Perkawinan
poligami sebenarnya telah ada sejak sebelum islam muncul,
dalam hal ini, seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari seorang perempuan.
Aturan seperti itu telah berlaku sejak dahulu pada masyarakat Cina, India,
Mesir, Arab Persia, Yahudi, Sisilia, Rusia, Eropa Timur, Jerman, Swiss,
Australia, Belanda, Denmark, Swedia, Inggris, Norwegia, dan lain-lain.[1]
Sementara
itu, bangsa Arab dan Yahudi melaksanakan poligami dalam lingkup yang luas dan
tidak membatasi jumlahnya. Adapun beberapa contoh dari praktek perkawinan
poligami dari beberapa negara. Di Cina suami berhak mengawini seorang atau
beberapa wanita jka ternyata istri pertama tidak dapat memberikan seorang anak.
Karena bagi mereka anak merupakan tumpuan harapan yang dapat mewarisi berbagai hal
setelah ayahnya meninggal dunia. Namun istri pertama menempati kedudukan
tertinggi dan istri kedua tetap harus tunduk. Di India praktek poligami sangat
dominan terutama dikalamgan kerajaan, pembesar atau orang-orang kaya. Bagi
mereka poligami merupakan peraturan alternatif jika istrinya mandul atau
dianggap pemarah atau terlalu emosional. Di kalangan bangsa Mesir Kuno,
poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji akan membayar
sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama jika nanti suami
berpoligami. Apabila nanti dia menikah lagi, dia terkena peraturan yang
berlaku. Anggapan bangsa Timur Kuno, seperti Babilonia, Madyan, atau Siria
poligami merupakan perbuatan suci karena para raja dan penguasa yang menempati
posisi suci dalam hati mereka juga melakukan poligami.[2]
Pernikahan memang suatu hal yang dapat membuat bahagia bagi suatu pasangan.
Jika sudah memahami betul bahwa dasar dalam pernikahan memberikan kebahagiaan,
namun kenyataannya, ada saja perasaan tidak nyaman dalam pernikahan dengan
segala persoalan yang ada, lalu menjadikan poligami sebagai solusi yang justru
sering kali menambah masalah baru.[3]
Di
kalangan Arab sebelum Islam, memang seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah
wanita yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat. Didalam Sunan Tirmidzi
disebutkan bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk Islam masih
memiliki 10 orang istri, Naufal bin Muawiyyah memiliki 5 orang istri, dan
Tsabit bin Qais memiliki 8 orang istri sebelum memeluk Islam. Masyarakat Yahudi
pun membolehkan poligami tanpa batas dan jumlah wanita yang dinikahinya. Didalam
Taurat diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s memiliki 700 orang istri wanita
merdeka dan 300 orang istri dari kalangan budak dan Nabi Daud a.s memiliki 99
orang istri.[4]
Hukum
Poligami
Begitu
banyak masyarakat yang memahami bahwa poligami adalah suatu perintah atau
setidaknya anjuran agama, dan karenanya pelaku poligami yang berhasil patut
dibanggakan karena telah berhasil membuktikan kebenaran ‘’perintah’’ agama.
Kebanggaan itu sangat terasa dengan hadirnya Poligami Award, yang setiap tahun
dihadiahkan kepada mereka yang dianggap berhasil berpoligami. Pertanyaannya,
benarkah poligami merupakan anjuran agama? Benarkah sebagian kalangan
mengatakan bahwa poligami itu sunnah Rasul? Atau haruskah seorang istri, dengan
alasan al-Qur’an pun membolehkan, sehingga seorang istri tidak berhak menolak
suaminya berpoligami?
Menurut
pendapatnya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, beliau mengatakan bahwa poligami itu
bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang
sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu
darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan tertentu.
Dalam
bukunya ustadz Anshori mengatakan ada 2 bentuk salah paham tentang poligami.[5]
1.
Pertama,
yang paling parah adalah yang menganggap poligami itu sunnah.
Anggapan
ini bersandar pada an-Nisa ayat 3 yang membicarakan poligami dan juga pada
sejarah hidup Nabi SAW.
وَاِنْ
خِفْتُمْ اَلَّا ُتقْسِطُوْا فِى اْليَتمى فَانْكِحُوْا مَا طَابَلَكُمْ مِنَ النِّسَآءِ
مَثْنَى َوثُلثَ وَ رُبع فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَة اوَمَا مَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ ذَالِكَ اَدْنَى اَلَّا تَعُوْلُوْا[6]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], maka
(kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa : 3)
Ada
yang mengesankan bahwa ayat ini merupakan perintah, atau setidaknya anjuran
untuk berpoligami, karena mengandung kata perintah (fiil amr) yakni
‘’Nikahilah’’. Sementara orang menangkap pesan dari kata perintah ini, bahwa
al-Qur’an menganjurkan atau setidaknya mempersilahkan kepada kaum lelaki untuk
berpoligami. Lebih jauh, madzhab atau pendapat ini suka menarik logika yang
tampak benar. Jika Allah saja memperbolehkan lantas apa haknya kaum perempuan
melarang-larang suami mereka untuk berpoligami? Perlu kita ketahui, bahwa surat
an-Nisa ayat 3 itu, sama sekali bukanlah anjuran apalagi perintah poligami,
namun ayat tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam
ayat itu merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat
membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Berkaitan dengan kata
perintah, semua ahli hukum sepakat bahwa tidak semua perintah dalam al-Qur’an
menunjukkan kewajiban, sebagaimana ditunjukkan dalam kaidah-kaidah hushul
fiqih. Kata perintah dalam al-Qur’an ada yang menunjukkan wajib, sunnah ataupun
mubah. Contoh yang wajib seperti perintah mendirikan shalat, sunnah seperti
perintah untuk tahajjud, dan mubah seperti perintah makan minum. Dalam
kaitannya, kata ‘’Nikahilah pada surat an-Nisa ayat 3 tersebut menunjukkan
hukum boleh namu itupun dengan syarat.
Alasan
kedua adalah anggapan bahwa poligami sunnah Nabi SAW adalah kenyataan sejarah
bahwa Nabi SAW memiliki banyak istri, lebih dari empat. Lalu mereka
menyimpulkan bahwa seluruh perilaku Nabi SAW merupakan perilaku terpuji,
termasuk didalamnya poligami, maka poligami pun termasuk sunnah yang patut
diteladani. Perlu kita luruskan kesalahan ini berpangkal dari memukul rata bahwa
semua aturan yang berlaku buat Nabi berlaku pula buat umatnya. Kalau benar
demikian, perlu mereka sadari Rasul berpoligami setelah pernikahan pertamanya
berlalu sekian lama setelah meninggalnya Khadijah ra. Ini berarti beliau
berpoligami hanya dalam waktu 8 tahun, jauh lebih pendek dari pada hidup
berrpoligami. Selain itu, Rasul dalam berpoligami hanya menikahi perempuan
janda-janda miskin dan banyak pula anaknya.
2.
Yanag
memandang poligami itu boleh tanpa adanya penekanan pada syarat ketatnya.
Tak
bisa dipungkiri al-Qur’an memang memperbolehkan poligami. Karena itu kebolehan
poligami sebaiknya tidak usah diperdebatkan lagi, karena al-Qur’an merupakan
rujukan tertinggi hukum agama. Namun perlu diperhatikan dengan jeli, bila
memang al-Qur’an membolehkan, tapi bolehnya yang bagaimana dulu? Apakah
pembolehan al-Qur’an terhadap poligami ini sama dengan pembolehan terhadap
makan dan minum? Tentu jawabannya tidak. Dalam ayat tersebut, Allah menekankan
syarat amat berat dalam berpoligami yaitu berlaku adil. Sedemikian ditekankan
sehingga dalam ayat tersebut terdapat kata khiftum (takut). Kata tersebut biasa
diartikan takut dan bisa juga berarti mengetahui, menunjukkan bahwa siapapun
yang yakin atau menduga keras atau sekedar menduga bahwa dirinya bakal tidak
bisa adil, maka mereka oleh ayat ini tidak diperkenankan berpoligami.
Masalahnya,
siapa orangnya yang hampir-hampir dapat menjamin bahwa dirinya akan berlaku
adil? Al-Qur’an sendiri melukiskan betapa berat atau hampir mustahilnya bisa
berlaku adil diantara para istri.
وَلَنْ
تَسْتَطِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا
كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِقلى
وَ اِنْ تُصْلِحُوْا وَ تَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا[7]
Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara para istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. (QS. An-Nisa :
129)
Begitu
beratnya syarat berlaku adil sehingga wajarlah bila ada sebagian ulama yang
tidak membolehkan poligami hanya kecuali dalam keadaan darurat artinya menurut
pendapat ini, pembolehan poligami oleh al-Qur’an hanya dimaksudkan untuk
keadaan atau kasus-kasus darurat. Muhammad Abduh penyusun tafsir al-Manar,
berpendapat membolehkan poligami hanya kalau sang istri tidak mampu memberikan
keturunan.
Abduh
menjelaskan bahwa ayat tiga surat an-Nisa itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
poligami merupakan persoalan yang sangat pelik dan berat. Tampaknya poligami
hanya dibolehkan bagi orang yang sangat membutuhkan dengan syarat meyakini
kemampuan dirinya berlaku adil dan aman dari perbuatan dosa.[8]
Asbabun
Nuzul Turunnya QS. An-Nisa Ayat Tiga
Ayat
ini diturunkan di Madinah setelah Perang Uhud. Sebagai dimaklumi, karena
kecerobohan dan ketidakdisiplinan kaum muslim dalam perang itu mengakibatkan
mereka kalah telak. Banyak prajurit muslim yang gugur dalam perang tersebut,
dampak selanjutnya jumlah janda dan anak yatim dalam komunitas muslim meningkat
drastis. Tentu saja tanggung jawab anak yatim itu dilimpahkan kepada para
walinya. Selain itu tidak semua anak yatim itu berada dalam keadaan miskin,
namun diantara mereka ada juga yang mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Pada
situasi dan kondisi seperti ini, muncullah niat jahat dari wali terhadap anak
yatim yang berada dibawah kekuasaannya semata-mata untuk mengakali bagaimana
caranya untuk menguasai harta anak yatim dibawah perwaliannya. Terhadap anak
yatim perempuan dan cantik, mereka mengawininya dan jika tidak cantik, mereka
menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki yang datang
melamarnya. Tujuannya yaitu untuk menguasai harta anak yatim yang berada dalam
kekuasaannya.
Para
Mufasir sepakat bahwa sabab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan wali yang
tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan dan kekuasaan
para wali tersebut. Rasyid Ridha menjelaskan, ada beberapa peristiwa yang
menjadi asbab nuzul ayat ini diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, Nasa’i dan Baihaqi dari Urwah ibn Zubair : yang artinya,
‘’
Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah ra tentang sebab turunnya ayat ini. Lalu
Aisyah menjelaskan ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim yang berada dalam
pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu tertarik dengan kecantikan dan harta
anak yatim itu dan mengawininya, tetapi tanpa mahar’’. Riwayat lain, juga dari Aisyah ra : ‘’Beliau menjelaskan bahwa
ayat ini ditirunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak
istri, lalu ketika hartanya habis dan dia tidak sanggup lagi menafkahi istrinya
yang banyak itu, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang berada dalam
perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan
istri-istri lainnya.’’[9]
Penjelasan
yang serupa mengenai sebab turun ayat ini dikemukakan pula oleh ath-Thabarsyi,
Thabathaba’i, keduanya mufassir dari Iran, dan Wahbah az-Zuhaili, mufassir dari
Syiria. Allah melarang para wali itu mengawini anak yatim dengan cara yang
tidak adil, dan sebagai gantinya mereka dipersilahkan mengawini perempuan lain
satu sampai empat. Pendapat itu dibenarkan juga oleh Thabathaba’i.[10]
DAFTAR PUSTAKA
aj-Jahrani,Musfir
Husain,Poligami dari Berbagai Perspektif, Jakarta; Gema Insani Press,
1996.
Fahmie,Ustadz
Anshori,Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? Membongkar Salah Kaprah
Poligami, Jakarta; Pustaka
Ilman, 2007.
Lajnah
Pentashih Mushaf al-Qur’an DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Bandung;
Jumanatul ‘Ali Art, 2004.
Mulia,
Musdah,Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta; Lembaga Kajian Agama
dan
Jender, 1999.
Ridha,
Rasyid,Tafsir al-Manar Jilid IV, Beirut; Dar al-Fikr, t.t.
[1]Dr. Musfir
Husain aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Perspektif, (Jakarta; Gema
Insani Press, 1996), hlm 34
[2]Ibid, hlm 35
[3] Ustadz Anshori
Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? Membongkar Salah Kaprah Poligami, (Jakarta;
Pustaka Ilman, 2007), hlm 39
[4] Dr. Musfir
Husain aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Perspektif, (Jakarta; Gema
Insani Press, 1996), hlm 36
[5]Ustadz Anshori
Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah? Membongkar Salah Kaprah Poligami, (Jakarta;
Pustaka Ilman, 2007), hlm 14
[6]Lajnah
Pentashih Mushaf al-Qur’an DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung;
Jumanatul ‘Ali Art, 2004), hlm 77
[7]Ibid, hlm 99
[8]Dr. Musdah
Mulia, MA, APU, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta; Lembaga Kajian
Agama dan Jender, 1999), hlm 37
[9]Rasyid Ridha, Tafsir
al-Manar Jilid IV, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t), hlm 344
[10]Dr. Musdah
Mulia, MA, APU, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta; Lembaga
Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar