Senin, 21 September 2015

Al Ghazali melawan gelombang pemikiran ekstrim



                Bagian lain dari warisan Al-Ghazali yang sempat dicatat sebagai hal positif adalah perlawanannya terhadap pemikiran ekstrim yang telah mewarnai pemikiran aliran-aliran saat itu, juga masa-masa sebelumnya.
                Ketika itu masing-masing aliran (golongan) mengkafirkan golongan lain. Aliran yang berbeda dinyatakan sebagai aliran yang mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya. Bahkan ada yang menyiratkan adanya ancaman kepada kelompok lain, baik darah maupun harta. Tiap-tiap aliran meyakini bahwa aliran yang berbeda dengan alirannya nantinya akan kekal di neraka.
                Al-Ghazali dengan kekuatanya, menentang sikap ekstrim dan berlebih-lebihan tersebut, serta mendudukkan masalahnya dalam sebuah kitabnya Al-Iqtishad fi-I’tiwad dan kitab Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa az-Zindiqah.
                Di dalam kitabnya Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Al-Ghazali mengatakan, “Sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemikir adalah sedapat mungkin menjaga agar tidak mengkafirkan aliran lain. Sungguh, menghalalkan darah atau harta kekayaan orang-orang yang melakukan ibadah shalat dan telah menghadap ke kiblat, serta dengan jelas mengatakan kalimat La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah adalah sikap yang sesat.
                Ketahuilah, bahwa membiarkan seribu orang kafir hidup, itu lebih tidak dibenarkan dan lebih hina dari pada membunuh seorang Muslim yang dituduh kafir, hanya karena perbedaan pendapat atau aliran. Rasulullah saw telah bersabda :
                “Aku diperintahkan untuk membunuh manusia, sehingga mereka mengatakan Laiaha illallah, Muhammadur Rasulullah (tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Jika mereka telah menyatakannya, maka mereka terjaga darah dan harta mereka, kecuali hak-haknya.”[1]
                Selanjutnya, Al-Ghazali mengatakan “Tidak ada satupun ketentuan bagi kita, untuk mengkafirkan seseorang hanya karena kesalahan di dalam ta’wil. Untuk menghukum kafirnya seseorang dibutuhkan bukti atau dalil. Bahkan dalam hadis di atas telah dinyatakan secara pasti bahwa al-Ishmah (terjaganya hak-hak seseorang) diperoleh hanya karena telah mengucapkan Lailaha illallah. Untuk menghukumi seseorang itu sebagai seorang kafir, haruslah dengan kepastian hukum. “Kalimat Syahadat” telah cukup untuk menentukan kekafiran seseorang, tanpa harus dengan dalil. Sementara yang harus memakai dalil (selain berdasarkan kalimat syahadat), masih dibagi dua lagi, yaitu dalil dasar, atau dalil analogi yang berlandaskan dalil dasar tersebut.
                Hukum (dalil) dasar untuk mengkafirkan orang lain adalah dengan “mendustakan”. Barang siapa yang tidak mendustakan orang lain, secara hukum dasar tidak ada dalam diri orang itu nilai kedustaan. Dengan demikian, sebagai gambaran, al-Ishmah cukup terwakili dengan kalimat Syahadad.[2]
                Sedangkan di dalam kitab Faishal at-Tafriwah, Al-Ghazali sangat tidak setuju jika perbedaan dalam penakwilan menjadi dasar pengkafiran seseorang.
                Di samping itu, Al-Ghazali menentang keras pengkafiran yang dilontarkan oleh mutakallimun ekstrim, dimana mereka mewajibkan umat Muslim awam untuk mengetahui akidah Islamiyah berdasarkan ilmu kalam. Menurut mereka, barang siapa yang tidak mengetahui dasar-dasar ilmu kalam yang berkait dengan akidah adalah kafir !
                Menjawab pernyataan itu, Al-Ghazali dengan nada keras mengatakan. “Termasuk orang yang sangat ekstrim dan bahkan keterlaluan adalah sebagian dari golongan mutakallimun yang mengkafirkan masyarakat Muslim awam, hanya karena pengetahuan akidah mereka tidak melalui cara-cara yang digasirkan ilmu kalam. Menurut mereke, orang Muslim awam yang tidak mengetahui ilmu kalam adalah kafir”.
                Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan, “Dampak dari klaim-klaim mereka menimbulkan: pertama, sesungguhnya mereke yang tergolong ekstrim itu, telah mempersempit rahmat Allah yang begitu luas kepada hamba-Nya, mereka menjadikan surga hanya untuk segelintir orang saja, yaitu untuk para mutakallimun.
                Kedua, golongan yang ekstrim itu, tidak mengetahui kejadian-kejadian sebenarnya yang mutawatir yang terjadi di masa Rasulullah dan para sahabat radhiallahu’anhum. Di mana banyak dari kalangan orang-orang Arab diklam –atau mengklaim diri- sebagai pemeluk agama Islam, sekalipun mereka berada pada kondisi penyembahan berhala. Mereka malas memperlajari dalil. Oleh karenanya, jika mereka dihadapkan dengan ilmu-ilmu tentang dalil, tentu mereka tidak akan mengerti.[3]
                Selanjutnya, Al-Ghazali mengatakan, “Pengenalan iman, tidaklah darus berdasarkan dalil-dalil dari kaum mutakallimun, akan tetapi melalui nur (cahaya) yang Allah swt pancarkan ke dalam hati. Bisa saja pengenalan iman itu melalui bisikan batin yang sulit dijelaskan kembali, dan bisa pula melalui persahabatan dengan orang salih”
                Tidak jarang Al-Ghazali dituduh terlalu membela Ahlussunnah oleh golongan-golongan yang berseberangan dengannya. Untuk itu, kita simak apa yang di katakan Al-Ghazali sebagai komentarnya. “Jika engkau malu memberikan definisi mengenai kafir. Dengarkan. Saya akan memberikan padamu kriteria yang relatif benar dalam mendefinisikan kekafiran. Barangkali dapat negkau jadikan sebagai pertimbangan, sehingga engkau tidak mudah mengkafirkan orang lain, dan tidak lagi berperilaku tidak sopan terhadap sesama muslim, bila kebetulan berbeda pendapat. Apalagi mereka masih berpegang kepada kalimat La ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah dengan benar dan jujur, serta tidak kontrofersial. Dengarkan, saya berpendapat bahwa “Kafir” adalah mendustakan sebagian apa yang di bawa oleh Rasulullah saw, sementara “IMAN” adalah membenarkan segala yang di bawa oleh Rasulullah saw’.
                Ketahuilah bahwa sekalipun yang kami sebutkan di atas sudah nampak sangat jelas, akan tetapi di bawahnya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan. Masalahnya masing-masing kelompok mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pendapat dengannya, dan mengklaimnya sebagai kelompok yang mendustakan Rasulullah saw.
                Golongan Hanbaliyah mendustakan aliran Asy’ariyah di mana aliran Asy’ariyah dituduh mendustakan Rasulullah saw dalam persoalan “Itsbat Fauq” (penetapan arah batas), yaitu mengenai “istiwa ‘ala al-Arasy” (duduk di atas singgasana). Sebaliknya aliran Asy’ariyah juga mendustakan kelompok Hanbali, dan dituduhnya sebagai kelompok musyabbih (yang menyamakan) terhadap Allah, sekaligus mendustakan Rasulullah saw, oleh karena Asy-ariyah telah mengajarkan “Laisa kamistlihi syai’un” (tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah).
                Kelompok Asy-ari juga mendustakan aliran Mu’tazilah, yang dinilainya telah mendustakan Rasul di dalam persoalan bolehnya meilhat Allah swt, tentang itsbat (penetapan) akan sifat ilmu, qudrat dan sifat-sifat yang lain kepada-Nya. Sebaliknya aliran muktazilah pun mendustakan golongan Asy-ari, karena di anggap telah mendustakan Rasul dalam masalah penetapan sifat-sifat Allah, sehingga memperbanyak sifat-sifat Qadim.
                Engkau tidak akan selamat dari keterlibatan itu, kecuali jika engkau mengetahui batasan tentang “pendustaan” dan “pembenaran” (at-Takdzib wa at-Tashdiq) serta hakikat dari keduanya. Dengan mengetahui keduanya, engkau akan mengetahui ekstrimnya tiap-tiap golongan dalam mengkafirkan kelompok yang lain.
                Bila mereka berkata, “Bahwa iman itu menuntut adanya khabar (sesuatu yang diimani), bahkan sekaligus sl-Mukhbir (yang memberi tahukan)’. Maka ketahuilah, bahwa pada hakikatnya iman adalah mengakui dan membenarkan sesuatu yang diberitakan oleh Rasulullah saw.
                Namun demikian, perlu diketahui bahwa “wujud” (ada)nya sesuatu itu mempunyai lima tingkatan. Bagi sementara orang yang tidak mengerti persoalan “wujud” ini, dengan mudah akan mendustakan orang lain.
                Kelima tingkatan “wujud” itu adalah : Wujud Dzaty, Wujud Hissy, Wujud Khayaly, Wujud Aqly dan Wujud Subhy.
                Barang siapa mengakui adanya sesuatu yang diberikan oleh Rasulullah saw, dan itu masih ada dalam kelima kerangka wujud di atas, secara mutlak mereka tidak dapat dikatakan mendustakan agama.
1.       Wujud Dzaty, adalah wujud yang hakiki, di luar perasaan dan akal.
2.       Wujud Hissy, yaitu sesuatu yang terdapat di dalam kekuatan Bashirah, padahal keberadaannya di luar penglihatan mata. Seperti orang yang disaksikan oleh orang yang dalam tidur.
3.       Wujud Khayali, adalah wujud yang merupakan gambaran dari sesuatu yang nyata, setelah sesuatu yang nyata itu hilang dari indera.
4.       Wujud Aqly, yaitu dimana segala sesuatu itu memiliki ruh, memiliki hakikat dan memiliki makna.
5.       Wujud Asy-Syubhy, adalah sesuatu yang selayaknya tidak diwujudkan : tidak dalam bentuknya, hakikatnya tidak di luarnya, tidak di dalam perasaan, tidak di dalam khayal dan pula di dalam akal. Akan tetapi keberadaan (wujud)nya merupakan sesuatu yang lain, hanya saja dari beberapa sifatnya masih serupa.

Di dalam konflik pemikiran model demikian, keberadaan Al-Ghazali di hadapkan di hadapan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya, lebih banyak sebagai seorang “pembela” daripada “Hakim”. Dalam konteks ini, Al-Ghazali menilai bahwa, apabila seseorang telah mengakui “wujud” dari apa yang di bawa Rasulullah saw, baik ia berupa Wujud Khayaly, Wujud Aqly ataupun Wujud Syubhy, hal itu sudah cukup untuk menafikan kedustaan dan kekafiran. Al-Ghazali telah menawarkan sikap yang sangat toleran, bahkan demikian tolerannya dalam masalah ini- di dalam menggambarkan toleransi itu sendiri-.
                Tampaknya, apa yang dijelaskan oleh Al-Ghazali di atas, berupa toleransi yang sangat luas, dengan memberikan jalan keluar yang rasional bagi oran-orang yang berbeda pendapat, adalah bertujuan agar mereka tetap berada dalam bingkai Islam. Al-Ghazali sendiri bukanlah sosok yang berlebihan di dalam menjaga hakika agama, bila di bandingkan dengan masalah-masalah yang menyentuh substansi agama. Atau bila dibandingkan dengan masalah-masalah yang kering dari riwayat mutawatir, baik yang menyangkut masalah akidah ataupun syariah. Atau bila dibandingkan dengan pemikiran-prmikiran filsafat dan celotehan (Syathahat) kaum sufi, yang menurutnya tidak dapat di ta’wilkan. Menanggapi pernyataan kaum sufi yang mengatakan, jika mereka telah mencapai satu titik tingkatan Riyadhah Ruhiyahnya (latihan keruhanian), maka gugur bagi mereka kewajiban-kewajiban syariah dan syiar-syiar ibadah. Maka dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya membunuh seorang raja saja dari mereka, lebih baik dari pada membunuh seratus orang kafir murni. Karena orang kafir, dia rusak karena kekafirannya sendiri, sedangkang apa yang dikatakan oleh sufi ini telah pula merusak syarak.”[4]


[1] Al-Iqtishad, hal. 221. Cet; Bairut.
[2] Ibid, hal.223-224; Cet: Bairut.
[3] Faishal at-Tafriqah.
[4] A-Mashdar as-Sabiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar