Minggu, 05 April 2015

Sejarah nama Daerah Istimewa Yogyakarta

DIY, dari De Facto ke De Jure

                Secara De Jure,  Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) baru ada setelah keluar UU No. 3 Tahun 1950 (UU tentang Pembentukan DIY). Namun secara, de facto nama atau sebutan DIY sudah muncul sejak 1945. Menurut Sujamto (1984), nama atau sebutan DIY juga telah dipakai secara riil efektif sejak dikeluarkannya Maklumat No. 18 Tahun 1946 yang ditandatangani oleh Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alaman VIII.
                Menurut Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), secara de facto DIY lahir pada 18 mei 1946, yaitu ketika dikeluarkannya Maklumat No. 18 tahun 1946. Proses menuju kelahirannya sudah dimulai sejak dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 yang disebut oleh Sujamto (1988) sebagai embrio DIY. Amanat itu kemudian ditegaskan ulang melalui penerbitan amanat 30 oktober 1945.
                Dengan demikian, menurut Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), kemunculan UU No. 3 tahun 1950 yang dikeuarkan pada 3 maret 1950 hanyalah merupakan legalisasi, pengakuan, atau pengukuhan terhadap adanya DIY. Artinya, sebelum itu (secara de facto) DIY telah eksis. UU No. 3 Tahun 1950 itu memberi sebuah dasar hukum yang jelas.
                Proses perkembangan nama atau sebutan DIY dari 1945 sampai 1950 benar-benar menunjukan penggenapan pasal 18 UUD 1945 (Sebelum diamandemen). Pasal itu mengatakan bahwa sebuah daerah dinyatakan sebagai istimewa jika memiliki “susunan asli” yang telah ada sebelum daerah itu menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dalam dua buah amanat 5 september 1945 disebut tentang Negeri Yogyakarta Hadiningrat dan Negeri Pakualaman. Dua sebutan ini jelas sekali menunjukan bagaimana yogya merupakan sebuah daerah swapraja yang masih eksis sampai pada hari kemerdekaan Republik Indonesia. Yogya memiliki pemerintahan asli tersendiri sejak sebelum bergabung dengan Republik Indonesia.
                Dengan amanat 5 september 1945 itu, dijelaskan bahwa terdapat dua daerah istimewa di dalam Republik Indonesia, yaitu Negeri Yogyakarta Hadiningrat dan Negeri Pakualaman. Hal itu menunjukan dengan jelas bahwa baik kasultanan maupun pakualaman sama-sama merupakan sebuah kerajaan (projo kejawen) yang bersifat otonom. Meskipun pada jaman pendudukan jepan Sri Paku Alam VIII sudah menyatakan secara lisan berunifikasi dengan kasultanan, pada dasarnya Pakualaman merupakan sebuah kadipaten yang mandiri.
                Pada 30 Oktober 1945, Sri Sultan HB IX bersama-sama dengan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan sebuah amanat lagi yang menegaskan bahwa yogya merupakan Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia. Menurut Sujamto (1988), amanat itu belum memakai sebutan DIY sebab pada masa itu “Yogyakarta” masih sangat identik dengan kasultanan saja. Kalau langsung dipakai nama DIY, orang akan berfikiran bahwa itu tidak termasuk kadipaten pakualaman. Kecuali itu, pemakaian nama Daerah Istimewa Yogyakarta Negara Republik Indonesia lebih menekankan aspek pengintegrasian dan komitmen Yogya pada Republik Indonesia.
                Dalam perkembangan berikutnya, ternyata muncul sebuah tentang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Sebutan ini muncul dalam penjelasan UU No. 1 tahun 1945. Undang-undang yang ditetapkan pada 23 November 1945 itu melihat bahwa keempat projo kejawen (kasultanan Yogya, Pakualaman Yogya, Kasunanan Surakarta, dan Mangkuegara Surakarta) merupakan sebuah daerah istimewa. Namun demikian, usaha menjadikan surakarta sebagai daerah istimewa mengalami kegagalan.
                Selanjutnya, dalam maklumat-maklumat yang dikluarkan di yogya yang ditanda tangani oleh Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII disebutkan nama atau sebutan daerah istimewa negara republik indonesia. Maklumat-maklumat itu adalah maklumat No. 14 yang disahkan tanggal 11 april 1946 dan maklumat No. 15 yang disahkan pada tanggal 11 april 1946. Dalam maklumat No. 14 terdapat penetapan tentang majelis desa dan penghapusan rapat desa, rukun desa, dan rukun tetangga. Maklumat No. 14 dan No. 15 itu menyebutkan bahwa yogya merupakan satu (sebuah) Daerah Istimwa yang meliputi Kasultanan Yogya dan kadipaten Pakualaman dengan kepala daerah HB IX dan PA VIII.
                Nama atau sebutan daerah istimewa negara republik indonesia masih dinyatakan sampai pada terbitnya maklumat No. 17 tahun 1946. Melalui maklumat ini juga diketahui bahwa daerah istimewa negara republik indonesia itu mencakup daerah kasultanan dan daerah pakualaman. Sama seperti maklumat No. 14 dan No. 15 di atas, maklumat ini juga menyatakan bahwa Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII adalah kepala daerahnya.
                Nama dan sebutan DIY pertama kali muncul pada 1946, yaitu ketika dikeluarkannya Maklumat No. 18 tahun 1946. Karena itu, Soedarisman Poerkoesoemo (1984) mengatakan bahwa tanggal 18 mei 1946 merupakan hari kelahiran DIY karena merupakan tanggal ditandatanganinya maklumat no. 18 tersebut. Pencantuman nama DIY dalam maklumat itu sendiri merupakan proses tarik ulur.
                Dalam perkembangan berikutnya, ternyata muncul kembali nama atau sebutan tentang daerah istimewa surakarta dan yogyakarta, yaitu dalam penetapan pemerintah No. 16/S.D. Tahun 1946 tanggal 5 juli 1946. Menurut catatan Sujamto (1988), satu daerah istimewa yang meliputi kasultanan yogya, kasunanan surakarta, pakualaman yogya dan kadpaten mangkunegaraan itu belum pernah terwujud dan belum pernah ditentukan siapa kepala daerahnya. Yang jelas, upaya untuk menjadikan surakarta sebagai sebuah daerah istimewa tidak pernah berhasil.
                Akhirnya, penegasan nama atau sebutan DIY mencapai kejelasan Hukum pada 1950, yaitu dengan terbitnya UU No. 3 tahun 1950 tentang pembentukan daerah istimewa yogyakarta. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa yogya adalah satu daerah istimewa, meliputi wilayah kasultanan yogya dan kadipaten pakualaman yogya dengan HB IX sebagai kepala daerah dan PA VIII sebagai wakil kepala daerah.
                Sebagai catatan, setelah DIY terbentuk, pada 1974 sebutannya bertambah menjadi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 5 tahun 1974). Undang-undang itu memberikan penegasan status ganda DIY, yaitu sebagai wilayah administrasi dan sebagai daerah otonom. Dengan status ganda itu, Sri Sultan HB IX adalah gubernur kepala daerah DIY. Sedangkan Sri PA VIII adalah wakil gubernur kepala daerah DIY.

Refrensi buku "catatan perjalanan keistimewaan yogya, Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunarto"

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar