Memperbincangkan
keistimewaan yogyakarta tanpa melihat konteks dan latar yang berada di baliknya
akan membuat orang terjebak pada memperhadapkan konsep itu secara binner dengan
konsep-konsep lain seperti demokrasi versus feodalisme, desentralisasi versus sentralisasi,
pusat versus daerah, dan sebagainya. Keistimewaan sebagai suatu konsep
mempunyai banyak spektrum makna pada orang yang berbeda. Suatu yang istimewa
bagi seseorang belum tentu istimewa bagi orang lain. Konsep ini juga berubah
tergantung pada ruang dan waktu tertentu. Keistimewaan, karena itu, merupakan
sesutau yang relatif dan mengandung banyak kemungkinan.
Perubahan
keistimewaan dari kosa kata budaya menjadi kosa kata politik tidak terjadi
secara tiba-tiba. Istimewa bisa mengandung konotasi yang beragam, ia terutama
berkaitan dengan cita rasa, selera, keunikan, kekhasan, dan tentu saja berbeda
dengan biasanya. Karena sangat berkaitan dengan cita rasa, maka tak mudah untuk
meletakannya sebagai bentuk obyektifitas tertentu.
Ketika
masih menjadi kosa kata budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
istimewa berlaku secara sembarangan untuk mengungkanpkan rasa tertentu yang
mengandung kualitas khusus, bagi orang tertentu. Tetapi kata “istimewa” itu
ketika menjadi kosa kata politik ia mengait pada banyak unsur dan kosa
kata-kosa kata politik lainnya; demokrasi, feodalisme, desentralisasi,
sentralisme, nasionalisme, NKRI, Kemerdekaan, Undang-undang, dan sebagainya. Disitu,
keistimewaan mengalami transformasi makna dan spektrum sebab ia masuk ke dalam
diskursus politik yang penuh dengan tarikan dan tegangan-tegangan kepentingan. Sekaligus
terjadi pergeseran luasan kepentingan, yang semula massif menjadi elitis,
sesutau yang dirasakan menjadi sesuatu yang ditonton dari jauh.
Sesuatu
yang istimewa itu tidak lagi hanya soal cita rasa lidah, selera, dan sesuatu
yang bersifat personal tetapi ia menjadi berurusan dengan nasib orang banyak,
sebuah warisan kebudayaan, tata ruang, tata pemerintah, pandangan hidup, dan
juga soal tata negara. Keistimewaan yogyakarta tidak muncul dari ruang kosong
melainkan berada dalam tegangan. Tegangan itu terjadi dalam suasana politik
yang bergerak sangat cepat pada masa awal ketika republik ini lahir. Keraton sebagai
entitas politik otonom pada saat itu dihadapkan pada banyak pilihan yang sulit.
Tidak ada jalan tengah yang tersedia. Keputusan harus segera diambil untuk
bergabung dengan salah satu pihak, republik atau belanda.
Sebagai
seorang raja Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak hanya mengambil keputusan politik
untuk dirinya sendiri. Setiap keputusan yang diambilnya tentu berpengaruh
langsung pada rakyat dan wilayah yang dikuasainya. Memutuskan untuk berpihak
pada salah satunya –Indonesia atau Belanda- sama dengan memperhadapkan diri,
rakyat, dan kekuasaannya pada pihak yang lain. Sebagai seorang raja,
keselamatan kerajaan pada saat itu sama dengan menyelamatkan diri, keraton,
wilayah, dan rakyat yang mempercayainya. Dari catatan sejarah, keputusan yang
di ambilnya bukan inisiatif pribadi seorang raja saja melainkan kehendak
sebagian besar rakyat yang dipimpinya. Kehendak itu mengatakan bahwa ia harus
berseberangan dengan kaum kolonial Belanda. Pilihan itu berkonsekuensi
menyiapkan barisan perlawanan kepada kaum penjajah.
Dalam
sejarah kemunculan maklumat penggabungan diri dengan indonesia terbaca bahwa
maklumat itu dipengaruhi oleh banyak unsur yang saling tarik menarik. Unsur-unsur
itu adalah situasi perang, Belanda, pergerakan nasional, Hamengku Buwono IX
sebagai raja, dan rakyat Yogyakarta. bagaimana unsur-unsur ini saling
mempengaruhi satu sama lain dapat ditemukan dalam tulisan sejarah.
Sultan di panggung
terbuka
Senin malam 18 agustus itu,
selasa pon menurut kalender jawa. Dengan bulan yang hampir bulat bertengger di
angkasa, di gedung kesenian terbuka THR (Taman Hiburan Rakyat), yang dibangun
di bekas pekuburan Belandan. Sultan Hamengku Buwono IX dalam pakaian batik
cokelat lengan panjang dan jaket hitam, berbicara santai selama satu jam dan
kemudian menjawab pertanyaan. Hamengku Buwono IX, 74, berbicara tanpa teks,
dalam nada datar dengan suaranya yang berat dan agak serak. Ia, diluar dugaan,
ternyata sangat membatasi pembicaraannya, dan hanya bercerita mengapa ia ,
segera setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, memilih berpihak dan
bergabung dengan republik Indonesia. Keputusan Sutan memihak kepada RI, di kala
masa depan RI baru itu belum pasti, memang suatu keputusan yang sangat
bersejarah.
“Saya (Sultan Hamengku Buwono IX)
tahu saya mengambil resiko besar. Ya, kalau kita menang. Kalau kita kalah, saya
bisa dibuang atau dibunuh. Risiko itu saya ambil dengan segala keiklhasan hati.
Apa yang terjadi terserah Tuhan.” Ujar sultan senin malam itu (sumber: Tempo,
23 agustus 1986)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar