Masalah
aqidah mendapat perhatian besar dari para pemikir islam. Mereka yang terdiri
dari teolog, filsuf dan sufi, masing-masing secara individual merumuskan
pendapat mereka sekitar masalah yang penting ini. Beberapa dari pemikir
perintis sebelumnya, maka para pemikir selanjutnya cenderung mengelompok,
mengikuti tokoh pemikir yang di anggap mempanyi pendapat dan metode pemikiran
yang benar dan tepat. Karena itu, dalam sub-bab ini akan di bahas beberapa
metode yang di pergunakan oleh beberapa aliran: kalam, filsafat dan sufisme,
yang di anggap representatif untuk menggambarkan corak metode pemikiran sebelum
Al-Ghazali.
Aliran-aliran
kalam
Di
antara aliran-aliran kalam yang representatif untuk di bahas dalam prespektif
metodologis di sini ialah: Muktazilah, Salafisme dan Asy’arisme. Ketiga aliran
ini sangat berbeda dalam hal metode yang dipergunakan, terutama pada penggunaan
wahyu dan rasio dalam memformulasikan pendapat mereka di bidang aqidah. Aliran
lain seperti Maturidisme (al-Maturiddiyah), sudah terwakili dalam Asy’arisme,
karena menurut Madkur, kedua aliran kalam ini mempunyai motivasi kelahiran yang
sama di tempat yang berbeda, sehingga keduanya mempunyai banyak persamaan dalam
pendapat dan metode.
Muktazilah.
Menurut sebagian ahli, tokoh-tokoh muktazilah merupakan pendiri ilmu kalam yang
sebenarnya dalam islam. Kalam yang di bentuk dengan pemikiran sistematis tentang
aqidah islam telah mulai disusun oleh para pendiri muktazilah dalam bentuk
apologetik, sebagai pembelaan diri terhadap agama dan kepercayaan non-islam,
maupun terhadap kalangan umat islam sendiri yang tidak sepaham dengan mereka.
Dengan kalam-nya itu, muktazilah di anggap sebagai kampiun pembela aqidah islam
selama beberapa abad.
Peristiwa
pemisahan diri yang di lakukan Washil ibn ‘Atha (w. 130 H) dari gurunya,
al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) di masjid kota Bashrah di anggap sebagai awal
lahirnya aliran muktazilah. Washil, seorang yang berotak cerdas telah berlaku
lancang di depan gurunya, dengan memberi jawaban terhadap suatu pertanyaan yang
di ajukan orang kepada sang guru, sebelum gurunya menjawab. Pertanyaan tentang
status seseorang mukmin yang memperbuat dosa besar itu, di jawab oleh Washil bahwa dia tidak mukmin dan tidak
kafir, tetapi statusnya di antara kedua posisi tersebut atau “al-manzilat bayna
al-manzilatayn”. Sang guru menjawab bahwa orang itu tergolong munafik. Karena
merasa pendapatnya benar dalam perbedaan ini , maka Washil pun memisahkan diri
dari kelompok pengajian al-Hasan, gurunya, ke salah satu ruangan dalam masjid
yang sama, dan diikuti oleh sejumlah teman-temannya yang sepaham. Menanggapi
peristiwa yang terjadi, sang guru pun berucap “I’tazala ‘anna Washil (Washil
telah memisahkan diri dari kita). Sejak saat itu, washil ibn ‘Atha di anggap
sebagai pemuka golongan Muktazilah. Nama ini, yang diberikan oleh orang-orang
yang tidak sepaham dengan mereka, di ambil dari kata-kata yang digunakan
al-Hasan al-Bashri sendiri, yaitu “i’tazala” yang berarti telah memisahkan
diri.
Dalam
sejarahnya, Muktazilah pernah mengalami dua kali masa gemilang, yaitu pada masa
Dinasti Abbasiyyah (198-232 H) dan pada masa Dinasti Buwayh (334-447 H), Karena
adanya dukungan pihak penguasa. Tetapi setelah dukungan politik tidak diperoleh
lagi, dan Muktazilah makin terdesak oleh Asy’arisme, aliran yang lahir d bawah
ketiaknya sendiri, maka Muktazilah terpaksa menjalin persaudaraan dengan pihak
Syiah. Pada masa-masa terakhir, ajaran-ajaran Muktazilah hanya dikenal lewat
ajaran-ajaran Syiah yang memang banyak mengadaptasi doktrin-doktrinnya ,
terutama di kalangan Syiah Zaidiyah. Namun dalam sejarahnya, Muktazilah paling
kaya dengan tokoh-tokoh pemikir besar, malah sampai ke tingkat filsuf. Para
pemikir Muktazilah terbagi dalam dua golongan besar, yaitu kelompok Bashrah dan
kelompok Baghdad. Di antara mereka yang terkenal ialah: Washil ibn ‘Atha, ‘Amr
ibn ‘Ubayd, Abu al-Huzayl al-Allaf, al-Nazhzham, Abu Hasyim al-Jubba’i dan
Qadhi ‘abd al-Jabbar. Hasil pemikiran mereka, yang mulanya berpangkal pada
masalah aqidah ini, sampai menjamah filsafat tentang etika, politik, fisika,
metafisika dan berkisar di seputar masalah: Tuhan, manusia dan alam.
Golongan
Muktazilah di anggap sebagai golongan rasionalis dalam Islam. Mereka
menempatkan rasio atau akal pada posisi yang tinggi sekali dalam kehidupan
beragama. Abu al-Huzayl al-‘Allaf dan al-Nazhzham sepakat bahwa status akal
bagi manusia pada masa wahyu belum di turunkan Tuhan, dalah sebagai syari
(pembuat hukum) dalam dua hal: kewajiban mengenal Tuhan dengan dalil dan
kewajiban melaksanakan segala perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan
yang buruk menurut akal. Orang Mukallaf yang tidak mematuhi ketentuan hukum
tersebut akan di siksa selamanya di akhirat. Status akal yang tinggi di mata
Muktazilah ini, minimal mempunyai dua arti penting, yaitu pertama, bahwa
manusia memounyai kemampuan yang besar dengan akal yang dimilikinya; dan kedua,
bahwa segala perbuatan manusia secara eskatologis tak ada yang sia-sia pada
masa apapun. Keduanya mendorong terwujudnya dominasi metode rasional dalam
pemikiran Muktazilah, dan pandangan yag antroposentris terhadap masalah-masalah
akidah, terutama dalam hubungan antara manusia dan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar