A.
Masa
Taqlid dan Jumud
Periode ini dimulai pada abad 10-11M (310H)[1]
sejak berakhirnya kekuasaan Bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai
dengan menyebarnya pusat-pusat kekauasaan islam dibeberapa wilayah,sehingga
umat islam sendiri dapat dikatakan kondisi yang lemah dan berada dalam
kegetiran. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah,
maka akan muncul banyak fitnah dan mihmah, sehingga hilanglah
persaudaraan dan persatuan dikalangan umat islam dan sebaliknya menjadi
permusuhan.
Pada masa ini,
hukum islam mengalami stagnasi (jumud). Hukum isla tidaklagi digali dari
sumber utamanya (Al-Qur’an dan Sunnah), para ulama masa ini lebih banyak
mengikuti dan mempelajari pikiran dalam Mazhab yang sudah ada (taqlid).
Dari sini terlihat mulai ada kecenderungan baru, yakni mempertahankan kebenaran
mazhabnya dengan mengabaikan mazhab lain, seolah-olah kebenaran merupakan hak
prerogaitf mazzhab yang dianutnya,
sehingga tak salah jika masa ini, merupakan fase pergeseran orientasi Al-Qur’an
dan Sunnah menjadi orientasi pendapat ulama.
Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk
mazhab-mazhab fiqh. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik dalam
perkembangan fiqh, yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya
perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam. Para ulama berupaya menjaga
pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan pemikiran mazhabnya secara
internal melalui pembuatanringkasan-ringkasan (mukhtashar) terhadap
kitab-kitab fiqh yang tebal. Bahkan ada yang disebut mukhtashar jiddan
yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para ulama pada fase ini
melakukan ulasan-ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah) serta
penjelasan dari kitab yang sudah dibuat penjelasannya (hasiyyah)
terhadap kitab fiqh yang rongkas dan
kurang luas, sehingga dalam proses belajar fiqh menjadi berat, yakni harus
menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath
ahkam) yang ditempuh. Selain itu, aktivitas ulama juga terfokus pada
pentarjihan terhadap pendapat yang berbeda –beda dalam suatu mazhab, baik itu
segi dari riwayah danpun
dirayah.
B.
Sebab-sebab
Kemunduran
Kemunduran umat
islam disebabkan oleh dua faktor. Yakni faltor internal dan faktor eksternal.
Adapun faktor internal timbul dari kalangan umat islam sendiri, yakni:
1.
Ulama
tidak lagi mengambil hukum dari sumbernya yang utama, yakni Al-Qur’an dan Hadis
melainkan beralih kepada pendapat-pendapat imam mazhab. Mereka berpendapat
bahwa pendapat imam mazahab sepadan dengan nash (Al-Qur’an dan Hadis) yang
tidak dapat dirubah dan diganti.
2.
Berkembang
serta meluasnya khufarat, takhayyul dan mistik dikalangan
masyarakat islam yang merusak kemurnian tauhid.
3.
Munculnya
kejumudan berpikir, karena hilangnya semadangat ijtihad. Ulama mengalami frigiditas
(dingin, tidak sensitif) akibat kelemahan berpikir sehingga tidak mampu
lagi menghadapi perkembangan zaman dengan menggunakan akal pikiran yang sehat dan
merdeka serta bertanggung jawab.
4.
Ulama
terlalu banyak mengkaji dan sikap kagum yang berlebihan terhadap pemikiran dan
pendapat ulama mazhabnya sehingga terlena dan kehilangan kepercayaan diri
seolah-olah kemmapuan mereka lebih rendah dari ulama-ulam sebelumnya. Dari
sikap ini, maka lahirnya anggapan:
a.
Setiap
orang dewasa diwajibkan menganut salah satu mazhab fiqh dan diharamkan keluar
dari mazhabnya.
b.
Dilarang
mengambil pendapat selain pendapat imam mazhab yang dianut (mencampur adukkan
mazhab/talfiq).
c.
Guru
yang terdahulu pasti lebih mengetahui makna nash daripada kita.
d.
Pendapat
ulama mujtahid pasti benara dan sejajar dengan syari’at, sehingga pendapatnya
sama dengan agama itu sendiri.
5.
Para
ulama terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya) sangat produktif dan kreatif ,
hampir seluruh lapangan ijtihad dijajaki sehingga seolah-olah tidak memberikan
sisa untuk melakukan ijtihad untuk ulama sesudah.mereka, bahkan ijtihad mereka
sudah sampai kepada hal-hal yang belum ada dan terjadi (fiqh iftradhi).
6.
Munculnya
ulama-ulama yang tidak mumpuni, yakni orang-orang yang sebenarnya tidak
mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun ia memaksakan diri untuk melakukan
ijtihad dan mengeluarkan produk hukum dalam bentuk fatwa yang membingungkan
masyarakat.
7.
Adanya
intervensi kekuasaan (sulthan/kahlifah) yang menganjurkan agar mengikuti
mazhab yang dianutnya. Hal ini sangat
besar pengaruhnya terhadap taklid. Disamping itu, sultan hanya
mengangkat qadhi dan mufti yang satu mazhab dengannya.
8.
Secara
umum, pemerintahan sudah tidak lagi memperhatikan perkembangan ilmu
pengetahuan, seperti perhatian yang penuh diberikan oleh Dinasti Abbbasiyah
(masa Sulthan Harun Ar-Rasyid, Al-Amin dll). Khlifah lebih banyak
menghambur-hamburkan hartanya untuk berpesta pora dan maksiat.
9.
Kesatuan
dan keutuhan pemerintahan islam telah pecah, hal ini menyebabkan menurunnya
kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Bukan hanya dikalangan penguasa pemerintahan, tetapi juga
dikalangan ulamapun terjadi persaingan yang tidak sehat yang menyebabkan
diantara mereka saling menghasut.
10.
Adanya
fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan cukuplah
berpegang teguh pada ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu.
11.
Munculnya
kesenangan masyarakat kepada harta secara berlebihan (materialistik).
12.
Munculnya
sikap saling curiga diantara pengikut mazhab, bahkan saling menghina yang
tujuannya untuk meninggikan mazhab yang dianutunya dan merendahkan mazhab yang
lainnya.
Sementara
faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya kemunduran dan kevakuman ialah:
1.
Bangkitnya
kalangan kristen Eropa (masa Renaisance) yang menyebabkan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan mereka.[2]
2.
Adanya
serbuan bangsa Mongol yang meluluh-lantakkan peradaban islam, yang berabad-abad
lamanya dibangun.[3]
3.
Munculnya
negara baru, baik di Eropa maupun dibelahan dunia lainnya, seperti Afrika,
Timur Tengah dan Asia. Keadaan demikan membawa kepada ketidak stabilan politik
yang berpengaruh pada pemikiran.
Dari dua faktor tersebut ,untuk yang ringkasnya akan diuraikan
sebagai berikut:
a)
Pergolakan
politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri islam pada waktu itu menjadi
beberapa negeri kecil, sehingga, negeri-negeri tersebut selalu mengalami
kesibukan-kesibukan berupa perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman
masyarakat. Salah satu kelanjutannya ialah kurangnya perhatian terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan.
b)
Pada
fase ini, kehidupan hukum islam telah timbul mazhab-mazhab yang mempunyai
metode dan cara berpikir sendiri dibawah seorang imam mujtahid. Konsekuensinya
ialah bahwa pengikut-pengikut mazhab tersebutlah yang berusaha membela
mazhabnya sendiri dan mempertahankan dasar dan pendapat serta menyalahkan
mazhab lain.
c)
Pada
masa sebelumnya para fuqaha harus berijtihad sendiri karena mereka berpendapat
kemudian pendapat mereka dibukukan. Dari inilah orang setelah mereka dan
generasi sesudah mereka tinggal mencari dan memberi jawaban atas buku yang
telah ditulis oleh fuqaha sebelum mereka. Maka yang terjadibagi orang yang
setelah mereka merasa cukup dengan hasil ijtihad para fuqaha. Dengan deimkian
maka tidak ada dorongan untuk lebih maju.
d)
Pada
masa sebelumnya hakim yang ditunjuk terdiri dari dari orang-orang yang
melakukan ijtihad sendiri. Akan tetapi, pada masa kemudiannya hakim-hakim yang
diangkat dari orang yang bertaqlid kepada mazhab tertentu. Akibatnya, hakim
tersebut keputusannya menjadi sasaran kritikan dari penganut mazhab lain.
e)
Kaum muslimin pada masa ini tidak lagi mengadakan
tindakan tertentu dalam bidang penetapan pendapat atau mengadakan jaminan agar
ijtihad jangan sampai digunakan oleh orang-orang yang tidak berhak menggunakan
ijtihad sembarangan.
C.
Tertutupnya Pintu Ijtihad
Dari
beberapa sebab yang diuraikan sebelumnya, bahwasannya ada orang-orang yang
tidak pantas ikut melakukan ijtihad,dan orang-orang awam ikut juga, dengan
demikian maka mereka telah mempermainkan nash syari’at dan kepentingan (hak)
orang banyak. Hasilnya, ialah banyaknya fatwa yang berebeda dan simpang-siur
hasil keputusan (fatwa) tersebut.
Dari hal ini banyak ulama dikagetkan dengan
masalah ini, maka mereka menetapkan vonis mengenai masalah ini. Dengan vonis
“Bahwasannya pintu ijtihad telah tertutup dan semua Mufti (orang yang memberi
fatwa/ahli hukum) cukup terikat oleh hukum yang sudah ada dari imam-imam
sebelumnya. Demikian pula semua hakim sperti itu.” Dengan demikian, maka mereka
mendapatkan kebuntuan dan kaku (tidak dapat berkembang lagi sebagaimana periode
sebelumnya).
D.
Tingkatan-tingkatan
Mujtahid
Adapun bila ditinjau dari kepribadian dan
kebebasan serta ketergantungannya dengan imam mujtahid, maka para fuqaha
membaginya menjadi beberapa tingkatan:
a.
Mujtahid Mutlak, yaitu
imam-imam dalam mazhab dan fuqaha-fuqaha yang lain yang mengikuti metode mereka dalam mengambil hukum dari sumber yang
pokok, yaitu Al-Qur’an dan Hadis
b.
Mujtahid Mazhab,
yaitu teman-teman atau murid-murid imam tersebut (mujtahid mutlak). Bisa jadi
dalam beberapa persoalan kecil mereka bisa berbeda pendapat dengan imam
tersebut, akan tetapi bagaimanapun juga tidak menyimpang dari dasar-dasar hukum
(metode) yang ditetapkan oleh imam mereka.
c.
Mujtahid Terbatas,
yaitu dimana suatu ijtihad terbatas dalam persoalan-persoalan yang sduah
dibicarakan, maka tidak lagi dibahas.
d.
Ahli Takhrij, yaitu ijtihad
hanya terbatas pada mencari alasan dan pendapat dalam mazhab untuk
menghilangkan kejanggalan dan kesamaran. Jadi dalam tingkatan ini mereka hanya
menguraikan pendapat yang belum jelas.
e.
Ahli Tarjih, yaitu mereka
memperbandingkan antara pendapat-pendapat
yang berbeda yang diterima oleh imam mereka, kemudian menguatkan salah
satunya, karena lebih kuat riwayatnya, atau lebih sesuai dengan qiyas atau
lebih mencerminkan rasa keadilan.
f.
Fuqaha –Taqlid, mereka
hanya mengikuti pendapat imam mazhab tanpa melakukan usaha penguatan atau
pemilihan antara pendapat yang berbeda.
E.
Usaha-usaha
Ulama pada Periode ini.
Setelah kita mengatahui bagaimana kondisi
ulama yang benar-benar berada dalam kondisi
keterpakuan tekstual yang sangat mencekam dan kebuntuan (kaku) terhadap
ijtihad. Akan tetapi kita juga tidak dapat menutup mata terhadap jasa-jasa
mereka dalam menghimpun pemikiran-pemikiran fiqh para imam sebagai suatu
kekayaan khazanah fiqh islam. Mereka mnghimpun, mentarjih (memilih mana
yang terkuat) berbagai riwayat, mencari kekuatan hukumnya, kemudian merumuskan
dasar-dasar pijakan dan kaidah-kaidah ushuliyyah yang menjadi landasan ijtihad
dan fatwa para imam. Sudah barang tentu mereka dihadapakan dengan diskusi,
dilaog dan perdebatan diantara kalangan sendiri. Kegiatan seperti ini hasilnya
dapat kita lihat hasil karya mereka,berupa:
§ Ikhtisar (Mukhtashar):
§ Sebagai kata
mukhtashar berarti ringkasan, intisari. Istilah ini sepadan dengan kata khulashah
dan mujaz.
§ Mukhtashar
merupakan salah satu bentuk kreativitas ilmiah dalam sejarah intelektual Islam,
karena tujuan penulisan karya-karya ini untuk menyusun isi suatu kitab secara
ringkas, sistematis, dan tematis, sehingga memudahkan generasi pelajar
berikutnya untuk memahami dan menyelami pemikiran-pemikiran pokok sang
penulis.
§ Banyak kitab
matan yang diringkas, seperti kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, yang diringkas
oleh pengarangnya sendiri, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali,
yang disebut Mukhtashar al-Ihya. Al-Musnad, karya Imam Ahmad bin
Hanbal, yang diringkas oleh putranya, Abdullah bin Ahmad, dengan judul Tsulatsiyyat.
Contoh lainnya, kitab Mukhtashar al-Mudawwanah, karya Al-Qairawani, yang
merupakan ringkasan kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, karya Abdussalam bin
Said At-Tanukhi, kitab Asy-Syafi fi Ikhtishar al-Kafi, karya Abu Al-Baqa
Al-Qurasyi, yang merupakan ringkasan kitab Al-Kafi fi al-Fiqh, karya Abu
al-Fadhl Muhammad Al-Marwazi.
§ Hasyiyah :
§ Sebagai
kata, hasyiyah berarti anggota badan yang berada di dalam perut,
seperti limpa dan jantung. Juga dapat berarti bagian pinggir baju. Jika
artinya digabungkan dengan kitab (hasyiyah al-kitab), berarti catatan
yang ditulis menyangkut isi kitab tersebut.
§ Dalam
konteks fiqih, istilah hasyiyah merupakan penjelasan yang lebih luas
dari syarah. Pada umumnya, hasyiyah merupakan tangga penjelasan ilmiah kedua
atas karya matan setelah syarah. Contohnya, kitab Fath al-Qarib, karya
Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-Ghayah wa at-Taqrib,
yang diberikan catatan tambahan dan perluasan oleh Ibrahim Al-Bajuri dalam
karyanya Hasyiyah Al-Bajuri. Ada juga hasyiyah di bidang tafsir, seperti
hasyiyah Syaikh Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki atas kitab tafsir karya dua ulama
agung, As-Suyuthi dan Al-Mahalli, yang dikenal dengan Hasyiyah Ash-Shawi
‘ala Tafsir al-Jalalayn.
§ Namun ada
juga kitab hasyiyah, sebagaimana yang dinamakan sendiri oleh penulisnya, yang
mensyarah kitab matan, langsung tanpa melalui syarahnya. Salah satu contohnya
adalah karya Syaikh Abdullah bin Fadhl Asy-Syaikh Al-Asymawi atas kitab Matn
al-Ajrumiyyah yang berjudul Hasyiyah al-Asymawi.
§ Hasyiyah
digunakan untuk menjelaskan lebih jauh materi yang terdapat di kitab matan dan
kitab syarah. Biasanya persoalan-persoalan yang kurang transparan dalam matan
dan syarah diperjelas lagi dalam karya yang disebut hasyiyah ini.
§ Syarah :
§ Sebagai
kata, memiliki arti yang banyak, di antaranya memotong (qatha’a),
menyingkap (kasyafa), membuka (fataha), memahami (fahima),
menjelaskan (bayyana), menafsirkan (fassara), dan memperluas (wassa’a).
§ Dalam
istilah fiqih, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah atau suatu kitab
secara keseluruhan. Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) dari
kitab yang diulasnya. Contohnya, kitab Al-Majmu’, karya An-Nawawi, yang
mensyarah kitab Al-Muhadzdzab, karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan kitab Fath
al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-Ghayah
wa at-Taqrib, karya Syaikh Abu Syuja‘. Ada juga kitab Al-Kharit ‘ala
Manzhumah al-Yawaqit oleh Sayyid Muhammad bin Hasyim Bin Thahir atas Manzhumah
al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri. Begitu pula
dengan Al-Muwaththa‘, karya Imam Malik, yang disyarah oleh Ibnu Salamah
Al-Ahfasyi dalam karyanya Tafsir Gharib al-Muwaththa‘, kitab Kifayah
al-‘Awam, yang disyarah Al-Bantani dengan karya berjudul ‘Aqidah
al-‘Awam, kitab ar-Risalah, karya Al-Qairawani Al-Maliki, yang disyarah
Ibn Al-Fakhkhar Al-Judzami dengan karya berjudul Nash al-Maqalah fi Syarh
ar-Risalah, kitab Al-Kharraj, karya Imam Abu Yusuf Al-Hanafi, yang
disyarah oleh Ibnu Muhammad Ar-Rahibi dengan karya berjudul Fiqh al-Muluk
‘ala Khizanah Kitab al-Kharaj.
§ Munculnya
syarah atas suatu kitab matan adalah bukti aktivitas ilmiah dan akademis di
kalangan ulama masa lampau. Upaya syarah sangat dibutuhkan untuk
menerjemahkan maksud penulis kitab matan bagi para pembacanya, sehingga mereka
dapat memahami teks-teks tersebut.
§ Tradisi
syarah ini berkembang pesat setelah mapannya pembentukan madzhab fiqih (tadwin
al-madzahib) sekitar abad ke-3 H/8 M, bahkan kegiatan syarah telah muncul
di masa tabi’in, ketika mereka melakukan syarah atas warisan karya yang
ditinggalkan masa sahabat. Abu Zinad Abdullah bin Zakwan (w. 131 H/748 M),
misalnya, mensyarah kitab Al-Fara‘idh, yang ditulis Zaid bin Tsabit (w.
45 H/665 M). Matan dan syarah bidang ilmu waris ini dinukil oleh Abu Bakar
Ahmad Al-Baihaqi dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra, sebuah kitab induk
dalam hadits.
Karya-karya Ulama Periode Ini
§ Al-Hidayah karya Abu Bakar al-Marghinani (w.593 H)
§ Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (w. 620 H)
§ Raudah at-Thalibin karya An-Nawawi (w. 676 H)
§ Al Mu’tamad karya Abu Husain al Bashri (w. 413 H)
§ Al Burhan karya Imam al Haramain al Juwaini (w. 487 H)
§ Al Musytasfa karya Imam al Ghazali (w. 505 H)
§ Al Ihkam fi Usul al Ahkam karya Al Amidi (w.631 H)
F.
Kesimpulan
Dari sinilah
penghargaan umat terhadap hasil karya-karya mereka, ushul fiqh dan kaidah
ijtihad seharusnya bukan dalam bentuk pelestarian keutuhan formula sebagaimana
adanya, akan tetapi justru dalam pengembangannya secara kreatif dan dinamis.
Kini umat islam, terutama ulama dan pakarnya, dituntut untuk merumuskan teori
serta formula hukum yang rensponsif-transformatif sejalan dengan perkembangan
sosial-budaya yang terus meminta paradigma baru.
[1] Para ahli
sejarah hukum islam menyatakan bahwa setelah tahun 310 H yakni setelah Ibn
JarirAth-Thabari meninggal merupakan awal dari periode jumud.
[2] Yang
meneybabkan lahirnya masa Renaisance diEropa tidak lepas dari
bersentuhannya ilmu pengetahuan Islam yang dibangun dai Andalusia oleh
pemerintahan Bani Umyyah II dimana islam memberikan peluang kepada bangsa Eropa
untuk mengkaji ilmu di Andalusia. Dan sebab utama lahirnya Renaisance itu
ada lahirnya pemikiran Ibnu Rusyd (Averroes) seorang ulama ahli Fiqh,
kedokteran dan filsafat yang mengajak
manusia untuk berpikir logis dan kritis
[3] Dalam sejarah
diceritakan bahwa kebiadaban penyerbuan bangsa Mongol terhadap Bani Abbasiyah
di Baghdad yang menyebabkan ratusan nyawa ribu melayang. Tentara mongol membuat
Piramida dari penggalan kepala manusia. Yang paling mengenaskan ialah dibakar dan
diporak-porandakannya perpustakaan terbesar dan terlengkap saat itu, yakni
perpustakaan “Bait Al-Hikmah”, dimana dalam perpustakaan itu tersipmapn
jutaan karya adi luhung dari berbagai disiplin ilmu yang dilahirkan melalui
tangan ulama-ulama cerdik yang tak ternilai harganya, dan sayangnya tidak
sampai kepada kita. Diceritakan dalam sejarah bahwa mereka membuat jembatan
diatas sungai Tigris dengan buku-buku itu sehingga air sungai Tigris berwaran
Hitam dengan tinta kitab tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar