Kamis, 02 April 2015

Yogyakarta, negara dalam kontrak (refrensi buku keistimewaan yogyakarta)



                Posisi yogyakarta sebagai sebuah wilayah “merdeka” menarik untuk dicermati. Sebagaimana umumnya sebuah proses kelahiran, kelahiran yogyakarta tidak lepas dari “bidan” yang membantu kelahirannya. Artinya, yogyakarta sebagai sebuah kerajaan baru (1755) tidak hadir dengan sendirinya melainkan melibatkan sesuatu “yang lain”. Dalam catatan sejarah, sesuatu yang lain itu adalah VOC. Dalam History of java, Raffles menyebutkan pada tahun 1755 masehi, Mangkubumi dengan khidmat diproklamirkan oleh Gubernur Belanda, dengan gelar Sultan Amangkubuwana Senapati Ingalaga Abdul Rachman Sahedin Panatagama Kulifatullah.
                Peristiwa ini terjadi setelah perjanjian Gianti di tanda tangani antara Mangkubumi, susunan, dan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa. Pertempuran dan perang-perang beruntun terus berlangsung sebelum dan sesudah penobatan itu dilangsungkan. Tahun 1755 inilah yang di anggap sebagai tahun berdirinya Yogyakarta, diperingati hingga detik ini, tahun demi tahun.
                Sejak saat itu, seperti halnya nasib kerajaan-kerajaan lainnya, Yogyakarta berada di bawah kontrak politik yang secara terus menerus diperbarui oleh pemerintah Hindia Belanda setiap kali terjadi suksesi kepemimpinan. Kuatnya kontrol kolonial di daerah ini menunjukan bahwa kemerdekaanya tidak pernah tuntas melainkan terus berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial.
                Dalam pandangan yang demikian, terkadang orang buru-buru beranggapan jika memang pada saat itu pemerintah Hindia Belanda berkuasa dan memiliki kekuatan lebih besar mengapa kerajaan Yogyakarta tidak ditaklukan dengan senjata dan kekuatan militer. Cara melihat ini menyimpulkan bahwa pembiaran oleh kolonial ini menunjukan suatu indikasi bahwa kesultanan masih dianggap memiliki kedaulatan. Namun apabila melihat materi kontrak politik yang dilakukan oleh kedua belah pihak nyata menunjukan dominasi salah satu pihak yaitu pemerintah kollnial.
                Disamping itu, pembentukan daerah swapraja yaitu daerah yang memiliki pemerintahan sendiri dnilai lebih menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Hal ini terutama berkaitan dengan pembiayaan pemerintah yang ditanggung lebih ringan dari pada jika suatu daerah diperintah secara langsung. Kontrak politik juga memberi keuntungan ekonomi dengan tetap adanya jaminan terhadap aset-aset ekonomi yang ada di wilayahnya tersebut.
                Istilah kontrak memang mengindikasikan adanya kesetaraan dan pengakuan pihak-pihak yang terlibat sebagai entitas otonom. Politik penguasaan melalui mekanisme kontrak bagi kolonial dirasa lebih murah dan mampu bertahan dalam jangka panjang. Namun klausul-klausul dalam kontrak tersebut justru mengatur aspek-aspek penting yang seharusnya menjadi dasar kekuasaan kesultanan. Sehingga kesultanan diisolasi ke dalam ruang wewenag yang sempit. Kesultanan adalah bagian dari Gubernemen yang dalam sendirinya menjadi subordinat pemerintahan kolonial dan kerajaan Belanda. Gubernemen mewakili kepentingan umum sedangkan sultan mengurusi kepentingan khusus yaitu kepentingan kesultanan khususnya. Aspek-aspek penting itu di antaranya; pengangkatan dan penunjukan sultan baru, pembagian wilayah, penghasilan raja, jumlah pangeran, harta benda kesultanan, jumlah pasukan, dan hukum tanah. Semua aturan tersebut di kontrol oleh pemerintah kolonial.
                Dengan menggunakan perspektif ini, dalam situasi yang berbeda kontrak itu terus diperbarui. Berakhirnya pemerintahan kolonial di Yogyakarta menandai babak baru dalam sejarah kontrak politik tersebut. Perspektif umum yang muncul dalam melihat maklumat penggabungan diri memunculkan citra-citra positif tentang sikap-sikap altruistik tertentu. Situasi kebersamaan dalam berjuang dan kepentingan bersama untuk mengukuhkan sebuah episode negara bangsa baru memungkinkan dan-dalam batas tertentu- mengharuskan semua orang melihat maklumat tersebut sebenarnya menandai dibuatnya kontrak baru dalam momen dan situasi yang baru pula.
                Status keistimewaan dalam maklumat 5 september 1945 mengandung dua makna; pertama, menghapus segala bentuk pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam kontrak politik dengan pemerintahan kolonial sekaligus menandai momen penting keterlepasan kesultanan dari belenggu aturan kolonial, kedua, pengakuan penguasaan entitas politik baru yang memberi rasa nyaman khusus karena terikat dalam suatu identitas bersama yang meyakinkan; Republik Indonesia. Pergantian situasi politik nasional dari dua Orde baru ke Reformasi memunculkan upaya untuk memperbarui kontrak politik sebelumnya. Dari gmabaran di atas, adagium “sejarah akan terulang, hanya aktornya yang berbeda”, seolah menemukan konteksnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar