LATAR BELAKANG
Demokrasi nampaknya telah mencatat kemenangan historis atas bentuk
– bentuk pemerintahan yang lain. Dewasa ini hampir setiap orang mengaku sebagai
seorang demokrat.[1]
Tapi tidak banyak yang tahu awal mula munculnya bentuk pemerintahan demokrasi.
Transisi dari pemerintah nondemokratis menuju pemerintah demokratis merupakan
proses yang kompleks dan melibatkan sejumlah tahapan. Pada kasus tipikal
kontemporer, permulaan proses ditandai dengan terjadinya krisis dan akhirnya
perpecahan dalam tubuh rezim non-demokratis.[2]
Awal mula adanya demokrasi di mulai di wilayah barat. Dalam makalah ini akan
dijelaskan awal mula munculnya demokrasi.
PEMBAHASAN
Demokrasi pertama kali berkembang di negara – negara kota di Yunani
Kuno lebih kurang 500 SM. Oleh sebab itu, kita dapat mengutip pengertian
tentang demokrasi dari masa awal penerapannya ini. Princles, negarawan utama di
negara kota Athena, tahun 431 SM mendefinisikan demokrasi sebagai berikut
(dalam bahasa Indonesia)
“Konstitusi kita disebut
demokrasi karena konstitusi tersebut bukan ditentukan oleh segelintir orang
melainkan oleh banyak orang. Tapi hukum kita menjamin keadilan yang sama bagi
semua orang dalam masalah – masalah pribadinya dan opini publik kita mengakui
dan menghormati bakat di setiap tingkatan pencapaian... Semata – mata karena
kehebatannya... Warga kita memenuhi baik kewajiban publik maupun kewajiban
pribadi dan tidak membolehkan berbagai masalah bersama... Kita membuat
keputusan dan berdebat dengan bijaksana dan dalam semua masalah kebijakan,
dengan meyakini... Bahwa pengambilan kebijakan dianggap tidak sah apabila tidak
didiskusikan terlebih dahulu.”
Demokrasi yang dimaksud Pericles bersifat langsung, berbeda dengan
demokrasi modern yang bersifat tidak langsung. Bagi Jhon locke, bapak demokrasi
modern, demokrasi berarti demokrasi perwakilan (tidak langsung) dengan
kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh konstitusi dan penghormatan terhadap
hak – hak dasar rakyat.[3]
Studi tentang demokrasi sebagai sistem politik tidak dapat begitu
saja dilepaskan dari studi yang membahas tentang hukum. Bisa dikatakan bahwa
jika demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan sempurna, sebaliknya
hukum pun tanpa sistem politik yang baik hanya akan berdampak pada hukum yang
elitis[4]
dan represif[5].
Bahkan jika memang mampu lembaga-lembaga negara yang akan dibentuk di dalam
sistem yang demokratis haruslah dituangkan di dalam konstitusi yang pada
dasarnya merupakan sebuah norma dasar. Demokrasi mempunyai arti penting bagi
masyarakat yang menggunakan, sebab dengan demokrasi itu hak yang dimiliki oleh
masyarakat untuk menentukan sendiri jalannnya organisasi negara. Demokrasi
sebagai hal yang mendasari kehidupan dalam bernegara, artinya bahwa pada
tingkat terakhir rakyat memberikan suatu ketentuan dalam masalah-masalah pokok
mengenai kehidupannya. Jadi, negara demokrasi adalah suatu wilayah yang
diselenggarakannya negara demokrasi berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat.
Konsep demokrasi itu lahir semula dari pemikiran-pemikiran mengenai
hubungan negara hukum di Yunani Kuno dan praktiknya di praktikan dalam
kehidupan bernegara antara abad ke empat sebelum masehi sampai abad ke enam
masehi.[6]
Dalam demokrasi itu pada praktiknya berbentuk demokrasi langsung (direct
democracy) artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas.
Gagasan demokrasi Yunani Kuno ini berakhir pada abad pertengahan (600-1400).
Dengan demikian kehidupan sosial politik dan agamanya pada masa ini hanyalah
ditentukan oleh segelintir elit-elit masyarakat yang aitu kaum bangsawan dan
kaum agamawan. Karena hal itulah demokrasi pada abad ini tidaklah muncul.
Lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) dijadikan sebagai suatu piagam yang memuat
perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris merupakan sebuah
tonggak baru dalam kemunculan demokrasi empirik. Momentum lainnya, yang
menandai kemunculan kembali demokrasi di Dunia Barat adalah gerakanrenaissance
dan reformasi.[7]
Renaissance merupakan suatu gerakan menghidupkan kembali minat pada sastra dan
budaya Yunani Kuno, yang kebudayaan dan pemikiran dimulai di Italia pada abad
ke empat belas dan mencapai puncaknya pada abad kelima belas dan enambelas.
Sebuah peristiwa lain yang mendorong lahirnya kembali gerakan
demokrasi di Eropa adalah gerakan reformasi. Gerakan reformasi yaitu suatu
gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad keenam belas yang
bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik. Hasil dari gerakan
reformasi ini adalah adanya peninjauan kembali terhadap doktrin gereja Katolik
yang berkembang menjadi protestanisme. Kecaman dan dobrakan demi dobrakan
terhadap absolutisme monarki dan gereja pada masa itu didasarkan pada teori
rasionalitas sebagai “social-contract” (perjanjian masyarakat) yang
salah satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh sebuah hukum yang
timbul dari alam (natural law) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan
yang universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan
maupun rakyat jelata itu sendiri. Karena itu teori hukum alam merupakan sebuah
usaha untuk mendobrak pemerintahan yang absolut dalam menetapkan hak-hak
politik rakyat di satu asas yang disebut demokrasi (pemerintahan rakyat).
Di antara negara demokrasi di Yunani, Athena adalah hal yang tidak
kalah penting, karena yang paling terkenal dan dikenal pada saat itu dan pada
masa sekarang. Mengapa Athena bisa begitu sangat penting karena pengaruhnya
yang luar biasa terhadap filsafat politik yang kemudian sering juga dipercayai
sebagai contoh atau sumber rujukan utama dari partisipasi warga negara, atau
sebagaimana dikatakan sementara orang sebagai demokrasi pertisipatif. Pada
intinya pemerintahan Athena adalah sebuah majelis di mana seluruh warga negara
berhak ikut serta. Majelis tersebut memilih beberapa pejabat utama,misalnya beberapa
orang jenderal. Menurut beberapa pemikiran, seorang negara yang biasa-biasa
saja memiliki kesempatan yang cukup besar untuk memenangkan undian sekali
seumur hidup guna memegang jabatan tertinggi yang paling penting dalam
pemerintahan. Beberapa kota Yunani yang bergabung untuk membentuk suatu
pemerintahan perwakilan yang sederhana bagi aliansi, liga atau konfederasi
namun sedikit sekali yang dapat diketahui tentang sistem perwakilan ini.
Tampaknya tidak ada bekasnya sama sekali terhadap gagasan dan praktek
demokrasinya. Begitu juga sistem Athena dalam memilih warga negara untuk
jabatan publik melalui undian juga tidak pernah menjadi alternatif yang dapat
diterima sebagai suatu cara untuk memilih wakil-wakil. Negara kota Athena yang
pada akhirnya pudar karena munculnya kerajaan-kerajaan, negara-negara yang
lebih kuat dan mempunyai rezim-rezim militer yang sama dengan Roma republik.
Keduanya mempunyai unsur-unsur partisipasi rakyat dalam masalah pemerintahan
dan keduanya mempunyai kontrol birokratif yang kecil dan dalam kedua politik
itu keduanya berusaha membantu perkembangan rasa kewajiban, kebajikan atau
tanggung jawab kewarganegaraan kepada republik. Tetapi, Athena adalah suatu
republik yang demokratif, kesarjanaan kontemporer umumnya menegaskan bahwa
Roma, dalam perbandingannya merupakan sistem yang pada hakikatnya oligarkis.
Namun dizaman kuno itu Romalah yang terbukti yang mempunyai pengaruh paling
bertahan lama atas penyebaran ide-ide republik.
Roma, kira-kira mempunyai waktu yang sama dengan diperkenalkannya
pemerintahan rakyat di Yunani, hal yang sama juga muncul di semenanjung Italia
di kota Roma. Hak untuk ikut serta dalam pemerintah republik pada mulanya hanya
terbatas pada golongan bangsawan saja.
Romawi memilih untuk menamakan sistem mereka suatu republik. Suatu
republik itu adalah sesuatu yang menjadi milik rakyat. Namun dalam suatu perkembangan
yang akan kita temui nanti setelah melakukan perjuangan yang keras maka rakyat
biasa juga dapat masuk ke dalamnya. Dari permulaannya sebagai sebuah kota yang
tidak besar ukurannya lalu republik Roma memperluas diri dengan melakukan
perluasan wilayah. Akibat dari hal itu, republik Roma akhirnya dapat memerintah
seluruh Italia, bahkan melampauinya. Bagaimanapun juga kebijaksanaan dan
kedermawanan pemberian kewarganegaraan romawi terhadap rakyat yang
ditaklukannya jika kita nilai dari segi pandangan yang sekarang akan kita
dapati cacat yang besar sekali. Roma tidak pernah menyesuaikan lembaga
pemerintahannya dalam rangka mengimbangi pertambahan jumlah penduduk dan luar
biasa dan jarak geografis yang semakin jauh dari Roma. Sebagai rakyat yang
mempunyai banyak hal tentang kreatifitas dan kepraktisan, orang romawi tidak
pernah menciptakan atau menganut sebuah penyelesaian yang tampak jelas bagi
kita sekarang ini: yaitu suatu sistem pemerintahan perwakilan yang dapat
berfungsi berdasarkan wakil-wakil yang dipilih secara demokratis.
Meskipun republik Romawi lebih lama berdiri dari negara Athena dan lebih lama
dari apa yang pernah dialami negara demokrasi manapun, negara Roma dilanda
keresahan sosial, perang, militerisasi, korupsi, dan juga anjoknya semangat
kewargaan yang dulunya kuat dikalangan warga negaranya. Dengan jatuhnya
republik Roma itu maka pemerintah rakyat tela menghilang sama sekali di Eropa
bagian selatan. Dengan mengesampingkan sistem-sistem politik kesukuan yang
kecil dan terpencar-pencar, republik Roma benar-benar telah lenyap dari permukaan
bumi selama kurang lebih 1000 tahun lamanya.
Italia, kembali muncul setelah terjadinya perubahan cuaca yang
hebat, pemerintahan rakyat itu mulai muncul kembali dibanyak kota di Italia
utara sekitar 1100 M. Dalam suatu pola yang biasa ditemui di Roma, dan kemudian
terulang kembali ketika munculnya pemerintahan perwakilan modern. Dimana,
partisipasi dalam badan- badan yang memerintah dinegara kota itu pertama-tama
hanya terbatas pada kalangan anggota keluarga kelas atas: bangsawan, tuan tanah
besar, dsb. Akan tetapi hal tersebut lambat laun pudar, penduduk kota yang
berada dalam kalangan rendah mulai menuntut hak untuk ikut memerintah. Anggota
dari kelas yang kini dinamakan kelas menengah: orang kaya baru, pedagang dan
bankir menengah, para pengrajin berkumpul dalam paguyuban (gilda), serta para
serdadu jalan kaki yang diperintah oleh kaum bangsawan. Sekarang anggota dari
kelas menengah itu telah mampu mengorganisasi dirinya sendiri tanpa diperintah
oleh kelas menengah atas. Sayangnya dalam perkembangan demokrasi di Italia,
setelah sekitar pertengahan tahun 1300-an, pemerintahan republikan dari
beberapa kota utama itu makin meredup dan tunduk terhadap musuh-musuh abadi
pemerintahan rakyat: kemunduran ekonomi, korupsi, oligarki, perang, penaklukan,
dan diambil alihnya kekuasaan oleh para penguasa yang sewenang-wenang. Contoh:
pangeran, raja, atau tentara. Berbagai kota besar dan kecil di Italia telah
ditakdirkan untuk digabungkan kedalam kekuasaan yang lebih hebat dan lebih
berkuasa, dengan demikian kota-kota ini paling mentok, hanya menjadi
satuan-satuan yang rendah dalam pemerintahan. Kendatipun dahulunya kota itu
amat megah, kini negara-kota telah menjadi usang.[8]
Lebih dari tiga puluh negara mengalami transisi menuju demokrasi
diantara tahun 1974 dan 1990. Hasilnya
hampir mencapai dua kali lipat dari jumlah rezim demokratis sebelumnya.
Transisi berawal di Eropa bagian selatan (Yunani, Spanyol, dan Portugal).
Gelobang demokrasi berikutnya terjadi di Amerika Latin (Argentina,
Uruguay, Peru, Ekuador, Bolivia, Brazil,
dan Paraguay) dan di Amerika Tengah (Honduras, El Salvador, Nikaragua,
Guatemala, dan Meksiko). Kemudian terjadi transisi di Eropa Timur (Polandia,
Cekoslowakia, Hungaria, Rumania, Bulgaria, dan bekas Republik Demokrasi
Jerman). Gelombang demokratisasi terakhir terjadi di Afrika di negara –negara
bekas Uni Soviet. Akhirnya, transisi menuju demokrasi terjadi di Asia sejak
hampir selama periode tahun 1970an (Papua Nugini, Thailand, Pakistan,
Bangladesh, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Mongolia dan Nepal).[9]
Dalam sejarah teori demokratis terletak suatu konflik yang sangat
tajam mengenai apakah demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat (suatu bentuk politik di mana warga negara terlibat dalam
pemerintahan sendiri dan pengaturan sendiri) atau suatu bantuan bagi pembuatan
keputusan (suatu cara pemberian kekuasaan kepada pemerintah melalu pemberian
suara secara periodik). Konflik ini telah memunculkan tiga jenis atau model
pokok demokrasi.
1.
Demokrasi
langsung atau demokrasi partisipassi, suatu sistem pengambilan keputusan
mengenai masalah – masalah publik di mana warga negara terlibat secara
langsung. Ini adalah tipe demokrasi “asli” yang terdapat di Athena kuno.
2.
Demokrasi
liberal atau demokrasi perwakilan, suatu sistem pemerintahan yang mencakup
“pejabat – pejabat” terpilih yang melaksanakan tugas “mewakili” kepentingan –
kepentingan atau pandangan – pandangan dari para warga negara dalam daerah –
daerah yang terbatas sambil tetap menjunjung tinggi “aturan hukum”.
3.
Demokrasi
yang didasarkan atas model satu partai (meskipun sementara orang mungkin
meragukan apakah hal ini merupakan suatu bentuk demokrasi juga).[10]
DAFTAR PUSTAKA
Suleman,
Zulfikri. 2010. Dwmokrasi untuk Indonesia : pemikiran politik Bung Hatta.
Kompas. Jakarta. 2010
Mahfud
MD. 1999. Hukum dan pilar-pilar demokrasi. Yogyakarta. Gama media. hal 6
Dede
Rosyada dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. ICCI
UIN. Jakarta. hal 126
Robert
A. Dahl. 2001. Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara Singkat. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia. hal 16-22
Sorensen,
Georg. 2014. Demokrasi dan demokratisasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Held,
david. 2004. Demokrasi dan tatanan global : dari negara modern hingga
pemerintah kosmopolitan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal 5-6
[1] Held,
david. 2004. Demokrasi dan tatanan global : dari negara modern hingga
pemerintah kosmopolitan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
[2]
Sorensen, Georg. 2014. Demokrasi dan demokratisasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
[3] Suleman,
Zulfikri. 2010. Dwmokrasi untuk Indonesia : pemikiran politik Bung Hatta.
Kompas. Jakarta. 2010
[4]Elitis:
berhubungan dengan kelompok elite di masyarakat
[5]Represif:
menekan, mengekang, menahan, atau menindas
[6]Mahfud
MD. 1999. Hukum dan pilar-pilar demokrasi. Yogyakarta. Gama media. hal 6
[7]Dede
Rosyada dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. ICCI
UIN. Jakarta. hal 126
[8]Robert A.
Dahl. 2001. Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara Singkat. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia. hal 16-22
[9]
Sorensen, Georg. 2014. Demokrasi dan demokratisasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
[10] Held,
david. 2004. Demokrasi dan tatanan global : dari negara modern hingga
pemerintah kosmopolitan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal 5-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar