BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang
ulama mujtahid mutlak yang memiliki metode-metode istimbath hukum tersendiri.
Beliau juga ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi panutan dan sebagai
referensi bagi para pengikutnya. Para pengikut beliau, menjadikan beliau
sebagai Imam Mazhab, baik dalam masalah fiqh maupun dalam masalah ushul fiqh.
Dengan demikian, tidak salahnya jika kita memperdalam bagaimana dasar-dasar dan
metode yang beliau gunakan dalam membina hukum fiqhnya. Sehingga beliau diikuti
oleh ulama-ulama dari berbagai pelosok dunia dari zaman-kezaman.
Oleh karena itu, sebenarnya ada apa
di balik Imam Ahmad bin Hanbal? Karena masih banyak imam-imam mazhab yang lain
yang memiliki dasar-dasar dan metode istimbath tersendiri, namun hanya tinggal
nama dan sejarahnya saja. Bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dalam membangun
metode istimbathnya sehingga para ulama masih tetap teguh dalam berpegang
dengannya?
Insya allah, kami akan mengupasnya
dalam makalah ini dengan detail dan disertai dengan biografi beliau.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Imam Ahmad bin Hanbal?
2.
Bagaimana dasar pegangan dan metode istimbath Imam Ahmad bin Hanbal?
3.
Apa yang menjadi kekhasan Imam Ahmad bin Hanbal dalam berijtihad?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal
adalah seorang ulama mujtahid mutlak dari empat ulama besar yang dianut oleh
Ahlussunnah wal Jama’ah. Keempat imam ini yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Malik
bin Anas, Imam Asy-Syafi’i dan beliau, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Adapun
kisah perjalan hidup beliau adalah sebagai berikut:
1.
Nasab dan Kelahiran Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkap Imam Ahmad bin Hanbal
adalah Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal
bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin
Anas bin ‘Auf bin Qasath bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labah bin
Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il bin Qasith bin Hanab bin Qushay
bin Da’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazzar bin Ma’d bin Adnan.[1]
Ahmad bin Hambal adalah orang arab keterunan
bani Syayban dari Rabia, yang memegang
peranan penting menaklukkan Irak dan Khurasan (Afganistan), dia lahir di
Baghdad pada tanggal 1 Rabiwulawal 164 H, atau sekitar bulan Desember tahun
780. Kakeknya Hambal bin Hilal, Gubernur Saraks, berdiam di Merv di bawah
Umayyah. Ayahnya Muhammad bin Hanbal, pegawai tentara kerajaan, kemudian pindah
ke khurasan, dan wafat disana 3 tahun kemudian. Imam Ahmad menjadi yatim piatu
dalam usia muda sekali, dan Mewy6arisi perkebunan
keluarga dengan penghasilan yang lumayan.[2] Ibu
dan bapak beliau pada masa mudanya bertempat tinggal di Marwin wilayah Khurasan
(Asia Tengah).[3]
2.
Sifat-sifat Imam Amad bin Hanbal
Ibnu Dzuraih Al-Kabari berkata: “Aku
pernah mencari Ahmad bin Hanbal, setelah bertemu dan mengucapkan salam padanya,
maka aku melihat bahwa dia adalah seorang syaikh yang selalu bercelak dan
berkulit sawo matang agak kemerah-merahan.”
Dari Muhammad bin Abbas An-Nahwi,
dia berkata: “Aku pernah melihat Ahmad bin Hanbal, dia berwajah tampan,
berbadan sedang, bercelak dan jenggotnya berwana hitam. Dia mengenakan pakaian
dari kain kasar yang berwarna putih dengan sorban di kepala dan selendang di
pundaknya.”
Al-Maimuni berkata: “Aku belum
pernah melihat seorangpun yang lebih bersih bajunya, dan lebih perhatian
terhadap dirinya ketika menata rambut, kumis dan badannya daripda Imam Ahmad
bin Hanbal.”[4]
3.
Perjalanan Imam Ahmad bin Hanbal dalam Menuntut Ilmu
Al-Ulaimi berkata yang ringkasnya
adalah sebagai berikut: “Sejak kecil Ahmad bin Hanbal sudah menampakkan
tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai berbagai disiplin ilmu dan banyak
menghafal hadist, ibunya mengambilkan baju untuknya sambil berpesan, “Tunggulah
sampai terdengar adzan atau sampai orang-orang keluar diwaktu pagi.”
Dia telah menempuh rihlah (perjalanan
untuk mencari ilmu) keberbagai negara, seperti: Kufah, Basrah, Hijaz, Makkah,
Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, daerah-daerah pesisir, Morokko, Al-Jazair,
Al-Faratain, Persia, Khurasan daerah pegunungan serta kelembah-lebah dan lain
sebagainya.
Yahya berkata: “Ketika kami pergi
berguru kepada Abdurrazzaq di Yaman, maka terlebih dahulu kami melaksanakan
ibadah haji. Disaat aku sedang thawaf, tiba-tiba aku melihat Abdurrazzaq juga
sedang berthawaf sehingga aku lalu mendekatinya dan mengucapkan salam
kepadanya. Setelah aku perkenalkan Ahmad bin Hanbal kepada Abdurrazzaq, maka
Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad bin hanbal, “Semoga Allah memberikan umur
panjang dan menetapkan langkahmu dalam kebaikan. Sesungguhnya telah sampai
kepadaku kabar tentang dirimu yang kesemuanya adalah kabar baik.”
Aku (Yahya) katakan kepada Ahmad bin
Hanbal. “Allah telah mendekatkan apa yang menjadi tujuan kita. Apabila kita
meminta hadist riwayat Abdurrazzaq di sini, maka perbekalan kita tentu tersisa banyak
daripada kita menemuinya dirumahnya yang akan menelan perjalan satu bulan.”
Ahmad bin Hanbal lalu menjawab, “Demi
Allah, aku tidak akan merubah niatku. Dari bahgdad aku telah berniat untuk
mendengarkan hadist dari abdurrazzaq di Shan’a. Kita harus menempuh perjalan
untuk bertemu Abdurrazza disana.”[5]
4.
Guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal
Sebagaimana telah disebutkan
Al-Khathib diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah Ismail bin Ulaiyah,
Husyaim bin Busyair, Hammad bin Khalid Al-Khayyad, Mansur bin Salamah
Al-Khaza’i, Al-Mudhaffar bin Mudrak, Ustman bin Umar bin Faris, Abu An-Nadhr
Hasyim bin Al-Qasim, Abu Said Maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid, Yazid bin
Harun Al-Wasithiyin, Muhammad bin Abi Adi, Muhammad bin Ja’far Ghundar, Yahya
bin Sa’id Al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi Bisyr bin Al-Mufadhdhal, dan
Muhammad bin Bakar Al-Barsani.
Juga tercatat sebagai gurunya; Abu
Dawud Ath-Thayyasali, Ruh bin Ubadah, Waqi’ bin Al-Jarrah, Abu Muawiyah,
Adh-Dharir, Abdullah bin Numair, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin
Salaim, Ath-Tha’ifi, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ibrahim bin Sa’ad
Az-Zuhri, Abdurrazzaq bin Hammam, Abu Qurrah bin Thariq, Al-Walid bin Muslim,
Abu Mashar Ad-Dimasyqi, Abul Yaman, Ali bin Ayyasy dan Basyr bin Syuib bin Abi
Hamzah Al-Himsyiyin.[6]
5.
Keilmuan dan Karya Imam Ahmad bin Hanbal
Menurut Imam Abu Zu’ah, Imam Ahmad
bin Hanbal menghafal 1.000.000 (satu juta) hadist. Kemudian hadist-hadist yang
beliau hafal itu sesudah disaring dan disaring lagi bermacam-macam lagi, maka
yang dituliskan dalam kitab Musnadnya adalah sebanyak 40.000 (empat
puluh ribu) hadist, tetapi kalau dikurangi dengan hadist-hadist yang dituliskan
berulang-ulang, maka yang tinggal adalah sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu)
hadist.[7]
Dia juga mempunyai karya kitab yang
lain semisal: At-Tafsir yang memuat 120.000 (seratus dua puluh ribu)
hadist, An-Nasikh wa fi Al-Qur’an, Jawabat Al-Qur’an, Al-Manasik, Al-Kabir
wa Ash-Shaghir dan lain-lain.[8]
6.
Dakwah dan Ujian yang Dialami Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang
yang memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. beliau sangat
membenci orang-orang yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad juga
menyuruh kepada setiap kaum muslimin untuk tetap diatas Sunnah dan menjauhi
bid’ah.
Imam Ibnu Baththah menuturkan dari
Ubaidillah bin Ahmad, katanya: “Berpegang teguhlah kamu dengan Sunnah Nabi
Saw. Allah akan memberikan manfaat kepadamu. Dan hidarilah perdebatan dalam
masalah agama, karena orang-orang yang menyukai ilmu kalam tidak akan beruntung.
Orang yang membuat perdebatan dalam kalam, ujung-ujungnya adalah membuat
bid’ah, karena ilmu kalam tidak membawa kepada kebaikan. Saya tidak menyukai
ilmu kalam, apalagi ikut perdebatan.
Kamu harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.
pendapat-pendapat para shahabat, fiqih yang dapat kamu manfaatkan.
Tinggalkanlah perdebatan dan pendapat orang-orang yang hatinya bengkok.
Orang-orang yang saya temui ternyata mereka tidak pernah mengenali para ahli
kalam, mereka juga menjauhi para ahli kalam. Kalam itu adalah akhir-akhirnya
tidak baik. Semoga Allah menjaga kita dari fitnah (ujian hati), menyelamatkan
kita dari kehancuran.”[9]
Pada pemerintahan Al-Ma’mun
(Dinasti Abbasiyah), beliau dipenjara, karena berbeda pendapat dengan penguasa
dalam hal apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan.[10] Al-Muktasim
berkata: “Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Al-Qur’an
adalha firman Allah yang Qadim dan bukan makhluk. Allah berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah.” (Q.S.
At-Taubah: 6)
Al-Ma’mun bertanya lagi, “Apakah kamu
mempunyai hujjah yang lain?” Dia menjawab, “Ada, yaitu firman Allah yang
berbunyi:
الرَّحْمَنُ. عَلَّمَ الْقُرْآنَ
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang
telah mengajarkan Al Qur'an.” (Q.S. Ar-Rahman: 1-2)
Dalam ayat ini
Allah tidak berfirman, “(Tuhan) Yang Maha
Pemurah, Yang telah menciptakan Al Qur'an.” Allah juga berfirman:
يس. وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ
“Yaa Siin. Demi Al Qur'an yang penuh hikmah.”(Q.S. Yasiin: 1-2)
Dalam
ayat ini Allah tidak berfirman, “Yasiin. Demi Al-Qur’an yang makhluk.”[11]
7.
Murid-Murid Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal adalah ulama besar
yang memiliki ilmu yang banyak, baik dalam ilmu hadist, ilmu fiqih dan disiplin
ilmu lainnya. Orang-orang berbondong-bondong untuk menuntut ilmu kepada beliau.
Al-Mizzi menyebutkan dalam kitab Tahzib
Al-Kamal bahwa terdapat 88 (delapan puluh delapan) diantara murud Imam Ahmad bin Hanbal yang
mererupakan guru-gurunya adalah, yaitu: Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Waqi’
bin Al-Jarrah, Yahya bin Adam, dan Yazid bin Harun. Orang-orang seangkatan
dengan dirinya adalah; Ali Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Duhaim Asy-Syami, Ahmad
bin Abi Al-Harawi dan Ahmad bin Shalih Al-Mashri.[12]
Termasuk para muridnya adalah; Imam
Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Adam, dan Abu dawud. Pengikut mazhab hanbali
yang terkenal adalah: Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.[13]
8.
Detik-detik Wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal
Shaleh berkata: ketika hari pertama
bulan Rabiul Awal tahun 241 Hijriyah, hari sabtu ayahku merasakan demam yang
tinggi sehingga ketika tidur dia susah sekali bernafas. Aku sudah mengetahui
penyakit yang dikeluhkannya karena aku selalu merawatnya ketika kambuh.
Hari ini adalah hari selasa,
sementara ia meninggalnya adalah hari jum’at. Ayah berkata kepadaku, “Wahai
shaleh,” lalu aku menjawabnya, “Iya. Ada apa ayah?” Dia berkata
lagi, “Janganlah kamu menjadi berubah sedih baik di rumahmu maupun di rumah
saudaramu.” Kemudian Al-Fath bin Sahl yang ada didepan pintu untuk
menjenguknya merahasikan kedatangannya, lalu juga Ali bin Al-Ja’d datang dan
juga merahasiakan kedatangannya dan akhirnya banyak orang yang datang.
Waktu itu ada seorang tetangga kami
datang membesuk, lalu ayahku berkata, “Sesungguhnya aku melihatnya
menghidup-hidupkan sunnah.” Ayahku gembira dengan kedatangannya sehingga
dia menggerak-gerakkan bibirnya. Sampai waktu itu, ayahku masih melakukan
shalat dengan berdiri dan aku membantunya. Dia melaksanakan ruku’, sujud dan
juga kembali dari ruku’ dengan sadar betul, karena akalnya masih normal.
Namun pada malam jum’at, tanggal 12
rabiul awal, tepatnya selang dua jam setelah siang hari tampak, ayahku
menghembuskan nafas terakhinya.[14]
B.
Dasar Pegangan dan Metode Istimbath Imam Ahmad bin Hanbal
Sabagaimana para imam lainnya dalam
berijtihad, mereka menggunakan dasar-dasar pegangan dalam berijtihad, teruma
adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. karena kedua landasan ini tidak
dapat dipisahkan dalam menetapkan sebuah hukum syar’i. Demikian dengan Imam
Ahmad bin Hanbal beliau juga memiliki dasar-dasar pegangan dan metode ijtihat
tersendiri dalam menetapkan sebuah hukum syar’i.
Dasar atau sumber dalam ijtihad
mazhab hanbali adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah, terutama yang marfu’, yaitu bersumber langsung
sampai Rasulullah Saw.
3.
Qaul shahabi,
yaitu pendapat shahabat yang tidak diperselisihkan, atau menurut ulama lain
disebut dengan ijmak shahabat.
4.
Hadist Mursal, yaitu
hadist yang lemah kualitasnya.
5.
Qiyas, sebagai
alternatif terakhir jika tidak ditemukan dalil melalui sumber-sumber
sebelumnya.[15]
1.
Al-Qur’an
a.
Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, kata Al-Qur’an
adalah mashdar, kata dasar, seperti halnya qira’ah. Contoh, qara’tul
kitaba qira’atan wa qur’anan. Contoh
lain dalam firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Sesungguhwqnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah: 17).
Qur’anahu
artinya qira’atuhu, yaitu membaca.
Secara terminologi, Al-Qur’an ialah
kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw. sebagai wahyu,
ditulis dalam mushaf, terjaga didalam dada, dibaca lisan, didengar telinga,
dinukil secara mutawatir kepada kita, tidak ada keraguan di dalamnya,
dan membacanya bernilai ibadah.[16]
b.
Kedudukan Al-Qur’an menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Para ulama ijmak bahwa Al-Qur’an
berkedudukan paling tinggi dalam ajaran islam, yakni menempatkannya pada sumber
pertama dalam mengambil suatu hukum dari permasalahan yang ada. Tidak boleh
menetapkan sebuah hukum tanpa merujuk kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an
bersifat universal, absolut dan fundamental. Imam Ahmad bin Hanbal, beliau
berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, dengan demikian Al-Qur’an memiliki
posisi yang utama, karena tidak akan terjadi kesalahan dan pertentangan
didalamnya, dan tidak boleh mengkritisi Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an bukan
makhluk. Maka beliau memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
menetapkan hukum.
2.
Sunnah Rasulullah Saw.
a.
Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti jalan
yang tempuh, adat kebiasaan seseorang, baik terpuji maupun tercela (الطريقة المسلوكة). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nur Al-Din
‘Athar:
السيرة
والطريقة المعتادة حسنة كانت أو قبيحة
“Adat kebiasaan yang baik ataupun yang jelek”
Sementara itu
dalam ayat Al-Qur’an dinyatakan bahwa:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ
سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu:
"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni
mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi
sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang
dahulu.” (Q.S.
Al-Anfal: 38)
Sementara
pengertian sunnah menurut para muhadditsin adalah:
كل ما أثر عن الرسول صلى
الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية
أو خلقية سيرة سواء
أكان ذلك قبل البعثة أو بعدها
“Segala yang bersumber dari Rasulullah Saw. baik berupa
perkataan, perbuatan , taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik
sebelum menjadi Rasul maupun sesudahnya.”[17]
b.
Sunnah sebagai pegangan menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan
bahwa mencari apa yang ada dalam Al-Qur’an, haruslah melalui sunnah. Orang yang
mencari hukum dalam Al-Qur’an tidak melalui as-sunnah adalah sesat jalannya.
Hal itu disebabkan oleh:
1.
Al-Qur’an mengharuskan kita mengikuti rasul, mengikuti Rasul adalah
mengikuti sunnahnya.
2.
Diantara hadist-hadist, ada hadist yang mengharuskan kita mengikuti
Rasul dan melarang dan melarang kita untuk melihat Al-Qur’an saja dengan
membelakangi sunnah.
3.
Hukum yang telah diijma’i oleh kaum muslimin banyak yang diambil
dari sunnah, maka meninggalkan sunnah berarti menghilangkan 9/10 dari hukum
islam.[18]
Dengan demikian, menurut Imam Ahmad
bin Hanbal, mengikuti sunnah adalah sebuah kewajiban dalam agama ini, karena
makna dari dua kalimat syahadat adalah pertama, untuk mengikuti petunjuk Allah.
Kedua, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Saw. Allah telah memerintahkan
untuk mengikuti Rasulullah, sebagaimana Allah berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S.
An-Nisaa’: 65)
Allah Ta’ala juga berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى
فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Q.S. An-Nisaa’: 80)
Oleh
sebab itu, Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan Sunnah sebagai pegangan dalam
menetapkan sebuah hukum.
c.
Kedudukan Sunnah menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Peran As-Sunnah dalam pandangan Imam
Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1.
As-Sunnah sebagai Pentafsir Al-Qur’an
Imam Ahmad bin Hanbal menandaskan
bahwa As-Sunnah adalah pentafsir Al-Qur’an. Maka tidak ada kemungkinan ada
pertentangan antara dhahir Al-Qur’an dengan As-Sunnah, karena dhahir Al-Qur’an
harus disesuaikan dengan kandungan As-Sunnah.
Imam Ahmad bin Hanbal telah menyusun
sebuah Risalah untuk menolak pendirian sebagian orang yang hanya
mengambil dhahir Al-Qur’an, dan meninggalkan As-Sunnah. Dari uraian Imam Ahmad
bin Hanbal dalam Ar-Risalah itu, kita dapat menanggapi hal-hal tersebut
dibawah ini:
a.
Dhahir Al-Qur’an tidak didahulukan atas As-Sunnah
b.
Rasulullah adalah pentafsir Al-Qur’an, tidak boleh seseorang
menafsirkan Al-Qur’an tanpa As-Sunnah.
c.
Tafsir para shahabat yang harus kita terima, dalam menafsirkan
Al-Qur’an, apabila kita tidak menemukan atsar Nabi Saw., sebab mereka
menyaksikan Asbab An-Nuzul Al-Qur’an dan mengetahui sunnah Rasulullah Saw.
dengan baik.[19]
2.
As-Sunnah sebagai produk hukum
Dalam menetapkan sebuah hukum, Imam
Ahmad bin Hanbal sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw. Apabila suatu permasahalan timbul dalam masyarakat, beliau terlebih dahulu
mencarinya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ditemukan, maka akan melihat kepada
As-Sunnah. Seperti menetapkan hukum wajib, sunat, makruh, haram dan lain
sebagainya.
d.
Macam-Macam Hadist menurut Kuantitasnya
Para ulama membagi hadist ditinjau
dari sanad kepada: mutawatir, manshur atau mustafild, ahad dan
hadist yang tidak muttasil.
1.
Hadist Mutawatir
Para ulama mendefinisikan hadist mutawatir adalah sebagai berikut:
مَايُرْوَى
عَنْ قَوْمٍ لَا يُحصَى عَدَدُ هُمْ وَلَا يَتُوَ هَّمْ تًوَ اَطَؤُ هُمْ عًلى
الكَذِبِ بِكَثْرَتِهِمْ وَعَدَا لَتِهِمْ وًتَبَا يُنِ امَا كِنِهِمْ، ويَدُوْ مُ هَذَا
الحَدُّ فَيَكُوْنُ اَخِرُهُ وَأَوْ سَطُهُ كَطَرَ فَيْهِ
“Yang diriwayatkan dari segolongan orang yang tidak terbatas
bilanganya dan tidak diduga mereka bersepakat membuat kedustaan, karena mereka
berjumlah banyak, serta adil dan berbeda-beda tempat. Batas ini terus menerus
diperoleh hingga tingkat terakhir dan tingkat pertengahan sama dengan awal dan
akhirnya.”
Hadist
mutawatirbil ma’na, diakui
banyak jumlahnya, sedangkan mutawatir lafadhzi sedikit sekali jumlahnya. Hadist
mutawatir, memfaedahkan yakin.
2.
Hadist Masyhur (mustafidl)
ما
يَكُوْنُ الطَبَقَةُ الأُوْلَى، طَبَقَةُ الصَّحَابَةِ أوِ الثَّا نِيَّةُ
طَبَقَةُ التَّا بِعِيْنَ فِيْهَا أحَادًا ثُمَّ تَنْتَشِرُ بعد ذلكَ وينْقُلُهَا قَوْمٌ لَا
يَتَوَهَّمُ تَوَا طَؤُ هُمْ عَلَى الكَذِبِ
“Riwayat tingkat pertamanya adalah shahabat
atau yang tingkat kedua tabi’in, terdiri atas beberapa orang saja, kemudian
barulah tersebar dan dinukilkan oleh segolongan orang yang tidak disangka
bersepakat membuat kedustaan.”
3.
Hadist Ahad
Menurut Imam Asy-Syafi’i, hadist
ahad adalah
كل
خَبَرٍ يَرْوِيْهِ الوَاحِدُ أوْالإثْنَانِ أوْ أكْثَرَ مِنْ ذَالكَ ولا
يَتَوَافَرُ فِيْهِ سَبَبُ الشُهْرَةِ
“Segala hadist yang diriwatkan oleh seorang saja atau dua orang
atau lebih dari itu tetapi tiada sempurna padanya sebab kemasyhurannya.”
Menyandarkan hadist ini kepada Rasul adalah atas dasar yakin.
Karenanya semua para ulama menggunakan hadist ahad dalam bidang amaly, tidak
dalam bidang ‘aqidah. Demikianlah pendapat jumhur terhadap hadist ahad.
Imam Ahmad bin Hanbal mempergunakan hadist ahad dalam kedua bidang bidang ini,
baik dalam bidang amal maupun dalam bidang i’tiqad.
Imam Ahmad bin
Hanbal dari Risalahnya kepada musaddad ibn Musarhad berkata:
المزان
حقٌّ، والصراط حقٌّ، والإيمان بالحوض، والشفاعةُ حقٌّ، والإيمان بالعرشِ والكرسي،
والإيمان بملكِ الموتِ وأنه
يقْبضُ الأرواحَ، ثم يردُّ الأرواحَ إلى الأَ جْسادِ، والإيمان بالنفحِ فى الصورِ،
والدّجّالُ خارجٌ فى هذه الأُمّةِ وينْزِلُ
عيسَ ابن مريم فيقتلهُ
“Timbangan itu benar, titian shirathal mustaqim itu benar, iman
kepada kolam dan syafa’at itu benar, iman kepada arsy dan kursi dan iman kepada
malaikat maut dan bahwa malaikat itu menggenggap jiwa kemudian mengembalikannya
kepada tubuh, iman kepada tiupan sangka kala, dajjal akan keluar dalam kalangan
ummat ini dan akan turun Nabi Isa ibn Maryam lalu membunuh dajjal itu.”
Kebanyakan kepercayaan yang tersebut ini ditemukan dalam
hadist-hadist ahad.[20]
e.
Macam-Macam Hadist menurut Kualitasnya
1.
Hadist Shahih
Secara bahasa, arti shahih adalah
sehat. Lawan dari kata saqiyun (sakit). Shahih juga berarti haq (benar),
lawan dari kata bathil. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadist,
hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya, dinukilkan/
diriwayatkan dari orang (perawi) yang adil dan dhabit (kuat hafalannya),
selamat dari syadz dan ‘illat qhadhihah (cacat yang dapat mencela
hadist itu sendiri).
2.
Hadist Hasan
Secara bahasa, hasan berarti “Yang
diinginkan/ disenangi.” Sedangkan menurut terminology ilmu hadist, hadits hasan
dalam pandangan ahli hadist adalah hadist yang sanadnya bersambung, para
perawinya bersifat ‘adil, tetapi kurang sedikit sifat kedhabitannya
(khaffif Al-Dhabit), tidak terdapat syadzudz dan ‘illat.
3.
Hadist Dha’if
Secara bahasa, dha’if artinya
lemah, lawan dari kata qawy yang berarti kuat. Dalam istilah hadist,
hadist dha’if adalah hadist yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat
hadist shahih ataupun hadist hasan. Definisi lain mengatakan,
hadist dha’if adalah hadist yang
sanadnya terputus atau diantara perawinya terdapat perawi yang cacat.[21]
3.
Qaul Shahabi (perkataan para shahabat)
a.
Perngertian Qaul Shahabat
Qaul shahabi adalah pendapat atau
fatwa yang dikeluarkan oleh para shahabat mengenai suatu permasalahan.
Sedangkan shahabat adalah orang yang hidup pada zaman Rasulullah dan beriman
kepada Rasulullah sampai ia wafat masih dalam keadaan beriman.
b.
Kedudukan Qaul Shahabat Menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal mempelajari koleksi
fiqh yang diriwauatkan dari Rasulullah, mempelajari hukum-hukum yang dinukilkan
dari Rasul, mempelajari hukum-hukum dan keputusan-keputusan shahabat, baik yang
diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. maupun dari ijtihad. Majmu’ah
itu semuanya madrasah fiqhiyah yang dipelajari Ahmad dalam menginstimbatkan
hukum, dengan ushul-ushul yang telah dipelajari dari Imam Asy-Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hanbal memperoleh
sekumpulan besar dari Majmu’ah Al-Fiqhiyah yang diriwatkan dari Nabi dan
dari shahabat. karenanya fatwa para shahabat dipandang hujjah yang mengiringi
hadist Rasul, dan mendahulukan hadist mursal dan hadist dha’if atas qiyas.
Semua ulama menerangkan Mazhab Ahmad bin Hanbal menandaskan bahwa Imam Ahmad
bin Hanbal mangamalkan fatwa shahabat.[22]
c.
Qaul Shahabat Menurut Imam Ahmad bin Hanbal
1.
Fatwa Shahabat
Dalam fatwa shahabat ini, Imam Ahmad
bin Hanbal membagi kepada dua pembagian:
a.
Fatwa shahabat yang tidak diketahui ada yang menyalahinya
Jika ada seorang shahabat memberikan
fatwa, kemudian tidak diketahui apakah ada shahabat lain yang menyelisihi
shahabat ini, maka ini tidak dikatakan ijmak. Imam Ahmad bin Hanbal hanya
mengatakan:
لَاأَعْلَمُ فِيْهِ شَيْئًا يَدْفَعُهُ
“Aku tidak mengetahui terhadapnya sesuatu yang
menolaknya”
Oleh karenanya,
Imam Ahmad bin Hanbal menerima Shahadatul ‘abdi (persaksian seorang
budak), Anas mengatakan:
لَاأَعْلَمُ
اَحَدًارَدَّ شَهَاةَالعَبْدِ
“Aku tidak mengetahui ada seorang yang menolak kesaksian hamba
(budak)”
b.
Pendapat salah seorang shahabat
Apabila para shahabat berbeda
pendapat, maka Imam Ahmad bin hanbal memilih salah satunya yang lebih dekat
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Jika tidak dapat memilih salah
satunya, tidak dapat memilih mana pendapat yang lebih dekat dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah Saw., maka Imam Ahamad bin Hanbal meriwayatkan kedua-dua
pedapat tersebut.[23]
4.
Hadist Mursal dan hadist dha’if
a.
Pengertian Hadist Mursal dan hadist da’if
Hadist mursal adalah hadist yang
terputus sanadnya, sanadnya hanya sampai shahabat atau tabi’in, tetapi ini
dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw. Imam Ahmad bin Hanbal mengambil hadist
mursal ini hanya dari orang-orang yang sudah dipercaya, bahwa ia tidak pernah
berbohong, dan tidak mungkin ia berbohong.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas,
bahwa hadist dha’if adalah hadist yang lemah periwatannya. Akan tetapi, yang
dimaksud dengan hadist dhai’if disini ialah hadist dalam tingkatan hasan.
Karena pada zaman Imam Ahmad bin Hanbal belum ada ada istilah hadist hasan.
Maka yang dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan
bukan hadist dhai’if yang dianggap sekarang.
Mansur, S.Ag., M.Ag, mengatakan:
istilah hadist hasan baru dikenal setelah masa Imam Turmudzi dengan kitab Sunannya.
Pada masa Al-Bukhari dan Muslim hanya dikenal dua istilah katagori hadist,
shahih dan dha’if.[24]
Dengan demikian, yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan
ligharih, yakni hadist yang dahulunya dha’if, tetapi setelah masa Imam
Ahmad bin Hanbal dikatagorikan hadist ini dalam hasan ligharih. Maka
yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah hadist hasan bukan hadist
dha’if.
b.
Kedudukan Hadist Mursal dan Hadist Dha’if menurut Imam Ahmad bin
Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal berlaku keras
dalam menerima hadist yang berkenaan dengan halal dan haram. Dia hanya menerima
hadist dha’if hanya dalam bidang targhib, fadhail, maghazi, dan tarhib.
Imam Abu Dawud menuturkan:
يُعْمَلُ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ في
بَابٍ حَدِيْثٌ صَخِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ
“Hadist dha’if diamalkan apabila tidak ada dalam bab yang dihadapi
susuatu hadist shahih atau sesuatu hadist hasan.”
Pendapat ini yang
digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam menetapkan sebuah hukum, apabila ia
tidak menemukan pendapat para shahabi.[25] Dengan
demikian pendapat shahabi lebih di dahulukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
ketimbang hadist dha’if.
Para ulama telah
bersepakat bahwa hadist dha’if tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
suatu hukum. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hadist dha’if dapat diamalkan
dalam masalah nasihat, tetapi pendapat ini lemah. Jadi, yang perlu dicatat
disini adalah bahwa hadist dha’if yang yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad
bin Hanbal adalah hadist yang telah dihukumi hasan pada zaman sekarang. Para
ulama ijmak, bahwa hadist hasan dapat dijadikan hujjah, maka ini tidak
bertentangan dengan yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimaiyah, berkata: “Hadist dha’if yang diterima oleh Imam Ahmad bin
Hanbal ialah hadist yang dapat ditingkatkan ke derajat hasan.”[26]
5.
Qiyas
a.
Pengertian Qiyas
Qiyas dalam fiqh islam adalah:
اِلحَقُ أمْرٍ
غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَي حُكْمِهِ بِاأمْرِاخَرَ مَنْصُوْصٍ علي حُكْمِهِ
لاِشْتِرَ ا كِهِ في الوَصْفِ المُجِبِ للحُكْمِ
“Menghubungkan sesuatu urusan yang tidak di
nashkan hukumnya dengan urusan lain yang di nashkan hukumnya, lantaran keduanya
sama pada sifat yang diwajibkan hukum itu.”
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
إن القياس لفظٌ مجملٌ يدخل فيه
القياس الصحيحُ والقياسُ الفاسدُ، فالقياس الصحيح هوالذ ى وزن به الشريعة، وهو الجمع بين المتما ثلين والفرقُ بين
المختلفين، والأول قياس الطرد، والثان قياس العكس
“Qiyas adalah lafal yang mujmal, masuk kedalamnya qiyas yang benar
dan qiyas yang fasid. Qiyas yang benar ialah yang dibenarkan syara’, yaitu
mengumpulkan antara dua yang serupa dan memisahkan dua yang berlawanan.
Pertama, dinamakan qiyasuth hardi, dan yang kedua, dinamakan dinamakan qiyasul
‘aksi.”[27]
b.
Kedudukan Qiyas menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qadamah dalam kitab Ar-Raudhah
berkata:
لايستغني أحد عن قياس
“Tidak ada seorangpu yang tidak perlu kepada
qiyas”
Jika ada yang
mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menggunakan qiyas, maka qiyas yang
ditolak oleh beliau ialah qiyas dimana pada saat tersebut terdapat dalil yang
menjelaskannya.
Imam Ahmad bin
Hanbal, walaupun tergolong kepada ulama yang menggunakan qiyas, namun ia tidak
banyak menggunakannya. Ia hanya menggunakan qiyas benar-benar pada waktu
darurat., tidak ada dalil-dalil lain yang menjelakannya. Dalam hal ini Imam
Ahmad bin Hanbal mengikuti Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Al-Khalil deterangkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
سألت
الشافعي عن القياس، فقا: إنما يصار راليه عند الضرورة
“Saya bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang qiyas, maka beliau
menjawab, hanya sanya dipegangi qiyas itu ketika darurat.”[28]
c.
Rukun-Rukun Qiyas
1.
Asl (Maqis alaih), yaitu masalah yang sudah ada ketetapan
hukumnya atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadist.
Contoh: mengeluarkan zakat fitrah dengan gandung satu sha’.
2.
Furu’ (Maqis),
yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya.
Contoh: berzakat fitrah dengan jagung.
3.
Hukm Asl,
yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
Contoh: zakat fitrah dengan gandung adalah boleh, berdasarkan
hadist:
“Bahwasanya Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah kepada ummat
islam pada bulan Ramadhan (sebanyak) satu sha’ kurma atau gandung untuk setiap
orang, baik yang merdeka atau budak,
laki-laki maupu perempuan.”
(H.R. Muslim).
4.
Illat,
yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat sifatnya nyata dan
dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.
Contoh: terdapat kesamaan sifat antara gandung dengan jagung, yaitu
fungsinya sebagai makanan pokok bagi masyarakat. Keduanya termasuk jenis
biji-bijian yang mengenyangkan.[29]
Selain dari lima
dasar dan metode ini, ada juga beberapa dasar dan metode istimbath yang
digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu:
6.
Istishhab
Landasan qiyas yang digunakan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal adalah istishhab. Menurut Asy-Syaukani, istishhab
adalah sebagai berikut:
معني
الإستصحابِ، أنّما ثبت في الزمان الماصنى فاالأصل بقاؤه في الزمان الحاضر
والمستقبل
“Arti istishhab adalah bahwasanya apa yang telah ada di masa yang
telah lalu, maka menurut hukum asal dipandang masih ada di masa sekarang dan
dimasa yang akan datang.”[30]
Ulama membagi
metode istishhab kedalam lima katagori:
a.
Istishab hukmi al-ibahah al-asliyyah, yaitu menetapkan bahwa hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia
adalah boleh, selama belum ada dalil yang menyatakan keharamannya. Misalnya:
tanah dihutan adalah milik bersama ummat manusia sampai ada bukti ada
kepemilikannya.
b.
Istishab al-wasful tsabit li al-hukmi hatta yutsbitu khilafah, yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum
yang berbeda dengan itu. Musalnya: suatu benda milik seseorang sampai ada
transaksi yang mengakibatkan berpindah kepada orang lain.
c.
Istishhab
terhadap dalil yang bersifat umum sampai ada dalil yang mengkhususkannya atau
menasakhnya. Misalnya: perintah wajibnya puasa (Al-Baqarah: 183), maka wajib
kepada ummat islam dan sebelum islam, selama belum ada nash yang menghapusnya.
d.
Istishhab
terhadap hukum akal sampai datangnya hukum syara’. Misalnya: dalam masalah
gugatan. Seorang penggugat wajib mengemukakan saksi dan bukti gugatannya, jika
tidak, maka tergugat akan terbebas dari gugatan.
e.
Istishhab terhadap
hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijmak. Misalnya: orang yang hendak
shalat namun tidak menemukan air wudhu’, kemudian dia bertayamum. Ketika sedang
shalat ia melihat air, maka ulama Hanifiyah dan Hanbilah berpendapat, orang
tersebut harus membatalkan shalatnya untuk berwudu’.[31]
7.
Marsalah Mursalah
Ulama ushul menetapkan bahwa Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada maslahat. Imam Ahmad bin Hanbal
melihat bahwasanya fatwa para shahabat didirikan atas dasar maslahat. Tindakan
shahabat ini dituruti Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mendasarkan Siyasah
Syar’iah kepada maslahat. Fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hanbal yang
berdasarkan siyasah syar’iah banyak benar, seperti menambah bilangan cambukan
atas si peminum arak, dan mendera orang yang mecela shahabat.
Imam Ahmad bin
Hanbal membolehkan pemerintah memaksa orang yang mempunyai rumah, memberi
tempat dirumahnya kepada orang yang tidak mempunyai tempat tinggal
(gelandangan). Dan boleh juga mengendalikan harga barang. Maslahat yang
dihargai Imam Ahmad bin Hanbal adalah maslahat yang sesuai dengan maksud syara’
dan tidak berlawanan sesuatu dasar atau dengan suatu dalil, dan maslahat itu
dapat pula dijangkau oleh akal, diterima oleh ahli-ahli akal, serta tujuan
mengambilnya haruslah untuk menghindarkan kesulitan magi masyarakat.[32]
8.
Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa saddudz dzari’ah
berarti melarang jalan menuju kepada sesuatu.
Para ulama mendefinisikannya dengan, mencegah sesuatu yang menjadi jalan
kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada
kerusakan. Jika ada suatu perbuatan baik, namun dapat terjadinya kerusakan,
maka menurut metode ini perbuatan tersebut harus dicegah dan dilarang.[33]
Beberapa contoh fatwa Imam Ahmad bin
Hanbal dalam menggunakan metode saddudz dzari’ah adalah:
1.
Imam Ahmad bin Hanbal tidak menyukai orang yang berbelanja pada
penjual (toko) yang sengaja memurahkan harga barangnya untuk menghalangi para
pembeli pergi ke toko sebelahnya.
2.
Imam Ahmad bin Hanbal melarang mejual senjata kepada kaum pembegal.
Masuk kedalamnya segala penjualan yang menghasulkan maksiat, seperti menjual
sentaja untuk memerangi ummat, kaum bughah (pemberontak), menyewakan
(toko/rumah) untuk tempat judi, dan seperti mengadakan tempat-tempat hiburan
yang diharamkan.[34]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Imam Ahmad bin Hanbal lahir di
Baghdad pada tangga l1 Rabiwulawal 164 H. Beliau berangkat ke Kufah, Basrah,
Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, daerah-daerah pesisir, Morokko,
Al-Jazair, Al-Faratain, Persia, Khurasan daerah pegunungan serta kelembah-lebah
dalam rangka menuntut ilmu. Guru-guru beliau adalah Ismail bin Ulaiyah, Husyaim
bin Busyair, Hammad bin Khalid Al-Khayyad, Mansur bin Salamah Al-Khaza’i, Imam
Asy-Syafi’i dan lain-lain.
Dia juga mempunyai karya-karya
terkenal, seperti: At-Tafsir yang memuat 120.000 (seratus dua puluh
ribu) hadist, An-Nasikh wa fi Al-Qur’an, Jawabat Al-Qur’an,
Al-Manasik, Al-Kabir wa Ash-Shaghir dan lain-lain.
Murid-murid beliau adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya
bin Adam, dan Abu dawud. Pengikut mazhab hanbali yang terkenal adalah:
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Imam Ahmad bin Hanbal
wafat pada malam jum’at, tanggal 12 rabiul awal.
Adapun Dasar dan metode yang
beliau gunakan dalam mengistimbathkan adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah, terutama yang marfu’, yaitu bersumber langsung
sampai Rasulullah Saw.
3.
Qaul shahabi,
yaitu pendapat shahabat yang tidak diperselisihkan, atau menurut ulama lain
disebut dengan ijmak shahabat.
4.
Hadist Mursal, yaitu
hadist yang lemah kualitasnya.
5.
Qiyas, sebagai
alternatif terakhir jika tidak ditemukan dalil melalui sumber-sumber sebelumnya.
6.
Istishhab.
7.
Marsalah Mursalah.
8.
Saddudz Dzari’ah.
B.
Saran dan Kritik
Kami menyadari
dalam penulisan makalah ini banyak sekali kesalahan, baik dari penulisan dan
tata bahasa yang digunakan. Maka kami meminta kepada seluruh para pembaca agar
mengkritisi dan memberikan saran-saran yang membangun guna untuk memperbaiki,
sehingga kedepan menghasilkan makalah yang lebih ilmiah.
Syaikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Irham, Lc, dkk, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jilid I, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 2006.
DR. Muhammad
bin Abdurrahman Al-Khumais, Aqidah Imam Empat, terj. Ali Musatafa Yaqub,
MA, Riyadh: Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Saudi Arabia,
1430 H.
DR. Ali
Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di
Indonesia, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.
Syaikh. DR.
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Kitab Tauhid, terj. Syahirul Alim Al-Adib, Lc,
Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Mansur, S.Ag.,M.Ag,
Takhrij Al- Hadist: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Fakultas Syariah
dan Hukum Press, 2011.
Teungku Hasbi
Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka Riski
Putra, 1997.
T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam Membina Hukum
Islam, jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
[1]
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Irham, Lc,
dkk (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 434.
[2]
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
hlm. 110.
[3]
K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jilid I (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2006), hlm. 23.
[4]
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. 435.
[5]
Ibid., hlm. 435-436.
[6]
Ibid., hlm. 459.
[7]
K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama, hlm. 23.
[8]
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm.460.
[9] DR.
Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais, Aqidah Imam Empat, terj. Ali
Musatafa Yaqub, MA (Riyadh: Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam
Saudi Arabia, 1430 H), hlm. 137-138.
[10] DR.
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di
Indonesia (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hlm. 162.
[11]
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm.452.
[12]
Ibid. 460.
[13] DR.
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 162.
[14] Syaikh
Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm.463-464.
[15] DR.
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 162.
[16]
Syaikh. DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Kitab Tauhid, terj. Syahirul Alim
Al-Adib, Lc (Jakarta: Ummul Qura, 2014), hlm. 205-206.
[17] Mansur,
S.Ag.,M.Ag, Takhrij Al- Hadist: Teori dan Metodologi (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum Press, 2011), hlm. 27-28.
[18]
Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang:
Pustaka Riski Putra, 1997), hlm. 281.
[19] Ibid.
277-278.
[20]
Ibid., hlm. 281-284.
[21]
Mansur, Takhrij Al- Hadist, hlm. 46-48.
[22]
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 288-289.
[23]
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab Dalam
Membina Hukum Islam, jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 46-47.
[24]
Mansur, Takhrij Al- Hadist, 47.
[25] Hasbi
Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm.287.
[26]
Ibid., hlm. 288.
[27]
Ibid., hlm. 297-298.
[28]
Ibid., hlm.299-300.
[29] DR.
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 88-89.
[30]
Ibid., hlm. 301.
[31] DR.
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 94.
[32]
Ibid., hlm. 305-307.
[33] DR.
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, hlm. 97.
[34]
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 311.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar