1. Al-‘Allamah Abu Bakar at-Tharthusyi al-Maliki. Ia menuduh
Al-Ghazali sebagai orang yang meninggalkan ilmu pengetahuan dan hanyut oleh
amal perbuatan, masuk ke dunia ilmu-ilmu al-khawathir (rahasia hati),
terperosok ke dalam ilmu “was-was setan”. Di samping itu, pemikiran Al-Ghazali
mirip dengan produk pemikiran filosof dan simbol-simbol al-Hallaj.
2. Imam Abu Abdullah al-Mazari al-Maliki, ia berkesimpulan bahwa
kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Al-Ghazali, banyak ,memuat hadis-hadis dha’if dan
membuat sesuatu yang pada hakikatnya tidak berdasar menjadi baik. Selanjutnya
ia mengkritik pernyataan Al-Ghazali; “Di antara ilmu Al-Ghazali ada yang tidak
sepatutnya ditulis dalam sebuah kitab”. Dikatakan pula, Al-Ghazali belajar
filsafat sebelum dia mendalami ushuluddin (ilmu kalam). Oleh karenanya, dia
dikalahkan oleh filsafat dan terlalu cepat menyerang hakikat.
3. Al Hafidz Taqiyuddin Ibnu Shalah, menuduh Al-Ghazali telah
memasukkan ilmu manthiq ke dalam ushul faiqh, seperti perkataan Al-Ghazali
dalam kitabnya Al-Mustasyfa: “inilah mukadimah (baca : pintu) semua ilmu. Siapa
saja yang tidak mengetahui ilmu manthiq maka ilmunya tidak dapat dipercaya”.
Ibnu Shalah menentang pernyataan Al-Ghazali itu, karena menurutnya, para
sahabat dan ulama Salaf (sebelum Al-Ghazali) juga tidak mengetahui ilmu
manthiq. Apakah mereka tidak berhak dipercaya, sementara dari merekalah
ilmu-ilmu agama digali?
4. Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah yang mengkritik terhadap
Al-Ghazali menyangkut pena’wilan. Menurutnya, pena’wilan yang dilakukan
Al-Ghazali bertentangan dengan manhaj (metode) ulama Salaf. Di dalam kitabnya,
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Penulis kitab Jawahir al-Qur’an, yakni Al-Ghazali,
sering mengadakan dialog dengan para filosof, sehingga dalam tulisannya, ia
banyak menyadap pemikiran-pemikiran filsafat sekalipun sebagian dari pemikiran
mereka ditentangnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar