DIY, dari De Facto ke De Jure
Secara De
Jure, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
baru ada setelah keluar UU No. 3 Tahun 1950 (UU tentang Pembentukan DIY). Namun
secara, de facto nama atau sebutan DIY sudah muncul sejak 1945. Menurut Sujamto
(1984), nama atau sebutan DIY juga telah dipakai secara riil efektif sejak
dikeluarkannya Maklumat No. 18 Tahun 1946 yang ditandatangani oleh Sri Sultan
HB IX dan Sri Paku Alaman VIII.
Menurut
Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), secara de facto DIY lahir pada 18 mei 1946,
yaitu ketika dikeluarkannya Maklumat No. 18 tahun 1946. Proses menuju
kelahirannya sudah dimulai sejak dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 yang
disebut oleh Sujamto (1988) sebagai embrio DIY. Amanat itu kemudian ditegaskan
ulang melalui penerbitan amanat 30 oktober 1945.
Dengan demikian,
menurut Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), kemunculan UU No. 3 tahun 1950 yang
dikeuarkan pada 3 maret 1950 hanyalah merupakan legalisasi, pengakuan, atau pengukuhan
terhadap adanya DIY. Artinya, sebelum itu (secara de facto) DIY telah eksis. UU
No. 3 Tahun 1950 itu memberi sebuah dasar hukum yang jelas.
Proses perkembangan
nama atau sebutan DIY dari 1945 sampai 1950 benar-benar menunjukan penggenapan
pasal 18 UUD 1945 (Sebelum diamandemen). Pasal itu mengatakan bahwa sebuah
daerah dinyatakan sebagai istimewa jika memiliki “susunan asli” yang telah ada
sebelum daerah itu menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dalam dua buah
amanat 5 september 1945 disebut tentang Negeri Yogyakarta Hadiningrat dan
Negeri Pakualaman. Dua sebutan ini jelas sekali menunjukan bagaimana yogya
merupakan sebuah daerah swapraja yang masih eksis sampai pada hari kemerdekaan
Republik Indonesia. Yogya memiliki pemerintahan asli tersendiri sejak sebelum
bergabung dengan Republik Indonesia.
Dengan amanat
5 september 1945 itu, dijelaskan bahwa terdapat dua daerah istimewa di dalam
Republik Indonesia, yaitu Negeri Yogyakarta Hadiningrat dan Negeri Pakualaman. Hal
itu menunjukan dengan jelas bahwa baik kasultanan maupun pakualaman sama-sama
merupakan sebuah kerajaan (projo kejawen) yang bersifat otonom. Meskipun pada
jaman pendudukan jepan Sri Paku Alam VIII sudah menyatakan secara lisan
berunifikasi dengan kasultanan, pada dasarnya Pakualaman merupakan sebuah
kadipaten yang mandiri.
Pada 30
Oktober 1945, Sri Sultan HB IX bersama-sama dengan Sri Paku Alam VIII
mengeluarkan sebuah amanat lagi yang menegaskan bahwa yogya merupakan Daerah
Istimewa Negara Republik Indonesia. Menurut Sujamto (1988), amanat itu belum
memakai sebutan DIY sebab pada masa itu “Yogyakarta” masih sangat identik
dengan kasultanan saja. Kalau langsung dipakai nama DIY, orang akan berfikiran
bahwa itu tidak termasuk kadipaten pakualaman. Kecuali itu, pemakaian nama
Daerah Istimewa Yogyakarta Negara Republik Indonesia lebih menekankan aspek
pengintegrasian dan komitmen Yogya pada Republik Indonesia.
Dalam perkembangan
berikutnya, ternyata muncul sebuah tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Surakarta. Sebutan ini muncul dalam penjelasan UU No. 1 tahun 1945. Undang-undang
yang ditetapkan pada 23 November 1945 itu melihat bahwa keempat projo kejawen
(kasultanan Yogya, Pakualaman Yogya, Kasunanan Surakarta, dan Mangkuegara
Surakarta) merupakan sebuah daerah istimewa. Namun demikian, usaha menjadikan
surakarta sebagai daerah istimewa mengalami kegagalan.
Selanjutnya,
dalam maklumat-maklumat yang dikluarkan di yogya yang ditanda tangani oleh Sri
Sultan HB IX dan Sri PA VIII disebutkan nama atau sebutan daerah istimewa
negara republik indonesia. Maklumat-maklumat itu adalah maklumat No. 14 yang
disahkan tanggal 11 april 1946 dan maklumat No. 15 yang disahkan pada tanggal
11 april 1946. Dalam maklumat No. 14 terdapat penetapan tentang majelis desa
dan penghapusan rapat desa, rukun desa, dan rukun tetangga. Maklumat No. 14 dan
No. 15 itu menyebutkan bahwa yogya merupakan satu (sebuah) Daerah Istimwa yang
meliputi Kasultanan Yogya dan kadipaten Pakualaman dengan kepala daerah HB IX
dan PA VIII.
Nama
atau sebutan daerah istimewa negara republik indonesia masih dinyatakan sampai
pada terbitnya maklumat No. 17 tahun 1946. Melalui maklumat ini juga diketahui
bahwa daerah istimewa negara republik indonesia itu mencakup daerah kasultanan
dan daerah pakualaman. Sama seperti maklumat No. 14 dan No. 15 di atas,
maklumat ini juga menyatakan bahwa Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII adalah
kepala daerahnya.
Nama dan
sebutan DIY pertama kali muncul pada 1946, yaitu ketika dikeluarkannya Maklumat
No. 18 tahun 1946. Karena itu, Soedarisman Poerkoesoemo (1984) mengatakan bahwa
tanggal 18 mei 1946 merupakan hari kelahiran DIY karena merupakan tanggal
ditandatanganinya maklumat no. 18 tersebut. Pencantuman nama DIY dalam maklumat
itu sendiri merupakan proses tarik ulur.
Dalam perkembangan
berikutnya, ternyata muncul kembali nama atau sebutan tentang daerah istimewa
surakarta dan yogyakarta, yaitu dalam penetapan pemerintah No. 16/S.D. Tahun
1946 tanggal 5 juli 1946. Menurut catatan Sujamto (1988), satu daerah istimewa
yang meliputi kasultanan yogya, kasunanan surakarta, pakualaman yogya dan
kadpaten mangkunegaraan itu belum pernah terwujud dan belum pernah ditentukan
siapa kepala daerahnya. Yang jelas, upaya untuk menjadikan surakarta sebagai
sebuah daerah istimewa tidak pernah berhasil.
Akhirnya,
penegasan nama atau sebutan DIY mencapai kejelasan Hukum pada 1950, yaitu
dengan terbitnya UU No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan daerah istimewa
yogyakarta. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa yogya adalah satu daerah
istimewa, meliputi wilayah kasultanan yogya dan kadipaten pakualaman yogya
dengan HB IX sebagai kepala daerah dan PA VIII sebagai wakil kepala daerah.
Sebagai
catatan, setelah DIY terbentuk, pada 1974 sebutannya bertambah menjadi Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 5 tahun 1974). Undang-undang itu memberikan
penegasan status ganda DIY, yaitu sebagai wilayah administrasi dan sebagai
daerah otonom. Dengan status ganda itu, Sri Sultan HB IX adalah gubernur kepala
daerah DIY. Sedangkan Sri PA VIII adalah wakil gubernur kepala daerah DIY.
Refrensi buku "catatan perjalanan keistimewaan yogya, Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunarto"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar