DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.
Latar
Belakang............................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................... 2
C.
Tujuan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A.
Pengertian
dan Macam-macam Ibadah.......................................... 3
B.
Hubungan
Iman dan Ibadah........................................................... 11
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 15
Kesimpulan........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Banyak cara yang dilakukan seseorang
yang beragama dalam rangka mendekatkan dirinya dengan Tuhannya. Namun dalam hal
ini akan membicarakan bagaimana seorang muslim dalam upayanya beribadah secara
khusyu’ kepada Allah. Setiap muslim pasti memiliki cara tersendiri dalam
upayanya menyatukan hatinya sedekat mungkin dengan Allah, sehingga hati dan jasadnya
merasakan keberadaan Allah. Namun tak jarang pula, masih banyak orang-orang
muslim dalam hal beribadah, jasadnya memang melakukan suatu perbuatan
peribadahan, akan tetapi pikiran dan hatinya masih terpaut oleh hal-hal yang
lain. Sehingga esensi dalam ibadah yang dilakukannya sia-sia.
Sebelumnya kita sudah mengetahui apa
itu yang dimaksud ibadah. Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri
serta tunduk dan taat kepada yang diibadahi yaitu Allah SWT. Ibnu Qoyyim
al-Jauziyyah mengatakan bahwa ibadah adalah gabungan antara ketaatan yang
penuh dan cinta yang sempurna.[1]Ibadah
menurut pandangan islam adalah sikap pasrah dan tunduk total kepada semua
aturan Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, orang yang taat kepada Allah tapi
tidak cinta kepada-Nya belum dikatakan melaksanakan ibadah. Setiap muslim pasti
mengetahui seperti apa perbuatan yang dinamakan ibadah itu. Sebagian besar umat
muslim mengetahui bahwa melakukan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan,
puasa sunnah senin kamis, sedekah, berdzikir dan masih banyak lagi yang
lainnya, merupakan suatu perbuatan ibadah. Akan tetapi adapula suatu perbuatan
atau amaliyah yang baik yang dilakukan oleh seorang muslim namun orang tersebut
ada juga yang tidak menyadari bahwa perbuatan baiknya itu termasuk kedalam
suatu perbuatan ibadah.
Memang
begitu banyak suatu perbuatan atau amaliyah yang dilakukan oleh seseorang akan
tetapi tak pernah disadari bahwa perbuatannyatersebut termasuk kategori
perbuatan ibadah. Oleh karena itu dalam hal ini kita perlu mengetahui
macam-macam pembagian dari ibadah.
Dan
dalam melakukan suatu ibadah, seorang muslim tidak hanya asal melakukan ibadah
seperti hanya melakukan gerakan shalat saja, bukan hanya jasadnya saja yang
melakukan shalat, akan tetapi jiwa dan rohaninya pun harus ikut melakukannya. Dalam
hal ini, keimanan seseorang sangatlah berperan. Keimanan merupakan salah satu
hal yang harus dimiliki oleh seseorang dalam beribadah. Dengan iman seseorang
bisa merasakan keberadaan Allah dalam hidupnya sehingga apapun yang diperbuat
bisa menjadi ibadah.Dan orang yangada imandalam dirinya pasti beranggapan bahwa
ibadah itu bukanlah sekedar kewajiban yang meski dilaksanakan akan tetapi suatu
kebutuhan yang dirasakan dalam hidupnya.
B. Rumusan
Masalah
Dari pernyataan
diatas, dapat disimpulkan bahwa pembuatan makalah ini akan menjelaskan terkait
beberapa point, diantaranya:
1.
Sebutkan dan
jelaskan pengertian dan macam-macam ibadah?
2.
Berikan
contoh-contoh dari macam-macam ibadah?
3.
Apa hubungannya
ibadah dan iman?
C. Tujuan
Melihat bahasan diatas, dengan ini
makalah ini memiliki tujuan, diantaranya:
1.
Dapat
menyebutkan dan menjelaskan pengertian dan macam-macam ibadah.
2.
Dapat
memberikan beberapa contoh dari macam-macam ibadah.
3. Dapat menjelaskan apa hubungannya ibadah dan iman.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Macam-macam Ibadah.
Ibadah merupakan
kata mashdar dari kata ‘abada-ya’budu-‘ibaadatan yang artinya taat, tunduk,
menyembah dsb. Dalam bahasa indonesia, ibadah sering kita sebut dengan
menyembah. Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang terdapat kata ibadah dengan
berbagai bentuk perubahannya. Ada yang menjelaskan bahwa ibadah itu berarti
taat, ada yang tunduk, ada yang do’a dan lain sebagainya.
Dalam hal ini,
Ibnu Taimiyyah merumuskan bahwa ibadah menurut syara’ itu ‘’tunduk dan cinta’’,
artinya tunduk mutlak kepada Allah yang disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya.[2]
Oleh karena itu, unsur-unsur ibadah yang pertama adalah taat dan tunduk kepada
Allah. Artinya, merasa berkewajiban melaksanakan segala perintah dan
meninggalkan segala larangan Allah yang dibawakan oleh para rasul-Nya. Oleh
karena itu, belum termasuk beribadah apabila seseorang tidak mau tunduk kepada
perintah-perintah-Nya, tidak mau taat kepada aturan-aturan-Nya, meskipun ia
mengakui adanya Allah yang menciptakan langit dan bumi serta yang memberi
rezeki kepadanya. Yang kedua yaitu cinta kepada Allah. Bahwa rasa wajib taat
dan tunduk itu timbul dari hati yang cinta kepada Allah, yakni ketundukan jiwa
dari hati yang penuh kecintaan kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya, karena
memiliki keyakinan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya.
Syekh Abdul Hamid al-Khatib dalam bukunya Asmar Risalah menyatakan
bahwa ‘’Ibadah terambil dari kata ‘abada’’ berarti memperhambakan diri,
menjadikan diri jadi hamba atau budak. Hamba atau budak menurut pengertian
bangsa arab harus mempersiapkan diri dan seluruh tenaganya untuk mengerjakan
apa saja yang disenangi dan diperintahkan oleh Allah.[3]
Perbuatan seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya termasuk kedalam
kategori ibadah.
Perlu kita lihat kembali keadaan lingkungan sekitar kita, faktanya
mengatakan bahwa sebagian dari orang yang hanya mengetahui dan menganggap bahwa
ibadah itu adalah hanya melaksanakan shalat, menunaikan zakat, melakukan ibadah
haji, melaksanakan ibadah haji dan umroh, berikut benar-benar terjebak pada
formalitas dan rutinitas belaka.[4]
Ibadah menjadi hanya sebatas kebiasaan yang harus dilakukan tanpa melibatkan
kekhusyu’an, keikhlasan, dan kesungguh-sungguhan. Keadaan ini persis seperti
anak sekolah yang setiap hari berangkat dan pulang ke sekolah: pagi harus
berangkat sekolah dan siangnya harus pulang ke rumah. Yang penting baginya
adalah memakai seragam putih-merah, berkumpul dengan teman-teman sebayanya,
mendengarkan dan membaca pelajaran dan jajan ketika waktu istirahat tiba. Dalam
bukunya Muhammad Muhyidin membuka energi
ibadah, mengatakan bahwa betapa ibadah tidak lagi bervisi spiritual,
imanen, dan transenden. Ibadah tidak lagi bervisi ilahiyah, tetapi bervisi
sosiologis. Yang ilahi kalah dengan yang kultural dan sosiologis.Kalau kita
lihat dalam bukunya Drs. M. Noor Matdawam, bukunya Ilmu Fikih; Bimbingan
Ibadah Praktis Shalat dan Puasa, beliau mengatakan bahwa apabila hubungan
kita dengan Allah SWT sudah baik, normal, maka otomatis hubungan sosial kita
akan baik pula tanpa diragukan. Akan tetapi sebaliknya, belum tentu kalau
hubungan sosial kita baik dapat menjamin hubungan kita dengan Allah SWT menjadi
baik pula.[5]
Apalagi orang awam sering salah kaprah dalam memaknai hakikat ibadah. Ibadah
hanya dianggap sekedar kewajiban-kewajiban tertentu, yang terbatas pada shalat,
zakat, puasa, dan haji. Orang dikatakan ibadah apabila ia mengerjakan shalat,
puasa, atau haji. Padahal, rasulullah tidak pernah membatasi makna ibadah pada
hal-hal yang bersifat perintah, tapi semua amal yang dikerjakan dalam rangka
mengharap ridha Allah adalah ibadah.[6]
Dalam hal ini, perlu kita ketahui, bahwa ibadah terbagi menjadi dua
bagian, ada ibadah mahdzah dan ibadah ghairu mahdzah.
1.
Ibadah mahdzah.
Ibadah mahdzah merupakan ibadah yang berkaitan dengan hubungan
antara makhluk dengan sang kholiq. Dalam ibadah ini, dasar dan tatacara
pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulullah. Misalnya
seperti ibadah shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya. Muhammad
al-Ghazali mengatakan bahwa segala bentuk aktifitas yang cara atau kadarnya
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau bahwa kita tidak mengetahui ini
kecuali melalui penjelasan Allah SWT dalam al-qur’an atau Rasulullah dalam sunnahnya.[7]Dalam
al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَا اَيُّهَا
النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya : ‘’hai manusia, beribadahlah kamu kepada tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya menjadikan
kamu bertaqwa kepada-Nya.’’ (QS. Al-Baqoroh : 21)
Dalam ayat yang lainnya Allah SWT berfirman:
يَا اَيُهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَّفْسٍ
وَّاحِدَةٍ
Artinya :‘’haimanusia,
bertaqwalahkamukepadatuhanmu yang telahmenciptakankamudaridiri yang satu.’’
(QS. An-Nisa : 1)
Keduaayattersebutmenjelaskanbahwabertaqwaadalahmematuhisegalaapa
yang diperintahkan Allah danmenjauhisegalaapa yang dilarangoleh Allah. Hal yang
demikianitumemilikipersamaandenganmaksudberibadah.[8] Seseorang yang beribadah dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan
ketaqwaan kepada Allah SWT.
Bahkandalamsebuahhaditsjuga dikatakanbahwaRasulullah SAW bersabda yang diriwayatkanolehThabrani
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاَتْبضعَ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya : ‘’ bertaqwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu
berada, dan iringilah kejahatan itu dengan kebaikan menghapuskan ia akan dia
dan pergaulilah manusia itu dengan budi pekerti yang baik.’’ (HR. Thabrani).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan lainnya:
عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ مَا اسْتَطَعْتَ
Artinya : ‘’wajib atas engkau bertaqwa kepada Allah azza wa
jalla semaksimal kesanggupanmu.’’ (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).
Dikatakan oleh
para ulama bahwa ibadah mahdzah adalah ibadah yang tercermin dalam rukun islam
yang lima, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji ke baitullah bagi
hamba-hamba Allah yang mampu dan memenuhi syarat-syarat tertentu.[9]
Namun sebagian orang-orang yang melakukan ibadah-ibadah mahdzah tampak sangat
mengagumkan disuatu saat, ternyata tampak pula menjijikan disaat yang lain.
Misal, ada orang yang berkali-kali pergi haji, berkali-kali pula mengerjakan
korupsi. Ada yang fasih melantunkan ayat-ayat suci al-qur’an, fasih pula
membuncahkan kebohongan dan iri hati.[10]
Disisi lain, apabila kita dapati seseorang yang beribadah, fisiknya memang
tertihat sekilas oleh mata sedang melakukan peribadahan, akan tetapi hati dan
pikirannya melayang-layang entah kemana, maka yang demikian itu tidak bisa
dikatakan sedang beribadah. Karena esensi dari ibadah itu adalah hati, pikiran,
dan raga ini merasakan akan kehadirannya dengan sang kholiq. Dalam ibadah
mahdzah ini memang masih sulit dilakukan bagi orang awam, karena sering kali
diantara mereka dalam melakukan ibadah misal seperti ibadah shalat, sering kali
mereka hati dan pikirannya tidak pernah bisa untuk fokus.
Dalam hal ini, upaya yang dapat mengantarkan umat muslim khususnya
bagi orang awam ke kondisi bathiniyyah yang tentram, bahagia, dan hidup dalam
kesehatan yang paripurna,ibadah tersebut harus diawali dengan niat yang ikhlas
dengan tingkatan rasa syukur yang teruji.[11]
Bertaubat dari segala dosa dan maksiat merupakan suatu tahapan, dimana umat
muslim menyesali, meninggalkan, untuk kemudian menjalankan syariat, beribadah,
bermuamalah, dan berakhlak terpuji.[12]
Disamping ibadah dengan niat ikhlas hanya karena Allah, ibadah harus dilakukan
dengan cara-cara yang telah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ibadah
mahdzah ini merupakan salah satu ajaran yang tetap seperti dalam bidang aqidah
dan akhlak, tidak akan mengalami perubahan dan perkembangan pemahaman atau
pengurangan dan bukan wewenang manusia untuk mengaturnya.[13]
2.
Ibadah Ghairu Mahdzah.
Ibadah ghairu mahdzah merupakan ibadah yang tidak termasuk kedalam
ibadah mahdzah. Dengan kata lain segala hal yang diluar ibadah mahdzah adalah
ibadah ghairu mahdzah. Juga, segala sesuatu yang tidak menjadi bagian dari
ibadah mahdzah adalah ibadah ghairu mahdzah.
Ibadah ghairu mahdzah adalah ibadah yang mencakup segala aspek
kehidupan dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Unsur terpenting agar dalam
melaksanakan segala aktifitas kehidupan di dunia ini benar-benar bernilai
ibadah adalah niat yang ikhlas untuk memenuhi tuntunan agama dengan menempuh
jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.[14]Ibadah
mahdzah ini hanya ada dasarnya atau dalil yang memerintahkan untuk melakukan
suatu amal perbuatan akan tetapi tidak memerlukan bagaimana atau seperti apa
tatacara dalam melaksanakan amal perbuatan tersebut.
Contohnya seperti membersihkan rumah dengan niat lillahita’ala,
berbuat baik dengan teman dan tetangga, dan lain sebagainya.
Muhammad Muhyidin berpendapat bahwa ibadah ghairu mahdzah ini
terbagi menjadi tiga bagian:[15]
a.
Ibadah
fisik
b.
Ibadah
akal
c.
Ibadah
hati
Fisik, akal dan hati bisa dikatakan sebagai ibadah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Difungsikan
secara baik dan benar. Dalam artian menggunakan fungsi masing-masing
sebagaimana fungsi dan kegunaannya. Misal, fisik ini bisa berfungsi untuk
melakukan suatu amaliyah apapun akan tetapi fisik ini berfungsi secara baik dan
benar apabila digunakan dalam jalan ibadah kepada Allah seperti melakukan
ibadah shalat, membantu orangtua beres-beres rumah dan lain sebagainya.
2.
Ditujukan
untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
3.
Diwujudkan
dalam bentuk berfikir, berkehendak, beraktifitas, bersikap dan berprilaku.
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Raka’iz al-Imam Baina al-Aqal wa
al-Qalb mengutip pendapat dari Imam Ja’far as-Shadiq bahwa aktifitas entah itu
melibatkan fisik, akal, dan hati baru bisa disebut ibadah apabila memenuhi
beberapa syarat, diantaranya:[16]
a.
Tidak
menganggap bahwa apa yang ada dalam genggaman tangannya sebagai milik
pribadinya, karena seorang ‘abdi tidak memiliki sesuatupun sebab apa yang
dimilikinya adalah milik siapa yang kepadanya ia mengabdi.
b.
Menjadikan
segala aktifitas berkisar kepada apa yang diperintahkan oleh siapa yang
kepada-Nya ia beribadah.
c.
Tidak
mendahului-Nya dalam mengambil keputusan serta mengaitkan segala apa yang
hendak dilakukannya dengan ijin serta restu siapa yang kepada-Nya ia beribadah.
Dari apa yang dikatakan Imam Ja’far diatas kiranya jelas bahwa
kedudukan kita dihadapan Allah adalah laksana kedudukan seorang budak dihadapan
tuannya.[17]Oleh
karena itu, maka ucapan, sikap, dan perilaku kita tidak boleh sewenang-wenang,
kecuali tuan kita telah memberikan wewenang pada kita. Bedanya jika seorang
tuan atau seorang raja bisa memberi wewenang yang salah dan sesat kepada
budaknya atau hambanya, maka Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Memberi wewenang
tidak akan pernah memberikan wewenang secara salah dan sesat. Dengan kata lain,
adalah mustahil bagi Allah jika mempunyai kesalahan dan kesesatan. Karena
kesalahan dan kesesatan adalah mustahil bagi-Nya, maka semua perintah dan
larangan-Nya mustahil pula bersifat salah dan sesat. Oleh karena itu, jika seorang
manusia benar-benar mengikuti dan melaksanakan wewenang Allah, maka manusia
tersebut akan mendapatkan kebahagiaan dan kesempurnaan diri.
Merujuk pada hal yang demikian itu, jika fisik kita, akal kita, dan
hati kita benar-benar difungsikan dan dioptimalkan untuk melakukan aktifitas
yang diridhai Allah, sesuai dengan ketentuan Allah, dan tidak bertentangan
dengan perintah Allah, maka seluruh aktifitas hidup kita bernilai ibadah. Fisik
kita ibadah, akal kita akan ibadah, dan hati kita akan ibadah. Dengan cara
demikian, tak akan ada kesempatan bagi dorongan-dorongan nafsu rendah yang kita
miliki untuk maujud secara aktual.Dengan kata lain, setiap hembusan dan tarikan
nafas kita akan selalu dalam ridha-Nya.[18]
Dalam bukunya koreksi atas pemahaman ibadah, muhammad quthub mengatakan bahwa
pemahaman yang benar terhadap ibadah di kalangan generasi
pertama adalah bahwa ibadah kepada Allah merupakan tujuan hidup
seluruh umat manusia.[19]
Allah SWT berfirman
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya : ‘’dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya beribadah kepada-Ku.’’ (adz-Dzariat : 56)
Dalam perasaan
mereka, ayat ini menggambarkan pengertian yang begitu agung, begitu dalam dan
mencakup setiap kehidupan manusia. Al-qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.
Mereka memahami orientasi bahasa itu dan mengetahui rahasia-rahasia sastaranya.
Dari ayat ini mereka mengerti bahwa tujuan hidup manusia dalam beribadah, sama
sekali tidak ada yang lain. Menurut lisan arab, nafi (negasi) dan istisna
(pengecualian), merupakan bentuk qhasar yang paling kuat. Yakni meniadakan
tujuan lain dari adanya manusia selain ibadah kepada Allah dan menghashar
(membatasi) tujuan seluruh keberadaan yang hanya untuk ibadah kepada Allah SWT.[20]
Dari segi ini,
mereka benar-benar bisa merasakan keagungan Allah. Dampaknya mereka pun merasa
perlu mengikuti ayat itu melalui perbuatan-perbuatan yang pantas. Dia akan
memperlakukan diri sebagai hamba Allah dan menempatkan sebagai yang benar-benar
disembah dengan ikhlas dalam memperhambakan diri dan beribadah kepada-Nya.[21]
Dengan demikian,
dalam benak mereka pengertian ibadah
bukan hanya sekedar mengucapkan syiar-syiar ubudiyah saja, seperti yang
dilakukan orang-orang belakangan yang memahami islam namun jauh dari ajaran islam
yang sebenarnya.[22]
B.
Hubungan Ibadah dan Iman.
Jika seorang muslim menunaikan atau melakukan suatu ibadah dengan sungguh-sungguh, niscaya hal
itu akan berdampak pada meningkatnya keimanan yang ada didalam dirinya.[23]Sebelumnya
dikatakan bahwa ibadah adalah manifestasi atau pernyataan pengabdian seorang
muslim pada tuhan-Nya, sedangkan iman adalah bentuk batin atau rasa agama
islam. Kehidupan batin religi dari muslim diisi oleh iman.[24]
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa iman mengalami turun nai,
kuat dan lemah, pasang dan surut. Ia akan menguat dengan amal shaleh atau
ketaatan dan menurun dengan maksiat.[25]
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 21
يَا اَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ
الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya : ‘’hai manusia, beribadahlah kamu kepada tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya menjadikan
kamu bertaqwa kepada-Nya.’’ (QS. Al-Baqoroh : 21)
Dalam ayat yang lainnya, Allah SWT juga berfirman :
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ
وَ اِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايتُهُ زَادَتْهُمْءِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
Artinya : ‘’sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka
yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada tuhanlah
mereka bertawakkal.’’ (QS. Al-Anfaal : 2)
Oleh karena itu,
ibadah yang kita lakukan haruslah berbasis pada keimanan dan keikhlasan,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya : ‘’barang siapa yang puasa dibulan ramadhan karena iman
dan ikhlas, maka diampuni dosa yang telah lalu.’’ (HR. Bukhari)
Drs Sidi Gazalba mengatakan kalau diperhatikan hubungan arkanul
islam dan arkanul iman, nyatalah yang kedua digerakkan oleh yang pertama.
Apabila arkanul iman tidak disadari, orang tidak akan melakukan arkanul islam.[26]
Manakala arkanul iman tidak penuh disadari, arkanul islam juga tidak akan penuh
dilaksanakan. Arkanul iman sebagai kesadaran, pasif sifatnya. Arkanul islam
sebagai pengabdian, aktif sifatnya. Iman yang pasif menjdi aktif dalam
pernyataannya. Pernyataan itu adalah sistem dan bentuk hubungan manusia dengan
tuhan yang dinamakan ibadah. Arkanul islam adalah manifestasi dari arkanul
iman. Ibadah adalah akibat yang logis dari iman. Apabila makhluk telah mengakui
khaliq-Nya, akan terjalinlah hubungan sebagai akibat dari pengakuan itu. Bentuk
dan sistem hubungan adalah sebagaimana diperintahkan Yang Maha Kuasa itu.
Manifestasi atau pernyataan hubungan inilah yang dinamakan ibadah. Kembali kita
dapat berkata disini, iman itu adalah urat tunggang ibadah ia adalah asas
tempat berpijak pengabdian manusia pada tuhan.[27]
Orang yang menyatakan dirinya bertaqwa kepada Allah tidak mungkin
melepaskan dirinya dari keharusan beriman kepada Allah SWT.[28]
Dalam ajaran syariat islam, sebagai bukti bahwa seseorang itu bertaqwa kepada
Allah, maka ia akan bersedia dan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada
Allah menurut cara yang telah ditentukan Allah melalui lisan Rasul-Nya.[29]
Dalam bukunya muhammad muhyidin, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui
dan memahami hubungan antara ibadah dengan iman, ilmu, dan amal. Beliau
mengatakan bahwa iman membutuhkan ilmu dan bukti amal. Orang bisa beramal sebab
dia mengetahui ilmunya, dan ilmu yang baik merupakan manifestasi iman yang baik
pula.[30]
Tetapi bagaimana dengan ibadah? Apakah iman sama dengan ibadah?
Lalu bagaimana iman dengan ilmu? Apakah ilmu menjadi dasar dalam ibadah? Atau
justru ibadahlah yang menjadi landasan bagi ilmu? Atau keduanya memiliki
wilayah yang berbeda?
Lalu dengan amal? Apakah amal sama dengan ibadah? Apakah semua
ibadah adalah amal atau semua amal adalah ibadah? Atau amal menjadi bagian dari
ibadah? Atau justru ibadahlah yang menjadi bagian dari amal?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, walaupun barangkali sudah sering
kita tanyakan, tetapi sering pula kita tidak memperoleh jawabannya secara jelas
dan meyakinkan. Atau tidak banyak yang mengetahui dan memahami hubungan antara
ibadah dengan iman, ilmu dan amal.
Sebelumnya, Muhammad Muhyidin dalam memaparkan hubungan antara
manusia dan iman serta tingkatan-tingkatan menuju iman, beliau membuat suatu
gambaran skematis yaitu dimula dari manusia – akhlak – ibadah – ilmu –
iman.[31]
Seperti yang kita ketahui skema tersebut, manusia adalah kita, umat islam. Kita
berada pada posisi paling bawah, sedangkan keimanan berada pada posisi paling
atas. Antara kita, manusia, dan iman dihubungkan dengan akhlak, ibadah dan
ilmu. Kesatuan antara kita akhlak, ilmu dan iman disebut dengan islam. Jadi seorang
muslim, orang yang beragama islam adalah seorang yang
memiliki akhlak, ibadah, ilmu dan iman. Kemudian sebagaimana yang sering kita
dengar-dengar, hidup itu adalah ibadah, maka bagaimana menjelaskan persoalan
ini apabila dikaitkan dengan hubungan antara ibadah, iman dan ilmu sebagaimana
telah dibuat skema sebelumnya?
Dalam point ini, ibadah menjadi sel dari hubungan antara ilmu dan
iman, sedangkan pada point sebelumnya, keseluruhan aktifitas hidup dimana dalam
hidup kita menggunakan akal dan hati adalah ibadah. Dengan kata lain, apabila
kita meyakini bahwa hidup adalah ibadah, maka
seharusnya kita yakin pula bahwa iman dan ilmu termasuk ibadah.
Jika logika ini diterima, seharusnya kita tidak boleh membedakan
antara ibadah, ilmu, dan iman, sebab membedakannya berarti meyakini
ketidaksamaan antara ketiganya berarti bertentangan dengan konsep bahwa hidup
adalah ibadah.
Kontaradiksi seperti itulah yang yang hampir tidak pernah disadari
oleh banyak orang. Ketika Muhammad Muhyidin mengatakan dalam bukunya membuka energi
ibadah, bahwa hidup adalah ibadah perkataannya tidak akan bertentangan dengan
antara ibadah, ilmu, dan iman sebagaimana tergambar pada skema sebelumnya.
Beliau mengatakan bahwa hidup adalah ibadah sebab al-qur’an mengatakan
demikian.[32]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibadah merupakan sikap
pasrah dan tunduk total kepada semua aturan Allah dan rasul-Nya. Dengan
demikian, orang yang taat kepada Allah tapi tidak cinta kepada-Nya belum
dikatakan melaksanakan ibadah. Setiap muslim pasti mengetahui seperti apa
perbuatan yang dinamakan ibadah itu. Sebagian besar umat muslim mengetahui
bahwa melakukan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, puasa sunnah senin
kamis, sedekah, berdzikir dan masih banyak lagi yang lainnya, merupakan suatu
perbuatan ibadah. Namun dalam mengerjakan ibadah itu bukan berarti hanya
melakukan amaliyah atau tatacara dalam beribadah saja, tetapi hati dan akal
pikiran juga harus ikut beribadah dalam artian hati dan pikiran kita ini hanya
tertuju kepada Allah semata.
Selain itu, dapat kita ketahui bahwa
ibadah itu terbagi menjadi dua bagian yakni ibadah mahdzah dan ibadah ghairu
mahdzah. Ibadah mahdzah adalah suatu ibadah yang sudah jelas dasarnya dan
tatacara pelaksanaanya yang dijelaskan dalam al-qur’an dan hadits. Sedangkan
ibadah ghairu mahdzah adalah suatu ibadah yang ada dasar untuk melakukanu
ibadah tersebut, namun tatacaranya tidak dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman Mustofa dan Nur Sillaturahmah, Buku Pintar Ibadah
Muslimah, Surakarta:
Shahih,2011.
Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam,
cetakan ke IV, Jakarta:
PustakaAntara, 1994.
Hamid, Zahir, Bertaqwa Menurut Syariat Islam, Yogyakarta:
Dua Dimensi, 1985.
Huda, M. Masrur, Ternyata Ibadah Tidak Hanya untuk Allah,
Jakarta: Qultum Media,
2011.
Matdawam, M. Noor, Bimbingan Ibadah Praktis Shalat dan Puasa,
Yogyakarta:
Sumbangsih,1992.
Muhyidin, Muhammad, Membuka Energi Ibadah, Yogyakarta: Diva
Press, 2007.
Quthub, Muhammad, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, Cetakan ke
II, Pustaka al
Kautsar,1987.
Rajab, Khairunnas, Psikologi Ibadah Memakmurkan Kerajaan Ilahi
di Hati Manusia,
Jakarta:Amzah, 2011.
Tono, Sidik dkk, Ibadah dan Akhlak dalam Islam, Yogyakarta:
UII Press, 1998.
Zairi, Syahminan, Mengapa Manusia Harus Beribadah, Surabaya:
al-Ikhlas, 1981.
[1] Budiman
Mustofa, Lc. M.P.I dan Nur Sillaturahmah, Lc, Buku Pintar Ibadah Muslimah,
(Surakarta; Shahih, 2011), hlm 36
[2] Sidik
Tono, M. Sularno, Imam Mujiono, Agus Triyanto, Ibadah dan Akhlak dalam Islam,
(Yogyakarta; UII Press, 1998), hlm 3
[3] Drs.
Syahminan Zairi, Mengapa Manusia Harus Beribadah, (Surabaya; al-Ikhlas,
1981), hlm 13
[4] Muhammad
Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 42
[5] Drs. M.
Noor Matdawam, Bimbingan Ibadah Praktis Shalat dan Puasa, (Yogyakarta;
Sumbangsih, 1992), hlm 6
[6] M.
Masrur Huda, S.S. M.Pd.I, Ternyata Ibadah Tidak Hanya untuk Allah, (Jakarta;
Qultum Media, 2011), hlm 6
[7] Muhammad
Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 87
[8]Drs.
Syahminan Zairi, Mengapa Manusia Harus Beribadah, (Surabaya; al-Ikhlas,
1981), hlm 16
[9]Muhammad
Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 87
[10] Ibid,
hlm 49
[11] Dr.
Khairunnas Rajab, M.Ag, Psikologi Ibadah Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati
Manusia, (Jakarta; Amzah, 2011), hlm 3
[12] Ibid,
hlm 3
[13] Sidik
Tono, M. Sularno, Imam Mujiono, Agus Triyanto, Ibadah dan Akhlak dalam Islam,
(Yogyakarta; UII Press, 1998), hlm 13
[14] Ibid,
hlm 7
[15]Muhammad
Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press, 2007), hlm 88
[16]Ibid,
hlm 89
[17] Ibid,
hlm 89
[18] Ibid,
hlm 90
[19]
Muhammad Quthub, Koreksi Atas Pemahaman Ibadah, Cetakan ke II, (Pustaka
al-Kautsar, 1987), hlm 12
[20] Ibid,
hlm 12
[21] Ibid,
hlm 13
[22] Ibid,
hlm 13
[23] Budiman
Mustofa, Lc. M.P.I dan Nur Sillaturahmah, Lc, Buku Pintar Ibadah Muslimah,
(Surakarta; Shahih, 2011), hlm 41
[24] Drs.
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, cetakan ke IV,
(Jakarta; Pustaka Antara, 1994), hlm 17
[25] Budiman
Mustofa, Lc. M.P.I dan Nur Sillaturahmah, Lc, Buku Pintar Ibadah Muslimah,
(Surakarta; Shahih, 2011), hlm 41
[26] Drs.
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, cetakan ke IV,
(Jakarta; Pustaka Antara, 1994), hlm 26
[27]Ibid,
hlm 27
[28] Drs. H.
Zahri Hamid, Bertaqwa Menurut Syariat Islam, (Yogyakarta; Dua Dimensi,
1985), hlm 39
[29]Ibid,
hlm 40
[30]
Muhammad Muhyidin, Membuka Energi Ibadah, (Yogyakarta; Diva Press,
2007), hlm 91
[31] Ibid,
hlm 92
[32] Ibid,
hlm 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar