bagi)
orang – orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
-
Dalam QS.Ali Imran:159
“...maafkanlah
mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu”
-
Dalam QS.Taubah:1
“Inilah
pernyataan pemutusan perhubungan daripada Allah dan rasul-Nya (yang dihadapkan)
kepada orang – orang musyrik yang kamu (kaum Muslimin) telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka)”
-
Dalam QS. An-Nahl:90
“sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran – pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”
-
Dalam QS.An-Nisa:58
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik – baiknya
kepadamu”
-
Dalam QS.Al- Baqoroh:190
“Perangilah
di jalan Allah orang – orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang
melampaui batas.”
-
Dalam QS.Al-Hajj:40
“Orang –
orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekitarnya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan oleh biara – biara Nasrani, gereja – gereja, rumah – rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid – masjid yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolongnya”
-
Dalam QS.Al-Anfal:60
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda – kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang – orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya, apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
dianiaya”
-
Dalam QS An Nahl:91
“Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu itu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu(terhadap sumpah – sumpah itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
Dari
beberapa ayat Al- Qur’an tersebut dapat disimpulkan beberapa prinsip berikut
ini:
1.
Kedaulatan adalah di tangan
rakyat (umat).
2.
Bentuk pemerintahan adalah
berdasarkan musyawarah (shura).
3.
Kepala pemerintah adalah imam
atau khalifah, yaitu pelaksana syari’ah (ajaran agama).
4.
Kepala pemerintahan diangkat
dan diberhentikan oleh rakyat (umat).
Beberapa ayat lain yang berbicara tentang kenegaraan adalah
5.
Prinsip keadilan setiap menetapkan hukum yang
harus menjadi dasar – dasar pemerintahan
6.
Persamaan dan keadilan antar
warga negara.
7.
Islam mementingkan perdamaian
daripada peperangan
8.
Prinsip pemerintahan yang
harus menepati perjanjian dan tanpa pengkhianatan.
Sedangkan
secara praktek demokrasi dalam sejarah Muslim secara singkat dan hanya sebatas
masalah pergantian kepemimpinan kepala negara/ pemerintahan (suksesi) dapat
digambarkan demikian. Bentuk suksesi yang terjadi dari kekuasaan Nabi Muhammad
kepada Abu Bakar As-Shidiq sebagai khalifah pertama adalah hasil musyawarah
kaum muslimin, yang ketika itu terdiri dari kelompok Ansor dan Muhajirin di
Saqifah Bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari Abu Bakar kepada Umar bin al –
Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan penunjukkan oleh khalifah
sebalumnya dengan persetujuan kaum Muslimin. Bentuk lain yang muncul ketika
peralihan dari Umar bin al –Khattab kepada Ustman bin Affan sebagai khalifah
ketiga adalah dengan sistem formatur. Adapun peralihan dari Utsman bin Affan
kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat adalah jalan aklamis.
Setelah itu, sejarah Muslim diwarnai sistem pemerintahan yang monarki. Bahkan
sampai sekarang pun di umumnya negara Arab sistem ini yang berlaku.
C.
Pendapat Ulamatentang Demokrasi
Demokrasi
telah menjadi wacana yang kontroversial dikalangan ulama’ muslim. Beberapa
ulama berpendapat menyetujui konsep demokrasi sama atau sejalan dengan islam,
tetapi diantaranya juga terjadi pertentangan pendapat ulama bahwa konsep
demokrasi tidak sejalan bahkan bertentangan dengan islam, berikut ini adalah
beberapa pendapat ulama tentang demokrasi
Yusuf al- Qardhawi
Substansi
demokrasi sejalan dengan islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal.
Misalnya :
-
Dalam demokrasi proses
pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak
memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu mereka tidak akan memilih sesuatu
yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan islam. Islam menolak seseorang
menjadi imam sholat yang tidak disukai oleh makmum dibelakangnya yang akan
mempengaruhi proses ibadah sholat tersebut.
-
Usaha setiap rakyat untuk
meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan islam. Bahkan amar ma’ruf
nahi munkar serta memberikan nasihat adalah sejalan dengan ajaran islam.
-
Pemilihan umum termasuk jenis
pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya
sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas
jatuh kepada kandidat yang tidak sebenarnya tidak layak, berarti ia telah
menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
-
Penetapan hukum yang
berdasarkan suara mayoritasjuga tidak bertentangan dengan prinsip islam.
Contohnya sikap Umar dalam penunjukan khalifah dengan suara terbanyak.
-
Kebebasan pers dan kebebasan
mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam
demokrasi yang sejalan dengan islam.
Salim Ali al-Bahnasawi
Demokrasi
mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi
negatif yang bertentangan dengan islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya
kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan islam. Sementara, sisi
buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada
sikap menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Karena itu, ia
menawarkan berbagai islamisasi sebagai berikut:
-
Menetapkan tanggungjawab
setiap individu di hadapan Allah.
-
Wakil rakyat harus berakhlak
islam dalam musyawarah dan tugas – tugas lainya.
-
Mayoritas bukan ukuran mutlak
dalam kasus yang hukumnyatidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah
(an-Nisa:59) (al ahzab:36)
Beberapa
pendapat yang menyatakan bahwasannya konsep demokrasi tidak sejalan bahkan
bertentangan dengan islam mengatakan bahwasannya Pemungutan suara atau Pemilu
adalah bentuk perampasan hak Allah SWT sebagai Hakim karena dalam pemilu
keputusan ditentukan manusia, bukan Allah. Beberapa tokoh yang menentang
demokrasi sejalan dengan islam diantaranya adalah Hasan Al Banna.
A.
Hakikat otonomi daerah
Terdapat dua undang – undang yang menjadi pedoman dasar pelaksanaan otonomi
daerah yakni, Undang - Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diganti oleh Undang - Undang Nomor 32 tahun 2004
dan Undang - Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang - Undang Nomor 33 tahun 2004.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang –
undangan.
Hakikat otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban suatu daerah
untuk membentuk dan menjalakan suatu pemerintahannya sendiri sesuai dengan
peraturan undang – undang yang berlaku, sebagaimana dijelaskan mengenai
kewenangan daerah, kewajiban kepala daerah dan hal – hal yang terkait dalam Undang – Undang yang telah ditetapkan.
B.
Sejarah otonomi daerah
Perjalanan bangsa Indonesia melalui berbagai sistem pemerintahan dan
dipimpin berbagai macam kepala pemerintahan serta munculnya masalah – masalah
baru dalam lingkungan pemerintah ataupun lingkungan masyarakat tentu sangat
membutuhkan tatanan hukum yang berbeda dari waktu ke waktu untuk mewujudkan
kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
Keberadaan kebijakan mengenai Pemerintahan Daerah bukan merupakan hal yang
final, statis dan tetap tetapi membutuhkan pembaruan – pembaruan untuk
mengatasi berbagai keadaan dan masalah baru yang muncul. Berikut ini adalah
sejarah perkembangan undang – undang yang menjadi pedoman mengenai otonomi
daerah :
1.
UU No. 1 tahun 1945 mengatur Pemerintah Daerah yang membagi tiga jenis daerah otonom yakni,
keresidenan, kabupaten, dan kota.
2.
UU No. 22 tahun 1948 mengatur susunan Pemerintah Daerah yang demokratis, membagi dua jenis
daerah otonom yakni, daerah otonom biasa dan otonomi istimewa, dan tiga
tingkatan daerah otonom yakni, provinsi, kab/ kota dan desa.
3.
UU No. 1 tahun 1957 mengatur tunggal yang berseragam untuk seluruh Indonesia.
4.
UU No. 18 tahun 1965 mengatur otonomi yang menganut sistem otonomi yang riil dan seluas
luasnya.
5.
UU No.5 tahun 1974 mengatur pokok – pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas
pemerintah pusat di daerah (prinsip yang dipakai : otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab; merupakan pembaruan dari otoda yang seluas – luasnya dapat
menimbulkan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI, dan tidak serasi
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi).
6.
UU No. 22 tahun 1999 mengatur tentang Pemerintahan Daerah (perubahan mendasar pada format otoda
dan substansi desentralisasi).
7.
UU No. 25 tahun 1999 mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
8.
UU No. 32 tahun 2004 mengatur Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999
9.
UU No. 33 tahun 2004 mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
( perubahan UU didasarkan pada berbagai UU yang terkait di bidang politik dan
keuangan negara antara lain: UU No. 12
tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD; UU No. 22 tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD; UU No. 23 tahun 2003 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara; UU No. 1 tahun 2004 tantang
Perbendaharaan Negara; UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara ).
Sedangkan perubahan yang mendasar dari pedoman Otonomi Daerah dari UU No.
22 tahun 1999 digantikan oleh UU No. 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut
1.
Prinsip –
Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 22 tahun 1999
a.
Demokrasi,
keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
b.
Otonomi luas,
nyata, dan bertanggungjawab.
c.
Otonomi daerah
yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
d.
Sesuai dengan
konstitusi negara.
e.
Kemandirian
daerah otonom.
f.
Meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g.
Asas
dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi.
h.
Asas tugas
perbantuan.
2.
Prinsip –
Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 32 tahun 2004
a.
Demokrasi,
keadilan, pemerataan, keistimewaan dan kekhususan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
b.
Otonomi luas,
nyata, dan bertanggungjawab.
Otonomi luas : daerah yang memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkata peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Otonomi nyata : penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Otonomi yang bertanggungjawab : dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonom, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c.
Otonomi daerah
yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
d.
Sesuai dengan
konstitusi negara.
e.
Kemandirian
daerah otonom.
f.
Meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g.
Asas
dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi.
h.
Asas tugas
perbantuan.
C.
Otonomi daerah dan pembangunan daerah
Otonomi daerah adalah sebuah agenda nasional
yang diharapkan dapat mencegah terjadinya sentralisasi yang sebenarnya sudah
menimpa bangsa Indonesia selama periode orde baru.Sejak diberlakukannya
Undang-undag tentang pemerintahan daerah, yaitu UU no.22 tahun 1999 dan UU
no.25 tahun 1999 diharapkan juga dapat membawa perubahan yang signifikan bagi
daerah yang juga nantinya akan membawa kesejahteraan bagi bangsa ini sendiri.
Kebijaksanaan otonomi daerah melalui UU no.22
tahun 1999 memberikan otonomi yang angat luas kepada daerah, khususnya
Kabupaten dan Kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan
martabat di daerah; memberikan peluang politik dalam rangka peningkatan
kualitas demokrasi di Daerahpeningkatan efisiensi pelayanan public di Daerah,
peningkatan percepatan pembangunan Daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula
penciptaan cara berpemerintahan yang baik.
Otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat
pertumbuhan dan perkembangan daerah selain juga menciptakan keseimbangan antar
daerah hingga terjadi perataan kesejahteraan dan tidak adanya daerah tertinggal
ataupun sentralisasi. Untuk menciptakan pembangunan daerah yang cepat dan
meningkat maka perlu adanya prasyarat terutama bagi penyelenggara daerah
tersebut. Yang diharapkan dari pemerintahan daerah tersebut adalah sejumlah
berikut:
1.
Fasilitas.
pemerintah daerah sebagai pelaksana daerah sebaiknya memenuhi fasilitas kepada
masyarakatnya terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi,karena memang pada
dasarnya pembangunan daerah dapat terjadi karena bantuan
ekonomi(keuangan).Jadi,jika pemerintah memudahkan fasilitas maka pembangunan
daerah bukanlah sesuatu yang susah pencapaiannya.
2.
Pemerintah daerah harus kreatif. Kreatif yang dimaksud di sini adalah bagaiman cara mengalokasikan
dana yang bersumber dari Dana Alokasi Umum atau yang berasal dari PAD. Selain itu dapat menciptakan keunggulan
komparatif bagi daerahnya, sehingga pemilik modal akan beramai-ramai menanamkam
modal di daerah tersebut. Kreatifitas ini juga berkaitan dengan kepiawaian
pemerintah membuat program-program menarik sehingga pemerintah pusat akan
memberikan Dana Alokasi Khusus, sehingga banyak dana yang di sedot dari Jakarta
ke Daerah.
3.
Pemerintah daerah menjamin kesinambungan usaha.
4.
Politik lokal
yang stabil.
5.
Pemerintah harus komunikatif dgn LSM/NGO, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
Namun sebenarnya yang penting bagi daerah adalah terciptnya
lapangan kerja, serta disertai kemampuan menghadapi laju inflasi dan keseimbangan
neraca perdagangan internasional. Penciptaan lapangan kerja akan berpengaruh pada peningkatan daya beli dan
kecenderungan untuk menabung, dengan meningkatnya daya beli berarti penjualan
atas barang dan jasa juga meningkat, artinya pajak penjualan barang dan jasa
juga meningkat sehingga Pendapatan Daerah dan Negara juga meningkat. Semuanya
akan di kembalikan pada masyarakat dalam bentuk proyek atau bantuan atau
sejumlah intensif yang lain, sehingga lambat laun kesejahteraan masyarakat akan
meningkat dan disitulah pembangunan daerah benar-benar dijalankan.
D.
Kesalahpahaman terhadap otonomi daerah
Pembaruan kebijaksanaan otonomi daerah menurut
Undang – Undang No. 25 tahun 1974 yang telah dipraktekan selama 25 tahun di
indonesia kemudian berubah menjadi Undang – Undang No. 22 tahun 1999 dan
diperbarui kembali menjadi Undang – Undang No. 32 tahun 2004 yang memberikan
otonomi sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota tentunya
menimbulkan berbagai kesalahpahaman yang muncul di kalangan masyarakat karena
terbatasnya pemahaman umum tentang pemerintahan daerah, dalam bukunya yang
berjudul Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Drs. H. Syaukani, HR,
Prof. Dr. Afan Gaffar, MA, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA menyatakan
berbagai kesalahpahaman mengenai otonomi daerah yang muncul dikalangan
masyarakat diantaranya adalah
1.
Otonomi daerah dikaitkan semata – mata dengan uang. Pemahaman otonomi daerah harus mencukupi
sendiri segala kebutuhanya, terutama di bidang keuangan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun yuang bukan satu –
satunya alat dalam menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci dari otonomi
adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan uang dapat dicari dan dengan itu pula
pemerintah harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan
berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
2.
Daerah belum siap dan belum mampu. Pembuatan kebijaksanaan otonomi daerah menurut Undang –
Undang No. 22 tahun 1999 dianggap tergesa- gesa karena daerah tidak / belum
siap dan tidak / belum mampu. Munculnya pandangan seperti ini sebagai akibat
dari munculnya kesalahpahaman yang pertama karena selama ini daerah sangat
bergantung pada pusat dalam bidang keuangan, apalagi melihat kontribusi
Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD rata – rata di bawah 15% untuk kabupaten
dan kota di seluruh Indonesia.
3.
Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk
membantu dan membina daerah. Kekhawatiran yang muncul dari daerah – daerah dengan adanya otonomi adalah
pemerintah pusat melepaskan sepenuhnya terhadap daerah, terutama di bidang
keuangan. Padahal dalam Undang – Undang No. 22 tahun 1999 menganut falsafah
yang sudah sangat umum dikenal di berbagai negara, yaitu setiap pemberian
kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang
jelas dan cukup, apakah dalam bentuk Dana Alokasi Umum atau Dana Alokasi Khusus
serta bantuan keuangan yang lainya dari pemerintah pusat pada daerah.
4.
Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja. Kesalahpahaman adanya otonomi daerah berarti
bebas melakukan apa saja tanpa terbatas. Padahal otonomi yang diselenggarakan
adalah dalam rangka memperkuat NKRI dan pemerataan kesejahteraan di seluruh
daerah, Daerah memang dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum dan undang – undang yang berlaku secara nasional.
Disamping itu kepentingan masyarakat merupakan patokan yang paling utama dalam
mengambil atau menentukan suatu kebijaksanaan di daerah.
5.
Otonomi daerah akan menciptakan raja – raja kecil di daerah dan memindahkan
korupsi di daerah. Otonomi daerah
dapat memindahkan KKN dengan menciptakan raja – raja kecil di daerah dapat
terjadi apabila dilakukan tanpa kontrol sama sekali dari masyarakat seperti yang telah dialami
bangsa Indonesia oleh pemerintahan Orde Baru ataupun Orde Lama. Sedangkan
otonomi daerah saat ini mendasarkan pada demokratisasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah, tidak ada lagi penguasa tunggal seperti pada masa lampau.
Konsep
Masyarakat Madani
1.
Konsep Masyarakat Madani
Rasulullah SAW
Negara-
kota madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan
konsepsi Negara-bangsa (nation-state), yaitu negara untuk seluruh umat atau
warga negara, demi kemaslahatan bersama (common good). Sebagaimana termuat
dalam Piagam Madina “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan seluruh
kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatun wahidah) tanpa
membeda-bedakan antara kelompok keagamaan yang ada. Adapun kandungan Piagam
Madinah terdiri dari: Mukadimah, Bab I Pembentukan Ummat (terdiri dari pasal 1-
pasal 10), Bab II Persatuan Se-Agama ( terdiri dari pasal 11- pasal 15), Bab
III Persatuan segenap warga Negara (terdiri dari pasal 16- pasal 23), Bab IV
Golongan Minoritas (terdiri dari pasal 24- pasal 35), Bab V Tugas Warga Negara
(terdiri dari pasal 36- pasal 38), Bab VI Melindungi Negara (terdiri dari pasal
39- pasal 41), Bab VII Pimpinan Negara (terdiri dari pasal 42- pasal 44), Bab
VIII Politik Perdamaian (terdiri dari pasal 45- pasal 46), Penutup (pasal 47).
Membangun
masyarakat berperadaban itulah yang dilakukan nabi selama sepuluh tahun di
madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokrasi dengan
landasan taqwa kepada allah dan taat kepada ajaran-ajarannya. Taqwa kepada
allah dalam arti semangat ketuhanan yang maha esa, yang di dalam peristilahan
kitab suci juga disebut semangat rabbaniyah (Q.S Ali Imran:79) atau Ribbiyah
(Q.S Ali Imran :146). Inilah hablun minallah, tali hubungan dengan
Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar
tidak jatuh hina dan nista.
2.
Konsep Masyarakat Madani menurut
Al-Farabi
Manusia
menurut Al-farabi bersifat sosial yang tidak mungkin hidup sendiri-sendiri.
Manusia hidup bermasyarakat dalam bantu membantu untuk kepentingan
bersama dalam mencapai tujuan hidup. Masyarakat menurutnya terbagi menjadi dua
macam yakni masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna. Masyarakat yang
disebut yang pertama, yakni masyarakat kelompok besar bisa berbentuk masyarakat
kota, bisa pula masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang bersatu dan
bekerjasama secara internasional. Sementara itu, masyarakat yang disebut kedua,
seperti masyarakat dalam keluarga atau masyarakat se desa. Masyarakat yang
terbaik adalah warga masyarakat yang bekerja sama, saling membantu untuk
mencapai kebahagiaan. Masyarakat seperti ini disebut masyarakat utama.
Dalam
bukunya Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadilah, kota sebagai badan manusia
mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain rapat hubungannya dengan
mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan
keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat) kepada masing-masing anggota harus
diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing. Pekerjaan yang
terpenting dalam masyarakat adalah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam
tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepala lah sumber dari segala
peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh kuat, sehat,
pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Sehingga masyarakat
menjadi makmur dan baik, dan didalamnya anggota-anggota dapat memperoleh
kesenangan. Tugas kepala negara, bukan hanya mengatur negara tapi mendidik
masyarakat mempunyai akhlak yang baik. Keunggulan filsafat pemerinthan
al-farabi ini terletak pada tujuan pemerintahan yang hendak dicapai yakni
kebahagiaan dunia dan akhirat.
1.
Karakteristik
Masyarakat Madani
2.
Masyarakat egaliter, masyarakat egaliter atau masyarakat yang mengemban
nilai egalitarianisme yaitu masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam
posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajiban tanpa memandang suku,
keturunan, ras, agama, dan sebagainya.
3.
Penghargaan, bahwa dalam masyarakat madani adanya penghargaan
kepada orang berdasarkan prestise, bukan kesukuan, keturunan, ras, dan
sebagainya.
4.
Keterbukaan (partisipasi seluru anggota masyarakat aktif),
sebagai ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu
benar, kemudian kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil
dan diikuti mana yang terbaik.
5.
Penegakkan hukum
dan keadilan, hukum ditegakkan pada siapapun dan kapanpun, walupun
terhadap keluarga sendiri, karena manusia sama didepan hukum.
6.
Toleransi dan
pluralisme, tak lain adalah wujud civility yaitu sikap kewajiban
pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, karena
pluralism dan toleransi merupakan wujud dari “ikatan keadaban’ ( Bond of
civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkunga yang
lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaaN, betapapun perbedaan yang
ada tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangan sendiri.
7.
Musyawarah dan
demokrasi, merupakan unsur asasi pembentukan masyarakat madani.
Nur cholis madjid menyatakan, maasyarakat madani merupakan masyarakat
demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah, karena musywarah
merupakan interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling
memberikan hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban
mendengar pendapat orang lain.
8.
Strategi Membangun
Masyarakat Madani
Satu
hal yang pasti adalah pemberdayaan masyarakat madani adalah sebuah keniscayaan
apabila bangsa Indonesia ini ingin bertahan dan sekaligus menjadi bangsa
yang demokratis. Adapun strategi pemberdayaan masyarakat madani di Indonesia,
menurut Dawam (1999) ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan
sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia, antara
lain :
1.
Strategi yang lebih mementingkan
integrasi nasional dan politik.
Strategi
ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam
masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan
konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik. Saat ini yang
diperlukan adalah stabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena
pembangunan lebih terbuka terhadap perekonomian global – membutuhkan resiko
politik yang minim. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih
diutamakan dari pada demokrasi.
2.
Strategi yang lebih mengutamakan
reformasi sistem politik demokrasi.
Strategi
ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya
tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses
demokratisasi yang pada essensinya adalah memperkuat partisipasi politik. Jika
kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya timbul
masyarakat madani yang mampu mengontrol negara.
3.
Strategi yang memilih membangun
masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.
Strategi
ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan
kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran
politik, terutama pada golongan menengah yang semakin luas.
Ketiga
model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hikam
bahwa diera transisi ini harus dipikirkan prioritas prioritas pemberdayaan
dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan
pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu,
maka keterlibatan kaum cendikia, LSM, ormas dan keagamaan dan mahasiswa, mutlak
adanya.
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani
adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang
maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat
madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri
tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah
masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya
dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana
pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga
negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun
demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa
udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang
dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus.
Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan
sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi
untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance
(pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua
kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu
tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah
entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil
adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa
Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah
satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang
kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil
merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil
menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud
pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang
struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara.
Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga
moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih.
Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai
pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara
keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas
terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada
satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain.
Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial.
Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan
dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh.
Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu
Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi
kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di
dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi
sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada
bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya,
apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan
dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung
me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru
banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai
landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan
masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan
negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada
komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed
M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa
faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah
Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya
didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah
menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara
historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama
sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi
kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan
kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu
perlindungan hukum.
Masyarakat madani
sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia
merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang
dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah
Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun
pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik
dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan
beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian
solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah
ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa,
Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk
Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain,
pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran
Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat
melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan
sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang
hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad
Imarah:1999).
Satu hal yang
menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan
tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan
(ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan
identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun
terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai
sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah
tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan
musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi
saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai
demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip
dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah
tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal
tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar