Senin, 07 September 2015

Metode pemikiran beberapa aliran


                Masalah aqidah mendapat perhatian besar dari para pemikir islam. Mereka yang terdiri dari teolog, filsuf dan sufi, masing-masing secara individual merumuskan pendapat mereka sekitar masalah yang penting ini. Beberapa dari pemikir perintis sebelumnya, maka para pemikir selanjutnya cenderung mengelompok, mengikuti tokoh pemikir yang di anggap mempanyi pendapat dan metode pemikiran yang benar dan tepat. Karena itu, dalam sub-bab ini akan di bahas beberapa metode yang di pergunakan oleh beberapa aliran: kalam, filsafat dan sufisme, yang di anggap representatif untuk menggambarkan corak metode pemikiran sebelum Al-Ghazali.
                Aliran-aliran kalam
                Di antara aliran-aliran kalam yang representatif untuk di bahas dalam prespektif metodologis di sini ialah: Muktazilah, Salafisme dan Asy’arisme. Ketiga aliran ini sangat berbeda dalam hal metode yang dipergunakan, terutama pada penggunaan wahyu dan rasio dalam memformulasikan pendapat mereka di bidang aqidah. Aliran lain seperti Maturidisme (al-Maturiddiyah), sudah terwakili dalam Asy’arisme, karena menurut Madkur, kedua aliran kalam ini mempunyai motivasi kelahiran yang sama di tempat yang berbeda, sehingga keduanya mempunyai banyak persamaan dalam pendapat dan metode.
                Muktazilah. Menurut sebagian ahli, tokoh-tokoh muktazilah merupakan pendiri ilmu kalam yang sebenarnya dalam islam. Kalam yang di bentuk dengan pemikiran sistematis tentang aqidah islam telah mulai disusun oleh para pendiri muktazilah dalam bentuk apologetik, sebagai pembelaan diri terhadap agama dan kepercayaan non-islam, maupun terhadap kalangan umat islam sendiri yang tidak sepaham dengan mereka. Dengan kalam-nya itu, muktazilah di anggap sebagai kampiun pembela aqidah islam selama beberapa abad.
                Peristiwa pemisahan diri yang di lakukan Washil ibn ‘Atha (w. 130 H) dari gurunya, al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) di masjid kota Bashrah di anggap sebagai awal lahirnya aliran muktazilah. Washil, seorang yang berotak cerdas telah berlaku lancang di depan gurunya, dengan memberi jawaban terhadap suatu pertanyaan yang di ajukan orang kepada sang guru, sebelum gurunya menjawab. Pertanyaan tentang status seseorang mukmin yang memperbuat dosa besar itu, di jawab oleh  Washil bahwa dia tidak mukmin dan tidak kafir, tetapi statusnya di antara kedua posisi tersebut atau “al-manzilat bayna al-manzilatayn”. Sang guru menjawab bahwa orang itu tergolong munafik. Karena merasa pendapatnya benar dalam perbedaan ini , maka Washil pun memisahkan diri dari kelompok pengajian al-Hasan, gurunya, ke salah satu ruangan dalam masjid yang sama, dan diikuti oleh sejumlah teman-temannya yang sepaham. Menanggapi peristiwa yang terjadi, sang guru pun berucap “I’tazala ‘anna Washil (Washil telah memisahkan diri dari kita). Sejak saat itu, washil ibn ‘Atha di anggap sebagai pemuka golongan Muktazilah. Nama ini, yang diberikan oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, di ambil dari kata-kata yang digunakan al-Hasan al-Bashri sendiri, yaitu “i’tazala” yang berarti telah memisahkan diri.
                Dalam sejarahnya, Muktazilah pernah mengalami dua kali masa gemilang, yaitu pada masa Dinasti Abbasiyyah (198-232 H) dan pada masa Dinasti Buwayh (334-447 H), Karena adanya dukungan pihak penguasa. Tetapi setelah dukungan politik tidak diperoleh lagi, dan Muktazilah makin terdesak oleh Asy’arisme, aliran yang lahir d bawah ketiaknya sendiri, maka Muktazilah terpaksa menjalin persaudaraan dengan pihak Syiah. Pada masa-masa terakhir, ajaran-ajaran Muktazilah hanya dikenal lewat ajaran-ajaran Syiah yang memang banyak mengadaptasi doktrin-doktrinnya , terutama di kalangan Syiah Zaidiyah. Namun dalam sejarahnya, Muktazilah paling kaya dengan tokoh-tokoh pemikir besar, malah sampai ke tingkat filsuf. Para pemikir Muktazilah terbagi dalam dua golongan besar, yaitu kelompok Bashrah dan kelompok Baghdad. Di antara mereka yang terkenal ialah: Washil ibn ‘Atha, ‘Amr ibn ‘Ubayd, Abu al-Huzayl al-Allaf, al-Nazhzham, Abu Hasyim al-Jubba’i dan Qadhi ‘abd al-Jabbar. Hasil pemikiran mereka, yang mulanya berpangkal pada masalah aqidah ini, sampai menjamah filsafat tentang etika, politik, fisika, metafisika dan berkisar di seputar masalah: Tuhan, manusia dan alam.

                Golongan Muktazilah di anggap sebagai golongan rasionalis dalam Islam. Mereka menempatkan rasio atau akal pada posisi yang tinggi sekali dalam kehidupan beragama. Abu al-Huzayl al-‘Allaf dan al-Nazhzham sepakat bahwa status akal bagi manusia pada masa wahyu belum di turunkan Tuhan, dalah sebagai syari (pembuat hukum) dalam dua hal: kewajiban mengenal Tuhan dengan dalil dan kewajiban melaksanakan segala perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal. Orang Mukallaf yang tidak mematuhi ketentuan hukum tersebut akan di siksa selamanya di akhirat. Status akal yang tinggi di mata Muktazilah ini, minimal mempunyai dua arti penting, yaitu pertama, bahwa manusia memounyai kemampuan yang besar dengan akal yang dimilikinya; dan kedua, bahwa segala perbuatan manusia secara eskatologis tak ada yang sia-sia pada masa apapun. Keduanya mendorong terwujudnya dominasi metode rasional dalam pemikiran Muktazilah, dan pandangan yag antroposentris terhadap masalah-masalah akidah, terutama dalam hubungan antara manusia dan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar