Jumat, 06 Maret 2015

Demokrasi



Pengertian Demokrasi
Secara istilah, demokrasi berasal dari bahasa Yunani "Demos" yang berarti rakyat dan"kratein" yang berarti pemerintahan. Sehingga dapat diartikan sebagai "sistem pemerintahan yang dipegang oleh rakyat atau rakyat diikut sertakan dalam sistem pemerintahan negara, sehingga sistem tersebut yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sedangkan demokrasi menurut para ahli adalah :
Abraham Lincoln Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Charles Costello Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
John L. Esposito Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Benyamin FranklinDemokrasi adalah sebuah tatanan Negara/ pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
A.    Prinsip Demokrasi Pancasila di Indonesia
Indonesia merupakan negara hukum yang menganut demokrasi pancasila memiliki beberapa prinsip – prinsip. Secara umum prinsip demokrasi pancasila di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.        Pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi
2.        Adanya pemilu secara berkesinambungan
3.        Adanya peran – peran kelompok kepentingan
4.        Adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas
5.        Demokrasi pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah.
Sedangkan prinsip - prinsippokok demokrasi pancasila dalah sebagai berikut :
1.          Perlindungan terhadap hak asasi manusia
2.          Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah
3.          Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh  presiden, BPK, DPR.
4.          Adanya partai politik untuk menyampaikan aspirasi rakyat.
5.          Pelaksanaan pemilihan umum
6.          Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar 1945.
7.          Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
8.          Pelaksanaan kebebasan yang bertanggungjawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat dan negara.
9.          Menjunjung tinggi yujuan dan cita – cita nasional
10.       Pemerintahan berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945.
B.    Demokrasi dalam Ajaran Islam
Berikut ini adalah beberapa penjelasan dalam Al – Qur’an mengenai berbagai hal yang menyangkut demokrasi mengenai permasalahan prinsip – prinsip dan sistem pemerintahan serta persamaan dan keadilan antar warga negara secara teori:
-          Dalam QS. As-Syura’:38
”Dan (bagi) orang – orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
-          Dalam QS.Ali Imran:159
“...maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”
-          Dalam QS.Taubah:1
“Inilah pernyataan pemutusan perhubungan daripada Allah dan rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang – orang musyrik yang kamu (kaum Muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka)”
-          Dalam QS. An-Nahl:90
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran – pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
-          Dalam QS.An-Nisa:58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik – baiknya kepadamu”
-          Dalam QS.Al- Baqoroh:190
“Perangilah di jalan Allah orang – orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang melampaui batas.”
-          Dalam QS.Al-Hajj:40
“Orang – orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekitarnya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan oleh biara – biara Nasrani, gereja – gereja, rumah – rumah ibadat orang Yahudi dan masjid – masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolongnya”
-          Dalam QS.Al-Anfal:60
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda – kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang – orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya, apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak dianiaya”
-          Dalam QS An Nahl:91
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu itu telah menjadikan Allah sebagai saksimu(terhadap sumpah – sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
Dari beberapa ayat Al- Qur’an tersebut dapat disimpulkan beberapa prinsip berikut ini:
1.        Kedaulatan adalah di tangan rakyat (umat).
2.        Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan musyawarah (shura).
3.        Kepala pemerintah adalah imam atau khalifah, yaitu pelaksana syari’ah (ajaran agama).
4.        Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh rakyat (umat).
Beberapa ayat lain yang berbicara tentang kenegaraan adalah
5.         Prinsip keadilan setiap menetapkan hukum yang harus menjadi dasar – dasar pemerintahan
6.        Persamaan dan keadilan antar warga negara.
7.        Islam mementingkan perdamaian daripada peperangan
8.        Prinsip pemerintahan yang harus menepati perjanjian dan tanpa pengkhianatan.
Sedangkan secara praktek demokrasi dalam sejarah Muslim secara singkat dan hanya sebatas masalah pergantian kepemimpinan kepala negara/ pemerintahan (suksesi) dapat digambarkan demikian. Bentuk suksesi yang terjadi dari kekuasaan Nabi Muhammad kepada Abu Bakar As-Shidiq sebagai khalifah pertama adalah hasil musyawarah kaum muslimin, yang ketika itu terdiri dari kelompok Ansor dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari Abu Bakar kepada Umar bin al – Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan penunjukkan oleh khalifah sebalumnya dengan persetujuan kaum Muslimin. Bentuk lain yang muncul ketika peralihan dari Umar bin al –Khattab kepada Ustman bin Affan sebagai khalifah ketiga adalah dengan sistem formatur. Adapun peralihan dari Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat adalah jalan aklamis. Setelah itu, sejarah Muslim diwarnai sistem pemerintahan yang monarki. Bahkan sampai sekarang pun di umumnya negara Arab sistem ini yang berlaku.
C.              Pendapat Ulamatentang Demokrasi
Demokrasi telah menjadi wacana yang kontroversial dikalangan ulama’ muslim. Beberapa ulama berpendapat menyetujui konsep demokrasi sama atau sejalan dengan islam, tetapi diantaranya juga terjadi pertentangan pendapat ulama bahwa konsep demokrasi tidak sejalan bahkan bertentangan dengan islam, berikut ini adalah beberapa pendapat ulama tentang demokrasi
Yusuf al- Qardhawi
Substansi demokrasi sejalan dengan islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya :
-          Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu mereka tidak akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan islam. Islam menolak seseorang menjadi imam sholat yang tidak disukai oleh makmum dibelakangnya yang akan mempengaruhi proses ibadah sholat tersebut.
-          Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan islam. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar serta memberikan nasihat adalah sejalan dengan ajaran islam.
-          Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang tidak sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
-          Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritasjuga tidak bertentangan dengan prinsip islam. Contohnya sikap Umar dalam penunjukan khalifah dengan suara terbanyak.
-          Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan islam.
Salim Ali al-Bahnasawi
Demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan berbagai islamisasi sebagai berikut:
-          Menetapkan tanggungjawab setiap individu di hadapan Allah.
-          Wakil rakyat harus berakhlak islam dalam musyawarah dan tugas – tugas lainya.
-          Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnyatidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah (an-Nisa:59) (al ahzab:36)
Beberapa pendapat yang menyatakan bahwasannya konsep demokrasi tidak sejalan bahkan bertentangan dengan islam mengatakan bahwasannya Pemungutan suara atau Pemilu adalah bentuk perampasan hak Allah SWT sebagai Hakim karena dalam pemilu keputusan ditentukan manusia, bukan Allah. Beberapa tokoh yang menentang demokrasi sejalan dengan islam diantaranya adalah Hasan Al Banna.
A.        Hakikat otonomi daerah
Terdapat dua undang – undang yang menjadi pedoman dasar pelaksanaan otonomi daerah yakni, Undang - Undang Nomor 22  tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti oleh Undang - Undang Nomor 32  tahun 2004 dan Undang - Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang - Undang Nomor 33 tahun 2004. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Hakikat otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban suatu daerah untuk membentuk dan menjalakan suatu pemerintahannya sendiri sesuai dengan peraturan undang – undang yang berlaku, sebagaimana dijelaskan mengenai kewenangan daerah, kewajiban kepala daerah dan hal – hal yang terkait  dalam Undang – Undang yang telah ditetapkan.
B.         Sejarah otonomi daerah
Perjalanan bangsa Indonesia melalui berbagai sistem pemerintahan dan dipimpin berbagai macam kepala pemerintahan serta munculnya masalah – masalah baru dalam lingkungan pemerintah ataupun lingkungan masyarakat tentu sangat membutuhkan tatanan hukum yang berbeda dari waktu ke waktu untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
Keberadaan kebijakan mengenai Pemerintahan Daerah bukan merupakan hal yang final, statis dan tetap tetapi membutuhkan pembaruan – pembaruan untuk mengatasi berbagai keadaan dan masalah baru yang muncul. Berikut ini adalah sejarah perkembangan undang – undang yang menjadi pedoman mengenai otonomi daerah :
1.        UU No. 1 tahun 1945 mengatur Pemerintah Daerah yang membagi tiga jenis daerah otonom yakni, keresidenan, kabupaten, dan kota.
2.        UU No. 22 tahun 1948 mengatur susunan Pemerintah Daerah yang demokratis, membagi dua jenis daerah otonom yakni, daerah otonom biasa dan otonomi istimewa, dan tiga tingkatan daerah otonom yakni, provinsi, kab/ kota dan desa.
3.        UU No. 1 tahun 1957 mengatur tunggal yang berseragam untuk seluruh Indonesia.
4.        UU No. 18 tahun 1965 mengatur otonomi yang menganut sistem otonomi yang riil dan seluas luasnya.
5.        UU No.5 tahun 1974 mengatur pokok – pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah (prinsip yang dipakai : otonomi yang nyata dan bertanggungjawab; merupakan pembaruan dari otoda yang seluas – luasnya dapat menimbulkan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI, dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi).
6.        UU No. 22 tahun 1999 mengatur tentang Pemerintahan Daerah (perubahan mendasar pada format otoda dan substansi desentralisasi).
7.        UU No. 25 tahun 1999 mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
8.        UU No. 32 tahun 2004 mengatur Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999
9.        UU No. 33 tahun 2004 mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ( perubahan UU didasarkan pada berbagai UU yang terkait di bidang politik dan keuangan negara antara lain: UU  No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD; UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD; UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1  tahun 2004 tantang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara ).
Sedangkan perubahan yang mendasar dari pedoman Otonomi Daerah dari UU No. 22 tahun 1999 digantikan oleh UU No. 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut
1.        Prinsip – Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 22 tahun 1999
a.        Demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
b.        Otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab.
c.        Otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
d.        Sesuai dengan konstitusi negara.
e.        Kemandirian daerah otonom.
f.         Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g.        Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi.
h.        Asas tugas perbantuan.
2.        Prinsip – Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 32 tahun 2004
a.        Demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
b.        Otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab.
Otonomi luas : daerah yang memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkata peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Otonomi nyata : penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Otonomi yang bertanggungjawab : dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonom, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c.        Otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
d.        Sesuai dengan konstitusi negara.
e.        Kemandirian daerah otonom.
f.         Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g.        Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi.
h.        Asas tugas perbantuan.
C.        Otonomi daerah dan pembangunan daerah
Otonomi daerah adalah sebuah agenda nasional yang diharapkan dapat mencegah terjadinya sentralisasi yang sebenarnya sudah menimpa bangsa Indonesia selama periode orde baru.Sejak diberlakukannya Undang-undag tentang pemerintahan daerah, yaitu UU no.22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999 diharapkan juga dapat membawa perubahan yang signifikan bagi daerah yang juga nantinya akan membawa kesejahteraan bagi bangsa ini sendiri.
Kebijaksanaan otonomi daerah melalui UU no.22 tahun 1999 memberikan otonomi yang angat luas kepada daerah, khususnya Kabupaten dan Kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat di daerah; memberikan peluang politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di Daerahpeningkatan efisiensi pelayanan public di Daerah, peningkatan percepatan pembangunan Daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik.
Otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan daerah selain juga menciptakan keseimbangan antar daerah hingga terjadi perataan kesejahteraan dan tidak adanya daerah tertinggal ataupun sentralisasi. Untuk menciptakan pembangunan daerah yang cepat dan meningkat maka perlu adanya prasyarat terutama bagi penyelenggara daerah tersebut. Yang diharapkan dari pemerintahan daerah tersebut adalah sejumlah berikut:
1.        Fasilitas. pemerintah daerah sebagai pelaksana daerah sebaiknya memenuhi fasilitas kepada masyarakatnya terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi,karena memang pada dasarnya pembangunan daerah dapat terjadi karena bantuan ekonomi(keuangan).Jadi,jika pemerintah memudahkan fasilitas maka pembangunan daerah bukanlah sesuatu yang susah pencapaiannya.
2.        Pemerintah daerah harus kreatif. Kreatif yang dimaksud di sini adalah bagaiman cara mengalokasikan dana yang bersumber dari Dana Alokasi Umum atau yang berasal dari PAD. Selain itu dapat menciptakan keunggulan komparatif bagi daerahnya, sehingga pemilik modal akan beramai-ramai menanamkam modal di daerah tersebut. Kreatifitas ini juga berkaitan dengan kepiawaian pemerintah membuat program-program menarik sehingga pemerintah pusat akan memberikan Dana Alokasi Khusus, sehingga banyak dana yang di sedot dari Jakarta ke Daerah.
3.        Pemerintah daerah menjamin kesinambungan usaha.
4.        Politik lokal yang stabil.
5.        Pemerintah harus komunikatif dgn LSM/NGO, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
Namun sebenarnya yang penting bagi daerah adalah terciptnya lapangan kerja, serta disertai kemampuan menghadapi laju inflasi dan keseimbangan neraca perdagangan internasional. Penciptaan lapangan kerja akan berpengaruh pada peningkatan daya beli dan kecenderungan untuk menabung, dengan meningkatnya daya beli berarti penjualan atas barang dan jasa juga meningkat, artinya pajak penjualan barang dan jasa juga meningkat sehingga Pendapatan Daerah dan Negara juga meningkat. Semuanya akan di kembalikan pada masyarakat dalam bentuk proyek atau bantuan atau sejumlah intensif yang lain, sehingga lambat laun kesejahteraan masyarakat akan meningkat dan disitulah pembangunan daerah benar-benar dijalankan.
D.        Kesalahpahaman terhadap otonomi daerah
Pembaruan kebijaksanaan otonomi daerah menurut Undang – Undang No. 25 tahun 1974 yang telah dipraktekan selama 25 tahun di indonesia kemudian berubah menjadi Undang – Undang No. 22 tahun 1999 dan diperbarui kembali menjadi Undang – Undang No. 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota tentunya menimbulkan berbagai kesalahpahaman yang muncul di kalangan masyarakat karena terbatasnya pemahaman umum tentang pemerintahan daerah, dalam bukunya yang berjudul Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Drs. H. Syaukani, HR, Prof. Dr. Afan Gaffar, MA, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA menyatakan berbagai kesalahpahaman mengenai otonomi daerah yang muncul dikalangan masyarakat diantaranya adalah
1.        Otonomi daerah dikaitkan semata – mata dengan uang. Pemahaman otonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhanya, terutama di bidang keuangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun yuang bukan satu – satunya alat dalam menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan uang dapat dicari dan dengan itu pula pemerintah harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
2.        Daerah belum siap dan belum mampu. Pembuatan kebijaksanaan otonomi daerah menurut Undang – Undang No. 22 tahun 1999 dianggap tergesa- gesa karena daerah tidak / belum siap dan tidak / belum mampu. Munculnya pandangan seperti ini sebagai akibat dari munculnya kesalahpahaman yang pertama karena selama ini daerah sangat bergantung pada pusat dalam bidang keuangan, apalagi melihat kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD rata – rata di bawah 15% untuk kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
3.        Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggungjawabnya untuk membantu dan membina daerah. Kekhawatiran yang muncul dari daerah – daerah dengan adanya otonomi adalah pemerintah pusat melepaskan sepenuhnya terhadap daerah, terutama di bidang keuangan. Padahal dalam Undang – Undang No. 22 tahun 1999 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai negara, yaitu setiap pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup, apakah dalam bentuk Dana Alokasi Umum atau Dana Alokasi Khusus serta bantuan keuangan yang lainya dari pemerintah pusat pada daerah.
4.        Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja. Kesalahpahaman adanya otonomi daerah berarti bebas melakukan apa saja tanpa terbatas. Padahal otonomi yang diselenggarakan adalah dalam rangka memperkuat NKRI dan pemerataan kesejahteraan di seluruh daerah, Daerah memang dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang – undang yang berlaku secara nasional. Disamping itu kepentingan masyarakat merupakan patokan yang paling utama dalam mengambil atau menentukan suatu kebijaksanaan di daerah.
5.        Otonomi daerah akan menciptakan raja – raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi di daerah. Otonomi daerah dapat memindahkan KKN dengan menciptakan raja – raja kecil di daerah dapat terjadi apabila dilakukan tanpa kontrol sama sekali  dari masyarakat seperti yang telah dialami bangsa Indonesia oleh pemerintahan Orde Baru ataupun Orde Lama. Sedangkan otonomi daerah saat ini mendasarkan pada demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak ada lagi penguasa tunggal seperti pada masa lampau.

Konsep Masyarakat Madani
1.        Konsep Masyarakat Madani  Rasulullah SAW
Negara- kota madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi Negara-bangsa (nation-state), yaitu negara untuk seluruh umat atau warga negara, demi kemaslahatan bersama (common good). Sebagaimana termuat dalam Piagam Madina “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatun wahidah) tanpa membeda-bedakan antara kelompok keagamaan yang ada. Adapun kandungan Piagam Madinah terdiri dari: Mukadimah, Bab I Pembentukan Ummat (terdiri dari pasal 1- pasal 10), Bab II Persatuan Se-Agama ( terdiri dari pasal 11- pasal 15), Bab III Persatuan segenap warga Negara (terdiri dari pasal 16- pasal 23), Bab IV Golongan Minoritas (terdiri dari pasal 24- pasal 35), Bab V Tugas Warga Negara (terdiri dari pasal 36- pasal 38), Bab VI Melindungi Negara (terdiri dari pasal 39- pasal 41), Bab VII Pimpinan Negara (terdiri dari pasal 42- pasal 44), Bab VIII Politik Perdamaian (terdiri dari pasal 45- pasal 46), Penutup (pasal 47).
Membangun masyarakat berperadaban itulah yang dilakukan nabi selama sepuluh tahun di madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokrasi dengan landasan taqwa kepada allah dan taat kepada ajaran-ajarannya. Taqwa kepada allah dalam arti semangat ketuhanan yang maha esa, yang di dalam peristilahan kitab suci juga disebut semangat rabbaniyah (Q.S Ali Imran:79) atau Ribbiyah (Q.S Ali Imran :146). Inilah hablun minallah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.
2.        Konsep Masyarakat Madani menurut Al-Farabi
Manusia menurut Al-farabi bersifat sosial yang tidak mungkin hidup sendiri-sendiri. Manusia hidup bermasyarakat dalam bantu membantu untuk  kepentingan bersama dalam mencapai tujuan hidup. Masyarakat menurutnya terbagi menjadi dua macam yakni masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna. Masyarakat yang disebut yang pertama, yakni masyarakat kelompok besar bisa berbentuk masyarakat kota, bisa pula masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang bersatu dan bekerjasama secara internasional. Sementara itu, masyarakat yang disebut kedua, seperti masyarakat dalam keluarga atau masyarakat se desa. Masyarakat yang terbaik adalah warga masyarakat yang bekerja sama, saling membantu untuk mencapai kebahagiaan. Masyarakat seperti ini disebut masyarakat utama.
Dalam bukunya Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadilah, kota sebagai badan manusia mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain rapat hubungannya dengan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat) kepada masing-masing anggota harus diberikan kerja yang sepadan dengan kesanggupan masing-masing. Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat adalah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepala lah sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh kuat, sehat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Sehingga masyarakat menjadi makmur dan baik, dan didalamnya anggota-anggota dapat memperoleh kesenangan. Tugas kepala negara, bukan hanya mengatur negara tapi mendidik masyarakat mempunyai akhlak yang baik. Keunggulan filsafat pemerinthan al-farabi ini terletak pada tujuan pemerintahan yang hendak dicapai yakni kebahagiaan dunia dan akhirat.
1.        Karakteristik Masyarakat Madani
2.        Masyarakat egaliter, masyarakat egaliter atau masyarakat yang mengemban nilai egalitarianisme yaitu masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajiban tanpa memandang suku, keturunan, ras, agama, dan sebagainya.
3.        Penghargaan, bahwa dalam masyarakat madani adanya penghargaan kepada orang berdasarkan prestise, bukan kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya.
4.        Keterbukaan (partisipasi seluru anggota masyarakat aktif), sebagai ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik.
5.        Penegakkan hukum dan keadilan, hukum ditegakkan pada siapapun dan kapanpun, walupun terhadap keluarga sendiri, karena manusia sama didepan hukum.
6.        Toleransi dan pluralisme, tak lain adalah wujud civility yaitu sikap kewajiban pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, karena pluralism dan toleransi merupakan wujud dari “ikatan keadaban’ ( Bond of civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkunga yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaaN, betapapun perbedaan yang ada tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangan sendiri.
7.        Musyawarah dan demokrasi, merupakan unsur asasi pembentukan masyarakat madani. Nur cholis madjid menyatakan, maasyarakat madani merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah, karena musywarah merupakan interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberikan hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat orang lain.
8.        Strategi Membangun Masyarakat Madani
Satu hal yang pasti adalah pemberdayaan masyarakat madani adalah sebuah keniscayaan apabila bangsa Indonesia ini ingin bertahan dan  sekaligus menjadi bangsa yang demokratis. Adapun strategi pemberdayaan masyarakat madani di Indonesia, menurut Dawam (1999) ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia, antara lain :
1.        Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik.
Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik. Saat ini yang diperlukan adalah stabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena pembangunan lebih terbuka terhadap perekonomian global – membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari pada demokrasi.
2.        Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demokratisasi yang pada essensinya adalah memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol negara.
3.        Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.
Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang semakin luas.
Ketiga model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hikam bahwa diera transisi ini harus dipikirkan prioritas prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka keterlibatan kaum cendikia, LSM, ormas dan keagamaan dan mahasiswa, mutlak adanya.
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar