Bagian
lain dari warisan Al-Ghazali yang sempat dicatat sebagai hal positif adalah
perlawanannya terhadap pemikiran ekstrim yang telah mewarnai pemikiran
aliran-aliran saat itu, juga masa-masa sebelumnya.
Ketika
itu masing-masing aliran (golongan) mengkafirkan golongan lain. Aliran yang
berbeda dinyatakan sebagai aliran yang mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Bahkan ada yang menyiratkan adanya ancaman kepada kelompok lain, baik darah
maupun harta. Tiap-tiap aliran meyakini bahwa aliran yang berbeda dengan
alirannya nantinya akan kekal di neraka.
Al-Ghazali
dengan kekuatanya, menentang sikap ekstrim dan berlebih-lebihan tersebut, serta
mendudukkan masalahnya dalam sebuah kitabnya Al-Iqtishad fi-I’tiwad
dan kitab Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa az-Zindiqah.
Di
dalam kitabnya Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Al-Ghazali mengatakan,
“Sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemikir adalah sedapat mungkin
menjaga agar tidak mengkafirkan aliran lain. Sungguh, menghalalkan darah atau
harta kekayaan orang-orang yang melakukan ibadah shalat dan telah menghadap ke
kiblat, serta dengan jelas mengatakan kalimat La ilaha illallah
Muhammadur Rasulullah adalah sikap yang sesat.
Ketahuilah,
bahwa membiarkan seribu orang kafir hidup, itu lebih tidak dibenarkan dan lebih
hina dari pada membunuh seorang Muslim yang dituduh kafir, hanya karena
perbedaan pendapat atau aliran. Rasulullah saw telah bersabda :
“Aku
diperintahkan untuk membunuh manusia, sehingga mereka mengatakan Laiaha
illallah, Muhammadur Rasulullah (tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah). Jika mereka telah menyatakannya, maka mereka terjaga
darah dan harta mereka, kecuali hak-haknya.”[1]
Selanjutnya,
Al-Ghazali mengatakan “Tidak ada satupun ketentuan bagi kita, untuk
mengkafirkan seseorang hanya karena kesalahan di dalam ta’wil. Untuk menghukum
kafirnya seseorang dibutuhkan bukti atau dalil. Bahkan dalam hadis di atas
telah dinyatakan secara pasti bahwa al-Ishmah (terjaganya hak-hak seseorang)
diperoleh hanya karena telah mengucapkan Lailaha illallah. Untuk menghukumi
seseorang itu sebagai seorang kafir, haruslah dengan kepastian hukum. “Kalimat
Syahadat” telah cukup untuk menentukan kekafiran seseorang, tanpa harus dengan
dalil. Sementara yang harus memakai dalil (selain berdasarkan kalimat
syahadat), masih dibagi dua lagi, yaitu dalil dasar, atau dalil analogi yang
berlandaskan dalil dasar tersebut.
Hukum
(dalil) dasar untuk mengkafirkan orang lain adalah dengan “mendustakan”. Barang
siapa yang tidak mendustakan orang lain, secara hukum dasar tidak ada dalam
diri orang itu nilai kedustaan. Dengan demikian, sebagai gambaran, al-Ishmah
cukup terwakili dengan kalimat Syahadad.[2]
Sedangkan
di dalam kitab Faishal at-Tafriwah, Al-Ghazali sangat tidak
setuju jika perbedaan dalam penakwilan menjadi dasar pengkafiran seseorang.
Di
samping itu, Al-Ghazali menentang keras pengkafiran yang dilontarkan oleh
mutakallimun ekstrim, dimana mereka mewajibkan umat Muslim awam untuk
mengetahui akidah Islamiyah berdasarkan ilmu kalam. Menurut mereka, barang
siapa yang tidak mengetahui dasar-dasar ilmu kalam yang berkait dengan akidah
adalah kafir !
Menjawab
pernyataan itu, Al-Ghazali dengan nada keras mengatakan. “Termasuk orang yang
sangat ekstrim dan bahkan keterlaluan adalah sebagian dari golongan
mutakallimun yang mengkafirkan masyarakat Muslim awam, hanya karena pengetahuan
akidah mereka tidak melalui cara-cara yang digasirkan ilmu kalam. Menurut
mereke, orang Muslim awam yang tidak mengetahui ilmu kalam adalah kafir”.
Selanjutnya
Al-Ghazali mengatakan, “Dampak dari klaim-klaim mereka menimbulkan: pertama,
sesungguhnya mereke yang tergolong ekstrim itu, telah mempersempit rahmat Allah
yang begitu luas kepada hamba-Nya, mereka menjadikan surga hanya untuk
segelintir orang saja, yaitu untuk para mutakallimun.
Kedua,
golongan yang ekstrim itu, tidak mengetahui kejadian-kejadian sebenarnya yang
mutawatir yang terjadi di masa Rasulullah dan para sahabat radhiallahu’anhum.
Di mana banyak dari kalangan orang-orang Arab diklam –atau mengklaim diri-
sebagai pemeluk agama Islam, sekalipun mereka berada pada kondisi penyembahan
berhala. Mereka malas memperlajari dalil. Oleh karenanya, jika mereka
dihadapkan dengan ilmu-ilmu tentang dalil, tentu mereka tidak akan mengerti.[3]
Selanjutnya,
Al-Ghazali mengatakan, “Pengenalan iman, tidaklah darus berdasarkan dalil-dalil
dari kaum mutakallimun, akan tetapi melalui nur (cahaya) yang Allah swt
pancarkan ke dalam hati. Bisa saja pengenalan iman itu melalui bisikan batin yang
sulit dijelaskan kembali, dan bisa pula melalui persahabatan dengan orang
salih”
Tidak
jarang Al-Ghazali dituduh terlalu membela Ahlussunnah oleh golongan-golongan
yang berseberangan dengannya. Untuk itu, kita simak apa yang di katakan
Al-Ghazali sebagai komentarnya. “Jika engkau malu memberikan definisi mengenai
kafir. Dengarkan. Saya akan memberikan padamu kriteria yang relatif benar dalam
mendefinisikan kekafiran. Barangkali dapat negkau jadikan sebagai pertimbangan,
sehingga engkau tidak mudah mengkafirkan orang lain, dan tidak lagi berperilaku
tidak sopan terhadap sesama muslim, bila kebetulan berbeda pendapat. Apalagi
mereka masih berpegang kepada kalimat La ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah
dengan benar dan jujur, serta tidak kontrofersial. Dengarkan, saya berpendapat
bahwa “Kafir” adalah mendustakan sebagian apa yang di bawa oleh Rasulullah saw,
sementara “IMAN” adalah membenarkan segala yang di bawa oleh Rasulullah saw’.
Ketahuilah
bahwa sekalipun yang kami sebutkan di atas sudah nampak sangat jelas, akan
tetapi di bawahnya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan. Masalahnya
masing-masing kelompok mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pendapat
dengannya, dan mengklaimnya sebagai kelompok yang mendustakan Rasulullah saw.
Golongan
Hanbaliyah mendustakan aliran Asy’ariyah di mana aliran Asy’ariyah dituduh
mendustakan Rasulullah saw dalam persoalan “Itsbat Fauq” (penetapan arah
batas), yaitu mengenai “istiwa ‘ala al-Arasy” (duduk di atas singgasana).
Sebaliknya aliran Asy’ariyah juga mendustakan kelompok Hanbali, dan dituduhnya
sebagai kelompok musyabbih (yang menyamakan) terhadap Allah, sekaligus
mendustakan Rasulullah saw, oleh karena Asy-ariyah telah mengajarkan “Laisa
kamistlihi syai’un” (tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah).
Kelompok
Asy-ari juga mendustakan aliran Mu’tazilah, yang dinilainya telah mendustakan
Rasul di dalam persoalan bolehnya meilhat Allah swt, tentang itsbat (penetapan)
akan sifat ilmu, qudrat dan sifat-sifat yang lain kepada-Nya. Sebaliknya aliran
muktazilah pun mendustakan golongan Asy-ari, karena di anggap telah mendustakan
Rasul dalam masalah penetapan sifat-sifat Allah, sehingga memperbanyak
sifat-sifat Qadim.
Engkau
tidak akan selamat dari keterlibatan itu, kecuali jika engkau mengetahui
batasan tentang “pendustaan” dan “pembenaran” (at-Takdzib wa at-Tashdiq) serta
hakikat dari keduanya. Dengan mengetahui keduanya, engkau akan mengetahui
ekstrimnya tiap-tiap golongan dalam mengkafirkan kelompok yang lain.
Bila
mereka berkata, “Bahwa iman itu menuntut adanya khabar (sesuatu yang diimani),
bahkan sekaligus sl-Mukhbir (yang memberi tahukan)’. Maka ketahuilah, bahwa
pada hakikatnya iman adalah mengakui dan membenarkan sesuatu yang diberitakan
oleh Rasulullah saw.
Namun
demikian, perlu diketahui bahwa “wujud” (ada)nya sesuatu itu mempunyai lima
tingkatan. Bagi sementara orang yang tidak mengerti persoalan “wujud” ini,
dengan mudah akan mendustakan orang lain.
Kelima
tingkatan “wujud” itu adalah : Wujud Dzaty, Wujud Hissy, Wujud Khayaly, Wujud
Aqly dan Wujud Subhy.
Barang
siapa mengakui adanya sesuatu yang diberikan oleh Rasulullah saw, dan itu masih
ada dalam kelima kerangka wujud di atas, secara mutlak mereka tidak dapat
dikatakan mendustakan agama.
1.
Wujud Dzaty, adalah wujud
yang hakiki, di luar perasaan dan akal.
2.
Wujud Hissy, yaitu sesuatu
yang terdapat di dalam kekuatan Bashirah, padahal keberadaannya di luar
penglihatan mata. Seperti orang yang disaksikan oleh orang yang dalam tidur.
3.
Wujud Khayali, adalah wujud
yang merupakan gambaran dari sesuatu yang nyata, setelah sesuatu yang nyata itu
hilang dari indera.
4.
Wujud Aqly, yaitu dimana
segala sesuatu itu memiliki ruh, memiliki hakikat dan memiliki makna.
5.
Wujud Asy-Syubhy, adalah
sesuatu yang selayaknya tidak diwujudkan : tidak dalam bentuknya, hakikatnya
tidak di luarnya, tidak di dalam perasaan, tidak di dalam khayal dan pula di
dalam akal. Akan tetapi keberadaan (wujud)nya merupakan sesuatu yang lain,
hanya saja dari beberapa sifatnya masih serupa.
Di dalam
konflik pemikiran model demikian, keberadaan Al-Ghazali di hadapkan di hadapan
orang-orang yang berbeda pendapat dengannya, lebih banyak sebagai seorang
“pembela” daripada “Hakim”. Dalam konteks ini, Al-Ghazali menilai bahwa,
apabila seseorang telah mengakui “wujud” dari apa yang di bawa Rasulullah saw,
baik ia berupa Wujud Khayaly, Wujud Aqly ataupun Wujud Syubhy, hal itu sudah
cukup untuk menafikan kedustaan dan kekafiran. Al-Ghazali telah menawarkan
sikap yang sangat toleran, bahkan demikian tolerannya dalam masalah ini- di
dalam menggambarkan toleransi itu sendiri-.
Tampaknya, apa yang dijelaskan
oleh Al-Ghazali di atas, berupa toleransi yang sangat luas, dengan memberikan
jalan keluar yang rasional bagi oran-orang yang berbeda pendapat, adalah
bertujuan agar mereka tetap berada dalam bingkai Islam. Al-Ghazali sendiri
bukanlah sosok yang berlebihan di dalam menjaga hakika agama, bila di
bandingkan dengan masalah-masalah yang menyentuh substansi agama. Atau bila
dibandingkan dengan masalah-masalah yang kering dari riwayat mutawatir, baik
yang menyangkut masalah akidah ataupun syariah. Atau bila dibandingkan dengan
pemikiran-prmikiran filsafat dan celotehan (Syathahat) kaum sufi, yang
menurutnya tidak dapat di ta’wilkan. Menanggapi pernyataan kaum sufi yang
mengatakan, jika mereka telah mencapai satu titik tingkatan Riyadhah Ruhiyahnya
(latihan keruhanian), maka gugur bagi mereka kewajiban-kewajiban syariah dan
syiar-syiar ibadah. Maka dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya
membunuh seorang raja saja dari mereka, lebih baik dari pada membunuh seratus
orang kafir murni. Karena orang kafir, dia rusak karena kekafirannya sendiri,
sedangkang apa yang dikatakan oleh sufi ini telah pula merusak syarak.”[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar