Kamis, 28 Mei 2015

Pemikiran Tentang Poligami


Perkawinan poligami sebenarnya telah ada sejak sebelum islam muncul, dalam hal ini, seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari seorang perempuan. Aturan seperti itu telah berlaku sejak dahulu pada masyarakat Cina, India, Mesir, Arab Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss, Australia, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Norwegia, dan lain-lain.[1]

Sementara itu, bangsa Arab dan Yahudi melaksanakan poligami dalam lingkup yang luas dan tidak membatasi jumlahnya. Adapun beberapa contoh dari praktek perkawinan poligami dari beberapa negara. Di Cina suami berhak mengawini seorang atau beberapa wanita jka ternyata istri pertama tidak dapat memberikan seorang anak. Karena bagi mereka anak merupakan tumpuan harapan yang dapat mewarisi berbagai hal setelah ayahnya meninggal dunia. Namun istri pertama menempati kedudukan tertinggi dan istri kedua tetap harus tunduk. Di India praktek poligami sangat dominan terutama dikalamgan kerajaan, pembesar atau orang-orang kaya. Bagi mereka poligami merupakan peraturan alternatif jika istrinya mandul atau dianggap pemarah atau terlalu emosional. Di kalangan bangsa Mesir Kuno, poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama jika nanti suami berpoligami. Apabila nanti dia menikah lagi, dia terkena peraturan yang berlaku. Anggapan bangsa Timur Kuno, seperti Babilonia, Madyan, atau Siria poligami merupakan perbuatan suci karena para raja dan penguasa yang menempati posisi suci dalam hati mereka juga melakukan poligami.[2] Pernikahan memang suatu hal yang dapat membuat bahagia bagi suatu pasangan. Jika sudah memahami betul bahwa dasar dalam pernikahan memberikan kebahagiaan, namun kenyataannya, ada saja perasaan tidak nyaman dalam pernikahan dengan segala persoalan yang ada, lalu menjadikan poligami sebagai solusi yang justru sering kali menambah masalah baru.[3]

Di kalangan Arab sebelum Islam, memang seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Didalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk Islam masih memiliki 10 orang istri, Naufal bin Muawiyyah memiliki 5 orang istri, dan Tsabit bin Qais memiliki 8 orang istri sebelum memeluk Islam. Masyarakat Yahudi pun membolehkan poligami tanpa batas dan jumlah wanita yang dinikahinya. Didalam Taurat diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s memiliki 700 orang istri wanita merdeka dan 300 orang istri dari kalangan budak dan Nabi Daud a.s memiliki 99 orang istri.[4]

Hukum Poligami

Begitu banyak masyarakat yang memahami bahwa poligami adalah suatu perintah atau setidaknya anjuran agama, dan karenanya pelaku poligami yang berhasil patut dibanggakan karena telah berhasil membuktikan kebenaran ‘’perintah’’ agama. Kebanggaan itu sangat terasa dengan hadirnya Poligami Award, yang setiap tahun dihadiahkan kepada mereka yang dianggap berhasil berpoligami. Pertanyaannya, benarkah poligami merupakan anjuran agama? Benarkah sebagian kalangan mengatakan bahwa poligami itu sunnah Rasul? Atau haruskah seorang istri, dengan alasan al-Qur’an pun membolehkan, sehingga seorang istri tidak berhak menolak suaminya berpoligami?

Menurut pendapatnya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, beliau mengatakan bahwa poligami itu bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan tertentu.

Dalam bukunya ustadz Anshori mengatakan ada 2 bentuk salah paham tentang poligami.[5]

1.      Pertama, yang paling parah adalah yang menganggap poligami itu sunnah.

Anggapan ini bersandar pada an-Nisa ayat 3 yang membicarakan poligami dan juga pada sejarah hidup Nabi SAW.

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا ُتقْسِطُوْا فِى اْليَتمى فَانْكِحُوْا مَا طَابَلَكُمْ مِنَ النِّسَآءِ مَثْنَى َوثُلثَ وَ رُبع فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَة اوَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَالِكَ اَدْنَى اَلَّا تَعُوْلُوْا[6]

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa : 3)

Ada yang mengesankan bahwa ayat ini merupakan perintah, atau setidaknya anjuran untuk berpoligami, karena mengandung kata perintah (fiil amr) yakni ‘’Nikahilah’’. Sementara orang menangkap pesan dari kata perintah ini, bahwa al-Qur’an menganjurkan atau setidaknya mempersilahkan kepada kaum lelaki untuk berpoligami. Lebih jauh, madzhab atau pendapat ini suka menarik logika yang tampak benar. Jika Allah saja memperbolehkan lantas apa haknya kaum perempuan melarang-larang suami mereka untuk berpoligami? Perlu kita ketahui, bahwa surat an-Nisa ayat 3 itu, sama sekali bukanlah anjuran apalagi perintah poligami, namun ayat tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Berkaitan dengan kata perintah, semua ahli hukum sepakat bahwa tidak semua perintah dalam al-Qur’an menunjukkan kewajiban, sebagaimana ditunjukkan dalam kaidah-kaidah hushul fiqih. Kata perintah dalam al-Qur’an ada yang menunjukkan wajib, sunnah ataupun mubah. Contoh yang wajib seperti perintah mendirikan shalat, sunnah seperti perintah untuk tahajjud, dan mubah seperti perintah makan minum. Dalam kaitannya, kata ‘’Nikahilah pada surat an-Nisa ayat 3 tersebut menunjukkan hukum boleh namu itupun dengan syarat.

Alasan kedua adalah anggapan bahwa poligami sunnah Nabi SAW adalah kenyataan sejarah bahwa Nabi SAW memiliki banyak istri, lebih dari empat. Lalu mereka menyimpulkan bahwa seluruh perilaku Nabi SAW merupakan perilaku terpuji, termasuk didalamnya poligami, maka poligami pun termasuk sunnah yang patut diteladani. Perlu kita luruskan kesalahan ini berpangkal dari memukul rata bahwa semua aturan yang berlaku buat Nabi berlaku pula buat umatnya. Kalau benar demikian, perlu mereka sadari Rasul berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya Khadijah ra. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu 8 tahun, jauh lebih pendek dari pada hidup berrpoligami. Selain itu, Rasul dalam berpoligami hanya menikahi perempuan janda-janda miskin dan banyak pula anaknya.

2.      Yanag memandang poligami itu boleh tanpa adanya penekanan pada syarat ketatnya.

Tak bisa dipungkiri al-Qur’an memang memperbolehkan poligami. Karena itu kebolehan poligami sebaiknya tidak usah diperdebatkan lagi, karena al-Qur’an merupakan rujukan tertinggi hukum agama. Namun perlu diperhatikan dengan jeli, bila memang al-Qur’an membolehkan, tapi bolehnya yang bagaimana dulu? Apakah pembolehan al-Qur’an terhadap poligami ini sama dengan pembolehan terhadap makan dan minum? Tentu jawabannya tidak. Dalam ayat tersebut, Allah menekankan syarat amat berat dalam berpoligami yaitu berlaku adil. Sedemikian ditekankan sehingga dalam ayat tersebut terdapat kata khiftum (takut). Kata tersebut biasa diartikan takut dan bisa juga berarti mengetahui, menunjukkan bahwa siapapun yang yakin atau menduga keras atau sekedar menduga bahwa dirinya bakal tidak bisa adil, maka mereka oleh ayat ini tidak diperkenankan berpoligami.

Masalahnya, siapa orangnya yang hampir-hampir dapat menjamin bahwa dirinya akan berlaku adil? Al-Qur’an sendiri melukiskan betapa berat atau hampir mustahilnya bisa berlaku adil diantara para istri.

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِقلى وَ اِنْ تُصْلِحُوْا وَ تَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا[7]

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara para istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. (QS. An-Nisa : 129)

Begitu beratnya syarat berlaku adil sehingga wajarlah bila ada sebagian ulama yang tidak membolehkan poligami hanya kecuali dalam keadaan darurat artinya menurut pendapat ini, pembolehan poligami oleh al-Qur’an hanya dimaksudkan untuk keadaan atau kasus-kasus darurat. Muhammad Abduh penyusun tafsir al-Manar, berpendapat membolehkan poligami hanya kalau sang istri tidak mampu memberikan keturunan. 

Abduh menjelaskan bahwa ayat tiga surat an-Nisa itu dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami merupakan persoalan yang sangat pelik dan berat. Tampaknya poligami hanya dibolehkan bagi orang yang sangat membutuhkan dengan syarat meyakini kemampuan dirinya berlaku adil dan aman dari perbuatan dosa.[8]

Asbabun Nuzul Turunnya QS. An-Nisa Ayat Tiga

Ayat ini diturunkan di Madinah setelah Perang Uhud. Sebagai dimaklumi, karena kecerobohan dan ketidakdisiplinan kaum muslim dalam perang itu mengakibatkan mereka kalah telak. Banyak prajurit muslim yang gugur dalam perang tersebut, dampak selanjutnya jumlah janda dan anak yatim dalam komunitas muslim meningkat drastis. Tentu saja tanggung jawab anak yatim itu dilimpahkan kepada para walinya. Selain itu tidak semua anak yatim itu berada dalam keadaan miskin, namun diantara mereka ada juga yang mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Pada situasi dan kondisi seperti ini, muncullah niat jahat dari wali terhadap anak yatim yang berada dibawah kekuasaannya semata-mata untuk mengakali bagaimana caranya untuk menguasai harta anak yatim dibawah perwaliannya. Terhadap anak yatim perempuan dan cantik, mereka mengawininya dan jika tidak cantik, mereka menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki yang datang melamarnya. Tujuannya yaitu untuk menguasai harta anak yatim yang berada dalam kekuasaannya.

Para Mufasir sepakat bahwa sabab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan dan kekuasaan para wali tersebut. Rasyid Ridha menjelaskan, ada beberapa peristiwa yang menjadi asbab nuzul ayat ini diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Baihaqi dari Urwah ibn Zubair : yang artinya,

‘’ Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah ra tentang sebab turunnya ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi tanpa mahar’’. Riwayat lain, juga dari Aisyah ra : ‘’Beliau menjelaskan bahwa ayat ini ditirunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, lalu ketika hartanya habis dan dia tidak sanggup lagi menafkahi istrinya yang banyak itu, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan istri-istri lainnya.’’[9]

Penjelasan yang serupa mengenai sebab turun ayat ini dikemukakan pula oleh ath-Thabarsyi, Thabathaba’i, keduanya mufassir dari Iran, dan Wahbah az-Zuhaili, mufassir dari Syiria. Allah melarang para wali itu mengawini anak yatim dengan cara yang tidak adil, dan sebagai gantinya mereka dipersilahkan mengawini perempuan lain satu sampai empat. Pendapat itu dibenarkan juga oleh Thabathaba’i.[10]

 


 

DAFTAR PUSTAKA

aj-Jahrani,Musfir Husain,Poligami dari Berbagai Perspektif, Jakarta; Gema Insani Press,

1996.

Fahmie,Ustadz Anshori,Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? Membongkar Salah Kaprah

Poligami, Jakarta; Pustaka Ilman, 2007.

Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Bandung;

Jumanatul ‘Ali Art, 2004.

Mulia, Musdah,Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta; Lembaga Kajian Agama dan

Jender, 1999.

Ridha, Rasyid,Tafsir al-Manar Jilid IV, Beirut; Dar al-Fikr, t.t.

 



[1]Dr. Musfir Husain aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Perspektif, (Jakarta; Gema Insani Press, 1996), hlm 34
[2]Ibid, hlm 35
[3] Ustadz Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? Membongkar Salah Kaprah Poligami, (Jakarta; Pustaka Ilman, 2007), hlm 39
[4] Dr. Musfir Husain aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Perspektif, (Jakarta; Gema Insani Press, 1996), hlm 36
[5]Ustadz Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? Membongkar Salah Kaprah Poligami, (Jakarta; Pustaka Ilman, 2007), hlm 14
[6]Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung; Jumanatul ‘Ali Art, 2004), hlm 77
[7]Ibid, hlm 99
[8]Dr. Musdah Mulia, MA, APU, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta; Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm 37
[9]Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar Jilid IV, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t), hlm 344
[10]Dr. Musdah Mulia, MA, APU, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta; Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar