KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah
Al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara berangsur-angsur dumulai di Mekkah dan
diseudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan
persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam ketika itu.
Ternyata tidak semua persoalan yang
dijumpai masyarakat Islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam
keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat sahabat.
Inilah kemudian yang dikenal dengan Sunnah Rasul. Memang Al-Qur’an hanya memuat
prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu sedara rinci.
Perinsiannya, khusus dalam masalah ibadat, diberikat oleh hadits. Sedangkan
dalam bidang muamalat, prinsip-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh
Rasullullah SAW diserahkan kepada umat untuk mengaturnya.
Masalah ibadat karena menyangkut
hubungan hamba dengan Khaliknya, maka perinciannya dijelaskan sendiri oleh
Nabi. Tugas hamba hanyalah melaksanakan dan mengamalkannya sesuai dengan
ketentuan Al-Qur’an dan penjelasan Nabi, tidak menambah, mengurangi, atau
mengubahnya.
Dan ketika kekuasaan Islam semakin
bertambah luas. Dengan terpencar-pencarnya para ulama, ijmak tidak mengkin
dilakukan lagi. Akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbath hukum sendiri.
Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti qias, istihsan,
istishlah, ‘urf, istishab, dan syar’ man qablana. Dan metode-metode istinbath
hukum itu selanjutnya menjadi obyek kajian ilmu ushul fikih.
Pada akhirnya dalam makalah ini saya
akan memaparkan ketentuan dalam penetapan istihsan. Dengan segala sumber dan
refrensi yang sudah saya ambil, namun masih banyak kekurangan dalam
penyelesaian makalah ini, jadi saran demi menyempurnakan makalah ini pada
nantinya saya butuhkan.
Wassalamualaikum wr.wb
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
B.
RUMUSAN
MASALAH
C.
TUJUAN
MASALAH
BAB
II PEMBAHASAN
A.
KETENTUAN
DALAM
B.
KEHUJJAHAN
ISTIHSAN
C.
DASAR
PERTIMBANGAN ISTIHSAN
BAB
III PENUTUP
A.
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Istihsan menurut bahasa berarti “menganggap baik”. Abu Hanifah
banyak menetapkan hukum dengan istihsan tetapi tidak pernah menjelaskan
bagaimana meksud daripada istihsan itu. ketika menetapkan suatu hukum dengan
cara istihsan. Abu Hanifah mengatakan “astahsin”, artinya saya menganggap baik.
Penetapan hukum dengan istihsan itu diikuti pula oleh para sahabat dan pengikut
Abu Hanifah. Sehingga dalam sejarah Ushul Fikih, golongan Hanafiah dikenal
sebagai golongan yang memakai istihsan sebagai salah satu metode istinbath
hukum. Oleh pengikut dan murid-murid Abu Hanifah kemudian dirumuskan pengertian
istihsan itu. selanjutnya mereka juga menjelaskan pembagian dan macam-macam
istihsan beserta contoh-contohnya.
As-Syafi’i menolak
istihsan karena memandangnya sebagai cara istinbath hukum dengan hawa nafsu dan
mencari enaknya saja. As-Syafi’i dalam hal ini berkata “Siapa yang melakukan
istihsan berarti dia telah membuat-buat syariat”. Penolakan As-Syafi’i itu
tentu besar pengaruhnya di kalangan masyarakat Islam apalagi di kalangan
masyarakat Islam yang banyak menganut mazhab Syafi’i seperti indonesia.
Dari sedikit
paparan sederhana itulah maka dalam makalah ini saya akan menjelaskan apa dan
bagaimana ketentuan dalam penetapan istihsan. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi para pembaca.
B.
RUMUSAN MASALAH
~ Apa Dasar hukum penetapan istihsan ?
~ Apa kehujjahan istihsan ?
~Apa Dasar Pertimbangan Istihsan
C.
TUJUAN MASALAH
~ Mengetahui apa dasar hukum
istihsan
~ Mengerti apa itu kehujjahan istihsan
~ Mengerti apa dasar pertimbangan
istihsan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar Hukum Penetapan Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzab Hanafi, menurut
mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas
qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena
ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah
melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya
namanya saja yang berlainan. Dsamping Madzab Hanafi, golongan lain yang
menggunakan istihsan ialah sebagaian Madzab Maliki dan sebagian Madzab Hambali.
Yang menentang istihsan
dan tidak menjadikannya sebagai dsar hujjah ialah Madzab Syafi’i. Istihsan
menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi’i berkata : “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang
yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT”. Dalam buku Risalah
Ushuliyah, karangan beliau, dinyatakan :”Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke
suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menetukan arah ka’bah itu”.
Jika diperhatikan
alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan
menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzab Syafi’i. Menurut madzab
Hanafi : Istihsan itu seperti qiyas, dilakukan karena suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzab Syafi’i, istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Sendainya
istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena Asy
Syathibi dalam kitabnya Al Miwaafaqaat menyatakan : “orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa
hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula
dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.
B.
Kehujjahan Istihsan dalam Ushul Fiqih Maliki
Sebagaimana telah dijelaskan, fikih Maliki merupakan fikih yang
sangat memperhatikan kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-‘ammat)
dan dasar-dasar yang universal (al-ushul al-kulliyat) karena
kaidah-kaidah da dasar-dasar itu bersifat qath’i (tegas, pasti).
Dan karena dalil-dalil ‘aqli (dalil-dalil yang dihasilkan oleh
akal manusia) yang memberi faedah qath’i – tidak qath’i dengan sendirinya, maka
cara sampai kepada qath’i adalah melalui induksi.
Dengan demikian
maka kaidah istihsan dalam hubungannya dengan dalil fikih merupakan suatu kaidah
yang qath’i yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang saling
dukung mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh
karena itu kaidah istihsan itu merupakan kaidah umum yang ditarik secara
induksi pada tingkat umum yang ditarik dari lafazh itu, diterapkan hukumnya
dengan memasukannya ke dalam kategori obyek yang umum itu, jika peristiwa itu
merupakan masalah khusus.
Al-Syatibi telah
mengungkapkan dalil-dalil syarak yang secara kolektif memberi faedah qath’i
yang dijadikan sebagai kaidah istihsan yang benarkan oleh al-Syari’.
Contoh-contoh serupa itu, menurut al-Syatibi, banyak terdapat di dalam islam.
Seperti berutang (meminjam uang), pada dasarnya adalah riba, karena utang itu
adalah menukar uang dengan uang sampai ajal (suatu tempo) yang disepakati
bersama. Akan tetapi pinjaman itu dibolehkan karena bermanfaat dan dapat
membantu orang yang membutuhkan. Kalau pinjam-meminjam itu tetap dilarang
sesuai dengan hukum dasarnya, hal itu menyusahkan umat manusia dan menghalangi
asa tolong-menolong dengan cara ini.
Demikian juga
halnya dengan jamak antara shalat maghrib dan isyak karena masyaqqat (kesukaran),
seperti ketika dalam perjalanan, jamak shalat musafir, qashar
(pemendekan) shalat, berbuka (tidak berpuasa) ketika dalam perjalanan jauh,
shalat khauf (shalat dalam keadaan takut), dan
kelonggaran-kelonggaran lain yang serupa. Semua itu pada hakikatnya kembali
kepada pengutamaan tujuan pencapaian kemaslahatan-kemaslahatan dan menolak
kerusakan secara khusus, karena dalil umum menghendaki tercegahnya kerusakan
itu. sebab bila tetap diberlakukan dalil umum, maka dapat mengakibatkan
hilangnya kemaslahatan yang dikehendaki oleh dalil itu. maka dengan demikian
memelihara tujuan itu seoptimal mungkin merupakan suatu kewajiban.
Termasuk dalam
kategori itu juga masalah melihat aurat untuk kepentingan pengobatan, masalah
qirad (memberi modal kepada orang lain untuk di perdagangkan dengan perjanjian
bagi hasil), musaqat (sistem bagi hasil berkebun), dan salm (jual beli
pesanan).
Semua itu menurut
al-Syatibi memnjadi semacam dalil yang menunjukan keabsahan berpendapat dengan
kaidah ini, dan dasar itulah yang dijadikan pegangan oleh Malik dan
sahabat-sahabatnya.[i]
1 ()
Dalil itu, menurut
al-Syatibi, diambil dari nas-nas Al-Qur’an dan sunnah yang secara kolektif
memberi kesimpulan bahwa al-Syari membenarkan pemakaian kaidah
istihsan dan cabang hukum-hukum yang didasarkan pada kaidah itu. pada
dalil-dalil yang terdahulu didapati bahwa dalam pinjam-meminjam, qirad,
dan musaqat ada takhshish (pengkhususan) terhadap
dalil umum yang menghalangi tercapainya maslahat juz’i, yaitu menghilangkan
kesukaran dan kesulitan. Tegasnya pada hal-hal di atas, dalil umum
ditakhshishkan untuk mencapai maslahat juz’i, yaitu menghilangkan kesukaran dan
kesulitan yang merupakan maslahat juz’i maka perbuatan-perbuatan itu dibolehkan
dengan mentakhshishkan dalil umum.
Dengan demikian,
maslahat itu merupakan kaidah istihsan yang dihasilkan secara induktif yang
dari segi kekuatan istidlal (pembuktian) dengannya dapat mengganti kedudukan
dalil umum yang diambil dari suatu lafazh. Dalil umum yang dihasilkan secara
induktif itu diterapkan kepada setiap masalah cabang yang tidak di jelaskan
hukumnya oleh nas, karena dalil umum itu dapat merealisasi kemaslahatan umum.
C.
Kehujjahan Istihsan dalam Ushul Fiqih Hanafi
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syarak.
Istihsan dapat menetapkan hukum yang berpeda dengan hukum yang ditetapkan oleh
kias atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil
(hujjat).[ii]
Al-Taftani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang
disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nas, atau kepada
ijma, atau kepada darurat, atau kepada kias khafi.[iii]
[i] Al-Syatibi,
al-Muwafaqat, op.cit, juz IV, hlm. 206
[ii]
Husain Hamid Hassan, op.cit., hlm. 594.
[iii]
Al-Taftazani, op.cit., hlm 82.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan Hanafiah mengemukakan
alasan atau dalil-dalil dari Al-Qur’an, sunnah dan ijmak.
Dalil dari al-Qur’an yang mereka kemukakan adalah :
1. Surat al-Zumar (39) : 18 yang
artinya :
”Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik
di antaranya”
2. Surat al-Zumar (39) : 55 yang
artinya :
”Dan ikutilah apa yang paling baik yang telah diturunkan kepadamu
oleh Tuhanmu”
Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang yeng mengikuti pendapat yang paling baik.
Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa
yang diturunkan Allah.
Sedangkan sunnah yang mereka jadikan dalil adalah hadist Ahmad ibn
hambal, musnad al-Iman Ahmad ibn hambal, jilid I, Dar Shadir, hlm. 379. Yang
berbunyi :
“Apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga
baik di sisi Allah”
Adapun ijmak yang mereka jadikan alasan adalah ijmak ulama terhadap
masalah pemakaian kamar mandi umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan
banyaknya air yang digunakan.
D. DASAR PERTIMBANGAN ISTIHSAN
Sebagaimana
telah dijelaskan, istihsan berarti berpalingnya seorang mujtahid dari suatu
hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain karena
ada dasar pertimbangan yang lebih penting yang menghendaki berpaling.
Adapun dasar pertimbangan ulama
dalam menetapkan hukum dengan istihsan adalah terwujudnya tujuan hukum yang
hendak dicapai untuk kepentingan umat, atau dengan perkataan lain yang menjadi
dasar pertimbangan istihsan adalah terealisasi dan terpeliharanya kemasalahatan
dan kepentingan umat sebagai tujuan syariat yang dalam istilah Ushul Fikih
disebut naqashid al-syari’at atau maqashid al-Syari.
Maqashid adalah bentuk jamak dari
qashid, artinya tujuan, kehendak, atau rahasia. Untuk menjelaskan tentang
tujuan dan rahasia syariat, para ulama Ushul Fikih sering menggunakan bentuk
jamaknya, yaitu maqashid al-syari’at. Untuk menjelaskan tentang tujuan dan
rahasia syariat itu, kata maqashid kadang-kadan digabungkan dengan al-Syari’at
(syariat) dan kadang-kadang di gabungkan dengan al-Syari (Pembuat syariat,
Tuhan) dengan maksud dan pengertian yang sama.
BAB
II
PENUTUP
KESIMPULAN
Istihsan adalah sumber hukum yang
banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum oleh dua Imam Madzhab,
yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Malik menilai, pemakaian
istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (fiqh), sementara itu murid-murid Abu
Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad bin Hasan, tidak sejalan dengan
gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriteriannya. Apabila Abu Hanifah
berkata: “pakailah istihsan”, maka tak seorangpun muridnya yang menuruti
perintahnya.
Sedangkan menurut Imam Abu al-Hasan
al-Karkhi istihsan ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada
masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki
dilakukannya penyimpangan itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr. Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,2012),
Cet,1.
Dr.
Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994), Cet,1.
Drs.
H. Muchtar Kamal, Ushul Fiqh (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995).
KH.
Drs. Abdurrahman Hafidz, MA, Ushul Fiqih (Bogor: Al Azhar Perss, 2012), Cet,2.
Prof.
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) Cet.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar