Kamis, 28 Mei 2015

Makalah tentang hubungan Ibadah dan Iman


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.    Latar Belakang............................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................... 2
C.     Tujuan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A.    Pengertian dan Macam-macam Ibadah.......................................... 3
B.     Hubungan Iman dan Ibadah........................................................... 11
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 15
Kesimpulan........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Banyak cara yang dilakukan seseorang yang beragama dalam rangka mendekatkan dirinya dengan Tuhannya. Namun dalam hal ini akan membicarakan bagaimana seorang muslim dalam upayanya beribadah secara khusyu’ kepada Allah. Setiap muslim pasti memiliki cara tersendiri dalam upayanya menyatukan hatinya sedekat mungkin dengan Allah, sehingga hati dan jasadnya merasakan keberadaan Allah. Namun tak jarang pula, masih banyak orang-orang muslim dalam hal beribadah, jasadnya memang melakukan suatu perbuatan peribadahan, akan tetapi pikiran dan hatinya masih terpaut oleh hal-hal yang lain. Sehingga esensi dalam ibadah yang dilakukannya sia-sia.

            Sebelumnya kita sudah mengetahui apa itu yang dimaksud ibadah. Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk dan taat kepada yang diibadahi yaitu Allah SWT. Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa ibadah adalah gabungan antara ketaatan yang penuh  dan cinta yang sempurna.[1]Ibadah menurut pandangan islam adalah sikap pasrah dan tunduk total kepada semua aturan Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, orang yang taat kepada Allah tapi tidak cinta kepada-Nya belum dikatakan melaksanakan ibadah. Setiap muslim pasti mengetahui seperti apa perbuatan yang dinamakan ibadah itu. Sebagian besar umat muslim mengetahui bahwa melakukan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, puasa sunnah senin kamis, sedekah, berdzikir dan masih banyak lagi yang lainnya, merupakan suatu perbuatan ibadah. Akan tetapi adapula suatu perbuatan atau amaliyah yang baik yang dilakukan oleh seorang muslim namun orang tersebut ada juga yang tidak menyadari bahwa perbuatan baiknya itu termasuk kedalam suatu perbuatan ibadah.

Memang begitu banyak suatu perbuatan atau amaliyah yang dilakukan oleh seseorang akan tetapi tak pernah disadari bahwa perbuatannyatersebut termasuk kategori perbuatan ibadah. Oleh karena itu dalam hal ini kita perlu mengetahui macam-macam pembagian dari ibadah.

Dan dalam melakukan suatu ibadah, seorang muslim tidak hanya asal melakukan ibadah seperti hanya melakukan gerakan shalat saja, bukan hanya jasadnya saja yang melakukan shalat, akan tetapi jiwa dan rohaninya pun harus ikut melakukannya. Dalam hal ini, keimanan seseorang sangatlah berperan. Keimanan merupakan salah satu hal yang harus dimiliki oleh seseorang dalam beribadah. Dengan iman seseorang bisa merasakan keberadaan Allah dalam hidupnya sehingga apapun yang diperbuat bisa menjadi ibadah.Dan orang yangada imandalam dirinya pasti beranggapan bahwa ibadah itu bukanlah sekedar kewajiban yang meski dilaksanakan akan tetapi suatu kebutuhan yang dirasakan dalam hidupnya.

B.     Rumusan Masalah

            Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pembuatan makalah ini akan menjelaskan terkait beberapa point, diantaranya:

1.      Sebutkan dan jelaskan pengertian dan macam-macam ibadah?

2.      Berikan contoh-contoh dari macam-macam ibadah?

3.      Apa hubungannya ibadah dan iman?

C.     Tujuan

            Melihat bahasan diatas, dengan ini makalah ini memiliki tujuan, diantaranya:

1.      Dapat menyebutkan dan menjelaskan pengertian dan macam-macam ibadah.

2.      Dapat memberikan beberapa contoh dari macam-macam ibadah.

3.      Dapat menjelaskan apa hubungannya ibadah dan iman.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Macam-macam Ibadah.

            Ibadah merupakan kata mashdar dari kata ‘abada-ya’budu-‘ibaadatan yang artinya taat, tunduk, menyembah dsb. Dalam bahasa indonesia, ibadah sering kita sebut dengan menyembah. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang terdapat kata ibadah dengan berbagai bentuk perubahannya. Ada yang menjelaskan bahwa ibadah itu berarti taat, ada yang tunduk, ada yang do’a dan lain sebagainya.

            Dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah merumuskan bahwa ibadah menurut syara’ itu ‘’tunduk dan cinta’’, artinya tunduk mutlak kepada Allah yang disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya.[2] Oleh karena itu, unsur-unsur ibadah yang pertama adalah taat dan tunduk kepada Allah. Artinya, merasa berkewajiban melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan Allah yang dibawakan oleh para rasul-Nya. Oleh karena itu, belum termasuk beribadah apabila seseorang tidak mau tunduk kepada perintah-perintah-Nya, tidak mau taat kepada aturan-aturan-Nya, meskipun ia mengakui adanya Allah yang menciptakan langit dan bumi serta yang memberi rezeki kepadanya. Yang kedua yaitu cinta kepada Allah. Bahwa rasa wajib taat dan tunduk itu timbul dari hati yang cinta kepada Allah, yakni ketundukan jiwa dari hati yang penuh kecintaan kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya, karena memiliki keyakinan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya.

Syekh Abdul Hamid al-Khatib dalam bukunya Asmar Risalah menyatakan bahwa ‘’Ibadah terambil dari kata ‘abada’’ berarti memperhambakan diri, menjadikan diri jadi hamba atau budak. Hamba atau budak menurut pengertian bangsa arab harus mempersiapkan diri dan seluruh tenaganya untuk mengerjakan apa saja yang disenangi dan diperintahkan oleh Allah.[3] Perbuatan seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya termasuk kedalam kategori ibadah.

Perlu kita lihat kembali keadaan lingkungan sekitar kita, faktanya mengatakan bahwa sebagian dari orang yang hanya mengetahui dan menganggap bahwa ibadah itu adalah hanya melaksanakan shalat, menunaikan zakat, melakukan ibadah haji, melaksanakan ibadah haji dan umroh, berikut benar-benar terjebak pada formalitas dan rutinitas belaka.[4] Ibadah menjadi hanya sebatas kebiasaan yang harus dilakukan tanpa melibatkan kekhusyu’an, keikhlasan, dan kesungguh-sungguhan. Keadaan ini persis seperti anak sekolah yang setiap hari berangkat dan pulang ke sekolah: pagi harus berangkat sekolah dan siangnya harus pulang ke rumah. Yang penting baginya adalah memakai seragam putih-merah, berkumpul dengan teman-teman sebayanya, mendengarkan dan membaca pelajaran dan jajan ketika waktu istirahat tiba. Dalam bukunya Muhammad Muhyidin membuka energi  ibadah, mengatakan bahwa betapa ibadah tidak lagi bervisi spiritual, imanen, dan transenden. Ibadah tidak lagi bervisi ilahiyah, tetapi bervisi sosiologis. Yang ilahi kalah dengan yang kultural dan sosiologis.Kalau kita lihat dalam bukunya Drs. M. Noor Matdawam, bukunya Ilmu Fikih; Bimbingan Ibadah Praktis Shalat dan Puasa, beliau mengatakan bahwa apabila hubungan kita dengan Allah SWT sudah baik, normal, maka otomatis hubungan sosial kita akan baik pula tanpa diragukan. Akan tetapi sebaliknya, belum tentu kalau hubungan sosial kita baik dapat menjamin hubungan kita dengan Allah SWT menjadi baik pula.[5] Apalagi orang awam sering salah kaprah dalam memaknai hakikat ibadah. Ibadah hanya dianggap sekedar kewajiban-kewajiban tertentu, yang terbatas pada shalat, zakat, puasa, dan haji. Orang dikatakan ibadah apabila ia mengerjakan shalat, puasa, atau haji. Padahal, rasulullah tidak pernah membatasi makna ibadah pada hal-hal yang bersifat perintah, tapi semua amal yang dikerjakan dalam rangka mengharap ridha Allah adalah ibadah.[6]


 

Dalam hal ini, perlu kita ketahui, bahwa ibadah terbagi menjadi dua bagian, ada ibadah mahdzah dan ibadah ghairu mahdzah.

1.      Ibadah mahdzah.

Ibadah mahdzah merupakan ibadah yang berkaitan dengan hubungan antara makhluk dengan sang kholiq. Dalam ibadah ini, dasar dan tatacara pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulullah. Misalnya seperti ibadah shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya. Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa segala bentuk aktifitas yang cara atau kadarnya telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau bahwa kita tidak mengetahui ini kecuali melalui penjelasan Allah SWT dalam al-qur’an atau Rasulullah dalam sunnahnya.[7]Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:

يَا اَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya : ‘’hai manusia, beribadahlah kamu kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya menjadikan kamu bertaqwa kepada-Nya.’’ (QS. Al-Baqoroh : 21)

Dalam ayat yang lainnya Allah SWT berfirman:

يَا اَيُهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ

Artinya :‘’haimanusia, bertaqwalahkamukepadatuhanmu yang telahmenciptakankamudaridiri yang satu.’’ (QS. An-Nisa : 1)

            Keduaayattersebutmenjelaskanbahwabertaqwaadalahmematuhisegalaapa yang diperintahkan Allah danmenjauhisegalaapa yang dilarangoleh Allah. Hal yang demikianitumemilikipersamaandenganmaksudberibadah.[8] Seseorang yang beribadah dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Bahkandalamsebuahhaditsjuga dikatakanbahwaRasulullah SAW bersabda yang diriwayatkanolehThabrani

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاَتْبضعَ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Artinya : ‘’ bertaqwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada, dan iringilah kejahatan itu dengan kebaikan menghapuskan ia akan dia dan pergaulilah manusia itu dengan budi pekerti yang baik.’’ (HR. Thabrani).

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan lainnya:

عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ مَا اسْتَطَعْتَ

Artinya : ‘’wajib atas engkau bertaqwa kepada Allah azza wa jalla semaksimal kesanggupanmu.’’ (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).

            Dikatakan oleh para ulama bahwa ibadah mahdzah adalah ibadah yang tercermin dalam rukun islam yang lima, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji ke baitullah bagi hamba-hamba Allah yang mampu dan memenuhi syarat-syarat tertentu.[9] Namun sebagian orang-orang yang melakukan ibadah-ibadah mahdzah tampak sangat mengagumkan disuatu saat, ternyata tampak pula menjijikan disaat yang lain. Misal, ada orang yang berkali-kali pergi haji, berkali-kali pula mengerjakan korupsi. Ada yang fasih melantunkan ayat-ayat suci al-qur’an, fasih pula membuncahkan kebohongan dan iri hati.[10] Disisi lain, apabila kita dapati seseorang yang beribadah, fisiknya memang tertihat sekilas oleh mata sedang melakukan peribadahan, akan tetapi hati dan pikirannya melayang-layang entah kemana, maka yang demikian itu tidak bisa dikatakan sedang beribadah. Karena esensi dari ibadah itu adalah hati, pikiran, dan raga ini merasakan akan kehadirannya dengan sang kholiq. Dalam ibadah mahdzah ini memang masih sulit dilakukan bagi orang awam, karena sering kali diantara mereka dalam melakukan ibadah misal seperti ibadah shalat, sering kali mereka hati dan pikirannya tidak pernah bisa untuk fokus.

Dalam hal ini, upaya yang dapat mengantarkan umat muslim khususnya bagi orang awam ke kondisi bathiniyyah yang tentram, bahagia, dan hidup dalam kesehatan yang paripurna,ibadah tersebut harus diawali dengan niat yang ikhlas dengan tingkatan rasa syukur yang teruji.[11] Bertaubat dari segala dosa dan maksiat merupakan suatu tahapan, dimana umat muslim menyesali, meninggalkan, untuk kemudian menjalankan syariat, beribadah, bermuamalah, dan berakhlak terpuji.[12] Disamping ibadah dengan niat ikhlas hanya karena Allah, ibadah harus dilakukan dengan cara-cara yang telah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ibadah mahdzah ini merupakan salah satu ajaran yang tetap seperti dalam bidang aqidah dan akhlak, tidak akan mengalami perubahan dan perkembangan pemahaman atau pengurangan dan bukan wewenang manusia untuk mengaturnya.[13]

2.      Ibadah Ghairu Mahdzah.

Ibadah ghairu mahdzah merupakan ibadah yang tidak termasuk kedalam ibadah mahdzah. Dengan kata lain segala hal yang diluar ibadah mahdzah adalah ibadah ghairu mahdzah. Juga, segala sesuatu yang tidak menjadi bagian dari ibadah mahdzah adalah ibadah ghairu mahdzah.

Ibadah ghairu mahdzah adalah ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Unsur terpenting agar dalam melaksanakan segala aktifitas kehidupan di dunia ini benar-benar bernilai ibadah adalah niat yang ikhlas untuk memenuhi tuntunan agama dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.[14]Ibadah mahdzah ini hanya ada dasarnya atau dalil yang memerintahkan untuk melakukan suatu amal perbuatan akan tetapi tidak memerlukan bagaimana atau seperti apa tatacara dalam melaksanakan amal perbuatan tersebut.

Contohnya seperti membersihkan rumah dengan niat lillahita’ala, berbuat baik dengan teman dan tetangga, dan lain sebagainya.

Muhammad Muhyidin berpendapat bahwa ibadah ghairu mahdzah ini terbagi menjadi tiga bagian:[15]

a.       Ibadah fisik

b.      Ibadah akal

c.       Ibadah hati

Fisik, akal dan hati bisa dikatakan sebagai ibadah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.      Difungsikan secara baik dan benar. Dalam artian menggunakan fungsi masing-masing sebagaimana fungsi dan kegunaannya. Misal, fisik ini bisa berfungsi untuk melakukan suatu amaliyah apapun akan tetapi fisik ini berfungsi secara baik dan benar apabila digunakan dalam jalan ibadah kepada Allah seperti melakukan ibadah shalat, membantu orangtua beres-beres rumah dan lain sebagainya.

2.      Ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

3.      Diwujudkan dalam bentuk berfikir, berkehendak, beraktifitas, bersikap dan berprilaku.

Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Raka’iz al-Imam Baina al-Aqal wa al-Qalb mengutip pendapat dari Imam Ja’far as-Shadiq bahwa aktifitas entah itu melibatkan fisik, akal, dan hati baru bisa disebut ibadah apabila memenuhi beberapa syarat, diantaranya:[16]

a.       Tidak menganggap bahwa apa yang ada dalam genggaman tangannya sebagai milik pribadinya, karena seorang ‘abdi tidak memiliki sesuatupun sebab apa yang dimilikinya adalah milik siapa yang kepadanya ia mengabdi.


b.      Menjadikan segala aktifitas berkisar kepada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia beribadah.

c.       Tidak mendahului-Nya dalam mengambil keputusan serta mengaitkan segala apa yang hendak dilakukannya dengan ijin serta restu siapa yang kepada-Nya ia beribadah.

Dari apa yang dikatakan Imam Ja’far diatas kiranya jelas bahwa kedudukan kita dihadapan Allah adalah laksana kedudukan seorang budak dihadapan tuannya.[17]Oleh karena itu, maka ucapan, sikap, dan perilaku kita tidak boleh sewenang-wenang, kecuali tuan kita telah memberikan wewenang pada kita. Bedanya jika seorang tuan atau seorang raja bisa memberi wewenang yang salah dan sesat kepada budaknya atau hambanya, maka Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Memberi wewenang tidak akan pernah memberikan wewenang secara salah dan sesat. Dengan kata lain, adalah mustahil bagi Allah jika mempunyai kesalahan dan kesesatan. Karena kesalahan dan kesesatan adalah mustahil bagi-Nya, maka semua perintah dan larangan-Nya mustahil pula bersifat salah dan sesat. Oleh karena itu, jika seorang manusia benar-benar mengikuti dan melaksanakan wewenang Allah, maka manusia tersebut akan mendapatkan kebahagiaan dan kesempurnaan diri.

Merujuk pada hal yang demikian itu, jika fisik kita, akal kita, dan hati kita benar-benar difungsikan dan dioptimalkan untuk melakukan aktifitas yang diridhai Allah, sesuai dengan ketentuan Allah, dan tidak bertentangan dengan perintah Allah, maka seluruh aktifitas hidup kita bernilai ibadah. Fisik kita ibadah, akal kita akan ibadah, dan hati kita akan ibadah. Dengan cara demikian, tak akan ada kesempatan bagi dorongan-dorongan nafsu rendah yang kita miliki untuk maujud secara aktual.Dengan kata lain, setiap hembusan dan tarikan nafas kita akan selalu dalam ridha-Nya.[18] Dalam bukunya koreksi atas pemahaman ibadah, muhammad quthub mengatakan bahwa pemahaman yang benar terhadap ibadah di kalangan generasi

pertama adalah bahwa ibadah kepada Allah merupakan tujuan hidup seluruh umat manusia.[19] Allah SWT berfirman

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya : ‘’dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku.’’ (adz-Dzariat : 56)

            Dalam perasaan mereka, ayat ini menggambarkan pengertian yang begitu agung, begitu dalam dan mencakup setiap kehidupan manusia. Al-qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Mereka memahami orientasi bahasa itu dan mengetahui rahasia-rahasia sastaranya. Dari ayat ini mereka mengerti bahwa tujuan hidup manusia dalam beribadah, sama sekali tidak ada yang lain. Menurut lisan arab, nafi (negasi) dan istisna (pengecualian), merupakan bentuk qhasar yang paling kuat. Yakni meniadakan tujuan lain dari adanya manusia selain ibadah kepada Allah dan menghashar (membatasi) tujuan seluruh keberadaan yang hanya untuk ibadah kepada Allah SWT.[20]

            Dari segi ini, mereka benar-benar bisa merasakan keagungan Allah. Dampaknya mereka pun merasa perlu mengikuti ayat itu melalui perbuatan-perbuatan yang pantas. Dia akan memperlakukan diri sebagai hamba Allah dan menempatkan sebagai yang benar-benar disembah dengan ikhlas dalam memperhambakan diri dan beribadah kepada-Nya.[21]

            Dengan demikian, dalam benak  mereka pengertian ibadah bukan hanya sekedar mengucapkan syiar-syiar ubudiyah saja, seperti yang dilakukan orang-orang belakangan yang memahami islam namun jauh dari ajaran islam yang sebenarnya.[22]

B.     Hubungan Ibadah dan Iman.

Jika seorang muslim menunaikan atau melakukan suatu  ibadah dengan sungguh-sungguh, niscaya hal itu akan berdampak pada meningkatnya keimanan yang ada didalam dirinya.[23]Sebelumnya dikatakan bahwa ibadah adalah manifestasi atau pernyataan pengabdian seorang muslim pada tuhan-Nya, sedangkan iman adalah bentuk batin atau rasa agama islam. Kehidupan batin religi dari muslim diisi oleh iman.[24] Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa iman mengalami turun nai, kuat dan lemah, pasang dan surut. Ia akan menguat dengan amal shaleh atau ketaatan dan menurun dengan maksiat.[25]

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 21

            يَا اَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya : ‘’hai manusia, beribadahlah kamu kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya menjadikan kamu bertaqwa kepada-Nya.’’ (QS. Al-Baqoroh : 21)

Dalam ayat yang lainnya, Allah SWT juga berfirman :

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَ اِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايتُهُ زَادَتْهُمْءِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

Artinya : ‘’sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada tuhanlah mereka bertawakkal.’’ (QS. Al-Anfaal : 2)

            Oleh karena itu, ibadah yang kita lakukan haruslah berbasis pada keimanan dan keikhlasan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya : ‘’barang siapa yang puasa dibulan ramadhan karena iman dan ikhlas, maka diampuni dosa yang telah lalu.’’ (HR. Bukhari)

Drs Sidi Gazalba mengatakan kalau diperhatikan hubungan arkanul islam dan arkanul iman, nyatalah yang kedua digerakkan oleh yang pertama. Apabila arkanul iman tidak disadari, orang tidak akan melakukan arkanul islam.[26] Manakala arkanul iman tidak penuh disadari, arkanul islam juga tidak akan penuh dilaksanakan. Arkanul iman sebagai kesadaran, pasif sifatnya. Arkanul islam sebagai pengabdian, aktif sifatnya. Iman yang pasif menjdi aktif dalam pernyataannya. Pernyataan itu adalah sistem dan bentuk hubungan manusia dengan tuhan yang dinamakan ibadah. Arkanul islam adalah manifestasi dari arkanul iman. Ibadah adalah akibat yang logis dari iman. Apabila makhluk telah mengakui khaliq-Nya, akan terjalinlah hubungan sebagai akibat dari pengakuan itu. Bentuk dan sistem hubungan adalah sebagaimana diperintahkan Yang Maha Kuasa itu. Manifestasi atau pernyataan hubungan inilah yang dinamakan ibadah. Kembali kita dapat berkata disini, iman itu adalah urat tunggang ibadah ia adalah asas tempat berpijak pengabdian manusia pada tuhan.[27]

Orang yang menyatakan dirinya bertaqwa kepada Allah tidak mungkin melepaskan dirinya dari keharusan beriman kepada Allah SWT.[28] Dalam ajaran syariat islam, sebagai bukti bahwa seseorang itu bertaqwa kepada Allah, maka ia akan bersedia dan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah menurut cara yang telah ditentukan Allah melalui lisan Rasul-Nya.[29]

Dalam bukunya muhammad muhyidin, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami hubungan antara ibadah dengan iman, ilmu, dan amal. Beliau mengatakan bahwa iman membutuhkan ilmu dan bukti amal. Orang bisa beramal sebab dia mengetahui ilmunya, dan ilmu yang baik merupakan manifestasi iman yang baik pula.[30]

Tetapi bagaimana dengan ibadah? Apakah iman sama dengan ibadah? Lalu bagaimana iman dengan ilmu? Apakah ilmu menjadi dasar dalam ibadah? Atau justru ibadahlah yang menjadi landasan bagi ilmu? Atau keduanya memiliki wilayah yang berbeda?

Lalu dengan amal? Apakah amal sama dengan ibadah? Apakah semua ibadah adalah amal atau semua amal adalah ibadah? Atau amal menjadi bagian dari ibadah? Atau justru ibadahlah yang menjadi bagian dari amal?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, walaupun barangkali sudah sering kita tanyakan, tetapi sering pula kita tidak memperoleh jawabannya secara jelas dan meyakinkan. Atau tidak banyak yang mengetahui dan memahami hubungan antara ibadah dengan iman,  ilmu dan amal.

Sebelumnya, Muhammad Muhyidin dalam memaparkan hubungan antara manusia dan iman serta tingkatan-tingkatan menuju iman, beliau membuat suatu gambaran skematis yaitu dimula dari manusia – akhlak – ibadah – ilmu – iman.[31] Seperti yang kita ketahui skema tersebut, manusia adalah kita, umat islam. Kita berada pada posisi paling bawah, sedangkan keimanan berada pada posisi paling atas. Antara kita, manusia, dan iman dihubungkan dengan akhlak, ibadah dan ilmu. Kesatuan antara kita akhlak, ilmu dan iman disebut dengan islam. Jadi seorang muslim, orang yang beragama islam adalah seorang yang memiliki akhlak, ibadah, ilmu dan iman. Kemudian sebagaimana yang sering kita dengar-dengar, hidup itu adalah ibadah, maka bagaimana menjelaskan persoalan ini apabila dikaitkan dengan hubungan antara ibadah, iman dan ilmu sebagaimana telah dibuat skema sebelumnya?

Dalam point ini, ibadah menjadi sel dari hubungan antara ilmu dan iman, sedangkan pada point sebelumnya, keseluruhan aktifitas hidup dimana dalam hidup kita menggunakan akal dan hati adalah ibadah. Dengan kata lain, apabila kita meyakini bahwa hidup adalah ibadah, maka  seharusnya kita yakin pula bahwa iman dan ilmu termasuk ibadah.

Jika logika ini diterima, seharusnya kita tidak boleh membedakan antara ibadah, ilmu, dan iman, sebab membedakannya berarti meyakini ketidaksamaan antara ketiganya berarti bertentangan dengan konsep bahwa hidup adalah ibadah.

Kontaradiksi seperti itulah yang yang hampir tidak pernah disadari oleh banyak orang. Ketika Muhammad Muhyidin mengatakan dalam bukunya membuka energi ibadah, bahwa hidup adalah ibadah perkataannya tidak akan bertentangan dengan antara ibadah, ilmu, dan iman sebagaimana tergambar pada skema sebelumnya. Beliau mengatakan bahwa hidup adalah ibadah sebab al-qur’an mengatakan demikian.[32]


 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

            Ibadah merupakan sikap pasrah dan tunduk total kepada semua aturan Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, orang yang taat kepada Allah tapi tidak cinta kepada-Nya belum dikatakan melaksanakan ibadah. Setiap muslim pasti mengetahui seperti apa perbuatan yang dinamakan ibadah itu. Sebagian besar umat muslim mengetahui bahwa melakukan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, puasa sunnah senin kamis, sedekah, berdzikir dan masih banyak lagi yang lainnya, merupakan suatu perbuatan ibadah. Namun dalam mengerjakan ibadah itu bukan berarti hanya melakukan amaliyah atau tatacara dalam beribadah saja, tetapi hati dan akal pikiran juga harus ikut beribadah dalam artian hati dan pikiran kita ini hanya tertuju kepada Allah semata.

            Selain itu, dapat kita ketahui bahwa ibadah itu terbagi menjadi dua bagian yakni ibadah mahdzah dan ibadah ghairu mahdzah. Ibadah mahdzah adalah suatu ibadah yang sudah jelas dasarnya dan tatacara pelaksanaanya yang dijelaskan dalam al-qur’an dan hadits. Sedangkan ibadah ghairu mahdzah adalah suatu ibadah yang ada dasar untuk melakukanu ibadah tersebut, namun tatacaranya tidak dijelaskan.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman Mustofa dan Nur Sillaturahmah, Buku Pintar Ibadah Muslimah, Surakarta:

Shahih,2011.

Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, cetakan ke IV, Jakarta:

PustakaAntara, 1994.

Hamid, Zahir, Bertaqwa Menurut Syariat Islam, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.

Huda, M. Masrur, Ternyata Ibadah Tidak Hanya untuk Allah, Jakarta: Qultum Media,

2011.

Matdawam, M. Noor, Bimbingan Ibadah Praktis Shalat dan Puasa, Yogyakarta:

Sumbangsih,1992.

Muhyidin, Muhammad, Membuka Energi Ibadah, Yogyakarta: Diva Press, 2007.

Quthub, Muhammad, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, Cetakan ke II, Pustaka al

Kautsar,1987.

Rajab, Khairunnas, Psikologi Ibadah Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati Manusia,

Jakarta:Amzah, 2011.

Tono, Sidik dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 1998.

Zairi, Syahminan, Mengapa Manusia Harus Beribadah, Surabaya: al-Ikhlas, 1981.

 

 



[1] Budiman Mustofa, Lc. M.P.I dan Nur Sillaturahmah, Lc, Buku Pintar Ibadah Muslimah, (Surakarta; Shahih, 2011), hlm 36
[2] Sidik Tono, M. Sularno, Imam Mujiono, Agus Triyanto, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta; UII Press, 1998), hlm 3
[3] Drs. Syahminan Zairi, Mengapa Manusia Harus Beribadah, (Surabaya; al-Ikhlas, 1981), hlm 13
[4] Muhammad Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 42
[5] Drs. M. Noor Matdawam, Bimbingan Ibadah Praktis Shalat dan Puasa, (Yogyakarta; Sumbangsih, 1992), hlm 6
[6] M. Masrur Huda, S.S. M.Pd.I, Ternyata Ibadah Tidak Hanya untuk Allah, (Jakarta; Qultum Media, 2011), hlm 6
[7] Muhammad Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 87
[8]Drs. Syahminan Zairi, Mengapa Manusia Harus Beribadah, (Surabaya; al-Ikhlas, 1981), hlm 16
[9]Muhammad Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 87
[10] Ibid, hlm 49
[11] Dr. Khairunnas Rajab, M.Ag, Psikologi Ibadah Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati Manusia, (Jakarta; Amzah, 2011), hlm 3
[12] Ibid, hlm 3
[13] Sidik Tono, M. Sularno, Imam Mujiono, Agus Triyanto, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta; UII Press, 1998), hlm 13
[14] Ibid, hlm 7
[15]Muhammad Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 88
[16]Ibid, hlm 89
[17] Ibid, hlm 89
[18] Ibid, hlm 90
[19] Muhammad Quthub, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, Cetakan ke II, (Pustaka al-Kautsar, 1987), hlm 12
[20] Ibid, hlm 12
[21] Ibid, hlm 13
[22] Ibid, hlm 13
[23] Budiman Mustofa, Lc. M.P.I dan Nur Sillaturahmah, Lc, Buku Pintar Ibadah Muslimah, (Surakarta; Shahih, 2011), hlm 41
[24] Drs. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, cetakan ke IV, (Jakarta; Pustaka Antara, 1994), hlm 17
[25] Budiman Mustofa, Lc. M.P.I dan Nur Sillaturahmah, Lc, Buku Pintar Ibadah Muslimah, (Surakarta; Shahih, 2011), hlm 41
[26] Drs. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, cetakan ke IV, (Jakarta; Pustaka Antara, 1994), hlm 26
[27]Ibid, hlm 27
[28] Drs. H. Zahri Hamid, Bertaqwa Menurut Syariat Islam, (Yogyakarta; Dua Dimensi, 1985), hlm 39
[29]Ibid, hlm 40
[30] Muhammad Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 91
[31] Ibid, hlm 92
[32] Ibid, hlm 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar