Orang
jawa memang memiliki sikap tenggang rasa yang sangat tinggi. Dalam berbagai
urusan dengan orang lain, orang jawa selalu berupaya tidak menonjolkan pamrih
pribadi. Orang jawa selalu mementingkan kepentingan bersama dan menjunjung
tinggi kebersamaan, serta menghargai orang lain. Dalam kaitan ini, orang jawa
rela mengorbankan pamrih pribadi. Ada satu ungkapan untuk semua itu, yakni ora
melik-an, yang artinya tidak bernafsu untuk memiliki sesuatu (harta,jabatan,
kekayaan, dan sebagainya) dengan cara mengalahkan atau mengorbankan orang lain.
Dalam konteks ini, orang jawa selalu diingatkan melalui nasehat wani ngealah
luhur wekasane. Ungkapan ini terbentuk dari kata-kata: wani (berani), ngalah
(mengalah), hurur (tinggi), dan wekasane (pada akhirnya atau kelak), sehingga
arti keseluruhannya adalah berani mengalah tinggi pada akhirnya.
Ungkapan
ini masih sering dijadikan pegangan hidup masyarakat jawa dalam berbagai
persoalan. Umumnya, di samping muncul dari kesadaran pribadi, nasihat wani
ngalah luhur wekasane juga disampaikan oleh orang-orang tua untuk meredam emosi
anak-anaknya, tetangganya, rekan-rekannya, atau bahkan lawan-lawan politiknya.
Ungkapan itu sangat erat dengan kepercayaan orang jawa terhadap hidup setelah
kehidupan di dunia, atau kehidupan akhirat. Oleh sebab itu, pengertian wekasane
(akhirnya) tidak hanya di pahami “kelak” (untuk waktu peristiwa itu di dunia),
melainkan juga “kelak” untuk waktu setelah kehidupan dunia itu sendiri.
Masyarakat
jawa menilai bahwa sikap dan perilaku ngalah (mengalah) benar-benar bukan
berarti kalah. Oleh sebab itu, perilaku ngalah (mengalah) tidak dinilai sebagai
pihak yang bersalah atau negatif. Sebaliknya, seseorang yang berani bersikap
dan berperilaku ngalah (mengalah) dinilai positif karena mampu menekan pamrih
pribadi. Ia dinilai telah mampu mengendalikan nafsunya sehingga dapat
mengesampingkan keinginan dirinya. Sementara itu, orang yang selalu ngotot
dalam berpendapat, atau dalam mencapai suatu tujuan tanpa memperhatikan situasi
dan kondisi, justru dinilai sebagai sosok yang tidak atau belum dewasa. Dengan demikian,
sikap ngalah (mengalah) untuk mencapai tujuan akhir yang lebih baik dipandang
sebagai seorang yang njawani (bersikap atau bergaya hidup jawa)
Orang yang
mampu berperilaku ngalah (mengalah) termasuk orang yang mampu menjaga
keharmonisan hidup sosial. Ia akan dikenal sebagai orang yang mampu menahan
amarah. Misalnya, dalam kondisi tawar-menawar (baik dalam pendapat, pengambilan
keputusan dan sebagainya), sering terjadi kebuntuan karena masing-masing pihak
bersikeras mendesakkan pendapatnya. Jika tidak segera berfikir jernih, para
peserta (rapat keluarga, kampung, antar kampung, antar pegawai, antar karyawan,
rapat antar instansi, dan sebagainya) akan terlibat komflik yang dapat
mengakibatkan perpecahan. Setidaknya, sikap saling ngotot dan keras kepala akan
menjadikan antar individu saling tersinggung. Dan, jika satu sama lain telah
tersinggung, dikecewakan, dan merasa tidak dihargai, pasti komunikasi antar mereka
tidak dapat berlangsung secara harmonis dan fair. Dalam kondisi saling
bersitegang, dituntut adanya pihak-pihak yang harus melepaskan tujuannya,
melepaskan keinginan untuk menggolkan pendapatnya, walaupun ia mengetahui bahwa
pendapat dan gagasannya bak dan benar. Orang yang bersikap ngalah (mengalah)
adalah orang yang menyadari bahwa kedewasaan dukur dari kemampuan seseorang
untuk melepas keinginannya demi memberikan kesempatan bag orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar