Satu
sisi lain yang perlu diperhitungkan pada diri Al-Ghazali adalah keberanian
moral dan kuatnya berpegang kepada kebenaran, sekalipun bertentangan dengan
tradisi dan persoalan-persoalan yang telah di kenal pada masyarakat umum.
Pada
abad kelima hijriah- periode Al-Ghazali- persoalan madzhab, perbedaan ilmu
kalam, perbedaan fiqh dan tasawuf telah mewarnai masyarakat umum. Pada
tiap-tiap disiplin ilmu tampil tokoh-tokoh besar, di mana mereka memiliki pengikut
dan orang-orang dikemudian hari yang taklid. Masing-masing pengikut dari
tiap-tiap aliran mashab, “Haram” keluar dari madhab atau alirannya. Bahkan para
pengikut yang taklid merasa wajib menolak setiap kritikan yang ditujukan kepada
madhab atau aliran yang dipeganginya.
Dengan
demikian, timbulah fanatisme dan taklid buta kepada madhab dan aliran yang
diwariskan. Tiap-tiap madzhab atau aliran sama-sama memiliki daerah-daerah
perbatasan yang tidak boleh didekati
orang lain. Kalau tidak, akan terjadi gejolak fisik dan konflik terbuka.
Tentu
saja, kondisi semacam di atas menuntut seseorang yang memiliki kepribadian
agung, untuk dapat menggugah akal yang sedang tidur, untuk mampu melawan
kejumudan (kebekuan) pemikiran dan mengajak kepada kebebasan berfikir. Jauh
dari ikatan taklid dan fanatisme.
Pribadi
yang dituntut adalah pribadi yang berpengetahuan luas, memiliki pemikiran yang
kuat dan memegang teguh ajaran agama. Tidak keterlaluan (berlebihan) di dalam
bersikap dan berperilaku, dan tidak takut dikecam orang lain.
Al-Ghazali
adalah sosok pribadi yang memiliki dua hal penting : ilmu pengetahuan dan
amaliahnya. Memiliki sejarah gemilang dalam melawan para filosof dan aliran
bathiniyah, di samping memiliki mujahadah yang hebat dalam upayanya mencari keyakinan
dan fana di dalam keridhaan Allah. Untuk itu, sudah sepantasnya amaliyahnya
disimak dan diteladani.
Itulah
kelebihan-kelebihan Al-Ghazali. Dia tidak bersimpati kepada sikap yang hanya
bangga dengan nama besar seorang, betapapun hebatnya orang yang dibanggakan
itu, baik dalam intelektualitas maupun kemasyhuran agamanya.
Sikap
seperti inilah yang selalu ditunjukan dan diulang-ulang dalam berbagai
karyanya, hal ini dapat di simak kembali saat Al-Ghazali menyerang filosof dan
di saat menempatkan akal secara proporsional.
Untuk
lebih menunjukkan ketegasan sikap Al-Ghazali terhadap sikap-sikap taklid
(mengikuti) yang sudah mewabah, kami kemukakan beberapa poin, yaitu :
1. Al-Ghazali selalu mengajak untuk berpikir dan bernalar, agar
tiap-tiap pribadi melihat kebenaran sebagai suatu kebenaran, bukan melihat
siapa yang mengatakan kebenaran itu. menurutnya, yang paling baik adalah sikap
moderat (netral), bukan sikap atau perkataan yang dicetuskan berdasarkan
reputasi yang dimiliki. Untuk itulah Al-Ghazali selalu mengulang-ulang hikmah
yang di sampakan oleh sayidina Ali Karramallahu wajihahu, yang dikatakan kepada
seorang yang bernama Kamil bin Ziad sebagai berikut : “Janganlah engkau pandang
kebenaran itu karena orang yang mengatakannya, akan tetapi pandanglah kebenaran
itu karena sesuatu itu memang benar.
Demikianlah Al-Ghazali mengajak umat untuk melihat suatu
pemiiran secara obyektif. Jangan sampai terjad, kita menyerah dengan menerima
begitu saja ide yang datang dari seseorang yang kita cintai, dan kita bantah
apa-apa yang datang dari mereka yang kita benci. Sebab, tidak mustahil orang
kita benci itu mengatakan suatu kebenaran, dan tidak menutup kemungkinan pula
orang kita cinta itu mengatakan suatu yang salah.
Pernah,
beberapa orang menentang sebagian pendapat Al-Ghazali di beberapa karyanya.
Mereka mengatakan bahwa apa yang di katakan olehnya itu adalah hasil
lansirannya dari pendapat orang-orang terdahulu, yakni pendapat para filosof
sebelumnya. Untuk mereka yang demikian, Al-Ghazali menjawab, “Sesungguhnya
sebagian dari tulisan-tulisan dalam karya-karya itu, bersumber dari
al-Khawathir (bisikan batin), sebagian lagi terambil dari kitab-kitab syariah,
dan sebagian terkahir, dan itu merupakan bagian paling besar, makna-maknanya
terambil dari kitab-kitab kaum sufi”. Kemudian Al-Ghazali melanjutkan,
“Taruhlah, seandainya persoalan-persoalan tersebut tidak terdapat di dalam
buku-buku mereka. Akan tetapi, jika persoalan itu masuk akal (ma’qul) dan
ditopang oeh dalil-dalil dan bukti nyata, juga tidak bertentangan dengan
kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, maka sudah seharusnya masalah tersebut
diterima dan tidak perlu diingkari!”
Memang,
apabila kita harus menjauhi- minimal hati-hati- terhadap kebenaran yang
dikatakan oleh orang yang pernah berbuat batil, niscahya kita akan terjebak
dalam banyak meninggalkan kebenaran. Akibatnya, kita akan banyak meninggalkan
ayat-ayat Al-Qur’an , hadis-hadis Rasul, hikayat-hikayat orang salaf dan
kata-kata ahli hikmah dari kaum sufi. Peroalannya, buku-buku Ikhwan as-Shafa
yang kebanyakan bertujuan untuk menipu orang-orang bodoh agar berbuat
kebatilan, juga banyak sekali mengambil pendapat-pendapat dari yang benar dari
pendapat-pendapat ulama, dan itu di cantumkan dalam buku-buku mereka.
Sesungguhnya,
di kalangan oleh ulama, derajat yang paling rendah adalah mereka yang dapat
membedakan antara madu dan air, sekalipun keduanya terdapat dalam satu kendi
(bahasa jawa, tempat air yang terbuat dari tanah liat). Harus diyakini bahwa,
kendi tidak akan dapat merubah madu menjadi air atau sebaliknya.
Pertanyaan
Al-Ghazali di atas memberikan isyarat bahwa tidak dibenarkan menolak sesuatu
yang sudah pasti baik dan benar, hanya karena terpengaruh bungkusnya- seperti
menolak kebenaran karena datang bukan dari golongannya – sebab sikap yang
demikian itu adalah sikap waham dan bathil. Sikap semacam ini menjadi sikap
kebanyakan manusia, yang cenderung mau mendengar dan membenarkan pendapat yang
salah, sebab ia keluar dari seorang yang di kaguminya. Sebaliknya mereka
menolak untuk mendengar pendapat yang benar karena yang mengatakannya orang
yang tidak disenangi. Mereka memandang kebenaran dikaitkan dengan siapa yang
mengatakan, tidak melihat benar tidaknya apa yang dikatakan. Sungguh suatu
kesesatan. (Al-Munqidz min adz-Dzalal)
2. Al-Ghazali selalu menghimbau dan mengajak untuk meragukan
pendapat-pendapat yang diwariskan dari mazhab-mazhab yang diikuti. Paling tidak
hal ini untuk menghilangkan sikap pengkultusan atau pengishmahan kepada imam.
Menurutnya, setiap pendapat yang diwariskan atau mazhab yang diikuti, harus
diletakkan di bawah pengujian. Bila ternyata benar, selayaknya dipegangi,
sebaliknya jika ternyata salah, maka ia harus ditinggalkan.
Di dalam kitabnya Mizan al-Amal, Al-Ghazali
mengatakan, “Seandainya Anda bersikap meragukan prinsip akidah yang Anda terima
dengan cara warisan, itu sudah cukup layak!”
Sebab,
barang siapa tidak meragukan berarti dia tidak melihat. Dan barang siapa tidak
melihat, maka dia tidak akan melihat dengan mata hati. Sedangkan barang siapa
yang tidak melihat dengan mata hati, dia akan tetap berada dalam kebutaan dan
kesesatan.
Dalam
bersikap Al-Ghazali ternyata sangat konsisten dengan apa yang dkatakannya.
Setiap kali membahas masalah, dia memberikan kritik, mengambil pendapat yang
benar dan menyanggah pendapat yang dinyatakan salah. Dalam hal ini, Al-Ghazali
mengemukakan pemikirannya yang spesifik dari sikapnya yang independen,sekalipun
itu harus berbeda dengan pendapat orang-orang sebelumnya.
Hal
yang wajar, apabila Al-Ghazali berbeda pendapat dengan Imam Asy-Syafi’i dalam
beberapa solusi fiqihnya. Hal ini dapat dilihat dalam kitab Ihya’ bab al-Ma’
(air). Disitu Al-Ghazali mengatakan, “Sebenarnya saya menginginkan pendapat
Asy-Syafi’i mengenai masalah air, sebagaimana pendapat Imam Malik.” Untuk
masalah ini saja, Al-Ghazali mendukung pendapat Imam Malik dengan tujuh alasan.
(Lihat Ihya’ pada bab at-Thaharah
Demikian
pula Al-Ghazali mendukung pendapat Imam Abu Hanifah mengenai kewenangan
(sahnya) menjual dalam bentuk al-Muatha (tanpa ijab dan qabul), jika tanpa
memakai tawar menawar. (lihat Ihya’ pada bab al-Kasbu wa al-Ma’isyah)
Dengan
kaum sufi, Al-Ghazali berbeda pendapat dalam hal Syathahat (celoteh diluar
kesadaran) yang tidak sesuai dengan sara’ dan akal.
Di
dalam kitab Ihya’-nya Al-Ghazali mengingkari pengakuan-pengakuan yang panjang
lebar tentang al-Isyqu (rindu) bersama Allah swt. Mengingkari kondisi
orang-orang yang – katanya- tidak lagi memperhatikan perbuatan-perbuatan
lahiriyahnya, sehingga berakhir pada pengakuan al-Ittihad (menyatu) dengan Allah
swt. Mengingkari keyakinan terangkatnya hijab, dan kondisi menyaksikan dengan
mata dan berbicara langsung dengan Allah swt, sehingga mereka mengatakan,
“Dikatakan kepada kami begini dan begitu , lalu kami katakan begini dan
begitu.” Mereka mengaku-Aku demikian, sebagaimana yang dilakukan Al-Hasan bin
al-Manshur al-Hallaj, yang disalib karena mengatakan kata-kata “Ana al-Haq”
(aku adalah A-Haq; Allah )!
Bagi
Al-Ghazali, ucapan seperti di atas bisa menimbulkan fitnah di dalam stabilitas
negara, dan sangat merugikan kaum awam. Maka dari itu, dibunuhnya Al-Hallaj-
bagi Al-Ghazali- lebih menguntungkan bagi agama Allah, dari pada menghidupkan
sepuluh orang sepertinya. (lihat Ihya’, jus I, hal. 36)
Dan
yang paling menggemparkan adalah perbedaan Al-Ghazali dengan Imam Asy-ari,
sampai-sampai dalam hal ini, Al-Ghazali dituduh kafir. Tuduhan ini dilontarkan
oleh kelompok-kelompok yang membaca sebagian karyanya, lantas memvonis, bahwa
apa yang ditulis oleh Al-Ghazali bertentangan dengan pendapat-pendapat ulama
salaf dan pendapat-pendapat ilmu kalam (al-Mutakallimun). Menurut mereka,
sedikit saja merubah pendapat Imam Asy’ari adalah kafir hukumnya, dan sedikit
mempertanyakannya adalah sesat dan rugi !.
Untuk
menghadapi fanatisme semacam ini, Al-Ghazali menulis sebuah karyanya Faishal
at-Tafriqah baina al-Islam wa az-Zindiqah. Di dalam kitab ini, Al-Ghazali
menyampaikan pemikirannya kepada murid-muridnya, lalu berkata, “Katakanlah
kepada dirimu, serta mintalah kepada temanmu itu definisi tentang kafir ! Bila
temanmu itu mengatakan bahwa kafir itu karena menentang pendapat Imam Asy-ari,
karena menentang madzhab Mu’tazilah, atau karena berbeda pendapat dengan
Madzhab Imam Hambali atau yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar