Jumat, 01 Mei 2015

Konteks Lahirnya KEISTIMEWAAN Yogyakarta




                Memperbincangkan keistimewaan yogyakarta tanpa melihat konteks dan latar yang berada di baliknya akan membuat orang terjebak pada memperhadapkan konsep itu secara binner dengan konsep-konsep lain seperti demokrasi versus feodalisme, desentralisasi versus sentralisasi, pusat versus daerah, dan sebagainya. Keistimewaan sebagai suatu konsep mempunyai banyak spektrum makna pada orang yang berbeda. Suatu yang istimewa bagi seseorang belum tentu istimewa bagi orang lain. Konsep ini juga berubah tergantung pada ruang dan waktu tertentu. Keistimewaan, karena itu, merupakan sesutau yang relatif dan mengandung banyak kemungkinan.
                Perubahan keistimewaan dari kosa kata budaya menjadi kosa kata politik tidak terjadi secara tiba-tiba. Istimewa bisa mengandung konotasi yang beragam, ia terutama berkaitan dengan cita rasa, selera, keunikan, kekhasan, dan tentu saja berbeda dengan biasanya. Karena sangat berkaitan dengan cita rasa, maka tak mudah untuk meletakannya sebagai bentuk obyektifitas tertentu.
                Ketika masih menjadi kosa kata budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, istimewa berlaku secara sembarangan untuk mengungkanpkan rasa tertentu yang mengandung kualitas khusus, bagi orang tertentu. Tetapi kata “istimewa” itu ketika menjadi kosa kata politik ia mengait pada banyak unsur dan kosa kata-kosa kata politik lainnya; demokrasi, feodalisme, desentralisasi, sentralisme, nasionalisme, NKRI, Kemerdekaan, Undang-undang, dan sebagainya. Disitu, keistimewaan mengalami transformasi makna dan spektrum sebab ia masuk ke dalam diskursus politik yang penuh dengan tarikan dan tegangan-tegangan kepentingan. Sekaligus terjadi pergeseran luasan kepentingan, yang semula massif menjadi elitis, sesutau yang dirasakan menjadi sesuatu yang ditonton dari jauh.
                Sesuatu yang istimewa itu tidak lagi hanya soal cita rasa lidah, selera, dan sesuatu yang bersifat personal tetapi ia menjadi berurusan dengan nasib orang banyak, sebuah warisan kebudayaan, tata ruang, tata pemerintah, pandangan hidup, dan juga soal tata negara. Keistimewaan yogyakarta tidak muncul dari ruang kosong melainkan berada dalam tegangan. Tegangan itu terjadi dalam suasana politik yang bergerak sangat cepat pada masa awal ketika republik ini lahir. Keraton sebagai entitas politik otonom pada saat itu dihadapkan pada banyak pilihan yang sulit. Tidak ada jalan tengah yang tersedia. Keputusan harus segera diambil untuk bergabung dengan salah satu pihak, republik atau belanda.
                Sebagai seorang raja Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak hanya mengambil keputusan politik untuk dirinya sendiri. Setiap keputusan yang diambilnya tentu berpengaruh langsung pada rakyat dan wilayah yang dikuasainya. Memutuskan untuk berpihak pada salah satunya –Indonesia atau Belanda- sama dengan memperhadapkan diri, rakyat, dan kekuasaannya pada pihak yang lain. Sebagai seorang raja, keselamatan kerajaan pada saat itu sama dengan menyelamatkan diri, keraton, wilayah, dan rakyat yang mempercayainya. Dari catatan sejarah, keputusan yang di ambilnya bukan inisiatif pribadi seorang raja saja melainkan kehendak sebagian besar rakyat yang dipimpinya. Kehendak itu mengatakan bahwa ia harus berseberangan dengan kaum kolonial Belanda. Pilihan itu berkonsekuensi menyiapkan barisan perlawanan kepada kaum penjajah.
                Dalam sejarah kemunculan maklumat penggabungan diri dengan indonesia terbaca bahwa maklumat itu dipengaruhi oleh banyak unsur yang saling tarik menarik. Unsur-unsur itu adalah situasi perang, Belanda, pergerakan nasional, Hamengku Buwono IX sebagai raja, dan rakyat Yogyakarta. bagaimana unsur-unsur ini saling mempengaruhi satu sama lain dapat ditemukan dalam tulisan sejarah.
Sultan di panggung terbuka
Senin malam 18 agustus itu, selasa pon menurut kalender jawa. Dengan bulan yang hampir bulat bertengger di angkasa, di gedung kesenian terbuka THR (Taman Hiburan Rakyat), yang dibangun di bekas pekuburan Belandan. Sultan Hamengku Buwono IX dalam pakaian batik cokelat lengan panjang dan jaket hitam, berbicara santai selama satu jam dan kemudian menjawab pertanyaan. Hamengku Buwono IX, 74, berbicara tanpa teks, dalam nada datar dengan suaranya yang berat dan agak serak. Ia, diluar dugaan, ternyata sangat membatasi pembicaraannya, dan hanya bercerita mengapa ia , segera setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, memilih berpihak dan bergabung dengan republik Indonesia. Keputusan Sutan memihak kepada RI, di kala masa depan RI baru itu belum pasti, memang suatu keputusan yang sangat bersejarah.
“Saya (Sultan Hamengku Buwono IX) tahu saya mengambil resiko besar. Ya, kalau kita menang. Kalau kita kalah, saya bisa dibuang atau dibunuh. Risiko itu saya ambil dengan segala keiklhasan hati. Apa yang terjadi terserah Tuhan.” Ujar sultan senin malam itu (sumber: Tempo, 23 agustus 1986)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar