1.
Metode rasional (al-manhaj
al-‘aqli), yaitu metode yang menganggap rasio sebagai alat yang dominan,
sehingga teks-teks wahyu harus diterima secara rasional, dan keyakinan orang
terhadap kebenaran materi akidah harus di dasarkan atas pengetahuan rasional.
Untuk itu, semua hasil pemikiran rasional umat manusia bisa dipergunakan bila
berdayaguna untuk memperkuat kebenaran dan menambah keyakinan. Metode ini
banyak dipergunakan oleh para teolog Muktazilah dan para filsuf Islam.
2.
Metode tekstual (al-manhaj
al-naqli), yaitu metode berpikir yang berpegang teguh kepada teks-teks wahyu
secara harfiah, tanpa memberikan peranan kepada akal dan hasil pemikiran untuk
menjamah masalah-masalah akidah, kecuali untuk sekadar sistematisasi
pokok-pokok akidah tersebut. Dasar penggunaan metode ini ialah anggapan bahwa
teks-teks wahyu sudah komplit menampung segala masalah akidah yang diperlukan
dan mengikuti tradisi para sahabat Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Metode
ini dipergunakan oleh para teolog Salafisme.
3.
Metode moderat (al-manhaj
al-iqtishadi), yang bisa juga disebut sebagai metode sintese antara metode
rasional dan metode tekstual, yang berusaha menerapkan metode rasional dan
tekstual secara seimbang. Penggunaan metode ini di dasari oleh anggapan bahwa menekankan
berpegang pada salah satunya saja akan menjurus pada sikap ekstrim, padahal
akal dan nakal sama pentingnya dalam masalah akidah. Ini dipergunakan oleh para
teolog Asy’arisme dan Maturidisme.
4.
Metode dialektis (al-manhaj
al-jadali), yaitu metode debat untuk mempertahankan kebenaran pendapat sendiri
dan mematahkan pendapat lawan, baik secara rasional (yang banyak dipergunakan)
maupun tekstual. metode ini bisa juga disebut sebagai metode skolastik atau
metode sintesis-deduktif dalam filsafat. Metode ini pada umumnya dipergunakan
oleh para ahli kalam, sehingga karya-karya kalam semuanya berbentuk dialektis.
5.
Metode intuitis (al-manhaj
al-dzawqi), yaitu metode yang dipergunakan para sufi untuk memperoleh
pengetahuan (ma’rifah) yang langsung dari Tuhan, dengan menjalani hidup sebagai
sufi. Setelah mengalami maqam-maqam tertentu, seorang sufi diharapkan
memperoleh pengetahuan- tentang obyek-obyek keimanan- yang meyakinan yang
dpancarkan Tuhan secara langsung ke dalam hati-nya, tanpa belajar atau menalar.
Hal 52-54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar