Hampir
setiap kota di indonesia memiliki citra masing-masing, dan hal ini sesuai
dengan realitas yang dimilikinya. Bandung sebagai kota kembang, cirebon kota
udang[1],
jakarta kota bisnis, pekalongan kota batik, surabaya sebagai kota industri,
yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota wisata, kota budaya dan lan-lain yang
turut menentukan siapa dan memiliki tujuan apakah mereka datang kesuatu kota
tersebut. Citra kota merupakan suatu yang terbangun dalam mental masyarakat,
dan citra kota tidak selalu merujuk pada sesuatu yang selalu baik. Adakalanya
citra berkaitan dengan sesuatu yang kotor, seperti yang dilaporkan kompas[2],
bahwa Batam bercitra kota yang kotor. Sandra Taal dalam disertasinya
menyebutkan bahwa Palembang dikenal sebagai kota yang tidak aman[3].
Citra
suatu kota dapat berubah, bergeser atau bertambah, seperti yang dimiliki
Yogyakarta. Kota Yogyakarta memiliki multicitra, hal itu terkait dengan
realitas yang ada di Yogyakarta. Beberapa citra tersebut antara lain sebagai
kota budaya, kota wisata, kota gudeg, kota pendidikan. Realitas masa lalu juga
telah mencitrakan Kota Yogyakarta. Beberapa citra tersebut antara lain sebagai
kota perjuangan/kota revolusi, dan bahkan yang muncul belakangan adalah
Yogyakarta sebagai kota Buku[4]
dan kota Mural[5].
Mengikuti pemikiran sandra Taal bahwa citra suatu daerah tidak jarang berasal
dari masalalunya, maka citra yang pada Yogyakarta pun tentunya juga demikian.
Sebuah
citra dibentuk untuk berbagai tujuan dan kepentingan yang diarahkan demi
dikenalnya “diri” dalam sudut pandang yang positif. Perencanaan pembangunan
daerah yang memakai teknik-teknik pemasaran mendorong berbagai pihak/pengambil
kebijakan untuk menjalankan prosedur-prosedurnya. Yogyakarta membangun
citra-citra positifnya dengan slogan-slogan pariwisata seperti “Jogja never
ending asia”, “Yogyakarta kota Budaya”, “Yogyakarta Kota Pendidikan”[6],
Kota Gudeg, Kota Mural, dan mungkin ada beberapa julukan lainnya. Citra kadang-kadang
disamakan dengan predikat karena keduanya memiliki keterkaitan.
Pemberian
predikat untuk sebuah kota memiliki alasan tertentu, yang biasanya merupakan
representasi atas kota tersebut. Selain menjadi representasi atas realitas yang
ada, predikat sebuah kota bisa juga sengaja dibangun untuk mencitrakan dirinya,
baik realitas sosial maupun realitas fisik.
A. Kota Perjuangan atau Revolusi
Djogdjakarta mendjadi termasjhur oleh karena djiwa-
kemerdekaannja. Hidupkanlah terus djiwa-kemerdekaan itu ![7]
Kata-kata kenangan dari Presiden Soekarno untuk (rakyat dan kota)
Yogyakarta ketika akan meninggalkan kota ini untuk kembali ke Jakarta.
Kata-kata itu seakan menjadi sebuah pengakuan betapa kuat jiwa kemerdekaan yang
ada di kota ini. Tentunya bukan tanpa alasan mengapa kata-kata itu disampaikan.
Jika kemudian ada julukan Yogyakarta sebagai kota Revolusi dan Kota Perjuangan
hal itu dapat terkait dengan apa yang di ucapkan oleh Presiden Soekarno itu.
jiwa kemerdekaan yang kuat dimiliki rakyat di kota ini. Ada antusiasme yang
luar biasa untuk melawan penguasa kolonial dan menghancurkan segala sesuatu
yang berbau kolonial[8].
Semangat anti kolonial ini lekat dengan periode yang mendukung berkembangnya
citra Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan kota revolusi, yakni ketika
Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia.
Keadaan di Jakarta setelah Proklamasi makin tegang. Kolonialisme
Belanda yang ingin menguasai Indonesia lagi, melancarkan tindakan militer
sehingga keadaan di kota proklamasi itu menjadi genting. Oleh karena itu,
M.Hatta yang menjadi wakil presiden merangkap perdana menteri, pada 3 januari
1946 memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan republik ke Yogyakarta.
Sejak tanggal 4 januari 1946, Yogyakarta menjadi pusat perjuangan politik dan
militer pemerintah Indonesia[9].
Perpindahan pusat pemerintahan itu menarik unsur-unsur nasionalis untuk masuk
dan berpusat di Yogyakarta. Selain para birokrat, Yogyakarta juga menjadi
daerah tujuan para intelektual, tentara, laskar, pedagang dan para pengungsi lainnya.
Masa itu kota Yogyakarta menjadi penuh sesak.
Sebuah kenangan tentang penuhnya Yogyakarta karena datangnya pengungsi
disampaikan oleh seorang informasi bahwa pada masa itu rumahnya yang berada di
Danukusuman (sekarang jalan Dr. Sutomo) pernah di pakai untuk tempat tinggal
hampir 30 orang. Hal serupa juga banyak terjadi di keluarga lain. Mereka yang
datang itu adalah para keluarganya yang berasal dari daerah jawa Barat. Selain
keluarga juga ada beberapa laskar rakyat. Dengan jumlah sekian puluh orang dalam
sebuah rumah, maka mereka harus “berbagi”. Kamar mandi harus dipakai secara
bergiliran, juga tempat tidur, hanya berupa tikar. Kehidupan yang kurang lebih
sama juga dialami oleh para pekerja Harian antara, yang menempati rumah di
jalan Tugu Kulon No.58. ditempat itu tinggal para pegawai baik yang sudah
berkeluarga ataupun yang masih lajang. Untuk menampung orang dalam jumlah
banyak, rumah tersebut kurang memadai, karena air ledeng yang tidak setiap saat
mengalir, kamar mandi hanya ada satu.
Jumlah pngungsi yang masuk ke Yogyakarta semakin bertambah, menyusul
agresi militer Belanda I pada pertengahan tahun 1947 dan dilanjutkan dengan
adanya penandatanganan perjanjian Renville pada awal tahun 1948. Sebagai ibu
kota negara, berbagai fasilitas dan kegiatan yang ada di wilayah RI diusahakan
untuk dipusatkan di Yogyakarta[10].
Secara teknis sebenarnya Yogyakarta belum siap dijadikan ibukota negara, karena
kurangnya fasilitas. Walaupun demikian berbagai kantor pemerintah mulai
menjalankan kegiatannya dan sebagian dari mereka ada yang berhasil membawa
serta berbagai fasilitas dari tempat yang lama.[11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar