Selasa, 21 April 2015

Makalah Tentang Ketentuan dalam penetapan Istihsan



KATA PENGANTAR

            Assalamualaikum wr.wb

Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara berangsur-angsur dumulai di Mekkah dan diseudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam ketika itu.
            Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat Islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat sahabat. Inilah kemudian yang dikenal dengan Sunnah Rasul. Memang Al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu sedara rinci. Perinsiannya, khusus dalam masalah ibadat, diberikat oleh hadits. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsip-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasullullah SAW diserahkan kepada umat untuk mengaturnya.
            Masalah ibadat karena menyangkut hubungan hamba dengan Khaliknya, maka perinciannya dijelaskan sendiri oleh Nabi. Tugas hamba hanyalah melaksanakan dan mengamalkannya sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan penjelasan Nabi, tidak menambah, mengurangi, atau mengubahnya.
            Dan ketika kekuasaan Islam semakin bertambah luas. Dengan terpencar-pencarnya para ulama, ijmak tidak mengkin dilakukan lagi. Akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbath hukum sendiri. Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti qias, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan syar’ man qablana. Dan metode-metode istinbath hukum itu selanjutnya menjadi obyek kajian ilmu ushul fikih.
            Pada akhirnya dalam makalah ini saya akan memaparkan ketentuan dalam penetapan istihsan. Dengan segala sumber dan refrensi yang sudah saya ambil, namun masih banyak kekurangan dalam penyelesaian makalah ini, jadi saran demi menyempurnakan makalah ini pada nantinya saya butuhkan.

            Wassalamualaikum wr.wb






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
B.     RUMUSAN MASALAH
C.     TUJUAN MASALAH
BAB II PEMBAHASAN
A.    KETENTUAN DALAM
B.     KEHUJJAHAN ISTIHSAN
C.     DASAR PERTIMBANGAN ISTIHSAN
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA














BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Istihsan menurut bahasa berarti “menganggap baik”. Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan tetapi tidak pernah menjelaskan bagaimana meksud daripada istihsan itu. ketika menetapkan suatu hukum dengan cara istihsan. Abu Hanifah mengatakan “astahsin”, artinya saya menganggap baik. Penetapan hukum dengan istihsan itu diikuti pula oleh para sahabat dan pengikut Abu Hanifah. Sehingga dalam sejarah Ushul Fikih, golongan Hanafiah dikenal sebagai golongan yang memakai istihsan sebagai salah satu metode istinbath hukum. Oleh pengikut dan murid-murid Abu Hanifah kemudian dirumuskan pengertian istihsan itu. selanjutnya mereka juga menjelaskan pembagian dan macam-macam istihsan beserta contoh-contohnya.
            As-Syafi’i menolak istihsan karena memandangnya sebagai cara istinbath hukum dengan hawa nafsu dan mencari enaknya saja. As-Syafi’i dalam hal ini berkata “Siapa yang melakukan istihsan berarti dia telah membuat-buat syariat”. Penolakan As-Syafi’i itu tentu besar pengaruhnya di kalangan masyarakat Islam apalagi di kalangan masyarakat Islam yang banyak menganut mazhab Syafi’i seperti indonesia.
            Dari sedikit paparan sederhana itulah maka dalam makalah ini saya akan menjelaskan apa dan bagaimana ketentuan dalam penetapan istihsan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.

B.     RUMUSAN MASALAH
~ Apa Dasar hukum penetapan istihsan ?
~ Apa kehujjahan istihsan ?
~Apa Dasar Pertimbangan Istihsan
C.    TUJUAN MASALAH
~  Mengetahui apa dasar hukum istihsan
~ Mengerti apa itu kehujjahan istihsan
            ~ Mengerti apa dasar pertimbangan istihsan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dasar Hukum Penetapan Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Dsamping Madzab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagaian Madzab Maliki dan sebagian Madzab Hambali.
      Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dsar hujjah ialah Madzab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata : “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT”. Dalam buku Risalah Ushuliyah, karangan beliau, dinyatakan :”Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menetukan arah ka’bah itu”.
      Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzab Syafi’i. Menurut madzab Hanafi : Istihsan itu seperti qiyas, dilakukan karena suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Sendainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena Asy Syathibi dalam kitabnya Al Miwaafaqaat menyatakan : “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.


B.     Kehujjahan Istihsan dalam Ushul Fiqih Maliki
Sebagaimana telah dijelaskan, fikih Maliki merupakan fikih yang sangat memperhatikan kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-‘ammat) dan dasar-dasar yang universal (al-ushul al-kulliyat) karena kaidah-kaidah da dasar-dasar itu bersifat qath’i (tegas, pasti). Dan karena dalil-dalil ‘aqli (dalil-dalil yang dihasilkan oleh akal manusia) yang memberi faedah qath’i – tidak qath’i dengan sendirinya, maka cara sampai kepada qath’i adalah melalui induksi.
            Dengan demikian maka kaidah istihsan dalam hubungannya dengan dalil fikih merupakan suatu kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang saling dukung mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’i. Oleh karena itu kaidah istihsan itu merupakan kaidah umum yang ditarik secara induksi pada tingkat umum yang ditarik dari lafazh itu, diterapkan hukumnya dengan memasukannya ke dalam kategori obyek yang umum itu, jika peristiwa itu merupakan masalah khusus.
            Al-Syatibi telah mengungkapkan dalil-dalil syarak yang secara kolektif memberi faedah qath’i yang dijadikan sebagai kaidah istihsan yang benarkan oleh al-Syari’. Contoh-contoh serupa itu, menurut al-Syatibi, banyak terdapat di dalam islam. Seperti berutang (meminjam uang), pada dasarnya adalah riba, karena utang itu adalah menukar uang dengan uang sampai ajal (suatu tempo) yang disepakati bersama. Akan tetapi pinjaman itu dibolehkan karena bermanfaat dan dapat membantu orang yang membutuhkan. Kalau pinjam-meminjam itu tetap dilarang sesuai dengan hukum dasarnya, hal itu menyusahkan umat manusia dan menghalangi asa tolong-menolong dengan cara ini.
            Demikian juga halnya dengan jamak antara shalat maghrib dan isyak karena masyaqqat (kesukaran), seperti ketika dalam perjalanan, jamak shalat musafir, qashar (pemendekan) shalat, berbuka (tidak berpuasa) ketika dalam perjalanan jauh, shalat khauf (shalat dalam keadaan takut), dan kelonggaran-kelonggaran lain yang serupa. Semua itu pada hakikatnya kembali kepada pengutamaan tujuan pencapaian kemaslahatan-kemaslahatan dan menolak kerusakan secara khusus, karena dalil umum menghendaki tercegahnya kerusakan itu. sebab bila tetap diberlakukan dalil umum, maka dapat mengakibatkan hilangnya kemaslahatan yang dikehendaki oleh dalil itu. maka dengan demikian memelihara tujuan itu seoptimal mungkin merupakan suatu kewajiban.
            Termasuk dalam kategori itu juga masalah melihat aurat untuk kepentingan pengobatan, masalah qirad (memberi modal kepada orang lain untuk di perdagangkan dengan perjanjian bagi hasil), musaqat (sistem bagi hasil berkebun), dan salm (jual beli pesanan).
            Semua itu menurut al-Syatibi memnjadi semacam dalil yang menunjukan keabsahan berpendapat dengan kaidah ini, dan dasar itulah yang dijadikan pegangan oleh Malik dan sahabat-sahabatnya.[i] 1 ()
            Dalil itu, menurut al-Syatibi, diambil dari nas-nas Al-Qur’an dan sunnah yang secara kolektif memberi kesimpulan bahwa al-Syari membenarkan pemakaian kaidah istihsan dan cabang hukum-hukum yang didasarkan pada kaidah itu. pada dalil-dalil yang terdahulu didapati bahwa dalam pinjam-meminjam, qirad, dan musaqat ada takhshish (pengkhususan) terhadap dalil umum yang menghalangi tercapainya maslahat juz’i, yaitu menghilangkan kesukaran dan kesulitan. Tegasnya pada hal-hal di atas, dalil umum ditakhshishkan untuk mencapai maslahat juz’i, yaitu menghilangkan kesukaran dan kesulitan yang merupakan maslahat juz’i maka perbuatan-perbuatan itu dibolehkan dengan mentakhshishkan dalil umum.
            Dengan demikian, maslahat itu merupakan kaidah istihsan yang dihasilkan secara induktif yang dari segi kekuatan istidlal (pembuktian) dengannya dapat mengganti kedudukan dalil umum yang diambil dari suatu lafazh. Dalil umum yang dihasilkan secara induktif itu diterapkan kepada setiap masalah cabang yang tidak di jelaskan hukumnya oleh nas, karena dalil umum itu dapat merealisasi kemaslahatan umum.



C.    Kehujjahan Istihsan dalam Ushul Fiqih Hanafi
Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bisa menjadi dalil syarak. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berpeda dengan hukum yang ditetapkan oleh kias atau umum nas. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat dijadikan dalil (hujjat).[ii] Al-Taftani mengatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nas, atau kepada ijma, atau kepada darurat, atau kepada kias khafi.[iii]


[i] Al-Syatibi, al-Muwafaqat, op.cit, juz IV, hlm. 206
[ii] Husain Hamid Hassan, op.cit., hlm. 594.
[iii] Al-Taftazani, op.cit., hlm 82.







Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan Hanafiah mengemukakan alasan atau dalil-dalil dari Al-Qur’an, sunnah dan ijmak.
Dalil dari al-Qur’an yang mereka kemukakan adalah :
1.      Surat al-Zumar (39) : 18 yang artinya :
”Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik di antaranya”
2.      Surat al-Zumar (39) : 55 yang artinya :
”Dan ikutilah apa yang paling baik yang telah diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu”
Ayat pertama, menurut mereka, memuji orang-orang  yeng mengikuti pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah.
Sedangkan sunnah yang mereka jadikan dalil adalah hadist Ahmad ibn hambal, musnad al-Iman Ahmad ibn hambal, jilid I, Dar Shadir, hlm. 379. Yang berbunyi :
“Apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik di sisi Allah”
Adapun ijmak yang mereka jadikan alasan adalah ijmak ulama terhadap masalah pemakaian kamar mandi umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang digunakan.

D.        DASAR PERTIMBANGAN ISTIHSAN
            Sebagaimana telah dijelaskan, istihsan berarti berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain karena ada dasar pertimbangan yang lebih penting yang menghendaki berpaling.
            Adapun dasar pertimbangan ulama dalam menetapkan hukum dengan istihsan adalah terwujudnya tujuan hukum yang hendak dicapai untuk kepentingan umat, atau dengan perkataan lain yang menjadi dasar pertimbangan istihsan adalah terealisasi dan terpeliharanya kemasalahatan dan kepentingan umat sebagai tujuan syariat yang dalam istilah Ushul Fikih disebut naqashid al-syari’at atau maqashid al-Syari.
            Maqashid adalah bentuk jamak dari qashid, artinya tujuan, kehendak, atau rahasia. Untuk menjelaskan tentang tujuan dan rahasia syariat, para ulama Ushul Fikih sering menggunakan bentuk jamaknya, yaitu maqashid al-syari’at. Untuk menjelaskan tentang tujuan dan rahasia syariat itu, kata maqashid kadang-kadan digabungkan dengan al-Syari’at (syariat) dan kadang-kadang di gabungkan dengan al-Syari (Pembuat syariat, Tuhan) dengan maksud dan pengertian yang sama.



BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN

            Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Malik menilai, pemakaian istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (fiqh), sementara itu murid-murid Abu Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad bin Hasan, tidak sejalan dengan gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriteriannya. Apabila Abu Hanifah berkata: “pakailah istihsan”, maka tak seorangpun muridnya yang menuruti perintahnya.
            Sedangkan menurut Imam Abu al-Hasan al-Karkhi istihsan ialah penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.























DAFTAR PUSTAKA

           
Prof. Dr. Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,2012), Cet,1.
Dr. Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), Cet,1.
Drs. H. Muchtar Kamal, Ushul Fiqh (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995).
KH. Drs. Abdurrahman Hafidz, MA, Ushul Fiqih (Bogor: Al Azhar Perss, 2012), Cet,2.
Prof. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) Cet.1



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar