Posisi
yogyakarta sebagai sebuah wilayah “merdeka” menarik untuk dicermati.
Sebagaimana umumnya sebuah proses kelahiran, kelahiran yogyakarta tidak lepas
dari “bidan” yang membantu kelahirannya. Artinya, yogyakarta sebagai sebuah
kerajaan baru (1755) tidak hadir dengan sendirinya melainkan melibatkan sesuatu
“yang lain”. Dalam catatan sejarah, sesuatu yang lain itu adalah VOC. Dalam
History of java, Raffles menyebutkan pada tahun 1755 masehi, Mangkubumi dengan
khidmat diproklamirkan oleh Gubernur Belanda, dengan gelar Sultan Amangkubuwana
Senapati Ingalaga Abdul Rachman Sahedin Panatagama Kulifatullah.
Peristiwa
ini terjadi setelah perjanjian Gianti di tanda tangani antara Mangkubumi,
susunan, dan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa. Pertempuran dan perang-perang
beruntun terus berlangsung sebelum dan sesudah penobatan itu dilangsungkan.
Tahun 1755 inilah yang di anggap sebagai tahun berdirinya Yogyakarta,
diperingati hingga detik ini, tahun demi tahun.
Sejak
saat itu, seperti halnya nasib kerajaan-kerajaan lainnya, Yogyakarta berada di
bawah kontrak politik yang secara terus menerus diperbarui oleh pemerintah
Hindia Belanda setiap kali terjadi suksesi kepemimpinan. Kuatnya kontrol
kolonial di daerah ini menunjukan bahwa kemerdekaanya tidak pernah tuntas
melainkan terus berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial.
Dalam
pandangan yang demikian, terkadang orang buru-buru beranggapan jika memang pada
saat itu pemerintah Hindia Belanda berkuasa dan memiliki kekuatan lebih besar
mengapa kerajaan Yogyakarta tidak ditaklukan dengan senjata dan kekuatan
militer. Cara melihat ini menyimpulkan bahwa pembiaran oleh kolonial ini
menunjukan suatu indikasi bahwa kesultanan masih dianggap memiliki kedaulatan.
Namun apabila melihat materi kontrak politik yang dilakukan oleh kedua belah
pihak nyata menunjukan dominasi salah satu pihak yaitu pemerintah kollnial.
Disamping
itu, pembentukan daerah swapraja yaitu daerah yang memiliki pemerintahan
sendiri dnilai lebih menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Hal ini terutama
berkaitan dengan pembiayaan pemerintah yang ditanggung lebih ringan dari pada
jika suatu daerah diperintah secara langsung. Kontrak politik juga memberi
keuntungan ekonomi dengan tetap adanya jaminan terhadap aset-aset ekonomi yang
ada di wilayahnya tersebut.
Istilah
kontrak memang mengindikasikan adanya kesetaraan dan pengakuan pihak-pihak yang
terlibat sebagai entitas otonom. Politik penguasaan melalui mekanisme kontrak
bagi kolonial dirasa lebih murah dan mampu bertahan dalam jangka panjang. Namun
klausul-klausul dalam kontrak tersebut justru mengatur aspek-aspek penting yang
seharusnya menjadi dasar kekuasaan kesultanan. Sehingga kesultanan diisolasi ke
dalam ruang wewenag yang sempit. Kesultanan adalah bagian dari Gubernemen yang
dalam sendirinya menjadi subordinat pemerintahan kolonial dan kerajaan Belanda.
Gubernemen mewakili kepentingan umum sedangkan sultan mengurusi kepentingan
khusus yaitu kepentingan kesultanan khususnya. Aspek-aspek penting itu di
antaranya; pengangkatan dan penunjukan sultan baru, pembagian wilayah,
penghasilan raja, jumlah pangeran, harta benda kesultanan, jumlah pasukan, dan
hukum tanah. Semua aturan tersebut di kontrol oleh pemerintah kolonial.
Dengan
menggunakan perspektif ini, dalam situasi yang berbeda kontrak itu terus
diperbarui. Berakhirnya pemerintahan kolonial di Yogyakarta menandai babak baru
dalam sejarah kontrak politik tersebut. Perspektif umum yang muncul dalam
melihat maklumat penggabungan diri memunculkan citra-citra positif tentang
sikap-sikap altruistik tertentu. Situasi kebersamaan dalam berjuang dan
kepentingan bersama untuk mengukuhkan sebuah episode negara bangsa baru
memungkinkan dan-dalam batas tertentu- mengharuskan semua orang melihat
maklumat tersebut sebenarnya menandai dibuatnya kontrak baru dalam momen dan
situasi yang baru pula.
Status
keistimewaan dalam maklumat 5 september 1945 mengandung dua makna; pertama,
menghapus segala bentuk pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam kontrak
politik dengan pemerintahan kolonial sekaligus menandai momen penting
keterlepasan kesultanan dari belenggu aturan kolonial, kedua, pengakuan
penguasaan entitas politik baru yang memberi rasa nyaman khusus karena terikat
dalam suatu identitas bersama yang meyakinkan; Republik Indonesia. Pergantian
situasi politik nasional dari dua Orde baru ke Reformasi memunculkan upaya
untuk memperbarui kontrak politik sebelumnya. Dari gmabaran di atas, adagium
“sejarah akan terulang, hanya aktornya yang berbeda”, seolah menemukan
konteksnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar