Senin, 09 November 2015

10 Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causal) yang di berikan kepada KH Abdurrahman Wahid

Foto Gus Dur Muda


1.       Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (Th. 2000)
2.       Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok,Thailand (Th. 2000)
3.       Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbone, Paris, Prancis (Th. 2000)
4.       Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkom, Bangkok, Thailand (Th. 2000)
5.       Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (Th. 2000)
6.       Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlah Nehru, India (Th. 2000)
7.       Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
8.       Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Natanya, Israel (2003)
9.       Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Unibersitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)

10.   Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon Seoul, Korea Selatan (2003)

Jumat, 23 Oktober 2015

Macam-macam hukum yang dikandung al-Qur’an


            ‘Abdul Wahab Khalaf, seorang Guru Besar Syari’ah Islam pada Fakultas Hukum ( Kulliyyatul Huquqi) di Universitas Cairo, beliau menulis “ada tiga macam hukum yang dikandung al-Qur’an”.
            Beliau menerangkan ketiga hukum tersebut dengan perincian sebagai berikut :
1.      Ahkamul i’tiqadiyyati (hukum-hukum ‘aqidah)
Yaitu hukum yang bertalian erat dengan masalah-masalah yang mesti dipercaya oleh mukallaf, yakni tentang Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

2.      Ahkamun Khuluqiyyatun ( hukum-hukum etika)
Yaitu hukum yang bertalian erat dengan masalah-masalah yang mesti di pakai sebagai hiasan hidup oleh mukallaf yakni berupa keutamaan-keutamaan dan yang mesti dihindari, berupa sifat-sifat yang tercela.

3.      Ahkamun ‘Amaliyyatun (hukum-hukum perbuatan)
4.      Yaitu hukum yang bertalian erat dengan perbuatan dan tindakan mukallaf, baik ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian (‘uqud), maupun urusan belanja (tasharrufat). Ahkamun ‘Amaliyyatun (hukum-hukum perbuatan) di dalam al-Qur’an terklasifikasikan menjadi dua bagian sebagai berikut :
a.       Ahkamul ‘Ibadati (hukum-hukum ibadah)
Seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan ibadah lainnya. Dimkasudkan dengan hukum-hukum ini adalah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
b.      Ahkamul Mu’amalati (hukum-hukum muamalah)
Seperti urusan perjanjian/akad (‘uqud), masalah belanja (tasharrufat), perkara hukuman (‘uqubat), tindak pidana (jinayat) dan lain-lain perbuatan selain ibadah.

HAL. 70-71

Rabu, 30 September 2015

Contoh contoh menarik, kritik Al-Ghazali terhadap pola beragama yang keliru



                Dalam pembahasan kali ini, akan saya kemukakan dua contoh akan kritik Al-Ghazali yang sangat mendalam dan mendasar, serta penuh daya nalar. Dari kritik tersebut dapat difahami, betapa menukiknya pemahaman Al-Ghazali tentang agama Allah dan azaz-azaz kemanusiaan, juga sejauh mana upaya perbaikan Al-Ghazali terhadap perilaku manusia,baik yang terkait dengan aspek jasmani maupun ruhani.
                Contoh pertama : Peniadaantertib syar’i dalam amaliah
                Contoh pertama ini oleh Al-Ghazali ditujukan kepada perilaku agamawan yang sombong dan tindakan ahli ibadah yang congkak. Dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan, “Sebagian dari mereka terdapat sekelompok orang yang mengabaikan ibadah fardhu, mereka lebih memilih sibuk dengan ibadah-ibadah utama (afdhaliyat) dan sunah (dilakukan dapat pahala, ditinggalkan tidak berdosa). Seringkali karena tenggelam dalam ibadah yang sarat keutamaan, sehingga mereka tampil sebagai sosok yang fanatik dan berlebihan (israf). Orang semacam ini ibarat orang yang diliputi was-was dalam mengambil air wudhu’. Ia tidak yakin dengan air yang secara hukum syara’ dinyatakan sebagai air suci dan mensucikan, serta meragukannya akan kemungkinan mengandung najis. Bila hal ini terjadi pada makanan yang halal, lantas dia menyangkanya haram, maka orang tersebut jatuh seakan-akan memakan makanan yang haram.
                Apabila sikap kehati-hatian ini beralih dari air ke persoalan makanan, maka lebih baiknya yang menjadi rujukan adalah sejarah perjalanan seorang Sahabat (mungkin yang dimaksud adalah sikap kehati-hatian para sahabat, seperti Abu Bakar dan lain sebagainya).
                Adalah Umar, ra. Suatu saat mengambil air wudhu’ dari kolam milik seorang Nasrani. Sekalipun terdapat kemungkinan kandungan hadis pada tempat itu, namun Umar berkeyakinan akan kesuciannya, karena jika tidak demikian, dia takut terjatuh pada keharaman (meniggalkan shalat).
                Sementara itu, ada pula kelompok yang sangat memperhatikan masalah-masalah yang sunah sifatnya, dan kurang menghargai ibadah-ibadah fardhu. Kami melihat mereka merasa lebih senang (nimat) dengan melakukan salat dhuha, salat malam atau ibdah-ibadah sunah lainnya, dan merasa tidak mendapatkan kelezatan itu di saat melakukan ibadah fardhu, sehingga dia tidak bersegera untuk melaksanakan ibadah fardhu (pada awal waktunya). Orang yang demikian, berarti telah melupakan sabda Rasulullah dalam hadis qudsinya :
                “Tidaklah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Ku, bisa lebih dekat dari pada orang-orang yang segera menunaikan apa yang Aku fardhukan kepada mereka.” (Hadis riwayat Bukhari dari hadis Abu Hurairah).
                Meninggalkan tertib atau atau urutan dalam amaliah kebaikan atau yang fardhu adalah termasuk perilaku buruk. Sebab telah di tentukan bagi manusia dua bentuk kewajiban, yang satu bisa diperlambat, yang lain tidak. Atau dua keutamaan, yang satu bisa dipersempit waktunya dan yang lain bisa diperluas. Barang siapa tidak bisa membedakan,- atau menjaga- tertib dari ketentuan itu, tidak ragu lagi dia termasuk orang yang bingung (tertipu).    
                Kasus-kasus semacam di atas sangat banyak terjadi. Maka ketahuilah, perilaku maksiat itu sudah jelas, dan perilaku taat pun juga sudah jelas. Yang menjadi persoalan adalah, di bagian manakah di antara perilaku-perilaku ketaatan yang harus di dahulukan. Hal ini amat rumit, karena masing-masing masih berada dalam lingkaran ketaatan. Seperti mendahulukan amaliah fardhu dari hal-hal yang sunah, mendahulukan kewajiban-kewajiban pribadi (fardhuain) dari fardhu kifayah, mendahulukan persoalan yang tidak dapat di tunda. Termasuk dalam konteks ini, adalah kenyataan yang harus lebih mendahulukan hak seorang ibu dari pada hak seorang ayah. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang hal itu, “Siapakah yang lebih berhak untuk diperlakukan dengan baik, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu!”. Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab lagi “Ibumu!”. Orang itu bertanya kembali “Lantas siapa?” baru Rasulullah saw kemudian menjawab dengan, “Ayahmu!”. “Terus siapa lagi?” tanya orang itu lagi. Rasulullah saw menjawab, “Orang yang dekat kepadamu.” (Diriwayatkan oleh At-Turmudzi dan Al-Hakim dan dinyatakan sahih. Hadis ini dari Bahaz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya. Diriwayatkan pula dalam kitab Shahihain dengan lafadz yang berbeda, bersumber dari Abu Hurairah).
                Sama-sama orang yang terdekat, maka pilihlah diantara mereka yang paling membutuhkan. Dan diantara orang-orang yang sama-sama paling membutuhkan itu, pilihlah yang paling takwa dan paling wara’.
                Dalam kaitannya dengan masalah di atas, apabila seorang yang tidak memnuhi kebutuhan kedua orang tuanya, sedang dia lebih mengutamakan melaksanakan ibadah haji, maka perbuatan tersebut adalah perilaku tertipu. Sebab seharunya ia lebih mendahulukan kebutuhan kedua orang tuanya dari pada menunaikan ibadah wajibnya, haji. Oleh karena itu, orang harus lebih mendahulukan fardhu, yang lebih penting dari pada yang penting.
                Perlu diketahui, apabila seorang hamba sudah terlanjur mempunyai janji, dan ternyata janjinya masih belum terpenuhi, akan tetapi waktu shalat jum’at telah masuk. Maka mendahulukan shalat jum’at harus lebih diutamakan. Sekalipun memebuhi janji juga sesuatu yang wajib. Malaksanakan memenuhi janji, tetapi meninggalkan shalat jum’at, hal itu terhitung tindakan maksiat, seklaipun pada dasarnya memenuhi janji juga merupakan amal ketaatan.
                Bila baju seorang terkena najis, lantas dia marah kepada kedua orang tuanya atau kepada keluarganya, oleh sebab baju yang najis tersebut. Ketahuilah, perilaku seperti itu menyakiti kedua orang tua juga harus dijauhi. Akan tetapi menjauhi marah atau menyakiti kedua orang jauh lebih diutamakan dari pada membenci najis.
                Sebenarnya, contoh-contoh perilaku semacam di atas sengat banya sekali. Barang siapa tidak mau memperhatikan tertib atau urut-urutannya, maka dia tergolong orang yang tertipu. (Ihya’ ulumiddin, juz III, hal. 400-404).
                Sesungguhnya, apa yang diuraikan oleh Al-Ghazali – sebgai seorang ahli fiqh- di atas. Dalam kehidupan sekarang ini sangat urgen (kebutuhan mendesak). Betapa pemahaman fiqh dan kesadaran-kesadaran semacam tersebut di atas, sangat diperlukan bagi generasi penerus yang akan membawa kebangkitan Islam.
                Sering sudah, saya- penulis- menghimbau kepada para pemuda dan jamaah-jamaah keadamaan, untuk memikirkan Fiqh Maratib al-A’mal (fiqh dalam soal tertib amal) dan mengamalkan setiap amalan menurut nilainya secara syar’i, serta mempertimbangkan masalah-masalah yang diperintahkan atau yang dilarang. Saya belum pernah membaca sebuah buku yang mengandung muatan yang sangat dalam dan mendasar, selain apa yang ditulis oleh Al-Ghazali di dalam sebuah kalimatnya sebagai berikut, “Meninggalkan tertib kebaikan, adalah termasuk perilaku yang tercela (buruk).”

Contoh kedua: Membelanjakan harta kekayaan pada tempat yang tidak lebih utama
                Contoh lain yang di angkat Al-Ghazali adalah tentang pemilikan harta kekayaan. Di mana sebagian orang masih terdapat orang-orang yang tertipu. Mereka bersikeras untuk membangun masjid-masjid, sekolah-sekolah, pondok-pondok, jembatan-jembatan agar nama mereka dilihat oleh orang dan dapat dikenang sepanjang masa, bahkan kalau bisa sampai mati sekalipun. Mereka mengira, bahwa dengan perbuatan itu, ia berhak mendapatkan ampunan. Padahal sebenarnya, dilihat dari dua hal, mereka telah tertipu, yaitu:
                Pertama, mereka (yang mengaku Islam) itu membangun dengan mempergunakan harta yang diperoleh dengan cara zalim, rampasan atay dengan cara suap. Dengan sendirinya, mereka berhadapan dengan kemurkaan Allah, baik dalam mencari harta atau ketika dia membelanjakannya. Seharusnya dalam hal yang demikian, mereka menjauhi cara-cara yang tidak dibenarkan oleh Syara’. Bila sudah tahu bahwa usaha mereka telah tercampuri maksiat, maka saat itu pula, ia harus segera bertaubat kembali ke jalan Allah, serta mengembalikan harta yang telah diperolehnya kepada yang berhak. Ada pun cara pengembalian harta bisa dengan mengembalikan apa adanya, atau dengan mengganti dengan yang lain. Bila mereka tidak mengembalikannya kepada yang berhak, maka kembalikanlah kepada ahli warisnya. Jika kebetulan orang yang dizalimi itu tidak memiliki ahli waris, maka mereka wajib mengembalikan harta itu dengan cara membelanjakan untuk kepentingan umum yang memerlukan. Barangkali yang lebih utama, harta itu di bagi-bagikan kepada fakir miskin. Akan tetapi dalam kenyataannya, mereka tidak melakukan hal itu, karena takut nama mereka tidak terdengar di telinga umum, dan tidak bisa memprasatikan bangunan dengan nama yang jelas. Kalau demikian niat mereka, sudah pasti itu riya’ dan mencari pujian, di samping berambisi ingin namanya bisa dikenang sepanjang masa sebagai pelaku kebaikan.
                Kedua : Mereka mengira dirinya telah berbuat ikhlas, bertujuan untuk kebaikan dengan membangun bangunan. Padahal, seorang apabila diminta untuk membiayai pembangunan, dengan namanya yang tidak di cantumkan dalam bangunan itu, dia tidak akan rela memberikan hartanya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha mengetahui ditulis atau tidaknya nama seseorang di dinding bangunan itu. akan tetapi umumnya orang tidak mempunyai maksud lain dalam beramal kecuali ingin dilihat orang. Jika tidak demikian, mereka tidak akan membelanjakan hartanya.
                Ada pula di antara para pemilik harta kekayaan itu yang suka menyimpan hartanya, alias bakhil (kikir). Mereka menyibukan diri hanya dengan ibadah lahiriah, yang tidak memerlukan biaya (harta), seperti puasa di siang hari, melakukan shalat malam, menghatamkan Al-Qur’an, dan sebagainya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka tergolong orang-orang yang tertipu.
                Orang yang kikir kebanyakan hanya sibuk memikirkan perut mereka sendri. Mereka baru mau mengeluarkan kekayaannya apabila merasa ada tekanan. Mereka lebih suka menyibukkan diri dengan ibadah keutamaan, karena ingin lepas dari kewajiban sedekah.
                Orang seperti di atas, ibarat orang yang kemasukan ular di dalam bajunya, sementara dia tidak memperdulikannya, dan hanya sibuk memasak as-Aakanjin untuk hidangan. Apabila dirinya telah dibunuh oleh ular itu, masihkah dia berkepentingan dengan as-Sakanjin itu?
                Dikatakan kepada Basyar, “Sungguh beruntunglah si Fulan itu, sudah kaya, lagi pula banyak melakukan ibadah puasa dan salat.” Basyar menjawab, “Orang miskin adalah mereka yang meninggalkan dirinya sendiri, lantas masuk kepada diri orang lain. Sungguh orang yang memasak makanan lalu memberikan kepada orang-orang yang kelaparan, atau memberikan nafkah kepada kaum fakir miskin, lebih afdhal dari pada puasa dan salat untuk dirinya sendiri, dan juga lebih baik dari pada mengumpulkan harta kekayaan dengan tidak membelanjakan pada kaum fakir miskin.’
                Itulah satu gejala keagamaan yang sempat dicela oleh Al-Ghazali, sasaran utamanya adalah orang-orang yang agamis dan kaya raya. Tidak jarang mereka sangat antusias melakukan kewajiban ibadah haji dengan harta kekayaannya, bahkan kalau perlu pada tiap-tiap tahun, sekalipun tetangga mereka hidup kelaparan!
                Ibnu Mas’ud berkata, “Nanti, d akhir zaman akan banyak orang menunaikan ibadah haji tanpa kelihatan usahanya. Perjalanan haji, bagi mereka sangatlah mudah, karena mereka banyak memiliki rezeki, lalu mereka kembali pulang dengan memakai baju ihram, tanpa mempedulikan keadaan tetangga mereka yang dalam kelaparan (kesulitan). (Ihya’ Ulumiddin, juz III, hal. 406)
                Dengan sinyalemennya itu, Ibnu Mas’ud sepertinya telah melihat kondisi kita sekarang ini dari balik tirai gaibnya, sehingga dapat menerangkan kondisi yang sedang menggejala dewasa ini.
                Itulah contoh-contoh keberagaman yang mendapatkan kritik keras dari Al-Ghazali. Kritik Al-Ghazali inimenunjukan, betapa besar perhatiannya terhadap perbaikan kondisi masyarakat. Dengan diawali terlebih dulu memperbaiki pemahaman-pemahaman yang salah dan persepsi-persepsi keliru tentang agama. Di samping itu, di sana (dalam kitabnya) Al-Ghazali juga memberikan penjelasan tentang tipu daya jiwa, penjelasan tetang hakikat jiwa dan rahasia-rahasianya.
(hal 135-142)



Al-Ghazali Menghimbau Berfikir Bebas, Tidak Fanatik dan Taklid


                Satu sisi lain yang perlu diperhitungkan pada diri Al-Ghazali adalah keberanian moral dan kuatnya berpegang kepada kebenaran, sekalipun bertentangan dengan tradisi dan persoalan-persoalan yang telah di kenal pada masyarakat umum.
                Pada abad kelima hijriah- periode Al-Ghazali- persoalan madzhab, perbedaan ilmu kalam, perbedaan fiqh dan tasawuf telah mewarnai masyarakat umum. Pada tiap-tiap disiplin ilmu tampil tokoh-tokoh besar, di mana mereka memiliki pengikut dan orang-orang dikemudian hari yang taklid. Masing-masing pengikut dari tiap-tiap aliran mashab, “Haram” keluar dari madhab atau alirannya. Bahkan para pengikut yang taklid merasa wajib menolak setiap kritikan yang ditujukan kepada madhab atau aliran yang dipeganginya.
                Dengan demikian, timbulah fanatisme dan taklid buta kepada madhab dan aliran yang diwariskan. Tiap-tiap madzhab atau aliran sama-sama memiliki daerah-daerah perbatasan yang tidak  boleh didekati orang lain. Kalau tidak, akan terjadi gejolak fisik dan konflik terbuka.
                Tentu saja, kondisi semacam di atas menuntut seseorang yang memiliki kepribadian agung, untuk dapat menggugah akal yang sedang tidur, untuk mampu melawan kejumudan (kebekuan) pemikiran dan mengajak kepada kebebasan berfikir. Jauh dari ikatan taklid dan fanatisme.
                Pribadi yang dituntut adalah pribadi yang berpengetahuan luas, memiliki pemikiran yang kuat dan memegang teguh ajaran agama. Tidak keterlaluan (berlebihan) di dalam bersikap dan berperilaku, dan tidak takut dikecam orang lain.
                Al-Ghazali adalah sosok pribadi yang memiliki dua hal penting : ilmu pengetahuan dan amaliahnya. Memiliki sejarah gemilang dalam melawan para filosof dan aliran bathiniyah, di samping memiliki mujahadah yang hebat dalam upayanya mencari keyakinan dan fana di dalam keridhaan Allah. Untuk itu, sudah sepantasnya amaliyahnya disimak dan diteladani.
                Itulah kelebihan-kelebihan Al-Ghazali. Dia tidak bersimpati kepada sikap yang hanya bangga dengan nama besar seorang, betapapun hebatnya orang yang dibanggakan itu, baik dalam intelektualitas maupun kemasyhuran agamanya.
                Sikap seperti inilah yang selalu ditunjukan dan diulang-ulang dalam berbagai karyanya, hal ini dapat di simak kembali saat Al-Ghazali menyerang filosof dan di saat menempatkan akal secara proporsional.
                Untuk lebih menunjukkan ketegasan sikap Al-Ghazali terhadap sikap-sikap taklid (mengikuti) yang sudah mewabah, kami kemukakan beberapa poin, yaitu :
1.       Al-Ghazali selalu mengajak untuk berpikir dan bernalar, agar tiap-tiap pribadi melihat kebenaran sebagai suatu kebenaran, bukan melihat siapa yang mengatakan kebenaran itu. menurutnya, yang paling baik adalah sikap moderat (netral), bukan sikap atau perkataan yang dicetuskan berdasarkan reputasi yang dimiliki. Untuk itulah Al-Ghazali selalu mengulang-ulang hikmah yang di sampakan oleh sayidina Ali Karramallahu wajihahu, yang dikatakan kepada seorang yang bernama Kamil bin Ziad sebagai berikut : “Janganlah engkau pandang kebenaran itu karena orang yang mengatakannya, akan tetapi pandanglah kebenaran itu karena sesuatu itu memang benar.
Demikianlah Al-Ghazali mengajak umat untuk melihat suatu pemiiran secara obyektif. Jangan sampai terjad, kita menyerah dengan menerima begitu saja ide yang datang dari seseorang yang kita cintai, dan kita bantah apa-apa yang datang dari mereka yang kita benci. Sebab, tidak mustahil orang kita benci itu mengatakan suatu kebenaran, dan tidak menutup kemungkinan pula orang kita cinta itu mengatakan suatu yang salah.
                Pernah, beberapa orang menentang sebagian pendapat Al-Ghazali di beberapa karyanya. Mereka mengatakan bahwa apa yang di katakan olehnya itu adalah hasil lansirannya dari pendapat orang-orang terdahulu, yakni pendapat para filosof sebelumnya. Untuk mereka yang demikian, Al-Ghazali menjawab, “Sesungguhnya sebagian dari tulisan-tulisan dalam karya-karya itu, bersumber dari al-Khawathir (bisikan batin), sebagian lagi terambil dari kitab-kitab syariah, dan sebagian terkahir, dan itu merupakan bagian paling besar, makna-maknanya terambil dari kitab-kitab kaum sufi”. Kemudian Al-Ghazali melanjutkan, “Taruhlah, seandainya persoalan-persoalan tersebut tidak terdapat di dalam buku-buku mereka. Akan tetapi, jika persoalan itu masuk akal (ma’qul) dan ditopang oeh dalil-dalil dan bukti nyata, juga tidak bertentangan dengan kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, maka sudah seharusnya masalah tersebut diterima dan tidak perlu diingkari!”
                Memang, apabila kita harus menjauhi- minimal hati-hati- terhadap kebenaran yang dikatakan oleh orang yang pernah berbuat batil, niscahya kita akan terjebak dalam banyak meninggalkan kebenaran. Akibatnya, kita akan banyak meninggalkan ayat-ayat Al-Qur’an , hadis-hadis Rasul, hikayat-hikayat orang salaf dan kata-kata ahli hikmah dari kaum sufi. Peroalannya, buku-buku Ikhwan as-Shafa yang kebanyakan bertujuan untuk menipu orang-orang bodoh agar berbuat kebatilan, juga banyak sekali mengambil pendapat-pendapat dari yang benar dari pendapat-pendapat ulama, dan itu di cantumkan dalam buku-buku mereka.
                Sesungguhnya, di kalangan oleh ulama, derajat yang paling rendah adalah mereka yang dapat membedakan antara madu dan air, sekalipun keduanya terdapat dalam satu kendi (bahasa jawa, tempat air yang terbuat dari tanah liat). Harus diyakini bahwa, kendi tidak akan dapat merubah madu menjadi air atau sebaliknya.
                Pertanyaan Al-Ghazali di atas memberikan isyarat bahwa tidak dibenarkan menolak sesuatu yang sudah pasti baik dan benar, hanya karena terpengaruh bungkusnya- seperti menolak kebenaran karena datang bukan dari golongannya – sebab sikap yang demikian itu adalah sikap waham dan bathil. Sikap semacam ini menjadi sikap kebanyakan manusia, yang cenderung mau mendengar dan membenarkan pendapat yang salah, sebab ia keluar dari seorang yang di kaguminya. Sebaliknya mereka menolak untuk mendengar pendapat yang benar karena yang mengatakannya orang yang tidak disenangi. Mereka memandang kebenaran dikaitkan dengan siapa yang mengatakan, tidak melihat benar tidaknya apa yang dikatakan. Sungguh suatu kesesatan. (Al-Munqidz min adz-Dzalal)
2.       Al-Ghazali selalu menghimbau dan mengajak untuk meragukan pendapat-pendapat yang diwariskan dari mazhab-mazhab yang diikuti. Paling tidak hal ini untuk menghilangkan sikap pengkultusan atau pengishmahan kepada imam. Menurutnya, setiap pendapat yang diwariskan atau mazhab yang diikuti, harus diletakkan di bawah pengujian. Bila ternyata benar, selayaknya dipegangi, sebaliknya jika ternyata salah, maka ia harus ditinggalkan.
Di dalam kitabnya Mizan al-Amal, Al-Ghazali mengatakan, “Seandainya Anda bersikap meragukan prinsip akidah yang Anda terima dengan cara warisan, itu sudah cukup layak!”
                Sebab, barang siapa tidak meragukan berarti dia tidak melihat. Dan barang siapa tidak melihat, maka dia tidak akan melihat dengan mata hati. Sedangkan barang siapa yang tidak melihat dengan mata hati, dia akan tetap berada dalam kebutaan dan kesesatan.
                Dalam bersikap Al-Ghazali ternyata sangat konsisten dengan apa yang dkatakannya. Setiap kali membahas masalah, dia memberikan kritik, mengambil pendapat yang benar dan menyanggah pendapat yang dinyatakan salah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengemukakan pemikirannya yang spesifik dari sikapnya yang independen,sekalipun itu harus berbeda dengan pendapat orang-orang sebelumnya.
                Hal yang wajar, apabila Al-Ghazali berbeda pendapat dengan Imam Asy-Syafi’i dalam beberapa solusi fiqihnya. Hal ini dapat dilihat dalam kitab Ihya’ bab al-Ma’ (air). Disitu Al-Ghazali mengatakan, “Sebenarnya saya menginginkan pendapat Asy-Syafi’i mengenai masalah air, sebagaimana pendapat Imam Malik.” Untuk masalah ini saja, Al-Ghazali mendukung pendapat Imam Malik dengan tujuh alasan. (Lihat Ihya’ pada bab at-Thaharah
                Demikian pula Al-Ghazali mendukung pendapat Imam Abu Hanifah mengenai kewenangan (sahnya) menjual dalam bentuk al-Muatha (tanpa ijab dan qabul), jika tanpa memakai tawar menawar. (lihat Ihya’ pada bab al-Kasbu wa al-Ma’isyah)
                Dengan kaum sufi, Al-Ghazali berbeda pendapat dalam hal Syathahat (celoteh diluar kesadaran) yang tidak sesuai dengan sara’ dan akal.
                Di dalam kitab Ihya’-nya Al-Ghazali mengingkari pengakuan-pengakuan yang panjang lebar tentang al-Isyqu (rindu) bersama Allah swt. Mengingkari kondisi orang-orang yang – katanya- tidak lagi memperhatikan perbuatan-perbuatan lahiriyahnya, sehingga berakhir pada pengakuan al-Ittihad (menyatu) dengan Allah swt. Mengingkari keyakinan terangkatnya hijab, dan kondisi menyaksikan dengan mata dan berbicara langsung dengan Allah swt, sehingga mereka mengatakan, “Dikatakan kepada kami begini dan begitu , lalu kami katakan begini dan begitu.” Mereka mengaku-Aku demikian, sebagaimana yang dilakukan Al-Hasan bin al-Manshur al-Hallaj, yang disalib karena mengatakan kata-kata “Ana al-Haq” (aku adalah A-Haq; Allah )!
                Bagi Al-Ghazali, ucapan seperti di atas bisa menimbulkan fitnah di dalam stabilitas negara, dan sangat merugikan kaum awam. Maka dari itu, dibunuhnya Al-Hallaj- bagi Al-Ghazali- lebih menguntungkan bagi agama Allah, dari pada menghidupkan sepuluh orang sepertinya. (lihat Ihya’, jus I, hal. 36)
                Dan yang paling menggemparkan adalah perbedaan Al-Ghazali dengan Imam Asy-ari, sampai-sampai dalam hal ini, Al-Ghazali dituduh kafir. Tuduhan ini dilontarkan oleh kelompok-kelompok yang membaca sebagian karyanya, lantas memvonis, bahwa apa yang ditulis oleh Al-Ghazali bertentangan dengan pendapat-pendapat ulama salaf dan pendapat-pendapat ilmu kalam (al-Mutakallimun). Menurut mereka, sedikit saja merubah pendapat Imam Asy’ari adalah kafir hukumnya, dan sedikit mempertanyakannya adalah sesat dan rugi !.

                Untuk menghadapi fanatisme semacam ini, Al-Ghazali menulis sebuah karyanya Faishal at-Tafriqah baina al-Islam wa az-Zindiqah. Di dalam kitab ini, Al-Ghazali menyampaikan pemikirannya kepada murid-muridnya, lalu berkata, “Katakanlah kepada dirimu, serta mintalah kepada temanmu itu definisi tentang kafir ! Bila temanmu itu mengatakan bahwa kafir itu karena menentang pendapat Imam Asy-ari, karena menentang madzhab Mu’tazilah, atau karena berbeda pendapat dengan Madzhab Imam Hambali atau yang lainnya.

Senin, 21 September 2015

Al Ghazali melawan gelombang pemikiran ekstrim



                Bagian lain dari warisan Al-Ghazali yang sempat dicatat sebagai hal positif adalah perlawanannya terhadap pemikiran ekstrim yang telah mewarnai pemikiran aliran-aliran saat itu, juga masa-masa sebelumnya.
                Ketika itu masing-masing aliran (golongan) mengkafirkan golongan lain. Aliran yang berbeda dinyatakan sebagai aliran yang mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya. Bahkan ada yang menyiratkan adanya ancaman kepada kelompok lain, baik darah maupun harta. Tiap-tiap aliran meyakini bahwa aliran yang berbeda dengan alirannya nantinya akan kekal di neraka.
                Al-Ghazali dengan kekuatanya, menentang sikap ekstrim dan berlebih-lebihan tersebut, serta mendudukkan masalahnya dalam sebuah kitabnya Al-Iqtishad fi-I’tiwad dan kitab Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa az-Zindiqah.
                Di dalam kitabnya Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Al-Ghazali mengatakan, “Sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemikir adalah sedapat mungkin menjaga agar tidak mengkafirkan aliran lain. Sungguh, menghalalkan darah atau harta kekayaan orang-orang yang melakukan ibadah shalat dan telah menghadap ke kiblat, serta dengan jelas mengatakan kalimat La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah adalah sikap yang sesat.
                Ketahuilah, bahwa membiarkan seribu orang kafir hidup, itu lebih tidak dibenarkan dan lebih hina dari pada membunuh seorang Muslim yang dituduh kafir, hanya karena perbedaan pendapat atau aliran. Rasulullah saw telah bersabda :
                “Aku diperintahkan untuk membunuh manusia, sehingga mereka mengatakan Laiaha illallah, Muhammadur Rasulullah (tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Jika mereka telah menyatakannya, maka mereka terjaga darah dan harta mereka, kecuali hak-haknya.”[1]
                Selanjutnya, Al-Ghazali mengatakan “Tidak ada satupun ketentuan bagi kita, untuk mengkafirkan seseorang hanya karena kesalahan di dalam ta’wil. Untuk menghukum kafirnya seseorang dibutuhkan bukti atau dalil. Bahkan dalam hadis di atas telah dinyatakan secara pasti bahwa al-Ishmah (terjaganya hak-hak seseorang) diperoleh hanya karena telah mengucapkan Lailaha illallah. Untuk menghukumi seseorang itu sebagai seorang kafir, haruslah dengan kepastian hukum. “Kalimat Syahadat” telah cukup untuk menentukan kekafiran seseorang, tanpa harus dengan dalil. Sementara yang harus memakai dalil (selain berdasarkan kalimat syahadat), masih dibagi dua lagi, yaitu dalil dasar, atau dalil analogi yang berlandaskan dalil dasar tersebut.
                Hukum (dalil) dasar untuk mengkafirkan orang lain adalah dengan “mendustakan”. Barang siapa yang tidak mendustakan orang lain, secara hukum dasar tidak ada dalam diri orang itu nilai kedustaan. Dengan demikian, sebagai gambaran, al-Ishmah cukup terwakili dengan kalimat Syahadad.[2]
                Sedangkan di dalam kitab Faishal at-Tafriwah, Al-Ghazali sangat tidak setuju jika perbedaan dalam penakwilan menjadi dasar pengkafiran seseorang.
                Di samping itu, Al-Ghazali menentang keras pengkafiran yang dilontarkan oleh mutakallimun ekstrim, dimana mereka mewajibkan umat Muslim awam untuk mengetahui akidah Islamiyah berdasarkan ilmu kalam. Menurut mereka, barang siapa yang tidak mengetahui dasar-dasar ilmu kalam yang berkait dengan akidah adalah kafir !
                Menjawab pernyataan itu, Al-Ghazali dengan nada keras mengatakan. “Termasuk orang yang sangat ekstrim dan bahkan keterlaluan adalah sebagian dari golongan mutakallimun yang mengkafirkan masyarakat Muslim awam, hanya karena pengetahuan akidah mereka tidak melalui cara-cara yang digasirkan ilmu kalam. Menurut mereke, orang Muslim awam yang tidak mengetahui ilmu kalam adalah kafir”.
                Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan, “Dampak dari klaim-klaim mereka menimbulkan: pertama, sesungguhnya mereke yang tergolong ekstrim itu, telah mempersempit rahmat Allah yang begitu luas kepada hamba-Nya, mereka menjadikan surga hanya untuk segelintir orang saja, yaitu untuk para mutakallimun.
                Kedua, golongan yang ekstrim itu, tidak mengetahui kejadian-kejadian sebenarnya yang mutawatir yang terjadi di masa Rasulullah dan para sahabat radhiallahu’anhum. Di mana banyak dari kalangan orang-orang Arab diklam –atau mengklaim diri- sebagai pemeluk agama Islam, sekalipun mereka berada pada kondisi penyembahan berhala. Mereka malas memperlajari dalil. Oleh karenanya, jika mereka dihadapkan dengan ilmu-ilmu tentang dalil, tentu mereka tidak akan mengerti.[3]
                Selanjutnya, Al-Ghazali mengatakan, “Pengenalan iman, tidaklah darus berdasarkan dalil-dalil dari kaum mutakallimun, akan tetapi melalui nur (cahaya) yang Allah swt pancarkan ke dalam hati. Bisa saja pengenalan iman itu melalui bisikan batin yang sulit dijelaskan kembali, dan bisa pula melalui persahabatan dengan orang salih”
                Tidak jarang Al-Ghazali dituduh terlalu membela Ahlussunnah oleh golongan-golongan yang berseberangan dengannya. Untuk itu, kita simak apa yang di katakan Al-Ghazali sebagai komentarnya. “Jika engkau malu memberikan definisi mengenai kafir. Dengarkan. Saya akan memberikan padamu kriteria yang relatif benar dalam mendefinisikan kekafiran. Barangkali dapat negkau jadikan sebagai pertimbangan, sehingga engkau tidak mudah mengkafirkan orang lain, dan tidak lagi berperilaku tidak sopan terhadap sesama muslim, bila kebetulan berbeda pendapat. Apalagi mereka masih berpegang kepada kalimat La ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah dengan benar dan jujur, serta tidak kontrofersial. Dengarkan, saya berpendapat bahwa “Kafir” adalah mendustakan sebagian apa yang di bawa oleh Rasulullah saw, sementara “IMAN” adalah membenarkan segala yang di bawa oleh Rasulullah saw’.
                Ketahuilah bahwa sekalipun yang kami sebutkan di atas sudah nampak sangat jelas, akan tetapi di bawahnya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan. Masalahnya masing-masing kelompok mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pendapat dengannya, dan mengklaimnya sebagai kelompok yang mendustakan Rasulullah saw.
                Golongan Hanbaliyah mendustakan aliran Asy’ariyah di mana aliran Asy’ariyah dituduh mendustakan Rasulullah saw dalam persoalan “Itsbat Fauq” (penetapan arah batas), yaitu mengenai “istiwa ‘ala al-Arasy” (duduk di atas singgasana). Sebaliknya aliran Asy’ariyah juga mendustakan kelompok Hanbali, dan dituduhnya sebagai kelompok musyabbih (yang menyamakan) terhadap Allah, sekaligus mendustakan Rasulullah saw, oleh karena Asy-ariyah telah mengajarkan “Laisa kamistlihi syai’un” (tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah).
                Kelompok Asy-ari juga mendustakan aliran Mu’tazilah, yang dinilainya telah mendustakan Rasul di dalam persoalan bolehnya meilhat Allah swt, tentang itsbat (penetapan) akan sifat ilmu, qudrat dan sifat-sifat yang lain kepada-Nya. Sebaliknya aliran muktazilah pun mendustakan golongan Asy-ari, karena di anggap telah mendustakan Rasul dalam masalah penetapan sifat-sifat Allah, sehingga memperbanyak sifat-sifat Qadim.
                Engkau tidak akan selamat dari keterlibatan itu, kecuali jika engkau mengetahui batasan tentang “pendustaan” dan “pembenaran” (at-Takdzib wa at-Tashdiq) serta hakikat dari keduanya. Dengan mengetahui keduanya, engkau akan mengetahui ekstrimnya tiap-tiap golongan dalam mengkafirkan kelompok yang lain.
                Bila mereka berkata, “Bahwa iman itu menuntut adanya khabar (sesuatu yang diimani), bahkan sekaligus sl-Mukhbir (yang memberi tahukan)’. Maka ketahuilah, bahwa pada hakikatnya iman adalah mengakui dan membenarkan sesuatu yang diberitakan oleh Rasulullah saw.
                Namun demikian, perlu diketahui bahwa “wujud” (ada)nya sesuatu itu mempunyai lima tingkatan. Bagi sementara orang yang tidak mengerti persoalan “wujud” ini, dengan mudah akan mendustakan orang lain.
                Kelima tingkatan “wujud” itu adalah : Wujud Dzaty, Wujud Hissy, Wujud Khayaly, Wujud Aqly dan Wujud Subhy.
                Barang siapa mengakui adanya sesuatu yang diberikan oleh Rasulullah saw, dan itu masih ada dalam kelima kerangka wujud di atas, secara mutlak mereka tidak dapat dikatakan mendustakan agama.
1.       Wujud Dzaty, adalah wujud yang hakiki, di luar perasaan dan akal.
2.       Wujud Hissy, yaitu sesuatu yang terdapat di dalam kekuatan Bashirah, padahal keberadaannya di luar penglihatan mata. Seperti orang yang disaksikan oleh orang yang dalam tidur.
3.       Wujud Khayali, adalah wujud yang merupakan gambaran dari sesuatu yang nyata, setelah sesuatu yang nyata itu hilang dari indera.
4.       Wujud Aqly, yaitu dimana segala sesuatu itu memiliki ruh, memiliki hakikat dan memiliki makna.
5.       Wujud Asy-Syubhy, adalah sesuatu yang selayaknya tidak diwujudkan : tidak dalam bentuknya, hakikatnya tidak di luarnya, tidak di dalam perasaan, tidak di dalam khayal dan pula di dalam akal. Akan tetapi keberadaan (wujud)nya merupakan sesuatu yang lain, hanya saja dari beberapa sifatnya masih serupa.

Di dalam konflik pemikiran model demikian, keberadaan Al-Ghazali di hadapkan di hadapan orang-orang yang berbeda pendapat dengannya, lebih banyak sebagai seorang “pembela” daripada “Hakim”. Dalam konteks ini, Al-Ghazali menilai bahwa, apabila seseorang telah mengakui “wujud” dari apa yang di bawa Rasulullah saw, baik ia berupa Wujud Khayaly, Wujud Aqly ataupun Wujud Syubhy, hal itu sudah cukup untuk menafikan kedustaan dan kekafiran. Al-Ghazali telah menawarkan sikap yang sangat toleran, bahkan demikian tolerannya dalam masalah ini- di dalam menggambarkan toleransi itu sendiri-.
                Tampaknya, apa yang dijelaskan oleh Al-Ghazali di atas, berupa toleransi yang sangat luas, dengan memberikan jalan keluar yang rasional bagi oran-orang yang berbeda pendapat, adalah bertujuan agar mereka tetap berada dalam bingkai Islam. Al-Ghazali sendiri bukanlah sosok yang berlebihan di dalam menjaga hakika agama, bila di bandingkan dengan masalah-masalah yang menyentuh substansi agama. Atau bila dibandingkan dengan masalah-masalah yang kering dari riwayat mutawatir, baik yang menyangkut masalah akidah ataupun syariah. Atau bila dibandingkan dengan pemikiran-prmikiran filsafat dan celotehan (Syathahat) kaum sufi, yang menurutnya tidak dapat di ta’wilkan. Menanggapi pernyataan kaum sufi yang mengatakan, jika mereka telah mencapai satu titik tingkatan Riyadhah Ruhiyahnya (latihan keruhanian), maka gugur bagi mereka kewajiban-kewajiban syariah dan syiar-syiar ibadah. Maka dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya membunuh seorang raja saja dari mereka, lebih baik dari pada membunuh seratus orang kafir murni. Karena orang kafir, dia rusak karena kekafirannya sendiri, sedangkang apa yang dikatakan oleh sufi ini telah pula merusak syarak.”[4]


[1] Al-Iqtishad, hal. 221. Cet; Bairut.
[2] Ibid, hal.223-224; Cet: Bairut.
[3] Faishal at-Tafriqah.
[4] A-Mashdar as-Sabiq

Berfikir menurut Al-Ghazali

Dalam kitabnya mizan al-Amal al-Ghazali menyerukan agar mencari kebenaran melalui cara berfikir dengan nalar yang bebas. Bukan dengan cara taqlid buta, seperti taklid kepada si fulan A dan si fulan B.
                Dalam konteks itu Al-Ghazali berkata: “ jauhilah mengikuti mazhab secara membuta. Tuntutlah kebenaran dengan kebebasan bernalar, agar dirimu bisa menjadi pemilik mazhab. Dan janganlah menjadi orang yang buta bertaklid kepada seorang tokoh yang memberikan petunjuknya kepadamu. Ketahuilah, bahwa di sekitarmu terdapat seribu tokoh yag akan mengajakmu, dan yang akan membinasakan dan menyesatkanmu dari jalan yang lurus !
                Engkau akan mengetahui akhir dari perbuatanmu itu yaitu menemukan kezaliman pada tokoh (pemimpin)mu. Engkau tidak akan bisa keluar dari keadaan seperti itu, kecuali engkau berfikir bebas (merdeka). Bila engkau tidak dapat melakukannya, paling tidak engkau meragukan akidah yang diwariskannya, dan mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, itu akan lebih bermanfaat bagimu.
                Demikianlah, kita boleh meragukan (kebenaran) akidah yang dianut secara warisan. Sebab dengan meragukannya, diharapkan masih ada usaha untuk mencapai kebenaran.

Ketahuilah, barang siapa yang tidak meragukan sesuatu, berarti dia tidak melihat (dengan mata). Barang siapa yang tidak melihat, maka dia tidak akan dapat melihat dengan Bashirah (mata hati). Dan barang siapa yang tidak melihat dengan Bashirah (mata hati), maka dia akan tetap menjadi seseorang yang buta (hati) dan sesat. (mizan al-Amal; telaah oleh DR. Sulaiman ad-Dun-ya Cet. Cairo, hal. 409)

Beberapa tokoh yang menyoroti dan dan mengkritik Al-Ghazali:


1.       Al-‘Allamah Abu Bakar at-Tharthusyi al-Maliki. Ia menuduh Al-Ghazali sebagai orang yang meninggalkan ilmu pengetahuan dan hanyut oleh amal perbuatan, masuk ke dunia ilmu-ilmu al-khawathir (rahasia hati), terperosok ke dalam ilmu “was-was setan”. Di samping itu, pemikiran Al-Ghazali mirip dengan produk pemikiran filosof dan simbol-simbol al-Hallaj.
2.       Imam Abu Abdullah al-Mazari al-Maliki, ia berkesimpulan bahwa kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Al-Ghazali, banyak ,memuat hadis-hadis dha’if dan membuat sesuatu yang pada hakikatnya tidak berdasar menjadi baik. Selanjutnya ia mengkritik pernyataan Al-Ghazali; “Di antara ilmu Al-Ghazali ada yang tidak sepatutnya ditulis dalam sebuah kitab”. Dikatakan pula, Al-Ghazali belajar filsafat sebelum dia mendalami ushuluddin (ilmu kalam). Oleh karenanya, dia dikalahkan oleh filsafat dan terlalu cepat menyerang hakikat.
3.       Al Hafidz Taqiyuddin Ibnu Shalah, menuduh Al-Ghazali telah memasukkan ilmu manthiq ke dalam ushul faiqh, seperti perkataan Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasyfa: “inilah mukadimah (baca : pintu) semua ilmu. Siapa saja yang tidak mengetahui ilmu manthiq maka ilmunya tidak dapat dipercaya”. Ibnu Shalah menentang pernyataan Al-Ghazali itu, karena menurutnya, para sahabat dan ulama Salaf (sebelum Al-Ghazali) juga tidak mengetahui ilmu manthiq. Apakah mereka tidak berhak dipercaya, sementara dari merekalah ilmu-ilmu agama digali?

4.       Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah yang mengkritik terhadap Al-Ghazali menyangkut pena’wilan. Menurutnya, pena’wilan yang dilakukan Al-Ghazali bertentangan dengan manhaj (metode) ulama Salaf. Di dalam kitabnya, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Penulis kitab Jawahir al-Qur’an, yakni Al-Ghazali, sering mengadakan dialog dengan para filosof, sehingga dalam tulisannya, ia banyak menyadap pemikiran-pemikiran filsafat sekalipun sebagian dari pemikiran mereka ditentangnya.”