Senin, 20 April 2015

H.O.S TJOKROAMINOTO



HOS TJOKROAMINOTO merupakan anak kedua dari duabelas bersaudara. Beliau lahir pada 16 agustus 1882 di desa bakur, ponorogo. Sebagai seorang anak priayi, Tjokroaminoto di jodohkan oleh orangtuanya dengan anak priayi pula yaitu Soeharsikin, puteri seorang patih wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangoensoemo. Patih ini dikenal sangat pemberani dan disegani walaupun bertugas di daerah Ponorogo yang dikenal gawat dengan ulah warok dan perampok-perampok yang hampir tiap hari membuat ricuh di masyarakat. Namun mertua Tjokroaminoto ini masih tetap suka menolong sesama, baik mendidik dan memerdekakan para pencuri yang di tawannya maupun mengobati orang yang digigit ular. Di lingkungan keluarga seperti inilah, istri Tjokroaminoto dididik dan digembleng, sehingga kelak menjadi pendamping yang setya bagi Tjokroaminoto di tengah-tengah medan perjuangan menyadarkan bangsa Indonesia dari penjajahan.
                Raden Ajeng Soeharsikin (yang kemudian di kenal menjadi Raden Aju Tjokroaminoto) di kenal sebagai seorang anak yang sangat halus budi-pekertinya, baik perangainya, besar sifat pengampunannya dan cekatan. Walaupun tidak tinggi pendidikan sekolahnnya, ia sangat gemar terhadap pengajaran dan pengajian agama. Menurut asal-usulnya, ia keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir di Madiun.
                Keteguhan dan kecintaan R.A. Soeharsikin kepada suaminya dibuktikan sejak awal masa pernikahannya yang dipaksa memilih antara berpisah dengan orangtuanya atau dengan Tjokroaminoto, bagai memilih buah simalakama. Hal ini terjadi ketika Tjokroaminoto berselisih dengan meruanya. Perselisihan ini bermula dari perbedaan pandangan antara keduanya. Tjokroaminoto tidak berhasrat menjadi birokrat, sedangkan mertuanya menginginkan Tjokroaminoto menjadi birokrat, sebab mertuanya masih bersikap kolot dan cenderung elitis. Perbedaan pandangan ini wajar mengingat perbedaan latar belakang pendidikan dan kedudukan mereka dalam masyarakat.
                Perbedaan-perbedaan di antara mertua dan menantu ini tidak mudah untuk dipertemukan, bahkan perbedaan ini makin hari makin bertambah tajam. Jurang pemisah di antara keduanya pun makin melebar dan semakin sulit untuk dijembatani. Sadar akan kenyataan yang dihadapinya ini, Tjokroaminoto pun mengambil tindakan nekat. Dia meninggalkan rumah kediaman mertuanya yang juga menjadi kediamannya selama ini walaupun ketika itu istrinya sedang mengandung anaknya yang pertama.
                Tindakan nekat Tjokroaminoto ini menimbulkan kemarahan besar mertuanya, bahkan kebencian. Mangunsoemo memaksa anaknya, Soeharsikin untuk bercerai kepada Tjokroaminoto, sebab kepergianya membuat malu dan mencoreng martabat dan kehormatan keluarga. Dihadapkan pada situasi sulit ini, Soeharsikin secara tegas tetap memilih suaminya, Tjokroaminoto. Secara diplomatis Soeharsikin menjawab:
“Ayahanda !!! Dahulu ananda dikawinkan oleh ayah-bunda dengan Mas Tjokro, padahal ananda pada waktu itu tidak mengenalnya. Ananda ta’ati !!! Kini ananda pun tetap ta’at.
Kalau ayah-bunda menceraikan ananda dari Mas Tjokro baiklah, tetapi...... seumur hidup, ananda tidak mau kawin lagi. Oleh karena dunia dan akhirat, suami ananda hanyalah Mas Tjokro semata”.
Jawaban Soeharsikin membuat kedua orangtuanya tertegun dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ketika Soeharsikin telah melahirkan anak sulungnya, ia bersama anaknya meninggalkan rumah untuk menyusul Tjokroaminoto. Namun tidak jadi, karena dia berhasil ditemukan oleh pesuruh ayahnya yang menyusulnya. Terpaksa ia kembali lagi kerumahnya.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar