Jumat, 17 April 2015

Beberapa citra atas Yogyakarta



                Hampir setiap kota di indonesia memiliki citra masing-masing, dan hal ini sesuai dengan realitas yang dimilikinya. Bandung sebagai kota kembang, cirebon kota udang[1], jakarta kota bisnis, pekalongan kota batik, surabaya sebagai kota industri, yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota wisata, kota budaya dan lan-lain yang turut menentukan siapa dan memiliki tujuan apakah mereka datang kesuatu kota tersebut. Citra kota merupakan suatu yang terbangun dalam mental masyarakat, dan citra kota tidak selalu merujuk pada sesuatu yang selalu baik. Adakalanya citra berkaitan dengan sesuatu yang kotor, seperti yang dilaporkan kompas[2], bahwa Batam bercitra kota yang kotor. Sandra Taal dalam disertasinya menyebutkan bahwa Palembang dikenal sebagai kota yang tidak aman[3].
                Citra suatu kota dapat berubah, bergeser atau bertambah, seperti yang dimiliki Yogyakarta. Kota Yogyakarta memiliki multicitra, hal itu terkait dengan realitas yang ada di Yogyakarta. Beberapa citra tersebut antara lain sebagai kota budaya, kota wisata, kota gudeg, kota pendidikan. Realitas masa lalu juga telah mencitrakan Kota Yogyakarta. Beberapa citra tersebut antara lain sebagai kota perjuangan/kota revolusi, dan bahkan yang muncul belakangan adalah Yogyakarta sebagai kota Buku[4] dan kota Mural[5]. Mengikuti pemikiran sandra Taal bahwa citra suatu daerah tidak jarang berasal dari masalalunya, maka citra yang pada Yogyakarta pun tentunya juga demikian.
                Sebuah citra dibentuk untuk berbagai tujuan dan kepentingan yang diarahkan demi dikenalnya “diri” dalam sudut pandang yang positif. Perencanaan pembangunan daerah yang memakai teknik-teknik pemasaran mendorong berbagai pihak/pengambil kebijakan untuk menjalankan prosedur-prosedurnya. Yogyakarta membangun citra-citra positifnya dengan slogan-slogan pariwisata seperti “Jogja never ending asia”, “Yogyakarta kota Budaya”, “Yogyakarta Kota Pendidikan”[6], Kota Gudeg, Kota Mural, dan mungkin ada beberapa julukan lainnya. Citra kadang-kadang disamakan dengan predikat karena keduanya memiliki keterkaitan.
                Pemberian predikat untuk sebuah kota memiliki alasan tertentu, yang biasanya merupakan representasi atas kota tersebut. Selain menjadi representasi atas realitas yang ada, predikat sebuah kota bisa juga sengaja dibangun untuk mencitrakan dirinya, baik realitas sosial maupun realitas fisik.
A.      Kota Perjuangan atau Revolusi
Djogdjakarta mendjadi termasjhur oleh karena djiwa- kemerdekaannja. Hidupkanlah terus djiwa-kemerdekaan itu ![7]
Kata-kata kenangan dari Presiden Soekarno untuk (rakyat dan kota) Yogyakarta ketika akan meninggalkan kota ini untuk kembali ke Jakarta. Kata-kata itu seakan menjadi sebuah pengakuan betapa kuat jiwa kemerdekaan yang ada di kota ini. Tentunya bukan tanpa alasan mengapa kata-kata itu disampaikan. Jika kemudian ada julukan Yogyakarta sebagai kota Revolusi dan Kota Perjuangan hal itu dapat terkait dengan apa yang di ucapkan oleh Presiden Soekarno itu. jiwa kemerdekaan yang kuat dimiliki rakyat di kota ini. Ada antusiasme yang luar biasa untuk melawan penguasa kolonial dan menghancurkan segala sesuatu yang berbau kolonial[8]. Semangat anti kolonial ini lekat dengan periode yang mendukung berkembangnya citra Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan kota revolusi, yakni ketika Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia.
Keadaan di Jakarta setelah Proklamasi makin tegang. Kolonialisme Belanda yang ingin menguasai Indonesia lagi, melancarkan tindakan militer sehingga keadaan di kota proklamasi itu menjadi genting. Oleh karena itu, M.Hatta yang menjadi wakil presiden merangkap perdana menteri, pada 3 januari 1946 memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan republik ke Yogyakarta. Sejak tanggal 4 januari 1946, Yogyakarta menjadi pusat perjuangan politik dan militer pemerintah Indonesia[9]. Perpindahan pusat pemerintahan itu menarik unsur-unsur nasionalis untuk masuk dan berpusat di Yogyakarta. Selain para birokrat, Yogyakarta juga menjadi daerah tujuan para intelektual, tentara, laskar, pedagang dan para pengungsi lainnya. Masa itu kota Yogyakarta menjadi penuh sesak.
Sebuah kenangan tentang penuhnya Yogyakarta karena datangnya pengungsi disampaikan oleh seorang informasi bahwa pada masa itu rumahnya yang berada di Danukusuman (sekarang jalan Dr. Sutomo) pernah di pakai untuk tempat tinggal hampir 30 orang. Hal serupa juga banyak terjadi di keluarga lain. Mereka yang datang itu adalah para keluarganya yang berasal dari daerah jawa Barat. Selain keluarga juga ada beberapa laskar rakyat. Dengan jumlah sekian puluh orang dalam sebuah rumah, maka mereka harus “berbagi”. Kamar mandi harus dipakai secara bergiliran, juga tempat tidur, hanya berupa tikar. Kehidupan yang kurang lebih sama juga dialami oleh para pekerja Harian antara, yang menempati rumah di jalan Tugu Kulon No.58. ditempat itu tinggal para pegawai baik yang sudah berkeluarga ataupun yang masih lajang. Untuk menampung orang dalam jumlah banyak, rumah tersebut kurang memadai, karena air ledeng yang tidak setiap saat mengalir, kamar mandi hanya ada satu.
Jumlah pngungsi yang masuk ke Yogyakarta semakin bertambah, menyusul agresi militer Belanda I pada pertengahan tahun 1947 dan dilanjutkan dengan adanya penandatanganan perjanjian Renville pada awal tahun 1948. Sebagai ibu kota negara, berbagai fasilitas dan kegiatan yang ada di wilayah RI diusahakan untuk dipusatkan di Yogyakarta[10]. Secara teknis sebenarnya Yogyakarta belum siap dijadikan ibukota negara, karena kurangnya fasilitas. Walaupun demikian berbagai kantor pemerintah mulai menjalankan kegiatannya dan sebagian dari mereka ada yang berhasil membawa serta berbagai fasilitas dari tempat yang lama.[11]



[1] Puguh, 2005
[2] Kurniawati, 2006; 3
[3] Ibid
[4] Sunardi, St, 2005
[5] Anusapati, 2005
[6] Soetarto, 2009 : 233-234)
[7] Soekarno, 28 Desember 1949
[8] Selo Soemardjan, 1981 : 292
[9] Tempo : 34
[10] Purwanto,dkk,,1999:3
[11] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar