Sejarah pembentukan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai
zaman moderen. Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh)
Islam, di kalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam pandangan.
Dua di antaranya yang terkenal adalah pandangan Syekh Muhammad Khudari Bek
(mantan dosen Universiti Cairo) dan Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar feqh Islam Universiti Amman , Jordan ).
Pandangan pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syeikh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh Tasyri' al-Islami (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membahagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu: (1) periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul; (2) periode para sahabat besar; (3) periode sahabat kecil dan *tabiin; (4) periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H; (5) periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan (6) periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.
Pandangan kedua, pembentukan hukum (fikih) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-'amm (Pengantar Umum Fikih Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu (1) periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H dan (2) periode sejak munculnya Majallah al-Al-Akam al-'Adliyyah sampai sekarang.
Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut.
Periode Pertama: masa Rasulullah SAW. Pada periode ini. kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah swt. menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunah Rasulullah SAW. Istilah fikih dalam pengertian yang dikemukakan ulama fikih klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. "ilmu" dan "fikih" pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW.
Pengertian "fikih" di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadis), baik yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, "fikih" pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunahnya sendiri.
Periode Kedua: masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan *ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an atau sunah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian "fikih" dalam periode ini masih sama dengan "fikih" di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
Periode Ketiga: pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fikih Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabatsudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (*Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (*Ibnu Umar) di Madinah, dan *Ibnu Abbas di Mekah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina
kader masing-masing yang dikenal dengan para tabiin. Para
tabiin yang terkenal itu adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Ata
bin AbiRabah (27-114H) diMekah, Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan
al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, MakhuldiSyam (Suriah), dan Tawus di
Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing
dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di
daerah masing-masing berbeda sehingga muncunah hasil ijtihad yang berbeda pula.
Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad
sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap
para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fikih Islam Madrasah al-Hadis (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-Ra'y. Madrasah al-Hadis kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-Ra'y dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis-hadis Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadis-hadis Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian "fikih" sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian "ilmu", sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fikih sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian "mengetahui hukum-hukum syarak yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci". Di samping fikih, pada periode ketiga ini pun *usul fikih telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti *kias, *istihsan, dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fikih. Dalam perkembangannya, fikih tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah *fikih iftirâdî (fikih berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh rakyu (ar-ra'y; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur' an dan sunah secara langsung) dalam fjkih semakin berkembang karena ulama Madrasah al-Hadis juga mempergunakan rakyu dalam fikih mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fikih *Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fikih *ahlusunah waljamaah (imam yang empat).
Periode Keempat pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fjkih dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab *Hanafi, Mazhab *Maliki, Mazhab *Syaf'i, dan Mazhab *Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-Hadis dengan Madrasah ar-Ra'y semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan rakyu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fikih di Universitas al-Azhar , Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fikih kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asy-*Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai ahlurra'yi (*Ahlulhadis dan Ahlurra'yi), datang ke Madinah berguru kepada Imam *Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwatta'(buku hadis dan fikih). Imam asy-*Syafi'i, salah seorang tokoh ahlulhadis, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam *Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yi, banyak mendukung pendapat ahli Hadis dengan mempergunakan hadis-hadis Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fikih banvak berisi rakyu dan hadis. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fikih pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fikih resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fikih Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempumanya penyusunan kitab-kitab fikih dalam berbagai mazhab, dalam periode inijuga disusun kitab-kitab usul fikih, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fikih iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fikih tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis.
Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
Pandangan pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syeikh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh Tasyri' al-Islami (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membahagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu: (1) periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul; (2) periode para sahabat besar; (3) periode sahabat kecil dan *tabiin; (4) periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H; (5) periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan (6) periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.
Pandangan kedua, pembentukan hukum (fikih) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-'amm (Pengantar Umum Fikih Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu (1) periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H dan (2) periode sejak munculnya Majallah al-Al-Akam al-'Adliyyah sampai sekarang.
Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut.
Periode Pertama: masa Rasulullah SAW. Pada periode ini. kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah swt. menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunah Rasulullah SAW. Istilah fikih dalam pengertian yang dikemukakan ulama fikih klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. "ilmu" dan "fikih" pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW.
Pengertian "fikih" di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadis), baik yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, "fikih" pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun dari sunahnya sendiri.
Periode Kedua: masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan *ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an atau sunah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian "fikih" dalam periode ini masih sama dengan "fikih" di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
Periode Ketiga: pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fikih Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabatsudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (*Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (*Ibnu Umar) di Madinah, dan *Ibnu Abbas di Mekah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fikih Islam Madrasah al-Hadis (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-Ra'y. Madrasah al-Hadis kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-Ra'y dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis-hadis Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadis-hadis Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian "fikih" sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian "ilmu", sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fikih sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian "mengetahui hukum-hukum syarak yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci". Di samping fikih, pada periode ketiga ini pun *usul fikih telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti *kias, *istihsan, dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fikih. Dalam perkembangannya, fikih tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah *fikih iftirâdî (fikih berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh rakyu (ar-ra'y; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur' an dan sunah secara langsung) dalam fjkih semakin berkembang karena ulama Madrasah al-Hadis juga mempergunakan rakyu dalam fikih mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fikih *Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fikih *ahlusunah waljamaah (imam yang empat).
Periode Keempat pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena fjkih dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab *Hanafi, Mazhab *Maliki, Mazhab *Syaf'i, dan Mazhab *Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-Hadis dengan Madrasah ar-Ra'y semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan rakyu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fikih di Universitas al-Azhar , Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fikih kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asy-*Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai ahlurra'yi (*Ahlulhadis dan Ahlurra'yi), datang ke Madinah berguru kepada Imam *Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwatta'(buku hadis dan fikih). Imam asy-*Syafi'i, salah seorang tokoh ahlulhadis, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam *Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yi, banyak mendukung pendapat ahli Hadis dengan mempergunakan hadis-hadis Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fikih banvak berisi rakyu dan hadis. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fikih pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fikih resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fikih Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempumanya penyusunan kitab-kitab fikih dalam berbagai mazhab, dalam periode inijuga disusun kitab-kitab usul fikih, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fikih iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fikih tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis.
Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
Periode Kelima: pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7
H. Periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama
fikih, bahkan mereka cukup puas dengan fikih yang telah disusun dalam berbagai
mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas
atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fikih mazhab masing-masing. Lebih
jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah
anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah
menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada
periode ini, yaitu sebagai berikut.
(1) Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad. (2) Dipilihnya para hakim yang hanya bertaklid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fikih yang diterapkan hanyalah hukum fikih mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab. (3.) Munculnya buku-buku fikih yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fikih serta metode iitihad menvebabkan banvaknva upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Periode Keenam: pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Al:Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fikih tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fikih melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fikih dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fikih pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fikih tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fikih. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fikih (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah.
Periode Ketujuh: sejak munculnya Majallah al-AlAhkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fikih Islam pada periode ini, yaitu:
(1) munculnya Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fikih Mazhab Hanafi; (2) berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan (3) munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab- kitab fikih muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fikih merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fikih/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat di antara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabiin, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fikih. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fikih merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fikih) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania,Suriah , Sudan ,
Maroko , Afghanistan ,
Turki , Iran ,
Pakistan , Malaysia , dan Indonesia .
Ali Hasaballah, ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi,pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fikih yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fikih, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fikih menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fikih dalam kitab berbagai mazhab.
(1) Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad. (2) Dipilihnya para hakim yang hanya bertaklid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fikih yang diterapkan hanyalah hukum fikih mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab. (3.) Munculnya buku-buku fikih yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fikih serta metode iitihad menvebabkan banvaknva upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Periode Keenam: pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Al:Ahkam al-'Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fikih tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fikih melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fikih dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fikih pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fikih tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fikih. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fikih (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah.
Periode Ketujuh: sejak munculnya Majallah al-AlAhkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fikih Islam pada periode ini, yaitu:
(1) munculnya Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fikih Mazhab Hanafi; (2) berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan (3) munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab- kitab fikih muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fikih merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fikih/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat di antara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabiin, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fikih. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fikih merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fikih) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania,
Ali Hasaballah, ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi,pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fikih yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fikih, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fikih menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fikih dalam kitab berbagai mazhab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar